Senin, Oktober 12, 2009

The Impact of Image Compatibility Toward Decision Making Policy

Abstrak
Rational decision making model has faced more challenge under uncertainty condition with respect to higher bounded rationality. Decision makers tend to judge heuristically as a short cut to overcome the incomplete information (Kreitner & Kinicki, 2008), based on their cognitive, psychology, and perception about specific situations. Cognitive dissonance (Festinger, 1957), Escalation of Commitment (Bowen, 1987, Staw & Ross, 1987), Prospect Theory (Kahneman & Tversky, 1979), and Image Theory (Beach & Mitchell, 1987) are some approaches that attempt to explain those decision makers’ predicting behavior beyond rational approaches, so-called non-rational model.

In the investment field, decision makers are associated with investors, where risk-return optimization, fundamental analysis, and other valuation methods, which relate to rational model, often fail to explain the asset value in the market that are more inefficient in the recent years. Hirshleifer (2001) concluded that asset value is influenced by risk-return and misvaluation, where the later is caused by investor psychology. This factor might lead to skyrocket asset value that create great gap to their intrinsic value (Shiller, 2002), and in the long-run will produce asset bubbles. Rational approcahes fail to explain this phenomenon.
Since the end of 1980s, researchers started to shift their investigation to behavioral finance, which relate to non-rational model, e.g. Overconfidence & Biased self-attribution (Daniel et.al., 1988), Investor Psychology (Hirshleifer, 2001), Feedback Theory (Shiller, 2002). In essence, they attempted to explain what the investor reaction in specific situation, and why it happen. By answering that two questions, researchers can expect to explain the asset bubles phenomenon.
The question “how” the process of investment decision made should be investigated in the decision-making field. Observations in this empirical study are built within Image Theory framework, thus it concern to process of alignment or unalignment of the investors’ perception about the three image with respect to perception of specific condition. The output of this perception process is image compatibility, which is the important determinant to predict investment decision. Otherwise, this paper also utilizes the real situation, i.e. real momentum of recent bearish condition, and real decision makers (investors) to test Image Theory implication, where Dunegan (1995) deployed manipulated situation.

This paper has been presented in the 4th Indonesian Doctoral Journey in Management (DJM) on August 5, 2009 and will be presented in The 4th Internastional Conference on Business and Management Research (ICBMR) on November 22-24, 2009.

Kamis, Oktober 08, 2009

Supercapitalism

Argumentasi Pengarang
Buku ini menceritakan perkembangan democracy dan capitalism di Amerika sejak akhir abad 19 hingga sekarang. Disebutkan, capitalism adalah prekondisi bagi democracy mengingat capitalism adalah cara memperbesar “kue” ekonomi sementara democracy adalah cara membagi “kue” tersebut secara merata. Dengan definisi ini, Reich menunjukkan bahwa kita sebagai manusia memiliki dua sisi kehidupan, yaitu sebagai warga negara dan sebagai customer-investor. Hal ini berarti bahwa dengan penerapan capitalism di sektor ekonomi dan democracy pada politik, diharapkan setiap orang bisa menyisihkan sebagian kekayaannya untuk ditabung, berinvestasi dan berinovasi agar memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Sepanjang abad 19, terjadi beberapa kali depresi ekonomi berskala nasional (1857, 1873, 1893) dan terlihat bahwa capitalism ternyata tidak cukup baik memberikan benefit kepada kita sebagai customer-investor. Sebaliknya paska perang sipil, dengan berbagai regulasi seperti penghapusan perbudakan menunjukkan bahwa democracy memberikan respon yang baik kepada warganya. Momentum evolusi ekonomi terjadi dengan selesainya pembangunan transcontinental railroad tahun 1869 (menghubungkan pantai barat dan timur Amerika) yang memicu berdirinya beberapa perusahaan raksasa dengan produksi berskala besar. Efeknya adalah peningkatan produktivitas dan membanjirnya produk-produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun pada saat bersamaan kehidupan buruh pabrik tidak terjamin baik dari sisi gaji, jaminan kesehatan dan sebagainya. Pemerintah yang belum berpengalaman menghadapi situasi ini terlihat kurang responsif untuk menyelesaikannya. Ini adalah pegeseran pertama dimana sisi customer-investor dalam diri kita mulai terangkat, sementara sisi citizen menurun.
Keseimbangan terjadi pada periode 1945 – 1975 dimana kehidupan buruh mulai diatur melalui beberapa regulasi pemerintah atas desakan serikat buruh dan beberapa organisasi lainnya. Pertumbuhan pendapatan antara kelompok masyarakat terkaya, menengah dan termiskin berada pada level yang sama (income growth equality), tersedianya jaminan kesehatan, pensiun dan kenaikan upah minimum sebesar infasi; sementara pemerintah masih dianggap aspiratif terhadap kebutuhan warga negaranya. Inilah puncak kejayaan democratic capitalism Amerika, namun mengingat masih adanya ketimpangan seperti diskriminasi kulit hitam dan emansipasi wanita, Reich menyebut periode ini sebagai “Not Quite Golden Age”.
Momentum kedua dalam evolusi ekonomi ini adalah peluncuran pesawat ruang angkasa milik Soviet, Sputnik I (1957), yang menghentak warga Amerika untuk segera mengejar ketertinggalannya. Dipelopori oleh Departemen Pertahanan dan NASA yang bekerja sama dengan para raksasa industri muncul temuan-temuan penting seperti semikonduktor, laser, fiber optik, mesin jet, komputer dan internet. Semuanya itu mengharuskan para raksasa menjadi lebih efisien dan produktif agar profit tetap bisa diperoleh. Mereka tidak bisa lagi memonopoli pasar karena banyaknya perusahaan baru yang masuk dengan inovasinya. Salah satu yang paling terkenal adalah Microsoft. Ini merupakan akhir dari periode “Not Quite Golden Age”, dimana pertumbuhan capitalism mulai meninggalkan democracy sehingga sisi customer-investor lebih menonjol dibanding citizen.
Perusahaan berkompetisi untuk meningkatkan efisiensi, yaitu menciptakan biaya murah untuk customer, dan ujungnya adalah meningkatkan value atau profit tinggi bagi investor. Sangat mudah bagi investor untuk mengganti CEO bila tidak bisa menghasilkan added value. Maka tidak mengherankan bila CEO berusaha mati-matian menerapkan berbagai strategi untuk memenangkan persaingan, salah satu yang adalah mengejar political advantage.
Fenomena ini didukung fakta terjadinya peningkatan fantastis biaya kampanye, biaya melobi, jumlah pelobi, pengacara, PR dan jumlah kantor cabang yang berdiri di Washington sejak awal 1980 hingga saat ini. Regulasi dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah kemudian cenderung memihak para korporasi bisnis yang mengelilinginya. Dua kelompok besar bertemu dimana yang satu hanya menginginkan profit, sementara yang lainnya adalah kekuasaan. Reich memberikan banyak contoh akan hal ini dalam bukunya, sehingga dikatakan inilah era capitalism menginvasi democracy atau disebut supercapitalism. Beberapa efek negatif supercapitalism sangat terlihat dewasa ini: besarnya perbedaan pendapatan, ketidakstabilan komunitas, keamanan bekerja dan kerusakan lingkungan. Terlihat jelas bahwa sisi customer-investor sangat menonjol sementara sisi citizen makin tenggelam. Di sini Reich mengatakan bahwa sisi citizen terdiri dari dua hal, yaitu kondisi sosial masyarakat dan kondisi lingkungan. Selain adanya dugaan konspirasi pemerintah dan korporasi, hal yang mendorongnya adalah belum semua masyarakat menyadari bagaimana supercapitalism bisa terjadi. Mereka setuju bahwa kondisi sosial dan lingkungan perlu diperhatikan namun mereka sendiri enggan melakukannya. Misalnya masyarakat cenderung tidak bersedia membeli barang di toko kecil yang harganya sedikit lebih mahal, mereka lebih suka pergi ke Wall-Mart. Atau mereka bersedia membeli produk ramah lingkungan bila harganya sama dengan produk reguler.
Salah satu topik menarik adalah dalam situasi ini adalah CSR. Bagi kelompok sosial ini merupakan tujuan yang baik dan sesuai dengan perjuangan mereka; bagi korporasi ini merupakan sarana membangun brand image atau dalam beberapa kasus bisa menurunkan biaya atau memperluas pasar (ujungnya peningkatan profit), sementara bagi pemerintah ini merupakan pengalihan isu yang baik atas regulasi kontroversial yang hanya menguntungkan korporasi. Menurut Reich, politikus dan korporasi sering melakukan manuver politik. Saran yang diberikan adalah jangan terlalu percaya bila politikus mengkritik korporasi, atau bila korporasi mengumumkan telah melakukan aktivitas CSR tertentu untuk kepentingan publik. Sekali lagi diingatkan bahwa korporasi hanya memiliki satu tujuan: profit, sementara politikus: kekuasaan. Apa gunanya CEO mengeluarkan dana besar untuk CSR bila kemudian mengurangi profit sehingga posisinya terancam? Apa gunanya politikus menekan korporasi terlalu besar sehingga mereka tidak memiliki dana untuk membantu kampanyenya?
Pada bagian terakhir, ada hal menarik yaitu usulan Reich yang mungkin bisa mengatasi efek negatif supercapitalism, yaitu menciptakan pembatas yang jelas antara korporasi dan pemerintahan. Menurut Reich, korporasi pada dasarnya hanyalah berupa kumpulan kontrak atau benda mati (bukan manusia), jadi tidak seharusnya mereka mendapat hak-hak seperti berbicara atau berpolitik. Bila pernyataan ini digunakan sebagai dasar pembuatan regulasi akan menimbulkan perubahan yang revolusioner. Misalnya tidak ada lagi pajak korporasi, yang ada hanya pajak perseorangan. Jadi dividen dibagikan ke investor tanpa ada pemotongan pajak, kemudian semua pendapatan investor dari berbagai pihak akan dihitung pajaknya. Dengan cara ini, negara bisa memungut pajak lebih besar (progresif) dari para orang kaya, sementara perusahaan bisa membayar gaji pegawai dengan lebih tinggi. Demikian juga bila ada denda yang harus dikenakan tidak boleh diambil dari uang kas perusahaan, namun dibayarkan oleh investor atau CEO.
Dengan metode ini juga bisa terlihat dengan jelas berapa banyak profit yang didistribusikan ke shareholder (investor), pegawai dan broader society? Bila 80% profit jatuh ke tangan investor, apakah bisa perusahaan ini benar-benar disebut sosially responsible? Berapa perbandingan distribusi profit yang diperoleh pegawai, top management dan investor sebagai stakeholder perusahaan?
Pandangan kami
Strategi Kompetisi
Penjabaran Reich tentang evolusi ekonomi Amerika selama 1 abad terakhir bisa dianalisa dari sudut pandang kompetisi antar perusahaan. Pada periode I, ditemukannya telegrap, turbin elektrik, interchangable machinery dan sebagainya telah memunculkan beberapa industri baru yang dikuasai (monopoly) hanya 1-3 perusahaan. Kompetisi yang terjadi bersifat statis karena hanya fokus pada bagaimana memenuhi permintaan pasar dengan strategi mass-production. Sementara dengan sesama perusahaan sejenis mereka cenderung berkolusi membantuk cartel untuk menentukan harga dan mencegah new entrant. Praktis tidak ada inovasi produk baru, perhatian terhadap kesejahteraan karyawan, namun harga tetap berada di level tinggi. Menurut William Baumol dan Robert Willig (1982), kondisi ini adalah bentuk contestable market dimana mass-production, cartel dan predatory pricing adalah entry-barrier utamanya sehingga praktis tidak ada entrant yang masuk, hingga dikeluarkannya Clayton Act tentang exclusive dealling, pricing dan merger (1914). Namun agak sedikit berbeda dengan ramalan teori contestable, sebelum antritrust-law dikeluarkan ternyata tidak terjadi autocorrective pada monopolist yang membuat harga berada di level wajar (fair).


Pada periode “Not Quite Golden Age”, inovasi mulai banyak dilakukan, pengeluaran untuk kesejahteraan sudah ditentukan oleh regulasi pemerintah membuat para monopolist harus memikirkan efisiensi semaksimal mungkin untuk meningkatkan profit. Menurut Bhattacharya, Vhatterjee dan Samuelson (Sequential Research and the Adoption of Innovations), salah satu strategi entry ke pasar yang sudah didominasi giant monopolist adalah melakukan inovasi sehingga produknya berbeda dengan mereka. Kondisi ini memaksa monopolist (incumbet firm) mengganti strategi mass-production menjadi economies of scale yang lebih berorientasi pada cost efficiency, selain tentunya juga harus aktif berinovasi. Pada periode ini kompetisi bergeser dari statis menjadi dinamis karena strategi perusahaan tidak fokus pada pasar yang tetap, tapi bagaimana berusaha mengembangkan pasar itu sendiri sambil memperhatikan strategi kompetitornya.
Periode berikutnya (1975 – sekarang) sebenarnya hanya kelanjutan dari periode sebelumnya, namun warna political advantage competition-nya sangat terasa. Hal ini menyebabkan respons pemerintah terhadap aspirasi citizen mencapai titik nadir dalam sejarah Amerika, sementara customer-investor semakin besar kekuasannya.


Sistem Pemerintahan
Dalam konteks politik, ekonomi dan lingkungan sosial, hubungan ketiganya bisa diilustrasikan seperti gambar di bawah ini:

Kebutuhan masyarakat secara umum diaspirasikan oleh dua kelompok: (1) korporasi yang mewakili customer-investor, dan (2) serikat buruh, environmentalist, organisasi atau komunitas lainnya yang mewakili citizen. Pada kenyataannya dua kelompok tersebut tidak berimbang kekuatannya karena korporasi cenderung bisa “lebih akrab” dengan pemerintah, tidak bergantung bentuk pemerintahannya (democracy, monarchy, communism, facism). Ujung pangkal keakraban ini biasanya berupa deregulasi peraturan-peraturan yang menghambat gerak-gerik korporasi atau munculnya regulasi yang cenderung kurang berpihak pada citizen.
Akibat perkembangan tehnologi dan globalisasi, korporasi bisa tumbuh menjadi capitalist raksasa yang bisa mengatur perekonomian dengan political advantage, sehingga akhirnya terjadi supercapitalism yang saat ini telah merambah ke seluruh dunia. Menurut Reich, sistem democracy seharusnya memungkinkan kedua kelompok di atas berimbang (demoracy as a balancer). Masih bisa dimengerti bahwa pada sistem politik communism atau facism, aspirasi kelompok non-korporasi (terutama dalam hal hak asasi manusia dan kondisi sosial) jelas tidak tertampung seperti yang terlihat di China. Padahal kelompok ini seharusnya bisa menjadi penyeimbang (balancer) atas tindak tanduk korporasi. Namun mengapa dampak negatif supercapitalism masih terjadi di negara pelopor demokrasi dan paling demokratis seperti Amerika? Mengapa dampak negatif supercapitalism bahkan relatif lebih kecil di negara yang yang bisa dikategorikan tidak demokratis seperti Singapura? Apakah karena faktor “clean governance”? Ini yang belum terjawab dari buku Supercapitalism.

Krisis Global
Krisis global yang terjadi di Amerika akibat Supreme Mortgage 2007 telah merambah ke seluruh dunia di akhir 2008 ini. Hal ini merupakan salah satu dampak negatif supercapitalism. Sejak pemerintahan Ronald Reagen dan Bill Clinton (tahun 1980-an), banyak deregulasi dan pembentukan regulasi baru yang cenderung lebih menguntungkan korporasi, antara lain: penurunan pajak penghasilan dan pajak eksport, perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara, pendirian WTO dan sebagainya.
Sejak tahun 1950, indek peningkatan produktivitas setara dengan indek pendapatan masyarakat. Sebagai contoh di tahun 1950, keduanya memiliki indek 100, dan keduanya meningkat menjadi sekitar 200 di tahun 1983 (peningkatan 100% dalam waktu 33 tahun). Namun ditahun 2005, indek produktivas menjadi 340 (meningkat 70% dalam waktu 22 tahun) dan pendapatan masyarakat hanya 270 (meningkat 35%). Dari sisi pendapatan, rasio pendapatan CEO vs pekerja biasa pada periode 1960-1980 sebesar 35x, namun di tahun 2000-an menjadi diatas 200x. Terjadi kesenjangan pendapatan yang semakin tajam baik dengan top executive maupun dengan produktivitas perusahaan, sementara dieksploitasi besar-besaran dilakukan para investor. Hasilnya terlihat pada indek Dow Jones yang meningkat tajam dari 1.000 (1980-an) menjadi 14.000 (2007).
Pertumbuhan investasi tersebut sebenarnya hanya merupakan bubble yang hanya menunggu saatnya untuk meledak. Ledakan pertama terjadi di sektor perumahan (supreme mortgage) dan akhirnya merambah ke hampir semua sektor investasi. Situasi ini sebenarnya merupakan kritik tajam kepada pemerintah atas kebijakan deregulasi dan regulasi yang cenderung berpihak pada korporasi. Masyarakat sebagai citizen yang sebenarnya adalah korban kembali meminta campur tangan pemerintah yang lebih kuat untuk menghambat tindakan korporasi yang semakin tidak terkendali. Maka tidak heran bila kemudian mereka menolak penggunaan uang pajaknya untuk program bail out USD 700 Milliar yang lagi-lagi ditujukan untuk menyelamatkan korporasi.
Kami setuju dengan pendapat Reich bahwa di kemudian hari perlu adanya regulasi pemerintah yang bisa mengatur distribusi profit secara lebih merata pada three-bottom-line: shareholder (investor), employee dan boarder society. Artinya porsi shareholder akan berkurang sehingga mengurangi usaha lobby ke pemerintah.
Pemenang hadiah nobel 2008 bidang ekonomi, yang fokus meneliti “dampak pasar bebas dan globalisasi”, Paul Krugman, mengatakan bahwa Amerika sangat superior dalam menciptakan pertumbuhan, namun sangat buruk saat membaginya selama 30 tahun terakhir. Menurutnya, negara dunia ketiga yang dulunya (pra krisis 1997) adalah tujuan investor Amerika, sekarang mereka telah “menyerang” balik ke Amerika. Capital inflow yang sangat besar tersebut menyebabkan pertumbuhan semu (bubble) karena sebenarnya masyarakat Amerika tidak memiliki peluang yang sama untuk tumbuh (inequality opportunity). Investor yang tidak pernah puas atas return-nya melakukan kreasi-kreasi dengan mengekploitasi pasar kredit. Efek lebih lanjutnya dia tulis dalam rubriknya yang berjudul “Don’t Cry for Me, America” (Januari 2008). Dia mengawali dengan kalimat sederhana: “Mexico, Brazil, Argentina, Mexico again. Thailand, Indonesia, Argentina again, and now the United States”. Pernyataan ini selain menjawab pertanyaan Ben Bernanke sebelum menjabat sebagai gubernur The Fed, “Amerika sebagai negara ekonomi terbesar di dunia mengapa memiliki hutang pasar internasional lebih banyak dibanding sebagai pemberi pinjaman?”, juga mengkritik keras pemerintahan President Bush yang tidak bisa mengedukasi para investor agar pasar modal tidak menjadi liar diluar kendali. Lebih lanjut dia mengatakan, bila World War II telah mempercepat pemulihan ekonomi Amerika akibat Great Depression, dia tidak berharap penyelesaian serupa untuk krisis yang terjadi saat ini.
Krugman, seorang kolumnis di harian New York Times yang mengisi rubrik “Nurani Liberal”, memang aktif mengkritik semua kebijakan Bush dan pendahulunya sebagai penyebab terjadinya kompetisi inequality vs undemocracy.

Penutup
Sebagai penutup kami merasa bahwa buku Supercapitalism karangan Robert Reich sangat bagus dalam memberikan wawasan kepada pembacanya mengenai perkembangan capitalism dan demokrasi. Tetapi setelah kami renungkan secara lebih mendalam, kami merasa bahwa dalam beberapa hal Reich banyak melakukan penyederhanaan. Penyederhanaan pertama adalah waktu membahas mengenai posisi masyarakat sebagai investor. Memang benar bahwa dengan kemajuan tehnologi yang terjadi sekarang ini, memungkinkan bagi seorang investor individu untuk dengan mudah mengalihkan portfolio investasinya dari satu instrument investasi ke instrument investasi lain untuk mendapatkan tingkat return yang paling optimal, hanya melalui satu klik di komputer. Hal ini yang memaksa seorang CEO harus bekerja mati-matian untuk menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya bagi pemegang saham. Apabila diamati secara lebih mendalam, pola perilaku investor individu lebih banyak berorientasi pada capital gain (kenaikan harga saham) dibandingkan dengan devidend, dan pada banyak kasus, termasuk yang terjadi akhir-akhir ini, pergerakan harga saham suatu perusahaan “seolah-olah” terlepas dari kondisi fundamental perusahaan itu sendiri. Sehingga menurut hemat kami, yang paling ditakuti oleh para celebritas CEO adalah pemegang saham mayoritas, bukan masyarakat umum sebagai pemegang saham minoritas yang bertindak sebagai investor. Karena pemegang saham mayoritaslah yang “berhak” memutuskan untuk menilai kinerja seorang CEO. Penyederhanaan yang kedua adalah waktu membahas posisi masyarakat sebagai customer. Memang benar bahwa tuntutan customer akan produk yang memiliki harga kompetitif harus bisa dipenuhi oleh perusahaan. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah menekan biaya produksinya. Pada buku tersebut penurunan biaya produksi lebih ditekankan pada penurunan biaya variable produksi, yaitu direct raw materials (melalui tekanan kepada pemasok) dan direct labor (melalui “penurunan” kesejahteraan buruh), serta pengabaian biaya sosial. Bila direnungkan lebih mendalam, peningkatan efisiensi dan produktivitas yang diakibatkan karena kemajuan tehnologi memberikan kontribusi terbesar bagi penurunan biaya produksi, dibandingkan dengan penurunan kesejahteraan buruh. Dampak yang lebih nyata terlihat dalam hal ditemukan terobosan dalam suatu tahapan tehnologi (technological breakthrough), seperti penemuan mesin uap, penemuan tehnologi komputer, penemuan-penemuan di dunia farmasi (partikel nano, stem cell dan DNA). Harus diakui bahwa untuk bisa menghasilkan penemuan-penemuan tersebut dibutuhkan suatu riset yang sangat rumit dengan biaya yang sangat tinggi, sehingga hanya perusahaan skala raksasa-lah yang mampu mendanainya. Perusahaan-perusahaan tersebut tercipta berkat perkembangan sistem pasar bebas dan kapitalisme.
Usulan Robert Reich pada bagian akhir dari buku Supercapitalism untuk memandang perusahaan hanya sebagai kumpulan dari kontrak, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai “makhluk hidup” yang memiliki hak berbicara dan berpolitik, masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk mengakomodir usulan tersebut perlu dilakukan perombakan besar-besaran mengenai tatanan sistem akuntansi dan perpajakan yang diberlakukan di seluruh dunia.

Sudah diterbitkan di Forum Management Prasetya Mulia vol.3 no.10 edisi Juli/Agustus 2009.