Sabtu, September 01, 2012

Day 13

Day 13 - August 29, 2012 Hari ini seharusnya acara tour adalah Free Program. Tetapi dari pihak ATS menyediakan local guide untuk mengantarkan City Tour keliling kota New York ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi. Ternyata local guidenya adalah Lisa, perempuan Chinese asal Indonesia berusia 53 tahun, yang menjemput kami waktu pertama kali mendarat di New York dari LA. Dia ternyata seorang story teller yang cukup bagus dan penguasaan materi yang diceriterakan pun lumayan luas. Cocok jadi seorang Local Guide yang berpengalaman. Dia sendiri masih bekerja part time di HSBC sebagai Private Banking Officer. Ya di New York saya melihat banyak sekali kantor-kantor yang bergerak di bidang keuangan dan kantor-kantor private banking. Lisa menceritakan kisah awal perjalanannya ke Amerika pada 5 Juli 1993. Dia memilih hidup di Amerika karena menurut Lisa di Amerika jauh lebih aman dibandingkan Jakarta, tidak rasialis, dan ada jaminan kesehatan serta hari tua yang jelas. Tapi dia menyadari sepenuhnya bahwa tinggal di New York tingkat stress-nya tinggi karena kehidupan di New York sangat keras, apalagi di tengah ekonomi Amerika yang sedang melambat pertumbuhannya. Lisa mengatakan bahwa sejak sub prime mortgage crisis tahun 2008 banyak sekali terjadi down sizing di perusahaan. Karena jumlah karyawan dikurangi, naka otomatis beban kerjaan bertambah dan tidak ada penambahan kompensasi. Ibaratnya perusahaan dengan gampangnya mengatakan, "Just do it. (Mirip slogannya Nike). If you don't like, good bye." Menurut Lisa di tataran makro ekonomi, perbaikan indikatornya memang terasa, tetapi di sisi mikro dampak dari sub prime mortgage masih sangat terasa. Itu pulalah yang memicu terjadinya penembakan di Empire State Building 3 hari lalu. Penembakan itu dilakukan oleh seorang karyawan kepada supervisornya akibat dendam kesumat karena dipecat setahun yang lalu dan sampai saat ini belum bisa mendapatkan pekerjaan. Si pelaku, Jeffrey, sengaja memang sudah merencanakan pembunuhan tersebut dan niatnya dilaksanakan setelah dia membuntuti sang supervisor, Steven, turun dari bus di depan 33rd Street. Di samping kedua korban tersebut konon ada beberapa korban lain yang terkena tembakan ketika polisi mengamankan Jeffrey. Wow serem juga ya New York. Menurut Lisa di NY City senjata sebenarnya sudah dilarang. Tetapi kalau di luar kota Lisa bahkan sangat pro terhadap kepemilikan senjata api. Alasannya adalah untuk membela diri apabila terdapat penjahat yang menyatroni rumah kita. Di Indonesia sendiri pemberian ijin pemilikan senjata sudah tidak dikeluarkan. Secara sangat selektif perpanjangan ijin senjata masih diberikan. Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan penyalah gunaan senjata berijin, tetapi kepemilikan senjata api illegal, baik sejata rakitan maupun senjata ex daerah konflik di Aceh, Ambon dan Papua. Dengan duit 10 juta sudah bisa mendapatkan senjata rakitan berikut beberapa butir peluru. Banyak daerah yang menjadi sentra produksi senjata, di antaranya adalah Kuningan dan Cipacing. Sudah dari jaman dulu daerah Cipacing emang terkenal memiliki kerajinan membuat senapan angin. Dengan tehnologi yang sangat sederhana, khan bisa diubah menjadi senjata api. Soal amunisi juga sebenarnya bukan perkara susah, mengingat tingkat kebocoran hasil produksi Pindad masih cukup tinggi dan beberapa oknum Denma di batalyon yang menyalah-gunakan kekuasaannya dengan menjual amunisi. Inilah yang perlu dikendalikan melalu rasia yang intensif dan penerapan hukuman yang berat, yaitu melaksanakan UU Darurat tahun 1955 tentang kepemilikan senjata api illegal. Kembali ke soal City Tour, rencana kami pagi ini akan mengunjungi Lower Manhattan, yaitu daerah Pecinan yang paling besar di New York, bahkan menurut Lisa lebih besar dibandingkan dengan district Flushing yang kami kunjungi kemarin. Kami melewati Holland Tunnel. Terowongan ini terletak 28 m di bawah permukaan Hudson River dan panjangnya 2.608 m. Perbedaan antara Holland Tunnel dan Lindcoln Tunnel adalah Holland menghubungkan New Jersey ke Lower Manhattan sedangkan Lindcold menghubungkan ke Mid Town Manhattan. Holland Tunnel ini dibangun tahun 1927 oleh Clifford Holland dan dalam tunnel tersebut terdapat 84 titik ventilasi, yang mempu melakukan sirkulasi udara secara sempurna dalam 90 detik. Di tempat inilah lokasi shooting film Die Hard. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah China Town. Di sini kami hanya foto-foto sebentar dengan di depan Taipan Bakery dengan latar belakang tempat dan jalanan yang biasa dipakai shooting film-film holliwood yang menggunakan setting China Town, diantaranya yang cukup terkenal adalah Rush Hours. Taipan Bakery adalah toko roti yang dimiliki orang Taiwan dan konon paling enak di seluruh kawasan Pecinan. Lisa sendiri yang tinggal di daerah Flushing, Queen, sering mampir ke Lower Manhattan hanya sekedar untuk membeli roti Taipan. Kami juga sempat melihat Little Italy, yaitu perkampungan orang Italia, di mana juga terdapat banyak kedai-kedai tempat nongkrong sehabis bekerja. Aku jadi ingat film-film Holliwood yang banyak menceritakan soal Mafia Italy, Mafia Amerika Latin, Mafia Russia, Mafia China di samping gengster Amerika. Kenapa ndak terdengar mafia orang kulit hitam ya? Padahal dari sisi jumlah jelas kulit hitam lebih banyak dibandingkan Hispanik, China, apalagi Itali. Aku tidak tahu apakah pada kenyataannya emang tidak ada mafia orang kulit hitam atau mereka tidak memiliki organisasi yang solid. Kami lalu menyusuri tepian sungai menuju ke Pier 17. Di sungai itulah pada tahun 1990 terjadi peristiwa yang heroik ketika seorang kapten pesawat American Airline memutuskan untuk mendarat darurat di sungai akibat kerusakan mesin. Berkat keputusannya yang jitu, tepat waktu, berani dan piawai, tidak ada korban satupun dalam pendaratan darurat tersebut. Di Indonesia juga pernah. Kalau ndak salah di Jogja, tapi aku ndak ingat kasusnya. Pier 17 adalah satu pelabuhan yang cukup menarik. Di depan pelabuhan terdampar sebuah kapal dengan nama lambung tertulis jelas "Peking". Aku tadinya berasumsi ini pasti kapal dari China atau ada hubungannya dengan China. Ternyata dugaanku salah. Kapal itu adalah kapal milik pemerintah German yang dulu digunakan sebagai kapal angkut dalam Perang Dunia 1 dan 2 dan sekarang dibeli ileh pemerintah kota New York untuk dijadikan Musium Bahari. Saya tidak sempat masuk ke musium tersebut. Sebenarnya kalau ada waktu kita bisa naek Boat Taxy, yaitu semacam kapal boat ukuran 50 orang, mengelilingi kota New York dari air. Di Pier 17 inilah beberapa waktu lalu diselenggarakan pesta besar peringatan 100 tahun tenggelamnya kapal Titanic. Saya tidak tahu mengapa pestanya diselenggarkan di New York ya, sementara Titanic khan berlabuh dari London dan sebagian besar penumpangnya adalah orang Eropa. Kunjungan kami berikutnya adalah melihat New York City Hall yang sedang di renovasi, tempat Major Bloomberg berkantor. Local Guide kami yang sekarang sudah menjadi warga negara Amerika sangat kagum dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Major Bloomberg. Di tangan Bloomberg lah daerah-daerah yang tadinya kumuh dan rawan berhasil ditata ulang sehingga tingkat kriminalitas menurun sangat drastis. Pembangunan infrastruktur jalanan, jembatan dan kereta api juga dibangun dan diperluas sehingga mobilitas penduduk semakin dipermudah. Konon bahkan Bloomberg hanya menerima gaji sebesar USD 1.00 per bulan karena dia memang sudah sangat kaya raya dan merupakan salah satu billioner papan atas di dunia. Bloomberg sendiri memilih untuk tidak tinggal di City Mansion, tempat kediaman resmi Walikota New York. Dia memilih tinggal di apartemennya sendiri di seputaran 78th Street. Dari kantor Walikota kami mengunjungi icon kota New York, yaitu Broklyn Bridge. Di New York ada 3 jembatan yang terkenal, yaitu BMW, Broklyn Bridge, Manhattan bridge dan William Burg. Dari ketiganya Broklyn bridgelah yang paling terkenal, setara dengan Golden Gate di Frisco. Yang menarik adalah di Broklyn bridge pengunjung bisa melalui jembatan tersebut dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Kami sempat "mencicipi" jalan sepertiga panjang jembatan sebelum mbalik lagi ke tempat asal karena parkiran bus wisata kami memang di daerah Broklyn. Di jembatan inilah film terkenal Gossip Girl mengambil gambarnya. Dari situ kami mengunjungi JnR satu kompleks pertokoan yang menjual alat-alat elektronik yang terbesar di New York. Tentu saja toko yang pertama saya kunjungi adalah toko kamera. Saya coba menanyakan kamera Canon 1 Dx, ternyata di situ barangnya kosong dan perlu indent selama 2 minggu. Yang sudah keluar adalah kamera Canon G1x yang dibandrol pada harga USD 830. Kalau Canon G12, yang saya pakai sebagai back up, harganya USD 412. Saya membeli 2 keping memory card Extereem 60 Mbps kapasita 64 GB dan 32 GB, masing-masing seharga USD 150 dan USD 89. Ini jauh lebih murah dibandingkan yang aku beli di JPC yang harganya Rp. 1.25 juta untuk 32 GB. Selama ini aku pakai CF Card merk VGen buatan China dan sama sekali tidak pernah ada masalah apapun dengan kamera saya. Kalau yang SD Card emang pernah 2 kali kartu VGen SD card saya bermasalah, tapi yang CF aman. Sebaliknya dengan memory card Extreem CF 60 Mbps 32G kamera saya malahan sempat mati tanpa sebab di Quebec, walaupun setelah saya cabut batere bisa normal kembali. Saya ndak tahu kenapa, tapi pengalaman ini akan saya laporkan ke pak Budianto Iskandar, Direktur PT Primalayan yang menjadi pusat layanan purna jual Canon. Saya coba VGen untuk continous shooting juga ok dan untuk video dalam jangka pendek juga ndak masalah. Emang untuk continous ada jeda waktu buffering sebelum bisa jepret lagi. Lah aku khan bukan fotografer wedding atau sport yang tidak boleh kehilangan moment. Jadi sebenarnya VGen sudah lebih dari cukup. Cuman karena harga Extreem di sini cukup murah, ya ndak ada salahnya nyobain yang bagusan. Aku jadi ingat cemoohan sesama rekan hobbyist, pak Jo Hanapi, "Wong kameranya 1Dx mosok memorynya Vgen. Ibarat naek Ferrari tapi pakai oli Mesran." He... Sesudah shopping elektronik singkat, kami memasuki Gereja St. Paul yang terletak hanya 1 blok dari Menara Kembar WTC yang diserang teroris tahun 2001. Gerejanya tidak terlalu besar, tetapi konon banyak mukjizat yang terjadi di gereja ini. Di antaranya ketika terjadi kebakaran besar di daerah WTC tahun 1984 gereja ini juga sama sekali tidak tersentuh api, padahal beberapa bangunan disekitarnya hangus terbakar. Bahkan saat terjadi robohnya the twin WYC towerpun gereja ini sama sekali tidak rusak. Saya tidak tahu sejauh mana klaim atas "mukjizat" itu benar dan tidak tertarik untuk mendalaminya lebih lanjut. Di gereja inilah konon George Washington mengikuti misa sesudah pelantikan sebagai presiden Amerika yang pertama, dan bahkan jenasah Washington sempat disemayamkan sementara di gerje ini untuk disembayangi sebelum dikubur. Yang menarik gerje ini adalah gereja lintas denominasi, jadi bukan milik aliran tertentu. Di dalam bangunan gereja yang menurut saya sebenarnya cukup sederhana, apalagi bila dibandingkan dengan gereja-gereja tua yang penuh sejarah, dipajang beberapa foto terkait dengan kejadian 911. Ada 2 foto terkenal yang pernah saya baca kisahnya di National Geographic. Yang pertama adalah foto seorang fire fighter yang mukanya penuh debu sedang duduk melepas lelah, setelah bekerja sangat keras menyelamatkan kurban 911. Kalau ndak salah nama fire fighter itu adalah Paul, dan beberapa orang dalam team Paul di pemadam kebakaran terpaksa mengorbankan nyawanya terkena reruntuhan gedung WTC. Foto kedua adalah seorang polisi yang membawa seekor anjing pelacak dengan latar belakang reruntuhan WTC. Di samping foto itu ada tulisan no race, no discrimination. Mungkin pesan dan maksud yang ingin disampaikan fotografer tersebut adalah "tidak ada perbedaan suku atau ras, tidak ada diskriminasi, bahkan anjingpun terlibat, semua bahu-membahu menyelamatkan korban." Selesai dari gereja saya sempat juga melongok mesjid yang dibangun di dekat ground zero, tepatnya di belakang Fulton Centre. Ijin awal yang diberikan oleh Walikota New York saat kejadian Rudy Guilani, dilanjutkan oleh Michael Bloomberg serta disetujui juga oleh Presiden Obama, berhasil mengangkat citra Amerika di mata negara-negara Islam. Pesan yang dikirimkan melalui pemberian ijin tersebut jelasn yaitu "Amerika tidak memusuhi Islam, tetapi akan membasmi teroris, apapun agamanya". Sebenarnya banyak sekali warga New York yang sangat keberatan dengan pendirian masjid tersebut, terutama sanak kerabat para korban 911. Tapi akhirnya pembangunan itu tetap berjalan. Itu mungkin salah satu kehebatan Amerika, bukan hanya mengijinkan, tetapi secara tidak langsung mempropagandakan bahwa Amerika mengijinkan. He.... Ketika kejadian 911, Lisa sudah menjadi warga New York. Dan ketika kejadian dia ada di daerah Mid Town. Tadinya dia pikir itu hanya drama atau proses pembuatan film , tapi dia kaget sekali ketika seluruh fasilitas publik Amerika, termasuk kereta bawah tanah dihentikan kira-kira 30 menit sesudah runtuhnya gedung WTC yang kedua. Dia mengatakan saat itu kepanikan melanda kota New York karena masih belum jelas, mana lagi yang akan dijadikan target sesudah menara kembar WTC dan Pentagon. Banyak sekali gedung seputaran WTC yang ikutan ambrug dan menurut pengalaman Lisa, proses pembersihan puing-puing tersebut memakan waktu total 9 bulan baru bisa bersih. Ketika kejadian itu asapnya masih mengepul selama 2 minggu, dan debunya bahkan terlihat sanpai Flushing dan yang lebih parah lagi adalah bau amis darah dan bau bangkai mayat tercium juga sampai ke Flushing. Kata Lisa selama pembersihan puing-puing, ditemukan semacam bongkahan salib yang berbentuk cross yang sekarang disimpan di musium. Selanjutnya kami menelusuri Mid Town menuju ke Upper Town dan lanjut menuju ke district Harleem di Borough the Bronx. Wow, wilayah inilah yang sebenarnya aku pengin lihat karena selama ini di film-film selalu digambarkan sebagai daerah yang sangat-sangat berbahaya. Bahkan Steven beberapa hari lalu menginformasikan bahwa polisipun takut masuk ke Harleem dan the Bronx. Wilayah Harleem kira-kira terletak di 100th Street sampai 160th Street. Kami sempat melewati Central Park dan kali ini saya mengerti kenapa Central Park disebut sebagai taman kota terbesar di dunia. Ternyata letaknya membentang dari 59th - 110th Street dan membelah East Road dan West Road di tengah-tengah. Makanya dinamakan Central Park. Di Central Park inilah kisah tertinggalnya seorang anak kecil dalam film Home Alone diangkat. Juga film Serendipity. Central Park juga banyak digunakan untuk foto pre wedding dan konsert di tempat terbuka. Bahkan perayaan disetujuinya perkawinan sejenis di kota New York juga dirayakan di Central Park. Jadi di New York orang laki boleh kawin ama laki, demikian pula perempuan. Kebanyakan para pasangan sejenis ini tinggal di 14th - 25th Street. Yang menarik lagi adalah jalanan paling beken di kota New York, yaitu Fifth Avenue juga ternyata terbentang dari bawah sekitar 5th Street sampai ke 160th Street ujung sesudah Harleem. Demikian pula dengan Medisson Avenue. Selama ini bayanganku yang namanya 5th Avenue dan Medisson Avenue ya hanya diseputaran Empire State Building (33rd Street) sampai ke Apple store terbesar di dunia (62nd Street). Kalau lantai atas gedung-gedung di Fifth Avenue kebanyakan adalah office building, maka Madisson Avenue atasnya dalah permukiman. Saya merasakan mulau dari 62nd Street sampai 82rd Street adalah daerah pemukiman mewah. Bloomberg tinggal di 78th Street dan Onassis di 82th Street dan, juga masih banyak lagi sosialita yang tinggal di seputaran daerah tersebut. Kawasan Harleem sendiri terletak di 110 - 160th Street. Daerah Harleem yang kami lalui jauh sekali dari perasaan seram dan menakutkan. Ini seperti bagian-bagian lain dari kota New York aja. Bahkan di daerah inilah lokasi Columbia University. Universitas Columbia termasuk salah satu Universitas terbaik di US, terutama untuk disiplin ilmu Matematika dan Hukum. Presiden Obama sendiri adalah alumni S1 Columbia University sebelum lanjut ke Harvard University untuk menyelesaikan studi S2nya. Menyaksikan suasana kampus Columbia University ya seperti melihat suasana Kampus UI Depok. Jadi selama ini persepsi saya tentang Harleem salah. Harleem tidak semenakutkan yang saya perkirakan. Menurut Lisa, ini juga salah satu prestasi yang dibuat oleh Major Bloomberg. Di seputaran 110 - 130an banyak didominasi oleh orang-orang Hispanik dan Amerika Latin. Sekolah-sekolah Jewish juga banyak di daerah ini. Kehidupan Jewish emang agak tertutup. Tetapi sebenarnya mereka sangat jenius dan banyak sekali parent maupun nobil yang dipegang oleh orang-orang Jewish. Demikian pula di pasar keuangan. Di 135th - 140th Street kelihatan bahwa terjadi percampuran antara penduduk kulit putih dan penduduk kulit hitam. Mulai 140th Street dominasi kulit hitam meningkat. Di sini sudah tidak ada penduduk kulit kuning (Asia) yang mau tinggal. Ketika sudah mendekati ke 155 th Street sudah semakin banyak orang kulit hitam dalam populasinya. Daerah sini sudah termasuk daerah Harleem kelas bawah. Harga apartemen di 155th Street juga sudah sangat murah. 1 bed room apartment hanya berharga USD 110.000, jauh dibandingkan dengan USD 250.000 di 120th Street. Kami sempat berhenti di salah satu perempatan yang sepi di district Harleem untuk mengambil beberapa jepret gambar. Beberapa penyanyi papan atas dunia seperti Lady Gaga dan Byonce bahkan Mantan Presiden Clinton juga tinggal di Harleem. Setelah menyusuri sungai panjang, kami di sambut oleh jembatan kereta api layang yang sudah karatan. Jalan rayanya pun sangat begelombang, jauh sekali kualitasnya di bandingkan dengan Down Town NY. Inilah the Bronx, kawasan yang paling rawan di kota New York. Nama-nama jalan di the Bronx tidak pakai anga, tetapi pakai nama jalan seperti di Indonesia. Di daerah Bronx tidak terlihat sama sekali turis yang berkunjung. Menurut cerita Lisa, kebanyakan orang-orang kulit hitam itu berasal dari Jamaica, Niger dan negara-negara miskin Africa lainnya. Mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan yang layak selain mengandalkan kekerasan otot di jalanan karena faktor pendidikan yang sangat rendah. Padahal di Bronx terdapat universitas terkenal, yaitu Theodore Rhosevelt University serta Fordam University. Keduanya merupakan universitas yang bagus dan mahal serta terletak di jantung kota Bronx. Aku sendiri ndak berani kalau harus kuliah di sini. Seputaran daerah Bronx, terutama di jalan pinggir-pinggirannya emang suasananya lain. Menurut saya agak sedikit menyeramkan karena jalanan relatif sepi. Hanya di sudut-sudut jalan ada orang berkerumun, ndak tahu apa yang mereka bicarakan. Mobil NYPD selalu mangkal di hampir setiap sudut jalan. Dari polisi yang bertugas di jalanan, saya hanya melihat beberapa gelintir yang kulit putih. Sedangkan sisanya kulit hitam. Di jalan utamanya sih cukup rame. Dominasi orang kulit hitam sangat kerasa di sini. Ndak ada lagi yang sipit-sipit. Kami tidak sempat turun dan mengambil gambar suasana kota the Bronx, karena kesulitan mencari parkir dan faktor keamanan. Oya, tranportasi bus yang melayani rute Bronx memiliki kode BX, sedangkan yang menghubungkan antara Bronx dan Manhattan adalah BM. Saya ndak bisa membayangkan kalau harus tiap hari pulang pergi naik kendaraan umum ke daerah Bronx. Terutama ketika musim dingin di mana cuaca cepat gelap dan matahari sama sekali tidak bersinar. Hi...... Tapi kalau saya bandingkan dengan Nigeria, negara di Africa Barat yang paling kerap saya kunjungi, rasanya the Bronx tidaklah lebih menyeramkan. Kehidupan di Nigeria, terutama di kota Lagos dan kota-kota besar lainnya diluar Abuja, sangat keras. Bahkan di Onitsa, ndak ada orang yang berani keluar seleah jam 6 sore, termasuk penduduk lokal. Saya jadi ingat kisah ketika saya pertama kali membawa orang Nigeria berbelanja ke Mangga Dua di Jakarta. Berkali-kali saya mengingatkan bahwa kawasan Mangga Dua itu tidak sama dengan kawasan Plaza Indonesia atau Plaza Senayan. Dengan entengnya dia menjawab, "Harris, I am Nigerian." Dalam hati awalnya saya pikir dia sombong sekali. Tetapi setelah menginjakkan kaki ke Nigeria di tahun 2001, saya baru mengerti kenapa dia berkata seperti itu. Mangga Dua emang ngak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nigeria dalam soal kerawanan. Jalanan turun dari upper town di sekitar jalan 80th sampai 60th Street, di dominasi oleh banyak museum, di antaranya Musium Metropolitan, yang merupakan musium terbesar di kota New York, Salomon Goggleheim, musium khusus milik orang Yahudi, Natural Museum, tempat shooting film Jurassic Park, dan masih banyak lagi. Papan nama jalan di daerah-daerah bersejarah selalu dicat dengan warna Coklat Tua, yang menandakan bahwa di daerah tersebut bangunannya bersejarah dan tidak boleh sembarangan dilakukan perubahan tanpa ijin. Harga tanahnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan yang nama jalannya pakai cat hijau. Dalam perjalanan menuju ke tempat makan siang yang rencananya di bawah Empire State Building, Lisa bercerita mengenai kehidupannya di New York. Buat dia New York is the best karena di NY dia ndak perlu nyetir mobil karena sistem public transportationnya sudah tertata rapi, hanya udaranya yang terlalu dingin ketika winter. Biaya hidup di New York atau Amerika pada umumnya, didominasi oleh mortgage sebagai komponen pengeluaran terbesar. Seperti pada kasus Lisa, dia membeli 2 bed rooms apartemen di daerah Flushing seharga USD 350.000 dan besar cicilan per bulannya sekitar USD 1.600. Biaya maintenance sekitar USD 400. Makan menurut Lisa relatif murah, bahkan lebih murah dibandingkan Jakarta. Budget makan keluarganya sekitar USD 300 untuk berdua bersama suami, karena semua anak-anaknya sudah mentas. Biaya transportasi dengan tiket kereta terusan hanya USD 200 untuk 2 orang. Jadi total biaya hidup mereka berdua sekitar USD 2.500 per bulan. Itu sudah ngirit pool. Empire State Building saat ini adalah salah satu gedung yang paling tinggi di New York. Posisinya akan segera digantikan oleh Freedom Tower yang sengaja dibangun di dekat WTC untuk menggantikan Twin Tower WTC. Kita sebenarnya bisa naik ke lantai tertinggi untuk melihat kota New York dari ketinggian. Tapi saya ndak naik karena bosen lihat kota dari atas dari kurungan kaca. Di gedung inilah terjadi penembakan 3 hari yang lalu. Sampai saat ini puluhan polisi berseragam masih berkeliaran menjaga gedung tersebut. Beberapa orang polisi di nataranya bahkan membawa anjing pelacak untuk membaui sesuatu. Kami makan siang di Hearthland Resto, yang terkenal dengan berbagai variasi menuman birnya. Restorantnya cukup asyik dan interiornya menarik. Makanannya pun luamayan enak. Saya sengaja pesan local premium beer, tapi jujur aja ndak bisa membedakan dengan beer Bintang atau lainnya. Selesai makan dan membeli souvenir di toko souvenir di daerah situ (seputaran 33rd Street), kami diberi waktu 2 jam untuk menikmati belanja di Madisson Avenue seputaran 62rd Street - 54th Street di mana di sini butik-butik kelas atas dunia berjejer memajang barang dagangannya. Di sinilah konon pusat belanja paling elit di Amerika. Di sinilah lokasi shooting film Sex and the City. Jelas di sini didominasi oleh orang-orang kulit putih yang super tajir. Saya pikir waktu 2 jam pasti cukup buat berkeliling dan melakukan window shopping. Eh... Ternyata 1.5 jam dihabiskan untuk mengunjungi satu toko, Tory Burch, dan keluarnya sudah nenteng sepatu, tas dan teman-temannya. Padahal kemarin di Woodbury mereka juga sudah menghabiskan banyak waktu, dan tentu saja uang, di toko tersebut. Saya sebut "mereka" karena emang bukan cuman ibunya, anak-anak juga demen bener merk itu. Buat saya kok rasanya ndak pernah denger ya. Anak-anak dengan enteng menjawab, "Ach daddy kurang gaul sih". Selesai belanja di Madisson Avenue, kami diantar untuk di drop di Macys Mall, yang konon merupakan mall terbesar di dunia. Ini bukan mall kelas top branded seperti Pacific Place atau Plaza Indonesia di Jakarta, tapi lebih mirip dengan Mall Taman Anggrek. Kalau soal mall, saya yakin ndak ada yang menang dibandingkan dengan Jakarta. Menurut statistik, jumlah mall yang ada di Jakarta mencapai 65 buah dan masih ada 13 mall lagi yang sedang dibangun. Kualitasnya pun ndak kalah dengan di luar negeri. Semua merk ternama dunia sudah masuk ke Jakarta. Mall terbesar di Indo, bahkan mungkin di dunia, adalah Grand Indonesia Mall. Maka di mata saya ndak ada yang istimewa dengan Macys. Dari pada kecapaian berkeliaran, akhirnya aku nongkrong aja sendirian di Starbuck Cafe sambil nyeruput double expresso kegemaranku. Tepat jam 10 kami mencari makanan, dan inilah malam terakhir kami di New York.

Day 12

Day 12 - August 28, 2012 Hari ini adalah hari terakhir bagi rekan-rekan peserta tour yang ikut rombongan Steven naik SQ. Jadi jadwal tournya simple, yaitu pagi sampai siang belanja di Woodbury, lalu selesai makan siang rencananya mengantar mereka ke bandara dan malamnya acara bebas. Ngak ada lagi jadwal mengunjungi tempat-tempat yang menarik, atau menempuh perjalanan yang panjang naek bus. Sementara group saya masih 2 malam lagi di New York dan akan pulang pada tanggal 30 September 2012. Woodbury adalah semacam kompleks pertokoan yang terletak di Utara kota New York dan berjarak kira-kira 1.5 jam dengan bus dari New Jersey. Berbagai macam barang dagangan mulai dari kelas factory outlet kelas menengah sampai branded dijual di masing-masing gerai. Ada lebih dari 100 gerai berkumpul di satu kompleks seluas kira-kira 4 ha. Saya jadi ingat konsep jualan seperti ini, yaitu discounted branded store yang terletak di satu kompleks di luar kota, pernah saya temui di kota Paris. Aku ndak ingat namanya, tapi terletak sekitar hampir 1 jam perjalanan dengan kereta menuju ke arah Paris Disneyland. Kalau ndak salah sekitar 1 station sebelum Paris Disneyland. Discount yang ditawarkan memang cukup besar, bahkan beberapa gerai menawarkan 50% + 20%. Menurut saya barang yang dijual di sini adalah barang-barang off season yang modelnya memang sudah agak ketinggalan. Buat saya aktivitas belanja tidak menyenangkan, apalagi di tengah matahari yang kadang panas menyentak, kadang redup di balik awan. Tapi kewajiban ternak-teri terpaksa aku jalani, walaupun di beberapa gerai saya hanya menjadi penunggu duduk di luar gerai. Sengaja memang disediakan kursi, mungkin emang diperuntukkan untuk orang-orang seperti saya yang enggan keluar masuk gerai tapi terpaksa harus menemani belanja. Waktu 3.5 jam menurutku cukup lama, ternyata sangat singkat di mana istriku. Belum seluruh toko dijelajah dan ditelusuri. Aku sendiri hanya beli beberapa baju kerja karena ternyata di sini aku bisa dapat ukuran bajuku, 17.5 - 18.0 untuk leher dan 36 - 37 untuk lengan. Satu gerai yang paling favorit di Woodbury adalah gerai Samsonite. Seolah sudah menjadi pakem kalau bepergian keluar negeri koper pasti beranak pinak. Hampir semua peserta tour membeli koper di Samsonite, apalagi di gerai itu ada discount sebesar 50 persen untuk second item. Ini memicu orang untuk beli 2 biji atau 2 keluarga patungan beli masing-masing satu. Hakekatnya dengan penawaran seperti ini besarnya discount yang sebenarnya hanya 25%. Keluarga saya sendiri beli koper baru 1 unit, patungan dengan keluarga Subekti. Sebenarnya tujuan membeli koper baru adalah untuk mengurangi beban 3 koper yang sudah ada. Tetapi ternyata pulang dari Woodbury aja koper yang baru langsung penuh dengan belanjaan. Wah ini mah bakalan mesti beli koper lagi nih. Apalagi menurut Steven untuk keluar dari Amerika, setiap penumpang pesawat boleh 2 buah membawa check-in lugage dengan berat maksimal tiap koper 25 kg. Kalau lebih dari 25 kg maka akan dikenakan denda yang cukup mahal. Selesai dari Woodbury kami makan siang di Chinese resto di daerah Flushing, Borough Queen. Borough kalau di Jakarta adalah semacam Kodya seperti Jakarta Barat, Timur, Utara, Selatan dan Pusat. Sedangkan New York City itu semacam DKI Jakarta, tapi kalau di NYC pemimpinnya bukan setingkat Gubernur, tetapi hanya Walikota. Gubernur adalah istilah pemimpin untuk tingkat negara bagian. NYC dipimpin oleh seorang Walikota dan daerahnya terdiri dari 5 Borough, yaitu Manhattan, Brooklyn, Queen, Bronx, dan ...... Saat ini Walikota New York City adalah seorang yang sangat terkenal, yaitu Michael Bloomberg, seorang konglomerat dan politikus yang bahkan bisa terpilih menjadi Walikota untuk ketiga kalinya. Padahal konstitusi di Amerika mensyaratkan bahwa maksimal seorang Walikota, Gubernur dan Presiden hanya bisa menjabat selama 2 periode. Saya ndak tahu dan tidak mendapat penjelasan yang memadai, bagaimana Michael Bloomberg bisa terpilih sampai 3 periode. Yang jelas Bloomberg sangat berhasil melakukan reformasi kota New York dan menjalankan pemerintahan dengan benar dan bersih. Bahkan Bloomberg sama sekali tidak digaji oleh APBD karena dia emang sudah sangat-sangat kaya. Bloomberg lah yang berhasil mengurangi tingkat kejahatan kota New York secara sangat drastis dan melakukan pembangunan yang banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang dipimpinnya. Mungkin kalau di Indonesia setara dengan Jokowi di Solo yang sukses memimpin kotamadya Solo. Dengan pengalaman yang dimiliki Bloomberg dalam mengatasi persoalan kota metropolitan sebesar New York, menurut saya seandainya terpilih maka Jokowi harus belajar dari Bloomberg. Kompleksitas masalah di Jakarta tidak sesederhana Solo, sehingga walaupun Jokowi sukses di Solo, belum tentu strategi yang sama berhasil diterapkan di Jakarta. Kami ber 11, yaitu keluarga saya 4 orang, keluarga Subekti 4 orang dan keluarga David 3 orang, memisahkan diri dari bus yang akan mengantarkan group SQ ke bandara.Kami hendak langsung jalan menuju ke down town New York. Acara perpisahan dan salam-salaman berlangsung penuh haru. Sudah 12 hari lamanya kami bersama setiap hari, menikmati perjalanan tour yang berkesan. Suka dan duka kami nikmati bersama, termasuk sama-sama pantatnya tepos gara-gara kebanyakan duduk. Untung sudah di "normal"kan kembali di New York dengan shopping selama 2 hari. Kami bersebelas berjalan kami menyusuri Main Road di district Flushing. Ternyata tidak mudah mencari subway station di daerah ini. Kami harus berjalan kira-kira 30 menit baru menemukan subway station. Sepanjang perjalanan kami sama sekali tidak merasa sedang ada di New York atau Amerika, tetapi persis di China atau Hong Kong. Jarang terdengar percakapan menggunakan bahasa Inggris, karena semuanya didominasi oleh bahasa China atau Kongfu. Penjual tokonya Chinese, papan nama tokonya ada huruf dewanya, pembelinya Chinese dan orang yang lalu lalang juga hampir semuanya Chinese. Aku hanya lihat segelintir bule, hispanik dan orang kulit hitam. Sisanya adalah orang-orang kulit kuning dengan mata sipit. Aneh juga ya, di US ada distrik yang didominasi oleh Chinese seperti ini. Ketika melewati depan Flushing Hospital, saya sempat melongok ke dalam dan melihat hampir semua pasiennya adalah Chinese, tenaga non medisnya Chinese dan papan nama dokternya pun didominasi oleh nama-nama Chinese. Di depan rumah sakit banyak bangunan semacam ruko yang digunakan untuk praktek dokter spesialis, mulai dari gigi, obgyn, cancer dan gastro sampai dokter psikiatri. Fenomena ini menarik ya, kerbau emang kumpulnya ama kerbau dan kambing ama kambing. Manusia ternyata mengikuti fenomena alamiah seperti ini. Walaupun tinggal di negeri multi ras seperti Amerika, maka orang lebih senang berkumpul dengan kelompok rasnya. Kalau sudah dalam komunitas seperti ini saya yakin pemerintah Amerika akan sulit membedakan mana yang legal dan mana yang illegal. Tapi tampaknya memang pemerintah Amerika menutup sebelah mata terhadap illegal immigrant karena membutuhkan tenaga kerja nurah untuk jenis-jenis pekerjaan kasar. Apabila hanya mengandalkan legal working, bagaimana Amerika sebagai suatu negara bisa "bersaing" dengan negara-negara lain yang lebih murah. Malam ini kami menghabiskan waktu dengan keliling-keliling di daerah 5th Avenue. Kami makan malam di TGI Friday sebelum kembali ke hotel jam 12 malam.

Kamis, Agustus 30, 2012

Day 11

Day 11 - August 27, 2012 Hari ini saya bangun dengan kondisi badan yang kurang nyaman, agak meriang sedikit akibat kurang tidur berhari-hari. Sejak awal tour 11 hari lalu jam tidur saya tekor terus. Sehari paling hanya tidur maksimal 5 jam dan sisanya harus digeledek jalan terus atau nongkrong di atas bus mengikuti jadwal tour yang sedemikian padat. Inilah kelemahan utama dari ikut tour. Kita tidak bisa menikmati lebih di tempat yang kita mau, atau barang mengistirahatkan badan sejenak untuk memulihkan tenaga. Sudah kubayangkan betapa nyamannya pulang ke Jakarta dan pijat 3 jam penuh memanjakan badan barang sehari. Tapi aku baru pulang 3 hari mendatang dan sebelum sampai rumah harus terbang dulu lebih dari 20 jam dengan rute New York - Osaka - Taipei (over nite) and Jakarta. Mamma mia... Pagi ini rute perjalanan kita adalah City Tour di New York City yang merupakan ibukota dari negara bagian New York. Jumlah penduduk di New York City sekitar 9 juta orang. Antara New York dan New Jersey yang terpisah oleh Sungai Hudson dihubungkan oleh 2 kanal, yaitu Holland Tunnel dan Lindcoln Tunnel. Setiap hari menjelang sore kemacetan cukup parah di jalanan memasukki tunnel, sedangkan tunnelnya sendiri sih cukup lancar. Jaman kolonial dulu New York terkenal dengan julukan Big Apple. Julukan ini konon punya dua arti. Yang pertama adalah bentuk New York City kalau dilihat dari satelit emang mirip buah apple. Yang kedua apple itu melambangkan rasa manis (kemakmuran) bagi para penduduknya. Aku jadi ingat kisah Nasaruddin dan Angelina Sondak yang sering menggunakan istilah "Apple Washington" dan "Apple Malang". Kok ndak pakai istilah "Apple New York" ya. Apa gara-gara gambar di uang USD adalah gambar George Washington kali ya. Gimana kabar Nazar dan Angie di tanah air ya? Jangan-jangan malahan susah bebas. Tapi apa mungkin KPK doyan "Apple". Saya yakin pimpinan KPK masih lebih demen jeruk dibandingkan Apple. Makanya mereka "makan jeruk" dalam kasus korlantas Polri. Ternyata istilah "Apple" itu punya sejarah yang berakar sangat panjang, yaitu sejak tahun 1609 ketika Henry Hudson, orang Belanda, pertama kali membentuk koloni di New York sini. Maka dari itu kota ini awalnya diberi nama New Amsterdam. Namanya diubah menjadi New York pada jaman koloni Inggris, yaitu sesudah King Charles II memberikan hadiah tanah New York kepada saudaranya, Duke of York. Nama Hudson saat ini diabadikan untuk nama sungai yang membelah New York dan New Jersey. Kunjungan pertama di kota New York adalah ke Wall Street, tempat di mana pasar saham terbesar di dunia, New York Stock Exchange. Keberadaan NYSE inilah yang menjadikan NY sebagai "ibukota" pasar keuangan dunia. Sementara pasar uang terbesar di dunia masih tetap berada di London, akibat kontribusi Eurodollar yang berkembang pesat sejak Amerika dahulu membekukan seluruh asset Syah Iran di masa perang dingin berkecamuk, ketika Amerika konflik dengan Iran. Kunjungan ke Wall Street diawali dengan melihat patung Banteng Liar di ujung Wall Street. Banteng itu melambangkan kekuatan dan kedigdayaan Amerika, yang walaupun saat ini posisinya tidak sedominan sebelum terjadinya sub prime morgage crisis tahun 2008. Kami sempat foto-fotoan di depan patung banteng, baik dari arah depan, maupun dari pantat banteng. Patungnya emang keker dan gayanya pun petentang-petenteng yang mungkin juga melambangkan Amerika yang menjadi pusat dari kapitalisme dunia. Sengaja patung banteng dipilih karena melambangkan pasar saham yang sedang naik (bullish). Sebaliknya kalau dipasang patung beruang bisa bahaya karena melambangkan pasar saham yang sedang turun (bearish). Banteng kalau menyerang lawan pasti menanduk ke atas. Sedangkan beruang akan menabok dengan tangannya dari atas ke bawah. Gedung NYSE sendiri tidak terlalu megah, dibandingkan dengan gedung-gedung di sekitarnya. Nama "Wall" Street diambil karena jaman dahulu Belanda banyak membangun tembok-tembok untuk melindungi warga Belanda dari serbuan Inggris maupun pemberontakan warga Amerika. Awalnya di seputaran daerah tersebut banyak pedagang saling mempertukarkan barang dagangannya maupun budaknya sampai kemudian diformalisasi menjadi NYSE tahun 1792 melalui Buttonwood Agreement. Di Wall Street juga menjadi tempat bersejarah bagi Amerika karena di sinilah pelantikan Presiden pertama Amerika George Washington pada tahun 1789. Di sini pulalah lokasi penandatanganan "Bill of Right", sekaligus tempat pemakaman Alexander Hamilton, yaitu Menteri Keuangan pertama Amerika yang menjadi arsitek bagi sistem keuangan Amerika pada masa itu. Alexander Hamilton dimakamkan di gereja Trinity di kawasan Wall Street. Ada satu kejadian menarik di depan NYSE. Ketika motret-motret saya lihat Susy, bini saya, sedang serius berbicara dengan seorang perempuan berpenampilan rapi layaknya seorang profesional. Perempuan itu bernama Chaterine McDermott, VP BNY (Bank of New York) Mellon, sebuah bank ternama yang berkantor di Wall Street. Ternyata Chaterine sangat mengagumi rambut Susy yang warna-warni dan jabrik-jabrik. Chaterine menyimak dengan seksama ketika Susy menjelaskan bagaimana proses pembuatan warna warni rambutnya. Kelihatannya peremuan itu emang modis dan suka juga mewarnai rambutnya, hanya dia ndak berani seekstrim Susy yang sengaja menambahkan beberapa helai dengan warna yang mencolok. Tapi helai yang warnanya norak tersebut bisa disembunyikan di dalam rambut bila diperlukan, bahkan bisa juga di semprot hitam pakai color hairspray temporer. Dari Wall Street kami berjalan menuju ke "Ground Zero" tempat menara kembar WTC dihancurkan dengan cara dihantam pesawat udara yang penuh bahan bakar karena baru terbang dari New York dan rencananya menuju Washington. Saat ini lokasi Ground Zero ditutup pakai seng-seng karena sedang dilakukan perencanaan pembangunan monumen. Saya sempat berbincang dengan seorang anggota NYPD keturunan Chinese, Mr. Lau, yang menceritakan bahwa ketika kejadian itu berlangsung pada tanggal 11 September 2001 dia masih kuliah di perguruan tinggi. Ada lebih dari 6000 orang yang mati akibat peristiwa tersebut dan itulah untuk pertama kalinya sejak tahun 1939 wilayah Amerika diserang oleh musuh. Makanya peristiwa itu membawa dampak traumatis yang sangat mendalam. Sejak saat itu lalu lintas manusia melalui bandara diperiksa super ketat dan mengakibatkan antrian check in yang sangat panjang dan memerlukan waktu lama. Proses security checking yang super ketat itu baru agak dilonggarkan setelah tokoh dibalik serangan 911, Osama bin Laden, tertangkap dan dihukum mati tahun 2009. Kami lalu melewati New York Central Park, yang konon merupakan suatu taman yang terbesar di dunia. Dari atas bus kami menyaksikan banyak atraksi dan kegiatan warga New York maupun turis yang menikmati taman tersebut. Bahkan ada becak dan kereta kuda. Becaknya juga ditarik oleh orang yang naik sepeda di depan, jadi ndak sama dengan yang biasa kita lihat di Jakarta. Kereta kudanya cukup menarik dan bisa dimuatin 4 orang. Tetapi kudanya saya perhatikan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kuda yang digunakan untuk menarik kereta di Canada. Sayang kita ndak berhenti di Central Park tersebut, padahal lama waktu perjalanan dari Ground Zero ke Central Park lebih dari satu jam akibat kepadatan lalu lintas. Saya dan beberapa rekan peserta tour sempat complain, tetapi tidak ditanggapi oleh Steven. Alasannya adalah karena kita harus segera lunch agar punya waktu lebih buat belanja. Dan toh lihat taman bisa dari atas bus, katanya. Aku radha dongkol, karena kalau seperti itu, ya ngapain jauh-jauh ke Amerika, toh liat foto-foto tentang Amerika juga bisa dilihat dengan gampang di google. Gratis lagi. Kami mengakhiri City Tour dengan melihat Gedung PBB. Kebetulan saat itu tidak ada kegiatan apa-apa di gedung PBB sehingga bendera masing-masing negara anggota PBB tidak dipajang. Hanya tiang-tiang aja mencungul ke atas dan tidak menarik untuk dipotret. Dari situ kami makan siang Thai Food dan dilanjutkan dengan acara bebas alias belanja di kawasan Soho selama 2.5 jam. Soho adalah kawasan pertokoan besar-kecil berjajar sepanjang sekitar 3 x 3 bloks. Beberapa toko tersebut menjual barang-barang branded kelas medium, sedangkan sisanya banyak menjual souvenir dan local brands. Buat saya waktu 2.5 jam untuk shopping sangat lama dan membosankan. Jadi setelah ikut muter sekilas, aku menunggu di sebuah cafe shop tua di daerah tersebut sambil nyeruput double expresso pure kegemaranku untuk menahan kantuk. Selesai dari Soho dilanjutkan dengan belanja lagi babak kedua di kawasan Fifth Avenue yang merupakan pusat pembelanjaan kelas atas di New York. Jalanan 5th Avenue itu mirip dengan Champs Ellise di Paris. Bedanya kalau di Paris sepanjang kanan kiri jalan banyak cafe untuk tempat nongkrong. Di sini dipenuhi dengan toko dan toko. Yang menarik adalah sistem tata kota New York. Nama jalan dan bangunannya dibuat dengan sistem blok kotak-kotak seperti baju Jokowi - Ahok. Jadi kalau mencari alamat di seputaran daerah tersebut bisa lihat nama Jalan (Avenue) dan perpotongan nomer jalannya. Saya sempat menyusuri 5th Avenue mulai dari 56th Street sampai ke 40th Street dan mbaliknya lewat Madisson Avenue. Sepanjang jalanan itu banyak sekali orang berkeliaran keluar masuk toko tidak ada habis-habisnya. Di sinilah tempat para selebritas dan sosialitas dunia biasa membelanjakan uangnya. Ada satu pertanyaan polos dan lugu dari anakku yang kecil, Eugenia, "Daddy, I see so many people in NY. But I didn't see their houses. Where do they live?" Wow satu pertanyaan yang mengejutkan dari anak sekecil dia. Saya jelaskan bahwa sebagian besar orang tinggal di apartemen dan sebagian lagi tinggal di luar kota New York. Saya paham bahwa Eugenia agak bingung, kok dia ndak lihat deretan rumah seperti di Jakarta. Satu pertanyaan yang menurutku cukup kritis. Selesai makan malam kami berdelapan memisahkan diri dari rombongan dan turun di Time Square. Di sini pemandangannya lebih "gila" lagi di mana orang tambah berjibun di jalanan. Mirip seperti Time Square di Hong Kong yang juga tidak pernah sepi. Kota New York memang terkenal dengan julukan "City thet never sleep". Di samping aktivitas di jalanan yang tidak pernah berhenti, gedung-gedung pencakar langitpun lampunya tidak pernah dimatikan ketika malam hari. Itu menambah keindahan kota New York. Di persimpangan Time Square inilah awalnya banyak musisi jalanan yang beraksi dan membentuk kelompok-kelompok, yang lalu menjadi pusat pertunjukkan yang sekarang dikenal dengan nama Broadway. Kreativitas orang Amerika memang luar biasa. Konon banyak juga musisi-musisi hebat yang lahir dari Broadway. Tepat jam 11 malam kami mengakhiri hari yang panjang dan melelahkan ini dengan pulang ke hotel. Saya dan rombongan keluarga saya agak kebingungan mencari jalur subway dan connectionnya ke PATH line menuju ke hotel di mana kami menginap. Jalur kereta api bawah tanah kota New York cukup rumit dan informasi keberadaan subway station juga terbatas, di samping jalurnya sendiri yang rumit, saling berpotongan dan banyak sekali jumlahnya. Ini mirip dengan subway di kota Paris Perancis. Mendingannya di sini semua orang bisa berbahasa Inggris. Tepat pukul 12.30 kami sampai di hotel dengan kondisi letih.

Selasa, Agustus 28, 2012

Day 10

Day 10 - August 26, 2012 Pagi ini variasi makan pagi yang disajikan di Sheratton Hotel lebih variatif dibandingkan hotel-hotel lainnya. Di samping yang rutin seperti telor scrambled, bacon, sausage, kentang, ada juga smoked salmon, daging cacah yang dibentuk bundar seperti koin raksasa, serta sesuatu mirip nasi tapi gedhe dan panjang. Rasanya gurih. Aku ndak tahu itu apa, tapi lumayan buat menghilangkan kebosanan dan keluar dari rutinitas. Makan paginya sebenarnya dijadwalkan jam 7 tepat, sesuai dengan rutin 6 - 7 - 8, tetapi ternyata resto baru buka jam 7.15. Jadi kita semua berkerumun di depan resto seperti pengungsi yang menunggu jatah makanan. Steven, tour leader utama, sudah standby di lobby dan mengabarkan bahwa resto baru akan buka 15 menit lagi. Sementara seperti biasanya, tour leader group kami, belum kelihatan batang hidungnya. Mungkin masih mandi, dandan atau malah masih molor. Selesai makan pagi kami naik ke bus. Steven mengumumkan bahwa kemarin secara tidak sengaja kita mendapatkan 1 kopor besar tambahan yang terbawa dari Montreal. Ndak tahu kopor siapa dan sekarang ditinggal di concierge hotel Sheratton Boston. Mungkin punya tamu dari group tour lain yang secara tidak sengaja digotong oleh porter hotel di Montreal. Kebetulan hanya di Montreal kami mendapatkan fasilitas porter. Biasanya semua koper digotong sendiri. 3 koper besar keluargaku sudah terasa semakin berat. Aku yakin isi masing-masing koper sudah lebih dari 35 kg, terutama koper istriku. Padahal katanya kalau keluar dari US naik pesawat, berat maksimal koper harus tidak boleh lebih dari 25 kg, dan tiap orang berhak bawa 2 koper. Jadi total 50 kg. Berarti ini bakalan beli koper di NY nih. Apalagi istri sudah wanti-wanti mau belanja di NY. Lah emang dari kemarin ndak belanja? Ha.... Ada satu rekan peserta tour yang cukup unik. Dia lelaki tengah baya berusia 45 tahunan dan berangkat ikut tour sendirian. Namanya pak Baskoro Hartono. Orangnya lucu dan agak cuek. Kebetulan kalau makan sering digabung ke meja keluarga besar kami yang berjumlah 8 orang, karena biasanya 1 meja berisi 9 atau 10 orang. Dialah yang pakai kamera Nikon yang rusak kena air di Niagara Falls yang saya ceritakan beberapa hari lalu. Dia pula yang barang belanjaannya hilang karena ketinggalan ketika foto-fotoan pakai bb di Quebec. Dia tidak sadar ketika dipotret barang belanjaannya ditaruh di lantai, lalu nyulut rokok buat bergaya dan itu memang identitasnya, yaitu selalu dengan sebatang rokok kalau bergaya di depan kamera. Lah selesai dipotret dia lupa untuk menenteng bawaannya dan tentu saja ndak ada yang mengingatkan karena dia khan sendirian. Yang menarik lainnya adalah bawaannya praktis sekali. Dari Jakarta dia hanya bawa 3 kaos + beberapa pakaian dalam. Sisanya di tiap kota dia beli kaos buat ganti. Wow ini satu pelajaran penting yang perlu ditiru di perjalanan berikutnya. Toh kita juga emang minat beli kaos-kaos buat kenangan, jadi kenapa mesti bawa pakaian dari Jakarta. Memasuki bis North Star tepat jam 8 pagi setelah semua koper ditata di bagasi. Ini adalah long distance drive terakhir kalinya dengan bis dalam tour ini, karena mulai hari ini kami akan ngendon di New York sampai kami pulang ke Jakarta. Rombongan Steven akan bermalam 2 hari di NY sementara rombongan Elizabeth di mana group kami berada masih akan menginap 4 hari. Ada satu yang di luar kebiasaan ketika bus baru mulai berjalan. Ini pertama kalinya saya melihat Elizabeth memegang microphone dan menyapa para tamu, "Selamat pagi Bapak-Ibu. Sudah makan semua ya. Hari ini kita akan ke New York. Apa sudah kenyang semua?". Aku lihat ndak ada respon apa-apa dari tamu. Akhirnya ya hanya kalimat itulah yang keluar dari mulutnya, sebelum microphone diambil alih oleh Steven dan menjelaskan tentang acara yang akan kami tempuh hari ini. Suatu kemajuan yang baik, walaupun belum "cukup" untuk menjadi tour leader yang mumpuni Hampir 5 jam kami menelusuri high way 3 lajur menuju NY sepanjang 385 km. 2 kali pemberhentian singkat sangat membantu mengusik kebosanan di dalam bus. Ada satu hal menarik yang saya amati sepanjang perjalanan ini. Menurut kesan saya, nyetir di jalan tol (high way) antar kota di US dan/atau Canada itu sangat monoton. Secara rerata kecepatan masing-masing kendaraan hampir sama. Sangat berbeda dengan di Indonesia, di mana truk-truk besar melenggak-lenggok di lajur 2 dengan kecepatan kurang dari 60 per jam dan mobil-mobil pribadi bisa ngenjot bahkan ada yang 140 km per jam. Ini kalau ndak macet lho. Di Indonesia kalau macet baru kecepatan reratanya sama, yaitu sama-sama 0 - 10 km per jam. He.... Seperti informasi rekan saya yang tinggal di Montreal, Budi Kurniawan, kalau macet di high way, misalnya akibat kecelakaan emang bisa mengular sampai berkilo-kilo meter. Tapi ndak ada yang nyelonong ambil bahu jalan, atau motong pindah lajur, atau klakson. Bahkan motorpun ikutan antri di belakang mobil, tidak meliuk-liuk diantara sela-sela kendaraan. Saya mengamini pendapatnya dan melihat sendiri waktu macet ketika memasuki kota Quebec dari Montreal. Kapan ya di Indonesia bisa tertib seperti itu. Satu lagi yang saya rasakan di US adalah banyaknya jumlah mobil yang berkeliaran di high way. Pantes aja US adalah pasar mobil yang sangat besar di dunia, walaupun tentu saja sekarang negara-negara Asia Tenggara dan Timur juga berkembang cukup pesat, tetapi US masih paling dominan. Memasuki kota New York tepat jam 1 siang dan kami langsung menuju ke daerah Manhattan. Tour leader menunjukkan bahwa kalau kita belok kiri itu adalah daerah The Bronx yang merupakan daerah kumuh orang-orang kulit hitam. Sebenarnya saya pingin melewati daerah tersebut untuk melihat sejauh mana ke"seram"an daerah tersebut yang banyak digambarkan dalam film-film holliwood. Saya ingat film yang menceritakan kisah seorang perempuan kulit hitam beranak banyak yang bergulat dengan kemiskinan dan tinggal di daerah Bronx. Dia yakin bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan adalah dengan menyekolahkan anaknya dan ternyata keyakinannya terbukti. Begitu dia berhasil menyekolahkan anaknya yang kedua dari uang hasil kerjanya sebagai pencuci pakaian, sekaligus nyambi sebagai pelacur, si anak kedua ikut membantu adik-adiknya sekolah dan keluar dari kemiskinan. Lalu kemana anak pertamanya? Si anak pertama bekerja sebagai pengedar narkoba yang menggunakan hasil kerjanya untuk membantu sang Ibu dan dia akhirnya meninggal ditembak polisi dalam satu penggrebegan. Aku lupa judul asli film tersebut, tetapi temanya adalah "The Way is Education". Saya pernah membawakan tema ini dalam salah satu acara session sharing dengan rekan-rekan Rotaract (Rotary Junior) di Hotel Mulia di Jakarta. Coba kalau saya sudah pernah melihat sendiri "kekerasan" hidup di The Bronx tentu cerita saya akan lebih menarik. Di samping The Bronx ada juga daerah kumuh kulit hitam yang menonjol di New York, yaitu Harleem. Perbedaan antara Harleem dan Bronx konon adalah banyaknya anggota dan aktivis gereja di daerah Harleem. Banyak warga Harleem yang berkarier sebagai penyanyi kulit hitam yang mengawali kariernya sebagai penyanyi koor maupun solois di gereja-gereja seputaran Harleem. Salah satu yang paling terkenal adalah Whitney Houston. Kami makan siang di Indonesian Restaurant di daerah Manhattan. Menurutku makanannya tidak enak sama sekali, tidak pedas, tidak gurih dan jauh dari "Indonesian food" yang saya kenal. Padahal claim posternya di depan resto cukup menarik, yaitu "The best and only Indonesian food in New York. Dine here and you will feel like in Bali." Ya emang ndak bisa disalahkan, wong the "only" ya pasti the best. Menu makanannya gado-gado, empal, telur balado, sate ayam, capcai goreng, bakso kuah dan bihun goreng. Saya lihat price listnya cukup mahal, walaupun tempatnya kurang representatif dan rasanya ndak memper dengan makanan Indonesia di Indonesia. Selesai makan siang kami langsung menuju ke Battery Park, yaitu pelabuhan tempat kapal yang akan berlayar ke Liberty Island. Pelabuhan itu dinamakan Battery Park karena jaman dahulu bangunan itu memang digunakan untuk tempat altileri yang moncongnya di arahkan ke pelabuhan untuk menahan masuknya para imigran ke New York. Antrian panjang mengular sampai 100 m akibat pemeriksaan keamanan sebelum kita boarding ke kapal. Orang Amerika emang ahli "menjual". Wong cuman mau melihat patung begitu aja antriannya puanjang banget. Liberty Island sendiri adalah pulau kecil tempat patung Liberty bediri dengan megah. Patung itu adalah pemberian dari pemerintah Perancis di tahun 1876, tepat 100 tahun Hari Kemerdekaan Amerika. Patungnya sendiri sebenarnya dibuat di Perancis oleh seniman Perancis yang sangat terkenal di jaman tersebut, yaitu Frederick Bartholdi, dan dipotong-potong menjadi 204 bagian sebelum dikirimkan ke Amerika. Baru kemudian dirakit kembali di Amerika. Wajah di patung Liberty dipercaya sebenarnya adalah wajah dari ibunda Bartholdi, karena Bartholdi sangat sayang kepada ibunya. Tangan kiri patung memegang tablet bertuliskan 4 Juli 1776 dalam bahasa Latin, yang menggambarkan hari kemerdekaan Amerika. Tangan kanan menggenggam obor yang melambangkan harapan agar Amerika tetap bersinar menerangi dunia. Mahkota di kepala patung Liberty punya 7 segituga yang melambangkan 7 benua. Sedangkan kepala pembuatan patung tersebut adalah Gustaff Eiffel, yang juga merancang Menara Eiffel di Paris. Maka duplikat patung Liberty juga terdapat di belakang Menara Eiffel Paris dengan ukuran yang lebih kecil. Patung Liberty ditutup untuk umum sejak terjadinya peristiwa 911 pada tanggal 11 September 2001 dan baru dibuka kembali tahun 2009. Alasan penutupan tersebut adalah karena dianggap tidak memiliki fasilitas evakuasi yang memadai jika terjadi kondisi darurat. Sebelum memotret patung Liberty saya coba mengamati beberapa post cards yang dijual di toko-toko souvenir. Biasanya sudut pengambilan gambar di post card adalah yang terbaik. Sayang saya ndak mungkin meniru angle tersebut karena sebagian besar angle terbaik adalah memotret dari ketinggian alias harus naik chopper. Sebenarnya ada chopper rental yang mengangkut penumpang mengelilingi patung Liberty selama 15 menit. Biayanya USD 150 per orang. Sayang kita ndak menemukan di mana tempat membeli tiket chopper tersebut dan emang waktunya sangat terbatas. Padahal kalau punya kesempatan naek chopper pasti asyik benar. Kelihatannya chopper adalah alat transportasi yang umum di kota New York. Hampir setiap saat kita bisa melihat chopper berkeliaran di atas kota New York. Apakah trend ini akan merambah Jakarta dalam 5 - 10 tahun mendatang? Menurutku sangat mungkin. Trickle down effect menurutku akan terjadi. Dan itu adalah fenomena normal. Tinggal siapa yang bisa meraih peluang bisnis ini segera. Sepulang dari Liberty Island kapal yang kami naikki mampir ke Ellis Island. Pulau ini dahulu digunakan sebagai kantor imigrasi untuk menampung dan memerika para imigran yang datang ke New York pada akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20. Sekarang Ellis Island adalah musium yang menceritakan kisah-kisah bagaimana imigran kulit hitam diperlakukan sebelum bisa masuk ke Amerika. Banyaknya imigran yang masuk ke Amerika menjadikan bangsa Amerika adalah bangsa multi ras. Banyak orang-orang kulit hitam, kulit putih, kulit kuning dan juga imigran dari kawasan Amerika Tengah dan Latin. Di New York sendiri 76 persen berbahasa Inggris dan 14 persen berbahasa Spanyol. Sisanya terbagi berbicara bahasa Perancis, Chinese dan lainnya. Kami makan malam di American Steak n Ribs Resto. Masing-masing peserta tour mendapatkan setengah ekor ayam panggang segedhe gajah dan beberapa potong Original Baby Back Ribs. Beberapa rekan muslim mengganti pesanannya menjadi Beef Ribs. Rasa ribsnya ndak lebih enak dari Deltoro dan jauh di bawah Tony Romans Jakarta. Bahkan ayam panggangnya menurutku dan hampir semua peserta tour yang makan terasa tasteless. Jauh kalah dibandingkan dengan ayam kalasan Jagorawi Golf Club yang hampir tiap minggu kami nikmati. Padahal di bus, tour leader sudah mempromosikan bahwa makan malam kali ini akan "sangat istimewa". Bahkan konon katanya kita ndak boleh telat barang 5 menit pun, karena reservasi kita bisa hilang. Ternyata kita terlambat 30 menit karena jalanan macet dan toh juga resto masih kosong ketika kita masuk jam 6.30. Malam ini kami menginap di Hyatt Hotel New Jersey. Sebenarnya lokasinya hanya sepandangan mata dari downtown New York karena hanya terbelah oleh sungai Hudson. Tetapi akibat macet waktu tempuh bis menuju hotel bisa lebih dari 1 jam. Hyatt NJ Hotel cukup nyaman. Hotel bintang 4 ini cukup strategis lokasinya. Walaupun masuk daerah New Jersey, tetapi letaknya di pinggir sungai. Dari pelataran hotel terpampang kota New York yang lampunya ndak pernah padam. Di hotel ini rombongan kami (group ATS China Airline) akan menginap selama 4 malam terakhir sebelum kami mengakhiri tour ini. Sebagian rombongan tidak ambil extend, sehingga harus pulang besok pagi. Sebagian lagi rombongan ATS SQ harus meninggalkan NY lusa. Sedangkan kami akan meninggalkan NY tanggal 30 Agustus 2012. Rekan-rekan yang harus besok pulang tampak kecewa, kenapa mereka menolak waktu ditawarin extend 3 hari free akibat kondisi over booking CI. Rekan-rekan yang harus pulang 2 hari lagi juga complain kenapa mereka ndak dapat extend gratis seperti kami dan bahkan mereka juga tidak dapat up grade ketika berangkat ke US, padahal mereka membayar USD 4800, lebih mahal USD 400 dari yang kami bayarkan. Sementara "the lucky group" juga not happy dengan tour leader yang kurang berpengalaman. Ha.... Ternyata semua itu sawang-sinawang. Rumput tetangga selalu tampak lebih indah dibandingkan dengan rumput di pekarangan sendiri. Setelah mandi dan bongkar-bongkar koper, anak-anak memaksa kami untuk nyobain jalan-jalan ke kota New York naek PATH line yang kebetulan stasiunnya persis di depan Hyatt. Saya sebenarnya sudah loyo dan letoy karena kurang tidur berhari-hari. Ini mumpung pulang "sorean", yaitu jam 9 malam, ya pinginnya leyeh-leyeh di atas kasur yang empuk kentul-kentul. Toh masih ada 4 hari di sini. Apalagi saya dengar New York di waktu malam tidak seaman yang dibayangkan. Tetapi namanya anak-anak, apalagi kalau Gaby udah meluk aku sambil menatap penuh harap dan Eugenia megangin perut buncitku, maka itu tanda aku ndak punya pilihan lain. Kami dan beberapa rekan tour lain akhirnya berangkat naik PATH line ke WTC jam 10, tetapi batal ke broadway karena sudah terlalu malam. Anak-anak juga akhirnya nyerah karena mereka juga sebenarnya sudah sangat kelelahan. Sementara beberapa rekan tour lain melanjutkan ke Broadway sampai jam 3 subuh. Satu rombongan lain, di bawah pimpinan pak Ade, asal Menado, punya acara khusus, yaitu manggung di casino. Aku sebenarnya diajak juga nyicipin casino di New York. Tapi emang ndak minat dan ndak bakat soal judi. Jadi aku memilih bareng anak-anak saja. Bukankah liburan ini merupakan "Children Day", demikian kata anak-anak. Children Day adalah istilah dalam keluarga kami di mana merekalah yang menentukan kemana kita pergi, mau makan di mana dan mau beli apa. Tentu saja selama semuanya masih dalam batas yang wajar. Kami sengaja menerapkan ini untuk mengkompensasi keterbatasan waktu kami berdua. Jadi kualitas tetap terjaga di tengah keterbatasan kuantitas bersama anak-anak. Tepat pukul 1 saya terpekur dalam mimpi.

Minggu, Agustus 26, 2012

Day 9

Day 9 - August 25, 2012 Hari ini kami meninggalkan Canada yang penuh kenangan. Empat hari lamanya kami menjelajah Canada mulai dari Niagara Falls, Toronto, Ottawa, Montreal, dan Quebec. Ribuan km dan puluhan jam kami lalui di atas bis 6 roda yang membawa kami dan dikemudikan oleh Mr. Young, imigran asal China. Hampir tiap hari kami duduk lebih dari 6 jam di atas jok bis. Boyok tua udah mulai protes dan pegel-pegel. Ambeien udah mulai nongol. Ha.... Orang tua emang udah banyak keluhannya ya. Dulu waktu muda fisik masih prima keluhan itu ndak bakalan muncul. Dari semua obyek wisata yang kami kunjungi di Canada, masing-masing punya kesan tersendiri. Niagara Falls sangat fantastis dan layak untuk dikunjungi ualng. Kalau saya ke sini lagi, pasti saya akan nginep lebih lama di Niagara City agar bisa lebih banyak explore local culture di kota kecil tersebut. Toronto mengesankan karena multi etnis dan terkenal dengan University of Torontonya. Dan tentu saja karena ada rekan senior yang tinggal di sana. Ottawa kotanya indah. Banyak bangunan tua yang belum sempat kami kunjungi kali ini. Tampaknya Ottawa juga cocok untuk study. Ngak tahu kenapa, saya kok merasa "aman" di Ottawa. Apalagi bahasa Inggris sebagai bahasa resmi masih dominan dipakai di Ottawa. Ndak ada kesan terlalu mendalam di Montreal. Mungkin gara-gara ndak banyak waktu yang dihabiskan untuk menjelajah Montreal walaupun kami nginep 2 hari di sono. Quebec sangat romantic. Kalau saya punya waktu lebih, pasti saya akan tinggal lebih lama di Quebec. Cuman masalah bahasa saja yang menjadi kendala. Sengaja saya memakai kaos pemberian Om Robert, senior FTJE yang sekarang menjadi warga negara Canada, sebagai ucapan terima kasih atas kehangatan penyambutannya selama kami ada di Toronto. Tepat pukul 9 pagi kami melewati jembatan panjang Jacques Cartier di atas sungai Saint Lawrence, yang menandai ucapan selamat tinggal Montreal. Kami menuju ke perbatasan Canada - US dan akan melanjutkan perjalanan menuju Boston. Dari simbah pintarku, Google, jarak antara Montreal - Boston adalah 493 km. Berarti menurut estimasi dan pengalamanku selama ini, akan dibutuhkan kira-kira 6 jam untuk mengadu pantat dengan jok kursi di bus. Paruh pertama perjalanan adalah menuju ke border dan dilanjutkan dari border ke Boston. Di dalam bus tour leader utama Steven mengumumkan bahwa 2 hari lalu terjadi lagi penembakan sporadis di New York yang menimbulkan 2 korban jiwa. Saya sendiri sudah sejak berangkat liburan ini belum melihat berita di TV. Dan di milis kesayangan FTJENET juga tumben beritanya belum muncul. Soal berulangnya kejadian penembakan ini membuat saya ingat soal theory imitasi (role model) yang pernah saya pelajari waktu saya mengambil studi S2 Kepolisian tahun 1999. Saat itu saya sedang membahas soal bunuh diri (suicide) sebagai salah satu bentuk deviant dan salah satu determinan dari peningkatan tingkat bunuh diri (suicide) adalah bila ada pelaku bunuh diri yang dilakukan "orang terkenal" atau yang di blow up cukup besar oleh media. Nah mungkin teori ini berlaku di kasus penembakan sporadis. Gara-gara blow up media yang berlebihan tentang penembakan sporadis ketika pemutaran perdana film Batman, maka muncul peristiwa sejenis dan berantai yang mengikutinya. He... Jadi ingat masa-masa kuliah di Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian bersama rekan-rekan Polri dulu. Satu masa yang indah, penuh kebersamaan, yang saya rasakan manfaatnya sekarang. Saya menjadi anggota kerhormatan Batalyon Adhi Pradana Akpol 1988 B. Di samping cerita soal penembakan sporadis di New York, Steven juga cerita soal pengalaman bus yang dibobol di Boston. Maka dia mengingatkan agar semua barang diturunkan dan jangan ditinggal di bus saat check in hotel di Boston. Dia juga cerita soal pernah ada satu bus turis yang hilang pas check in di Itali. Ya bus berikut seluruh isinya hilang digondol maling. Aneh tapi nyata. Itali dan Spanyol emang terkenal soal kriminalitas seperti itu. Partner bisnis saya, Pak Hendra Purnomo, juga pernah dikadalin di Barcelona dan duit USD 1.000 melayang setelah pura-pura di cek ama penjahat yang mengaku sebagai Espana Policia. Untung saya cukup waspada dan ndak ikutan dikadalin. Dasar orang Jawa, sudah hilang duit masih bilang untung. Tepat sebelum masuk ke border kami berhenti di duty free shop. Banyak peserta tour yang membelanjakan CADnya. Saya sendiri hanya beli "ice wine" yang memang khas Canada dan satu buah kaos abu-abu bertuliskan Canada, kembaran ama Bekti. Melewati US border kami turun satu-persatu dan petugasnya mengecek pasport masing-masing. Satu rutinitas yang dulu hampir tiap bulan dua kali saya alami ketika masih bekerja di Overseas Business Development Dexa Medica. Banyak pengalaman "mengerikan" kalau masuk atau keluar ke negara-negara yang "weird" seperti Sudan, Yaman, Russia dan negara-negara lainnya. Yang paling "berkesan" adalah ketika aku dipalak terang-terangan sebesar USD 200 di Moscow. Waktu itu aku diminta menunjukkan duit yang aku bawa. Setelah mereka hitung dengan seksama, mereka ambil USD 200 sambil berkata dengan kalemnya, "For me". Saat itu aku protes dan malahan dimasukkan ke sebuah ruangan dan diinterogasi serta dituduh "You wanna spy on my country!!". Ha.... Lelucon apa lagi ini. Ya begitulah kenyataannya. Terpaksa USD 200 hilang lenyap ditelan kantong si petugas custom Russia. Makan siang kali ini ndak seperti biasanya. Emang di jadwal tour hari ini tidak termasuk makan siang. Ini adalah satu dari sedikit makan yang bayar sendiri. Ini satu keunggulan ATS di mana hampir seluruh makan sepanjang perjalanan sudah termasuk dalam tour. Sekaligus juga satu kelemahan, karena pilihan makan kita jadi sangat terbatas. Bila di suatu daerah ada makanan yang khas terpaksa ndak bisa nyobain karena waktu makan siang sangat terbatas. Saya pernah ikut tour Cosmos dan ambil rute Switzerland. Ratenya sendiri menurutku tergolong ndak terlalu mahal, tetapi emang banyak makan yang bolong. Di satu sisi sangat mengasyikkan karena bisa banyak sekali nyobain makanan yang khas dan terkenal. Tapi di sisi lain perlu budget tambahan buat makanan. Di Swiss sekali makan di resto yang cukup enak termasuk minum wine berdua rata-rata USD 150 - 200. Makan siang kali ini ndak ada pilihan, yaitu Mc Donald. Menurut tour leader sepanjang perjalanan dari border ke Boston ndak ada makanan enak, jadi satu-satunya pilihan adalah Mc D. Ya udah apa mau di kata, terpaksa mulut dijejelin double-double sandwich ama kentang goreng. Aku jadi tahu kalau makan Mc D di US ndak ada ayam goreng renyah, apalagi nasi, seperti di Jakarta. Adanya berbagai variasi sandwich, burger, sup, chicken naget, fish dan salat. Ada satu lagi yang berbeda di Mc D Amrik dibandingkan Jakarta, yaitu soal minuman. Saya pesen Coca Cola dan diberinya gelas stereoform sak gedhe gajah. Ternyata minumannya ambil sendiri dan boleh bolak balik refill sepuasnya. Makanya orang Amrik gedhe-gedhe, wong minumnya aja Coca Cola segedhe itu. Masih bolak-balik nambah lagi. Perjalanan dari Canada - US border di Vermont menuju ke Boston memakan waktu 3 jam. Kami sempat berhenti di rest area hanya untuk kencing dan rokokan dan langsung jalan lagi. Perjalanan 3 jam terasa sangat panjang karena badan udah pegel semua, terutama boyoknya. Tepat pukul 4 kami memasuki kota Boston dan langsung menuju ke Harvard. Boston adalah ibukota negara bagian Massachusetts dan merupakan kota terbesar di negara bagian ini, sekaligus adalah salah satu kota tertua di Amrik. Jumlah penduduk kotanya sendiri hanya 600 ribuan orang. Boston terkenal sebagai kota pendidikan bahkan sekolah negeri pertama di Amerika didirikan di kota Boston, yaitu Boston Latin School pada tahun 1635. Jelas saya belum lahir waktu itu. He.... Terdapat lebih dari 100 universitas dan colleges di wilayah seputaran Boston. Kalau di Indonesia mungkin mirip dengan Yogjakarta yang sangat terkenal sebagai kota pendidikan dengan UGM sebagai icon utamanya. Bedanya di Jogja biaya hidup relatif lebih murah dibandingkan kota besar lainnya di Indonesia, sedangkan biaya hidup di Boston adalah salah satu yang termahal di US. Konon Boston menempati rangking ketiga paling mahal di US. Icon kota Boston adalah keberadaan Harvard University dan MIT University serta Faneuil Hall, sebuah bangunan warna merah yang sekarang menjadi pusat pemerintahan di kota Boston. Majalah Forbes Traveler bahkan menempatkan Faneuil Hall di rangking 4 dari 25 tempat wisata yang paling dikunjungi di Amrik. Sayang saya ndak sempet foto-fotoan di bangunan tersebut karena keterbatasan waktu. Di samping itu Boston juga tercatat sebagai kota perjuangan kemerdekaan Amerika di mana di kota ini ada 2 peristiwa besar yang pernah terjadi, yaitu Boston Massacre dan Boston Tea Party. Boston Massacre adalah peristiwa pembantaian massal yang mengakibatkan 5 orang penduduk Boston meninggal dan puluhan orang luka-luka oleh tentara penjajah Inggris pada tahun 1770. Kejadian ini memicu kerusuhan masal dan pemberontakan masyarakat terhadap keberadaan pasukan Inggris di Boston. Yang kedua adalah Boston Tea Party yang merupakan protes politik yang dilakukan oleh warga Boston akibat diberlakukannya pajak atas komoditas teh yang diimport ke Boston pada tahun 1773. Protes itu dilakukan dengan membuang 3 kapal teh ke pelabuhan Boston dan ini juga menandai perjuangan revolusi Amerika sebelum berhasil merdeka tahun 1776. Tempat wisata pertama yang kami kunjungi di Boston adalah Harvard University yang terletak di kawasan Cambridge. Wow kali ini saya benar-benar secara harafiah masuk ke Harvard, suatu universitas tertua di Amerika. Harvard University didirikan oleh John Harvard pada tahun 1636 dan merupakan universitas yang memiliki financial endowment terbesar di dunia, yaitu sebesar Rp. 300 triliun rupiah. Wow..... Ndak heran karena ternyata 62 orang yang masuk kategori bilioner adalah alumni Harvard, di samping 8 Presiden Amerika juga alumni Harvard dan 75 pemenang Nobel dunia adalah alumni atau faculty dari universitas ini. Pada atas salah satu pintu gerbang Harvard terpajang patung yang bentuknya mirip Kepala Babi Hutan. Patung ini konon menurut penafsiran punya 2 arti, yang pertama adalah keliaran (keberanian) alumni dalam melakukan terobosan-terobosan yang jenius sehingga membawa kesuksesan. Arti kedua adalah orang-orang bodoh (babi itu identik dengan bodoh) ndak bakalan bisa masuk Harvard dan hanya akan sampai pintu gerbangnya aja. Untung saya tadi bisa "masuk", bahkan berfoto bersama patung John Harvard sambil mengelus-elus sepatunya yang sebelah kiri. Konon dipercaya bahwa kalau kepingin dirinya sendiri atau anaknya masuk Harvard yang terkenal maha sulit, maka harus mengelus sepatu John Harvard yang sebelah kiri. Ha.... Persis seperti orang memegang stupa di Candi Borobudur aja. Itulah makanya kenapa sepatu John Harvard yang sebelah kiri lebih kinclong dibandingkan dengan yang kanan, karena sudah puluhan ribu orang mengelus sepatu kiri tersebut. Toh ternyata tidak semua bisa masuk. Mungkin karena kepala babi hutan tadi kali ye. Menyaksikan suasana belajar di Harvard membuat saya pengin sekolah lagi. Bayangkan proses diskusi mengenai krisis hutang Eropa dilakukan sambil duduk santai 8 orang mahasiswa + 1 dosen di kursi di atas hamparan rumput hijau di bawah rindang daun. Sekelompok lainnya berdiskusi di pelataran gedung sambil duduk santai. Dosennya orang item masih muda dan berfungsi sebagai fasilitator. Saya sempat mengikuti diskusi tersebut sambil berkhayal untuk sekolah lagi ambil Post Doctoral di Harvard. Kalau mimpi ini tidak tercapai, ya akan saya realisasikan mimpi kedua, yaitu mengantarkan Gaby dan/atau Eugenia bersekolah di sini. Waktu saya katakan ke Gaby, dia bilang "Ndak mau ach Daddy, wong sekolahnya sulit. Ntar aku jadi student yang paling bego". Ha.... Satu kerendahan hati sekaligus kurang percaya diri. Sedangkan Eugenia langsung ngomong, "Yes Daddy, I will study here. I like the ambiance". Ho... Ho.... Ho.... Satu ekpresi kepercayaan diri yang juga harus diwaspadai mengarah ke kesombongan. Dua anakku emang punya karakter yang sangat berbeda. Yang besar, Gabriella, hatinya sangat lembut dan tutur katanya sangat humble. Berkali-kali selama di Primary School dia mendapatkan Certificate of the Best in Conduct di sekolahnya. Di balik kecantikan parasnya dia memiliki minat di bidang-bidang seni. Tapi dia ceroboh dan sulit sekali disuruh belajar. Penginnya maen aja. Akibatnya prestasi akademiknya hanya rata-rata. Si kecil, Eugenia, lebih percaya diri dan mudah bergaul dengan orang yang baru dikenalnya sekalipun, baik anak kecil, sebaya, maupun yang lebih tua. Semangat ingin tahunya sangat tinggi. Semalam dia baca-baca soal sejarah Harvard di ipad dan tanya-tanya hal yang dia ndak ngerti. Ndak perlu disuruh belajar, sudah otomatis tiap hari buka buku untuk mengerjakan PR dan mengulang pelajaran hari itu dan esoknya. Prestasi akademiknya termasuk one of the best in her level. Tapi wataknya keras seperti kepiting batu. Kalau Gabgab mungkin lebih cocok melanjutkan studi undergraduate school di bidang art atau business, aku rasa Eugenia akan lebih cocok di bidang yang lebih rumit seperti Medical Science. Ya itu sih harapanku sebagai orang tua. Aku dan ibunya hanya bisa mengarahkan aja. Semoga keputusan yang nantinya kami ambil berhasil meminimalisir resiko masa depannya. Yang jelas kami akan berusaha sekuat tenaga membekali mereka dengan pendidikan yang memadai untuk hidupnya. Saya percaya pada prinsip, "The Way is Education". Sepulang dari Harvard kami menyusuri Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang letaknya kira-kira 1 km dari kampus Harvard Cambridge. Bentuk gedung utamanya oval berwarna putih semacam kubah besar. Di kampus inilah banyak melahirkan para ilmuwan kelas wahid dunia. Sayang kami tidak punya kesempatan menjelalajah lebih lanjut ke MIT, jadi tidak banyak informasi yang bisa digali. Saya cuman membayangkan MIT itu mungkin mirip ITB di Bandung atau ITS di Surabaya. Dari situ kami menyusuri West Down Town kota Boston. Banyak gedung-gedung tua sepanjang kanan-kiri jalan yang merupakan gedung yang dibangun di jaman awal kemerdekaan Amerika atau bahkan di jaman kolonial Inggris. Suasananya tampak asri dan terawat. Pasti asyik kalau bisa jalan-jalan sepanjang jalan itu sambil menikmati makanan di salah satu resto atau cafe di pinggir jalan itu. Kami lalu berbelok ke kiri memasuki Central Down Town yang didominasi oleh gedung-gedung modern nan megah. Di situ berdiri berjajar chain hotel internasional seperti Mandarin Oriental, Sheratton, Four Season, juga gedung gereja tua Trinity Church, Boston Public Library serta butik-butik ternama seperti Hermes, La Perla, LV dan konco-konco sejenisnya. Yang juga menarik bagi saya adalah Boston Public Library yang konon adalah salah satu perpustakaan publik yang terbesar di US. Kok di Jakarta aku ndak pernah dengar soal perpustakaan publik ya. Padahal ini khan sumber informasi dan hiburan yang bisa dinikmati warga serta mencerdaskan kehidupan warganya. Setelah melewati Boston Central Park, yaitu sebuah lapangan rumput luas dan rindang, kami memasuki kawasan China Town. Di central park tersebut banyak warga dan turis berjalan kaki, bermain bola, bahkan ada yang mainan layangan besar, sekedar duduk-duduk atau pacaran. Jakarta hampir kehilangan semua taman-taman publik yang asri. Padahal taman-taman ini adalah paru-paru kota, sumber supplier oksigen bagi warga kota. Apa kalau Jokowi - Ahok menang bakalan bisa digalakkan lagi pembangunan taman-taman kota ya. Jadi orang ndak hanya berkumpul di mall. Dan yang perlu dijaga juga soal keamanannya. Saya beberapa kali nongkrong di Taman Lembang kalau sedang nunggu meeting dengan Shinta, anaknya Dr. Boenjamin Setiawan pemilik PT. Kalbe Farma. Kebetulan rumahnya tepat di depan Taman Lembang. Saya amati ndak ada satupun warga kelas atas atau menengah yang berkeliaran dan bercengkrama di taman. Isinya hanya warga kelas menengah ke bawah. Coba kalau dibuat lebih indah dan aman, pasti menjadi daya tarik bagi semua. Berikutnya kami mampir ke Quincy Market, semacam pasar tempat menjual souvenir dan pusat keramaian warga. Mungkin mirip seperti Benthan Market di Ho Chi Minh City di Vietnam atau ya seperti Passer Baroe di Jakarta. Sejam di pasar tersebut aku sama sekali ndak minat belanja dan lebih tertarik menyaksikan beberapa pertunjukkan yang digelar di pelataran kosong. Ada patung manusia yang sebenarnya adalah orang beneran yang berpose diam membatu, ada yang main sulap dan yang paking menarik adalah atraksi akrobatik yang dimainkan oleh sekitar 10 orang kulit hitam yang dikoreografi secara apik dan komunikatif. Di tengah keramaian tersebut, tiba-tiba muncul suara raungan mesin yang sangat memekakkan telinga dan asap putih mengepul dari kejauhan. Aku kaget dan sempat terdiam sejenak sambil mengamati lebih cermat apa yang terjadi. Macam-macam yang muncul di benakku, tapi yang paling dominan adalah raungan puluhan pesawat tempur yang terbang rendah dan menyemburkan asap putih. Ada juga sempat terlintas soal penembakan sporadis yang katanya terjadi di New York beberapa hari lalu. Di tengah kegalauan itu, orang-orang berlarian menuju ke jalanan. Karena belum tahu apa yang terjadi, kugenggam tangan kedua anakku dan ikutan berlari bareng kerumunan massa. Mbuh istriku ketinggalan di mana, tapi ternyata dia nyusul tepat di belakangku. Ketika suara semakin memekakkan telinga dan dibarengi dengan teriakan-teriakan yang ndak jelas artinya, aku baru mengerti, ternyata suara itu berasal dari ratusan motor balap yang konvoi di jalanan dan sengaja meraung-raungkan suara mesin motornya di tengah kemacetan sehingga menimbulkan kepulan asap putih yang membubung ke atas. Edia tenan. Di Amerika ternyata Geng Motor ndak kalah ama di Jakarta dan Bandung. Bahkan motornya jauh lebih keren. Cuman kelihatannya mereka show off aja dan tidak melakukan tindakan anarkis apa-apa. Malam ini kami makan malam dengan menu istimewa, yaitu King Lobster di salah satu restaurant Chinese di kawasan Pecinan. Masing-masing tamu mendapatkan seekor lobster besar yang rasanya menggliurkan. Tanganku sampai berdarah tertusuk duri lobster gara-gara ngupasin 4 ekor lobster buat anak-anak, bini dan diriku sendiri. Sampai ketika semua sudah pada selesai makan, aku baru selesai mengupas lobster jatahku sendiri. Gaby yang alergi udang memaksakan diri nyicipin lobster yang menurutnya enak. Akhirnya sisa lobster Gaby diembat abis ama Eugenia, yang kekenyangan sambil tepuk-tepuk perutnya. Malam ini kami tidur nyenyak di Sheratton, bukan Sheratton do Central Down Town yang saya lihat sore tadi, tapi di North Boston, kira-kira 30 menit dari kota Boston. Hotelnya cukup mewah, standard bintang 4 dengan kamar yang bersih dan luas, walaupun terletak jauh dari kota.>

Sabtu, Agustus 25, 2012

Day 8

Day 8 - August 24, 2012 Hari ini adalah pertama kalinya terjadi pergeseran rutin sedikit lebih siang, yaitu 6.30 - 7.30 - 8.30. Tepat jam 7 pagi aku sudah siap untuk makan pagi bersama beberapa peserta tour lainnya. Sementara bini masih beresin cucian dan jemuran pakaian dalam di kamar karena ini adalah pertama kalinya kita akan nginep 2 malam di satu kota. Sehingga ini adalah kesempatan mencuci pakaian dalam. Kalau jaman mahasiswa dulu sih pakaian dalam masih bisa dipakai 2 hari dengan cara side A dan side B seperti kaset recorder. He..... Ternyata kami semua ditolak makan pagi di resto hotel karena tidak punya breakfast coupon. Biasanya emang saat check in kami dibagikan coupon tersebut tapi semalam hanya diberi kunci saja. Beberapa tamu naik pitam untuk kesekian kalinya soal breakfast karena tour leadenya ndak nongol sama sekali, bahkan sudah ditelepon berkali-kali. Setelah menunggu hampir satu jam kami baru diijinkan makan pagi. Bahkan sesampainya di bus pun tidak ada satu katapun keluar dari mulutnya, apalagi permintaan maaf. Di dalam bus, Elizabet, si tour leader, hanya sibuk ber bb ria. Sampai-sampai iparku yang terkenal dengan kesabarannya pengin damprat dia dan omongn "Eh, loe itu di sini kudu kerja, bukan cuman up date status dan maenan bb aja." Edian tenan. Kok bisa ya perusahaan sebesar ATS tidak menseleksi tour leadernya sebelum diberikan assignment. Satu awal hari yang kurang menyenangkan. Akhirnya kami semua terlambat dan tour baru dimulai jam 9 pagi. Acara awal tour adalah city tour di kota Montreal. Montreal adalah kota terbesar kedua di Canada setelah Toronto. Kata Montreal diambil dari kata Mount Royal, yaitu bukit kembar tiga yang terletak di tengah kota, dan dalam bahasa Perancis dibaca Mont Real. Jumlah penduduk kota Montreal 1.6 juta jiwa atau 3.9 juta jiwa kalau dihitung keseluruhan termasuk kawasan sekitarnya (metropolitan). Bahasa resminya adalah bahasa Perancis dan Montreal adalah kota berbahasa Perancis terbesar kedua setelah Paris. 70 % penduduknya berbahasa Perancis dan hanya 18 % yang berbahasa Inggris. Jaman dahulu kala Montreal adalah pusat perdagangan bulu binatang terbesar di kawasan Amerika Utara dan Eropa, semenjak Jacques Cartier datang ke sini dari Perancis tahun 1535 dan merintis perdagangan. Saat ini di samping terkenal sebagai kota industri dan perdagangan, Montreal juga pernah menjadi kota penyelenggara olimpiade musim panas tahun 1976 dan rutin menjadi tempat penyelenggaraan balapan mobil kelas wahid dunia, Canadian Gran Prix of Formula One di circuit Gilles Villeneuve. Ada satu orang lagi yang berjasa bagi kota Montreal, yaitu Paul Chomedey de Maisonneuve yang merupakan pendiri kota Montreal. Sebenarnya Paul datang bukan untuk berdagang atau menguasai wilayah itu, tetapi untuk menyebarkan agama katholik. Tetapi akhirnya Paul bahkan diangkat menjadi walikota pertama Montreal. Dialah yang memerintahkan untuk membangun gereja yang mirip dengan gereja di Perancis Notre Dame. Bangunan pertama yang kami kunjungi adalah Notre-Dame de Montreal Basilica yang didirikan tahun 1635 dan merupakan gereja terbesar dan tertua di Canada. Bentuknya mirip dengan Notre Dame yang terletak di kota Paris karena memang dibangun pada jaman koloni Perancis. Di katedral inilah diva penyanyi Celline Dion melangsungkan pernikahannya tahun 1994, walau konon Celline Dion tidak lagi tinggal di Canada, tetapi menetap di Las Vegas US. Di samping Notre Dame tersebut ada juga bangunan tua yang merupakan tempat tinggal biarawan katholik. Bangunan ini juga dibangun pada abad ke 17. Bangunan yang juga menarik dan kami kunjungi adalah Montreal City Hall yang dibangun pada abad 16. Konon di balcon lantai 2 bangunan tersebut presiden Perancis Charles de Guille pernah berpidato di hadapan ribuan orang dan mengatakan bahwa Quebec harus menjadi negara merdeka dan bukan menjadi bagian dari negara manapun. Quebec memang adalah koloni Perancis yang tertua. Tepat pukul 10 pagi kami meninggalkan kota Montreal menuju ke Quebec. Perjalanan 240 km kami lalui menggunakan high way yang relatif tidak mulus dibandingkan dengan kualitas jalan di negara-negara Eropa Barat. Kami sempat mampir di rest area, biasa buat kencing, cari kopi dan membakar dupa sembayangan alias merokok. Sekilas saya amati di Canada dan US banyak mobil-mobil gandeng karavan yang berkeliaran. Mungkin enak ya jalan pakai karavan, bisa lebih santai, nyaman dan bebas mau berhenti di mana saja. Kalau di Indonesia rasanya belum pernah saya melihat mobil karavan. Mungkin gara-gara jalanan di Indo yang tidak mulus, macet dan faktor kriminalitas. Satu lagi adalah soal pelat nomor mobil. Saya amati di Canada semua mobil pelat nomornya hanya nempel di bagian belakang. Kenapa ya? Aku lom tahu jawabannya. Ntar kalau ada akses internet akan aku tanyakan ama simbahku yang paling pintar, Mbah Google. Kami tiba di Ibukota Propinsi Quebec, yaitu Quebec City tepat pada pukul 14.00. Perut udah mulai keroncongan akibat sarapan yang sangat terbatas dan buru-buru. Begitu sampai di restaurant buffet Thomas Tam yang kelihatannya cukup menarik dan sebagian pengunjung bahkan sudah mulai antri dan mengambil makanan, ternyata keluar pengumuman bahwa restaurantnya salah. Ha..... Kucluk tenan. Seharusnya khan tour leader sudah menghubungi restonya via telepon dan kalau emang belum pernah mampir ke resto tersebut sebelumnya, ya mbok memastikan dulu sebelum anggota tour pada turun. Baru setelah semuanya pasti, peserta tour dipersilahkan untuk turun. Akibat kejadian ini sontak beberapa rekan peserta tour langsung bete abis. Dia bahkan memberikan nomer telepon David Harsono sebagai presdir ATS agar kami semua bisa menyampaikan compalin langsung ke beliau. Emang udah kebangeten nih. Setelah puter-puter hampir 1 jam dan nyasar dari satu kompleks ke kompleks lainnya, baru restaurannya ketemu. Kembali lagi tanpa sepatah katapun penjelasan apalagi permintaan maaf dari tour leader "pendompleng", Elizabeth. Untung Steven sebagai tour leader utama mampu mencairkan suasana dengan permintaan maafnya yang disertai humor sesudah makan. Akhirnya tepat jam 3.00 kami baru benar-benar menyantap makanan. Buang waktu sia-sia lebih dari 1 jam. Selesai makan siang kami langsung menuju ke pusat kota Quebec. Quebec City terletak di Saint Laurence River Valley dan adalah kota nomer dua terbesar di Propinsi Quebec setelah Montreal. Jumlah penduduknya hanya sekitar 600 ribu. Kota ini menyandang predikat kota paling aman di seluruh Canada dan bahkan dilaporkan bahwa tidak pernah terjadi kasus pembunuhan dengan alasan apapun di Quebec sejak tahun 2006. Kata Quebec berasal dari kata "Kebec" yang berarti "tempat di mana sungai menyempit". Kota Quebec ditemukan oleh Samuel de Champlain tahun 1608 dan merupakan satu kota yang paling tua di Amerika Utara. Yang menarik adalah kalau Montreal dikatakan sebagai kota bilingual, maka di Quebec hampir 100 persen penduduknya berbahasa Perancis. Hanya sekitar 1.5% saja yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Agama katholik juga mendominasi hampir 90% penduduk. Sisanya adalah protestan, yahudi dan muslim. Mungkin saat yang paling tepat mengunjungi Quebec adalah saat musim dingin karena ada atraksi yang sangat terkenal yaitu Winter Carnival, sekaligus bisa merasakan bagaimana rasanya hidup di negeri kulkas. Bangunan yang merupakan icon kota Quebec adalah Chateau Frontenac Hotel yang didirikan pada abad 16 ketika Sir Frontenac menjadi wali kota Quebec. Bangunan itu didisain oleh Bruce Price yang awalnya sengaja dibangun untuk perusahaan Canadian Pacific Railway, sebagai tempat menginap tamu-tamu kelas atas yang menjadi langganan kereta api. Hotel mewah itu terletak di samping Terrasse Dufferin, hanya beberapa langkah dari ujung tebing yang sangat curam, sehingga menyajikan pemandangan yang indah sekali ke Saint Lawrence River. Letaknya yang menjulang di ketinggian menjadi satu obyek fotografi yang sangat menarik. Di samping Chateau Frontenac adalah gereja katedral Notre Dame de Quebec, yang merupakan gereja katholik tertua di Quebec. Gerejanya sendiri tidak terlalu besar dan menurut saya ornamen-ornamennya masih kalah antik dibandingkan dengan Notre Dame yang ada di Montreal, apalagi di kota-kota Eropa. Yang menarik lainnya adalah suatu jalanan tua nan sempit yang sangat historic, yaitu Rue Petit Champlain, yaitu jalan yang dulu dilalui oleh Samuel de Champlain waktu mendarat di Quebec. Di sisi kiri dan kanan jalanan menurun curam tersebut berjajar toko-toko menjual souvenir. Beberapa cafe menjual aneka makanan juga menjadi daya tarik tersendiri dari kota tua Quebec. Setelah jalan menurun, untuk kembali ke pelataran hotel Frontenac kita tidak perlu lagi jalan naik. Cukup bayar CAD 2 kita bisa naik lift miring macam kereta Hong Kong Peak Tram dengan versi yang jauh lebih pendek dan sederhana. Sekali naik bisa berisi 20 orang, alias total dapat CAD 40. Sehari lift itu bisa bolak-balik ratusan kali. Wow enak bener tuh punya usaha seperti itu. Semua transaksi cash keras dan duit datang dengan sendirinya. Yang paling perlu dijaga adalah keselamatannya. Kalau sampai terjadi kecelakaan bisa bangkrut tuh perusahaan. Beberapa atraksi kecakapan digelar di pelataran luas di bawah patung Samuel de Champlain. Kami sempat melihat seorang artis sirkus yang memainkan 4 buah atraksi lempar tongkat sambil ngoceh, yang mengundang banyak tawa pengunjung yang mengerumuninya, dalam bahasa Perancis. Aku dewe rak mudeng blas bahasa Perancis. Cuman setelah aku dekati dan jepret dengan mode continous dari kamera Canon 1 Dx dan lensa 24 - 70 mm f2.8L yang saya pasangin lens hood, ada kata-kata dia soal "mitraliur". Mungkin saya tebak maksudnya adalah bunyi senapan mesin yang beruntun. Menjelang sore ketika langit masih biru berawan, pengunjung tambah banyak dan pemandangan semakin fantastis. Ada satu jepretan patung Samuel de Champlain yang sangat saya suka. Menyusuri jalan-jalan sempit di seputaran kota tua Quebec mengingatkanku pada sebuah kota kecil di Switzerland yang pernah kami kunjungi ketika honeymoon 2 tahun lalu. Aku lupa nama kotanya, tetapi menyajikan suatu keindahan yang mirip. Banyak artis lukis wajah maupun karikatur yang menawarkan jasanya, termasuk artis tattoo temporer baik di tangan maupun di wajah. Terus menyusuri pinggiran tebing, kami tiba di Plains of Abraham, tempat pertempuran di mana pasukan Inggris mengambil alih Quebec dari Perancis. Di dekat situ terdapat Citadelle of Quebec yaitu fasilitas militer Canada yang sudah dibangun sejak abad 17. Kami tidak sempat masuk ke area tersebut. Konon tiap hari di musim panas ada upacara pergantian penjaga yang diatur koreografinya sedemikian indah dan menjadi pusat atraksi tontotan bagi turis. Sayang keterbatasan waktu membatasi ekplorasi kami di kota tua nan indah ini. Aku yakin suasana malam hari akan jauh lebih romantis baik untuk jalan-jalan maupun nongkrong di salah satu cafe tersebut. Om Robert sudah mengingatkan kami untuk mencicipi makanan di salah satu cafe di Old Port. Sayang perut masih terasa penuh. Hanya segelas beer dan expreso duppio yang mampir ke tenggorokanku sebagai pelipur lara. Alangkah indahnya bila kami bisa bermalam di Quebec, dibandingkan harus menyusuri high way kembali ke Montreal selama lebih dari 3 jam. Perjalanan balik ke kota Montreal cukup membosankan. 3 jam lamanya kami harus terpekur di tempat duduk. Gaby n Jeanice yang duduk sebangku tertidur kelelahan dengan kepala saling berdempet. Sementara Susy dan adiknya juga sudah mangap mulutnya dengan mata tertutup bahkan sejak bus baru mulai jalan. Phillips dan bapaknya saya lihat coba tidur, tetapi hanya sebentar-sebentar aja. Mungkin gara-gara leher Bekti yang tengeng akibat salah bantal semalam. Sementara Eugenia terus nyanyi-nyanyi bersama beberapa peserta tour yang duduk di bagian belakang bus. Tumben kali ini dengkuran Om yang biasa ngorok keras tidak begitu terdengar. Sebagian penumpang lainnya juga terpekur, termasuk Ade, seorang pengusaha sukses Menado yang katanya semalam berhasil banyak mengeruk kemenangan di Casino Montreal dam baru pulang ke hotel jam 6 pagi. Tadi pas makan siang sempat cerita bahwa dia maen di VIP room yang minimal harus membawa USD 10.000 sebagai deposit. Saya jadi ingat salah seorang rekan saya Hwee yang juga pelanggan setia VIP Casino di Singapore. Dia bilang bahwa maen judi di VIP ada peluang menang sementara kalau di lantai bawah ndak bakalan bisa menang. Alasan yang dia kemukakan adalah kalau di tempat reguler lantai bawah, antar pemain saling makan-memakan sementara di VIP biasanya sesama pemain bekerja sama mengeroyok bandar, jadi punya peluang untuk menang. Filosofi ini menurut Hwee juga berlaku dalam kehidupan. Orang-orang kecil, apalagi yang berjiwa kerdil akan saling berjibaku bahkan saling membunuh untuk memperebutkan rejeki yang cuman seupil. Sedangkan orang-orang besar atau yang berjiwa besar, kalau menemukan rejeki besar selalu akan ingat rekan-rekan yang ada di jejaringnya untuk saling menikmati rejeki tersebut. Wow, dalam banget tuh filosofinya. Aku mengamini filosofi tersebut walaupun aku tidak mengerti soal judi dan tidak memiliki pengalaman berjudi. Saya sendiri tidak bisa tidur sepanjang perjalanan Quebec - Montreal. Jadi saya gunakan waktunya untuk menulis blog ini. Tujuannya adalah untuk sekedar sebagai memory atas perjalanan yang indah ini, sekaligus untuk sharing, siapa tahu ada rekan yang berminat untuk berlibur di rute yang sama atau serupa. Setelah kehabisan bahan celoteh, aku gunakan waktu buat baca HBR yang terbaru, September 2012 yang memang sudah didown load ke Ipad oleh rekan sekaligus adik idiologisku, So Yohanes Jimmy. Judulnya artikel utamanya sangat menarik "The (surprisingly) Simple Rules of Strategy". Bisa buat bahan kulakan dalam proses pengajaran, dari pada bengong atau maenan game yang ndak jelas. Sampai di Montreal jam 9.30 kami langsung makan malam. Another Chinese Food sebagai menu makan malam, tapi kali ini menunya lebih lezat. Ada sup, barbeque combo, lobsters, sapi, cumi, dan sayuran. Untuk soal makan ATS memang cukup bagus. Hampir semua menu makanannya, baik Chinese, Thai, Korean maupun Japanese foodnya bisa diterima oleh lidah rata-rata para peserta tour. Yang belum kami nikmati adalah the real American steak yang katanya akan disajikan di New York. Pilihan hotelnya juga relatif ok. Kebanyakan adalah hotel-hotel tua di pinggiran, tapi bintang 4 dan kamarnya bersih. Yang kami complain kali ini cuman tour leadernya aja. Benar-benar bolot.

Day 7

Day 7 - August 23, 2012 Semalam aku tidur nyenyak sekali, walau tanpa melatonin. Mungkin badan udah terlalu lelah dihajar perjalanan tour selama 6 hari. Setiap hari angkut koper dan pindah dari 1 hotel ke hotel yang lain. Program 6 - 7 - 8 menjadi kegiatan rutin tiap hari. Buat saya yang golongan bangsawan (bangsa-ne wong tangi awan) ini sangat memberatkan. Di Jakarta saja saya tiap hari bangun rata-rata jam 7.00 - 7.30 pagi. Tentu saja kecuali kalau maen golf, jam berapapun bangun tanpa sungkan. Itulah anehnya golf. Aku jadi ingat kata-kata Prof Komarrudin Hidajat waktu kami main golf bersama di Jagorawi. "Ada 3 hal yang bisa membuat orang Indonesia menjadi tepat waktu secara sukarela, yaitu berbuka puasa, ambil gajian dan maen golf. Lainnya seperti jam masuk sekolah, jam masuk kantor bahkan jam sholatpun tidak dijalani dengan sukarela." Bener juga ya. Kalau mau golf bangun pagi rasanya langsung seger. Kalau ini, masya allah, kalau bisa molor dikit lagi barang 5 - 10 menit lagi rasanya adalah satu kemewahan. Tapi khan kalau aku terlambat akan mengganggu rombongan lain. Sampai saat ini selama 7 hari, kami semua relatif on time dengan rutin 6 - 7 - 8. Kerutinan yang lain adalah menu sarapan pagi. Tiap hari tanpa kecuali, selama di US dan Canada menu sarapannya adalah scrambled egg or kadang ada omelete, bacon, sausage, roti dan minum orange juice dan kopi. Tidak kurang tidak lebih. Pagi ini ketika turun ke resto hotel Toronto Don Valley, menunya juga persis sama lagi. Benar-benar membosankan. Aku sama sekali ndak selera lagi makan. Pagi ini aku cuman ambil beberapa potong buah, juice jeruk dan menyeruput 2 cangkir kopi hangat. Ndak lebih dan ndak minat makan lainnya. Soal rutinitas makan pagi, waktu aku kecil di Slawi, Tegal, tiap hari aku juga makannya rutin, yaitu nasi sambel goreng Ke Hiap, nasi bogana Ngkim Sia Ye, nasi lodeh atau ketan lodehnya Yu Tuti. Kalau sore makan gorengan tahu Yu Simah. Itu terus selama bertahun-tahun dan tidak pernah bosan. Mungkin memang selera saya adalah selera ndeso, jadi ama hal-hal yang berbau ndeso ndak cepet bosen. Ini baru 7 hari makan "American Breakfast" aja udah ndak selera sama sekali. Soal omelete, aku jadi ingat kisah ketika kami baru menikah dulu. Aku pernah diajak makan pagi di hotel oleh kakakku dan salah satu menunya adalah omelete. Menurutku saat itu omelete adalah menu yang sangat-sangat mewah dan enak sekali rasanya. Kenangan soal keenakan omelete membekas kuat di benakku. Maklum selama di Slawi/Tegal dan kuliah di Salatiga, cuman ngerti ndog ceplok (telur mata sapi) dan ndog dadar (telur dadar). Beberapa waktu kemudian ketika aku makan berdua istriku di RM Singapore di Batu Ceper aku inget soal omelete. Selesai makan aku pengin tambah pesen omelete. Aku masih inget, harganya waktu itu Rp. 7000,-. Kami berdiskusi lama tambah ndak ya, tambah ndak ya. Pengin nyobain omelete tapi kok mahal sekali. Akhirnya kami memutuskan untuk "nekad" tambah omelete dan itulah omelete paling enak di dunia. Itu juga pertama kalinya aku dan istriku makan "mewah" dengan bayar sendiri di Jakarta. Sebelumnya kalau makan enak selalu diajak dan dibayarin oleh ciciku Esther dan koh Frankie. Maklum itu adalah tahun-tahun pertama kami merintis jalan hidup di belantara Jakarta. Thanks oh frank n Cie Hoen. He... Kok jadi nostalgia sih. Sekarang kembali ke soal tour. Pagi ini acara tournya bakalan membosankan karena kami harus menempuh perjalanan panjang dengan bus dari Toronto ke Ottawa yang jaraknya sekitar 510 km, lalu setelah makan siang dan City Tour di Ottawa lanjut lagi ke Montreal yang jaraknya sekitar 215 km dari Ottawa. Berarti kalau aku hitung-hitung total hampir 750 km lewat high way. Betapa membosankannya. Mr. Young, driver bus kami dari mainland China, bakalan kerja keras hari ini. Sepanjang perjalanan paruh pertama Toronto - Ottawa, istri dan anak-anakku tidur terpekur. Si Om yang biasa begitu naek bisa langsung molor juga bahkan sudah menyulingkan ngoroknya sebelum kita sempat masuk ke highway. Aku sendiri ndak bisa tidur dan celakanya ndak punya akses internet. Aneh ya, di negara semaju Canada tidak disemua tempat bisa dapat wifi gratis. Bahkan yang jual kartu pra bayar telepon pun belum aku jumpai. Di Indonesia soal ini rasanya jauh lebih maju. Hampir di setiap cafe, mall, convenience store selalu ada wifi gratis. Kartu SIM pradana juga mudah dibeli di setiap sudut kota, bahlan dengan harga yang sangat murah. Bahkan menurut Om Robert, ftje senior yang sudah jadi warga negara Canada, dia terkejut banget waktu berkunjung ke Indo beberapa waktu lalu dan melihat tungkat becak di kampung (kota kecil) di Indonesia sudah pakai handphone. Jangan-jangan malahan juga punya akun facebook or tweeter. He.... Satu hal yang aku amati selama jalan di highway adalah truk-truk besar 18 roda. Bentuk kepala truknya gedhe banget bila dibandingkan dengan truk-truk di Indonesia. Bukan cuman gedhe tapi keren. Ntar kalau pas berhenti di pempat peristirahatan akan aku jepret. Aku kok seneng lihat truk-truk tersebut. Wow very lucky. Di pemberhentian setelah 2 jam perjalanan dari Toronto kebetulan tidak terlalu jauh dari parkiran bis kami ada beberapa truk "kepala gedhe" yang sedang parkir. Aku langsung ambil gear dan jeprat-jepret. Kebetulan ada satu supir truk yang pakai udeng-udeng di kepala seperti bangsa Sigh yang bersedia berpose di depan truknya. Bahkan satu supir truk "bule" lainnya mengijinkan Gaby untuk naik ke dalam truknya dan berpose di balik pintu kemudi dan juga berpose bersama Gaby. Aku juga langsung ajak Eugenia berpose di samping truk. Dia memang paling senang bisa disuruh bergaya dan difoto. Semalam saja dia menolak waktu saya ajak keluar minum bareng Om Robert dan Om Istanto karena dia mau menyaksikan proses seleksi Miss Canada yang kebetulan memasuki tahap penjurian dan dilaksanakan di kolam renang hotel. Betah dia menyaksikan para calon Miss Canada berlenggak-lenggok merajut mimpi menjadi orang tercantik se Canada. Sekilas saya sempat melongok dan kelihatan bahwa yang namanya calon Miss Canada tidak semuanya "bule". Bahkan mungkin separuhnya adalah orang kulit hitam, kuning, merah dan bukan si kulit putih (bule asli Canada). Ini menunjukkan Canada memang bangsa multi etnis. Kembali ke soal truk berkepala besar, aku juga sempat melongok ke dalam truk tersebut. Ternyata di belakang jok pengemudi ada satu ruangan yang cukup lapang sebagai kamar tidur pengemudi. Trucknya juga dilengkapi dengan peralatan modern seperti AC, GPS dan handy talky dan audio video. Kursi pengemudinya juga kentul-kentul, kelihatan nyaman diduduki. Kenapa di Indonesia ndak ada truk semewah itu ya. Menurut ipar saya yang juga seorang pengusaha truk, di Indonesia didominasi oleh truk buatan Jepang dengan merk Hino, Nissan, Mitsubishi, Isuzu dan sebagian Mercedez. Semuanya adalah tipe truk bercucuk ceper, tidak seperti truk buatan US yang hidungnya mancung. Di Indonesia juga mulai ada beberapa merk Scania ex East Europe dan merk-merk China, walaupun jumlahnya masih sedikit. Yang membedakan hidung mancung dan pesek adalah posisi mesinnya. Di truk-truk buatan Amerika yang hidungnya mancung, mesinnya terletak di bagian depan yang mancung. Sedangkan truk buatan Jepang dan Eropa yang pesek mesinnya terletak di bagian bawah. Rata-rata kapasitas mesin truk-truk 18 roda buatan Jepang yang beredar di Indonesia adalah 6500 - 7500 cc. Saya tadi ndak sempet nanya berapa kapasitas mesin untuk truk Amerika. Memasuki kota Ottawa tepat jam 1 siang, kami langsung makan siang di Thai Food di dekat down town. Kota Ottawa adalah ibukota Canada dengan penduduk sekitar 900.000 orang. Pemandangan gedung-gedung tua dan artistik mewarnai keindahan kota Ottawa. Sayang sekali saya tidak bisa banyak mengeksplor keindahan kota itu lewat jepretan kamera karena rombongan tour digiring untuk shopping di mall di belakang hotel Westin. Buat saya shopping ini adalah acara yang paling menjengkelkan. Kalau sekedar shopping, apa bedanya dengan di Jakarta, bahkan mall-mall di Jakarta jauh lebih indah, megah dan besar dibandingkan mall di Ottawa. Tapi perempuan (istri dan anak-anak) memang punya logikanya sendiri. Bagi mereka shopping is part of their life. Seolah kalau pergi keluar negeri dan ndak shopping maka dunia akan berhenti. Kalau cowok masuk ke satu toko pasti karena ada barang yang dibutuhkan dan pengin dibeli. Kalau cewek logikanya kebalik, mereka masuk ke toko karena barang kali ada yang bisa dibeli. Perbedaan itu emang mungkin sudah kodrati. US Dollar ternyata tidak bisa diterima sebagai alat pembayaran di mall. Saya tidak mengerti policy di baliknya, mungkin peraturan pemerintah memang membatasi transaksi domestik harus dengan mata uang asing. Setelah belanja terpaksa pembayaran dilakukan dengan kartu kredit. Dan kartu kredit Indonesia ternyata sama sekali tidak bermasalah digunakan, selama sudah melakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada provider penerbit kartu kreditnya sebelum keberangkatan. Saya masih ingat dulu jaman krismon saya pernah mengalami seluruh kartu kredit yang saya miliki tiba-tiba ditolak oleh pihak hotel di kota Rio de Janiero Brazil. Padahal saat itu saya tidak memiliki dana tunai yang cukup. Terpaksa ngutang dulu ama staf lokal Brazil. Kesan saya akan kota Ottawa adalah indah dan damai. Berjalan menyusuri kota Ottawa terasa lebih merasa aman dibandingkan dengan waktu jalan di Holliwood LA maupun di New York. Saya yakin tingkat kejahatan di kota Ottawa jauh lebih rendah dibandingkan dengan LA apalagi NY. Mungkin karena jumlah penduduknya yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan LA ataupun NY. Bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kota Semarang. Mungkin hanya sebanyak kota Solo aja. Jadi relatif lebih aman. Di samping itu saya perhatikan secara sekilas, ukuran tinggi dan lebar badan rerata orang Ottawa juga lebih kecil dibandingkan dengan orang Amrik. Emang ada beberapa yang kelas "raksasa", tetapi secara rerata lebih kecil. Tepat jam 4.30 sore kami melanjutkan perjalanan menuju ke kota Montreal. Perjalanan sepanjang 215 km ini kami tempuh dalam waktu 3 jam. Sepanjang perjalanan di high way yang lurus dan membosankan saya lihat hamparan kebun jagung berpuluh-puluh km panjangnya. Saya yakin Canada bersama Amrik adalah penghasil janggung yang cukup besar di dunia. Menurut ipar saya, Subekti, penghasil jagung terbesar adalah Argentina dan diikuti dengan US dan Canada. Menjelang memasuki kota Montreal kami sempat berhenti di rest area untuk kencing dan membeli beberapa makanan kecil. Yang menarik adalah penjaganya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan hanya bicara bahasa Perancis. Ternyata memang Canada itu dulunya terbagi menjadi dua, yaitu yang dijajah oleh Perancis dan yang dijajah oleh Inggris. Ini menyebabkan perbedaan mother tounge languagenya berbeda antara Montreal dan Toronto. Tepat jam 8 malam kami memasuki kota Montreal. Ada tiga hal yang mengejutkan saya dan memberikan impresi yang kurang baik tentang kota Montreal. Yang pertama adalah soal kebersihan kota. Dibandingkan tiga kota lainnya yang sudah saya kunjungi, yaitu Niagara Falls, Toronto dan Ottawa, maka Montreal adalah kota yang paling jorok. Sampah bertebaran di jalanan di dekat kami makan malam di China Town. Memang tidak separah di Jakarta, tetapi masih jauh lebih jorok dibandingkan kota lainnya. Yang kedua adalah soal penerangan kota yang relatif lebih remang-remang dibandingkan Ottawa dan Toronto. Yang ketiga adalah soal pengemis dan tukang membersihkan kaca mobil. Ini baru saya temui di Canada. Sudah mirip dengan di Jakarta dengan persentasi yang lebih kecil. Saya menduga perbedaan income di kota Montreal lebih lebar dibandingkan kota lainnya. Sehingga secara logis harusnya tingkat kriminalitas Montreal lebih tinggi dibandingkan dengan kota lainnya. Saya ndak tahu sejauh mana kebenaran dugaan saya, tetapi kesan "lebih tidak aman" saya rasakan dibandingkan ketika di Ottawa dan Toronto. Selesai makan malam kami langsung check in di hotel. Kembali lagi rombongan dipisah tanpa ada penjelasan yang memadai. Kami tinggal di Holliday Inn hotel yang terletak di tengah kota. Saya ndak tahu di mana rombongan yang satunya tinggal. Tumben kali ini tour leader kami cukup cepat menangani soal check in. Kami juga mendapatkan kamar yang connecting. Tapi ternyata saya harus menunggu lebih dari 1 jam karena salah satu kamar saya belum dibersihkan sama sekali. Saya complain langsung ke pihak reception hotel tanpa memberitahukan ke tour leader, karena saya yakin penyelesaiannya akan lebih lama. Di hotel inilah pertama kalinya beberapa dari kami mendapatkan signal wifi yang bisa digunakan untuk mengaktifkan black berry. Sejak masuk Canada wifi hanya bisa buat browsing aja dan ndak ada logo bb nya sehingga ndak bisa buat bbm dan terima email. Anehnya beberapa peserta tour juga tidak bisa mengaktifkan bb connectionnya, termasuk saya. Mbuh kenapa. Sudah saya ukrek-ukrek, copot baterei, up grade aplikasi juga masih budeg. Kok aneh ya, padahal Canada adalah pusatnya Research in Motion (RIM), perusahaan penerbit BB. Akhirnya saya nyerah dan terpekur tepat menjelang tengah malam.