Rabu, Agustus 14, 2013

Day 7 - Bratislava

13 Agustus 2013 Day 7 - Enroute Budapest - Bratislava - Vienna Sesudah 6 hari berturut-turut sarapan di hotel dengan menu yang mirip-mirip, hari ini anakku bawa turun "makanan andalannya", yaitu indomie. Bisa dimaklumi, mungkin dia udah mulai bosan makan sosis, roti, telur, bacon, yogurt, dan oatmeal. Katanya dah kangen ama tempe goreng. Jenis menu makan pagi di hotel-hotel bintang 4 di Eropa emang relatif terbatas. Jauh sekali dibandingkan dengan breakfast di hotel-hotel bintang 5 di Jakarta dan Bali. Hampir segala macam menu tersedia, mulai internasional, Japanese, Vietnamese, Balinese, gudheg, lontong opor sampai sambal terasi. Apalagi hotel-hotel bintang 5 di Indonesia relatif murah menurut patokan orang asing. Soal makanan jelas hotel-hotel di Indonesia ndak kalah. Apalagi kalau bicara dinner buffetnya restaurant Sailendra (JW Marriott Kuningan), restaurant Asia (Ritz Carlton Kuningan), Satoe (Shangrila Hotel) dan Hotel Mulia menurutku adalah buffet dinner yang sangat lengkap dan enak dengan harga yang relatif ok. Apalagi kalau weekend pakai BCA Platinum yang menawarkan buy 1 get 1 free. Di hotel-hotel tersebut aku pernah dengar banyak pegawai restorantnya yang nakal. Konon kalau pas rame, kita bisa makan berdelapan cuman bayar 3 orang ke restonya dan beri tip seharga 1 orang ke pelayannya. Mbuh sejauh mana kebenarannya. Kota Budapest kalau pagi hari ternyata macet lumayan parah. Walaupun lalu lintas mengalir, tapi tetap cepatan cuman 0 - 20 km/h gara-gara kebanyakan lampu merah. Dari sejak keluar jam 9 pagi, baru jam 10nya kami bisa lolos dari kemacetan. Pagi ini kami meninggalkan Budapest untuk menuju ke Bratislava, ibukota Slovakia. Dalam perjalanan dari Praha ke Budapest kami memang sudah melewati wilayah negara Slovakia, tetapi tidak mampir ke Ibukotanya. Siang ini kami mampir untuk makan siang dan mengunjungi kota tua Bratislava. Kotanya tidak sebesar Budapest. Di mataku ya mirip kota Brno lah. Bangunan-bangunan kunonya tidak semegah dan seartistik di kota Budapest dan Praha. Penduduknya hanya sekitar 600.000 orang dari total 5 juta orang penduduk Slovakia. Perjalanan dari Budapest sampai Bratislava ditempuh dalam waktu hampir 3 jam. Dalam pemberhentian terakhir untuk rutin toilet di perbatasan Hungaria, kami sempat ketemu dan ngobrol dengan 3 orang yang mengemudikan motor BMW series F800. Ternyata mereka jalan naek motor dari Istambul Turki, menyusuri Bulgaria, Slovakia, Hungaria dan sekarang dalam perjalanan menuju Ceko. Mereka sudah jalan selama 5 hari. Mereka sangat ramah begitu tahu kami dari Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Mereka cerita bahwa kondisi politik di Turki sekarang sudah stabil dan bahkan ketika terjadi krisis bulan lalu pun keadaannya tidak separah yang diberitakan media seperti CNN. Tampang mereka keren-keren dan mereka sangat tertarik ketika saya ceritakan tentang Indonesia, khususnya Bali. Motor BMW F800 yang mereka kendarai di Turki harganya sekitar EUR 17.000 atau sekitar 210 jutaan. Ndak tahu berapa harganya di Indonesia. Naek motor seperti itu keliling-keliling negara mungkin enak ya. Sayang saya sudah terlalu tua buat jenis avonturir seperti itu. Takutnya jatuh dan koit. He.... Dalam perjalanan di bus, istriku terima sms dari Jakarta yang mengabarkan bahwa 3 dari 6 pekerja rumah tangga belum balik dari liburan lebaran dan kemungkinan mereka bertiga tidak balik lagi. Ini pengalaman kami pertama kali kalau benar mereka madol. Selama ini para pekerja rumah tangga kami biasanya betah bertahan bertahun-tahun dan kalaupun keluar pasti ada alasan yang jelas seperti kawin dan beranak. Tahun lalu kami kehilangan 3 orang yang sudah ikut kami selama 7 - 9 tahunan. Yang dua karena beranak dan satunya kawin ikut suami. Nah 3 pengganti yang baru inilah yang kemungkinan madol. Wah repot nih. Bakalan mesti cari pengganti dan ngajarin lagi dari awal. Inilah susahnya kalau mengambil pekerja rumah tangga dari satu kampung. Satu madol, yang lain ikutan madol. Tapi itulah dinamika mengelola rumah tangga di Indonesia. Buat rekan-rekan yang migrasi (kaburwan) ke luar negeri dan sudah terbiasa mengerjakan seluruhnya sendiri, ndak bakalan punya masalah seperti ini. Yah masing-masing ada plus minusnya. Soal international BlackBerry roaming, selama di German dan Ceko saya menggunakan paket prabayar XL untuk BlackBerry 10 seharga Rp. 50.050 per hari dan ndak pernah ada masalah. Sementara anak saya pakai prabayar 3 yang lebih murah Rp. 30.300 untuk paket BlackBerry biasa. Sayang sejak masuk Hungaria, XL ndak punya kerja sama, jadi saya ganti pakai kartu Satelindo yang paketnya lebih mahal, yaitu Rp. 100.000 per hari. Sayang sudah diaktifkan ternyata hanya dapat signal BlackBerry cuman sebentar dan sisanya signalnya pakai simbol g kecil, jadi ndak ada paket datanya. Terpaksa deh hanya mengandalkan wifi gratisan. Letak Bratislava sebagai ibukota Slovakia cukup unik. Letaknya diujung barat daya negara tersebut dan jaraknya hanya 30 menit dari perbatasan dengan Hungaria dan Austria. Obyek wisata pertama yang kami kunjungi di Bratislava adalah Bratislava Casttle. Bentuknya kotak seperti meja terbalik. Casttle tersebut sebenarnya adalah Castle tua yang dibangun oleh dinasti Habsburg dari Austria. Tetapi Castle tersebut hancur luluh lantak dan baru selesai direstorasi ulang pada tahun 1980an. Bangunan lain yang terkenal di Slovakia adalah gereja katedral St. Martin yang puncaknya berbentuk replika mahkota kerajaan Hungaria. Dari castle kami menyusuri kota tua Bratislava yang teduh dan makan siang di sana. Kota tua itu dikelilingi benteng yang dahulunya adalah benteng pertahanan untuk mencegah serangan musuh. Sebuah jembatan cantik yang menyeberangi sungai Danube dan menghubungkan kota tua dengan kawasan baru. Namanya jembatan Novemost (Jembatan Baru). Di atas jembatan tersebut ada sebuah restorant yang menyajikan makanan lokal dan pemandangan yang indah ke kota Bratislava dari ketinggian. Selesai makan siang dalam perjalanan menuju ke Pusat factory outlet di kota Pandorf tiba-tiba sebuah mobil polisi menggiring bisa kami ke rest area dan memeriksa supir. Ternyata yang diperiksa adalah sebuah CD yang berisi rekam jejak perjalanan kendaraan ini sejak awal mulai tour tanggal 7 Agustus 2013. CDnya dimasukkan ke dalam komputer si polisi dan polisi menemukan kesalahan yang dilakukan oleh supir waktu di Praha, yaitu kami jalan selama 12 jam 20 menit. Menurut UU di Eropa ini jelas melanggar karena maksimum hanya boleh jalan selama 12 jam. Maka polisi mengenakan denda sebesar EUR 35 dan memberikan tanda terima. Wow.... hebatnya sistem pengawasan di Eropa ya. Bisa-bisanya ya mereka memantau lewat CD yang berisi log perjalanan. Beberapa hari lalu waktu tour leader, Marcel, menjelaskan tentang hal itu aku ndak percaya blas. Ternyata laen ladang laen belalang ya. Tehnologi memungkinkan pengawasan hal ini demi keselamatan penumpang. Rasanya di Indonesia masih jauh sekali dari kondisi ini ya. Wong supir montor mabur ae iso nggelek dan bawa pesawat. Opo neh supir bis. Kawasan Pandorf yang kami kunjungi, adalah kawasan factory outlet. Ada ratusan toko dalam sebuah kawasan yang nyaman di luar kota Vienna. Konsepnya mirip dengan tempat serupa di dekat Disneyland di Paris atau Woodbury di dekat New York. Ini benar-benar tempat buang duit. Toko-toko international branded menawarkan diskon gedhe-gedhean untuk barang-barang yang off season. Bagi pengunjung yang tidak belanjapun tempat duduknya nyaman. Seperti biasa toko Samsonite menjadi favorit karena belanjaan para peserta tour semakin banyak sehingga kopernya beranak pinak di Samsonite. Sepulang dari Pandorf kami melanjutkan perjalanan memasuki kota Vienna dan kami makan malam local Austria Food di kawasan kota tua. Selesai makan langsung check in di hotel Kavelier. Hotelnya bintang 4 dan terletak di pinggiran kota. Kamarnya jauh lebih nyaman dibandingkan dengan hotel Ibis di Budapest, apalagi hotel Panorama di Praha. Dan yang lebih penting lagi ada tempat mojok di jendela kamar yang bisa buat rokok-an dan wifi yang tersedia sampai di kamar.