Rabu, Juli 08, 2015

Quo Vadis Ekonomi Indonesia

Beberapa hari terakhir ini, dunia digemparkan oleh kondisi gagal bayar pemerintah Yunani atas hutangnya yang jatuh tempo sebesar EUR 1,6 milyar. Hasil referendum rakyat Yunani memutuskan untuk menolak negosiasi pinjaman dana dengan persyaratan yang sangat ketat. Dengan kejadian ini Yunani terancam keluar dari Euro. Muncul kekawatiran bahwa kondisi ini akan menyebar ke negara-negara lain bahkan sampai ke Indonesia. Berbagai spekulasi bertebaran di dunia maya, bahwa Indonesia termasuk dalam urutan ke 5 negara yang terancam menjadi negara gagal. Ada yang memperkirakan bahwa kurs rupiah terhadap USD akan jatuh ke level 17.000 atau bahkan 25.000 dalam waktu dekat. Memang dunia bisnis di Indonesia sedang lesu dan nilai tukar rupiah sudah terdepresiasi sebesar 7.6 % sejak Januari 2015. Tekanan inflasi menjelang lebaran dan tahun ajaran baru juga semakin dirasakan. Sementara investor yang ditunggu-tunggu masih belum kelihatan mulai merealisasikan investasinya. Benarkan Indonesia akan menjadi negara gagal? Mau dibawa kemana ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi? Quo Vadis Ekonomi Indonesia. Tulisan ini mencoba mengupas kondisi riil yang saat ini dihadapi Indonesia, termasuk perlambatan pertumbuhan ekonomi dan arah perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Kalau kita mencermati pertumbuhan ekonomi Indonesia, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup bagus pada periode 2004 sampai 2010. Sesudah periode tersebut, pertumbuhan ekonomi cenderung menurun sejak kuartal 1 tahun 2011. Jadi proses pelemahan ini bukan kejadian yang baru-baru ini saja terjadi. Konsumsi swasta yang menyumbang hampir 54% terhadap GDP serta investasi swasta yang menyumbang 32% terhadap GDP memang mengalami perlambatan pertumbuhan. Sedangkan pengeluaran pemerintah belum mampu menggantikannya sebagai mesin pertumbuhan. Apalagi terjadi kelambatan penuntasan perubahan nomenklatur di 13 departemen dan rendahnya penyerapan anggaran di 3 departemen yang punya anggaran tinggi seperti Departemen Perhubungan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Ristek dan Dikti. Ekspor sebagai mesin pertumbuhan keempat juga mengalami perlambatan akibat turunnya harga komoditas dunia. Ditinjau dari sisi produksi, baik barang-barang tradables maupun non tradables juga mengalami perlambatan. Sektor manufaktur yang selama ini menjadi sektor terbesar juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Tetapi walaupun masih dilanda kesuraman, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada level 5.0% bahkan di akhir 2015 ini diperkirakan bisa tumbuh sebesar 5.4%. Satu hal lagi yang perlu dicatat adalah bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh kawasan di dunia. Secara umum pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan lebih baik dibandingkan dengan negara-negara di kawasan BRIC. Juga bila dibandingkan dengan negara-negara maju dan kawasan seperti Amerika diperkirakan hanya akan tum-buh 2.4%, Jepang 0,7%, kawasan Eropa 1,5%, China 6,9%, Korea 3,0%, Malaysia 5,0% dan Singapura 2,3%. Faktor kedua yang perlu dicermati adalah inflasi. Harus diakui bahwa memang terjadi kenaikan tingkat inflasi akibat dari pengurangan subsidi yang sudah tertunda selama ini. Inflasi ini terutama dipicu oleh harga-harga yang ditetapkan oleh pemerintah seperti harga bahan bakar minya, harga listrik, air dan juga dipicu oleh inflasi musiman menjelang hari raya Idhul Fitri dan tahun ajaran baru. Tingkat inflasi year on year memang berada pada level 7,26%, tetapi year to date 1,99%. Diperkirakan akan bisa ditekan ke level 4,0 - 5,0% sesuai dengan target pemerintah pada akhir tahun 2015. Dari sisi neraca perdagangan barang sudah menunjukkan angka surplus, walaupun angka ini lebih banyak dipicu oleh menurunnya tingkat impor dibandingkan dengan kenaikan ekspor. Neraca transaksi berjalan(Current Account) memang masih mengalami defisit sebesar 1,8% dari GDP pada kuartal 1 2015. Defisit ini didanai oleh aliran modal masuk dalam bentuk investasi maupun portofolio saham dan surat utang. Harus disadari bahwa dana jangka pendek ini rawan terhadap gejolak aliran modal. Pada triwulan kedua diprediksi defisitnya akan membesar sejalan dengan pembayaran hutang yang jatuh tempo dan repatriasi keuntungan keluar negeri. Tetapi secara total sepanjang 2015 neraca transaksi berjalan diperkirakan akan mengalami defisit sebesar 2,8%. Angka ini sesuai dengan target pemerintah dan masih berada pada angka aman. Banyak pihak yang mengkawatirkan pergerakan kurs mata uang rupiah, bahkan membandingkannya dengan kondisi krisis multi dimensi yang dihadapi Indonesia di tahun 1998. Bahkan ada yang memprediksi mata uang rupiah akan rontok ke level 17.000 atau bahkan 25.000 per USD. Secara nominal kurs mata uang rupiah memang mengalami depresiasi sebesar 7,6% terhadap USD, tetapi kalau dicermati secara riil, nilai mata uang rupiah ini justru mengalami apresiasi. Artinya mata uang rupiah memang melemah terhadap USD tetapi menguat terhadap hampir semua mata uang dunia lainnya. Di satu sisi, ini adalah tanda-tanda baik bahwa penyebab utama melemahnya mata uang rupiah adalah karena menguatnya USD secara signifikan terhadap hampir semua mata uang dunia, terutama EUR. Tetapi di sisi lain harus disadari bahwa ini akan menurunkan daya saing Indonesia di pasar global. Data dari Citi Research yang dipublikasikan pada 15 Mei 2015 memprediksi mata uang rupiah akan berada pada kisaran 13.200 – 13.500 per USD dalam kurun waktu 12 bulan mendatang. Hal ini dikonfirmasi juga oleh penawaran lindung nilai forward USD terhadap IDR yang juga ada pada kisaran 13.500 untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Jadi kekawatiran rupiah akan jatuh ke level yang lebih dalam adalah sebuah kekawatiran yang berlebihan. Dengan akan segera keluar kepastian mengenai diumumkannya kebijakan pengurangan quantitative easing oleh Federal Reserve US, maka diperkirakan kurs rupiah akan membaik karena berkurangnya ketidakpastian di pasar global. Yang agaknya cukup mengkawatirkan adalah rendahnya penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Dengan masih belum pulihnya kondisi ekonomi nasional, regional maupun global, maka target pajak yang dipasang oleh pemerintah agaknya terlalu optimistis. Jelas bahwa penerimaan pajak dari sektor sumber daya alam akan mengalami penurunan drastis sejalan dengan penurunan harga komoditas dunia. Apalagi harus disadari bahwa nisbah pajak Indonesia tidak pernah tembus dari angka 12%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rerata nisbah pajak negara-negara di kawasan Asean sebesar 14.5%. Implikasi dari target tinggi yang dipasang pemerintah itu adalah harus diperluas sumber-sumber penerimaan pajak tanpa mengganggu sektor riil. Berbagai terobosan pajak, termasuk pemutihan terhadap repatriasi dana yang selama ini disinyalir ditempatkan di luar negeri, harus menjadi prioritas utama. Di samping itu tentu saja pengawasan di sektor perpajakan harus lebih diperketat dari kemungkinan kebocoran. Tidak mungkin pemerintah menaikkan tingkat pajak, baik individu maupun korporasi karena kecenderung-annya bahkan banyak negara menurun-kan tingkat pajaknya untuk meningkat-kan daya saing industrinya sekaligus daya tarik bagi investasi asing di sektor riil. Lalu pertanyaannya, apa tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini. Tantangan pertama adalah Indonesia harus keluar dari kondisi Commodity Curse, yaitu negara yang pertumbuhan ekonominya sangat tergantung pada harga komoditas dunia yang notabene ditentukan oleh pasar di negara maju. Ini adalah suatu keniscayaan yang sangat menyedihkan. Indonesia sebagai eksportir terbesar minyak kelapa sawit dan karet, sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengatur harga jual kedua komoditas tersebut. Harga minyak kelapa sawit ditentukan di Rotterdam Merchantile Exchange (RME) sedangkan harga karet ditentukan Tokyo Commodity Exchange. Akibat ketergantungan tersebut ketika harga komoditas mengalami kenaikan, maka ekonomi negara mengalami pertumbuh-an. Sebaliknya ketika harga jatuh, maka ekonomi langsung terpuruk. Sebenarnya kondisi Indonesia tidak seburuk negara-negara lain seperti Nigeria, yang ekonominya sangat tergantung dari produksi minyak. Nilai mata uang Naira Nigeria mengalami depresiasi sebesar 80% pada tahun 1998 dan 28.6% di tahun 2015 akibat penurunan harga minyak. 90% ekonomi Nigeria tergantung dari ekspor minyak. Diperlukan strategi yang tepat untuk mengantisipasi hal tersebut. Strategi jangka panjang untuk keluar dari kondisi Commodity Curse ini adalah melakukan diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap harga komoditas. Sedangkan strategi jangka pendek dan menengah adalah dengan memanfaatkan peranan Government Spending sebagai mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi ketika terjadi penurunan harga komoditas. Dampak multiplier dari Government Spending ini diharapkan bisa sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang menopang perlambatan. Dalam kasus Indonesia, industri manufaktur sebagai penopang pertum-buhan harus mampu digalakkan. Iklim investasi di Indonesia harus mampu meningkatkan jumlah wirausaha yang saat ini berada pada level 1.6%. Angka ini jauh di bawah Malaysia sebesar 4,0%, Thailand 4,1% dan Singapura 7,2%. Kemudahan mendirikan perusa-haan dan pemangkasan ekonomi biaya tinggi yang ditanggung oleh pengusaha dan calon pengusaha perlu benar-benar menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Ini juga sejalan dengan revolusi mental yang dicanangkan oleh Jokowi, yaitu berdaulat secara politik, kemandirian secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya. Tantangan kedua yang dihadapi Indonesia adalah keluar dari kondisi middle income trap. Korea, Taiwan dan Hong Kong adalah contoh negara-negara yang sukses keluar dari jebakan penghasilan menengah. Banyak negara yang mencoba keluar dari jebakan ini, malahan terperosok dengan kenaikan upah buruh semata yang tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas akibat dari rendahnya tingkat pendidikan penduduk dan lemahnya iklim inovasi. Indonesia pernah memiliki level produktivitas tertinggi di kawasan Asean di tahun 1995. Namun setelah krisis 1998, Total Factor Productivity Indonesia turun sangat tajam dan berada di bawah negara-negara di kawasan Asean. Ini harus menjadi PR yang serius bagi pemerintahan Jokowi. Perbaikan Human Development Index melalui sektor pendidikan harus menjadi prioritas yang utama. Di samping itu Indonesia perlu memanfaatkan bonus demografi yang saat ini sedang dinikmati. Bonus demografi adalah kondisi struktur demografi suatu negara di mana jumlah tenaga kerja produktif lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga tidak produktif (anak-anak dan orang tua). Bonus demografi ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2025 dan berakhir di tahun 2045. Apabila gagal memanfaatkan bonus demografi ini, Indonesia akan kehilangan momen-tum pertumbuhan dan semakin sulit bersaing dengan negara maju lainnya. Tentu saja perlu kebijakan pemerintah yang pas untuk menjawab tantangan ini. Perbaikan infrastruktur yang sudah sangat kedodoran, terutama di sektor energi dan transportasi harus segera digenjot. Di samping mengandalkan masuknya investor asing di kedua sektor tersebut serta memberdayakan investor dalam negeri, bila perlu pemerintah harus punya keberanian untuk menciptakan hutang domestik untuk mendanai perbaikan ini. Tingkat hutang luar negeri Indonesia saat ini berada pada kisaran 25%. Ini adalah angka aman dan jauh di bawah Yunani yang berada pada kisaran 175 – 185% dari GDP-nya. Penghematan subsidi juga harus segera diarahkan untuk mendorong berkembangnya iklim investasi di Indonesia. Tantangan yang ketiga adalah tantangan jangka pendek. Pemerintah harus mampu memberikan signal yang positif dan bukan simpang siur terhadap perekonomian Indonesia. Di satu sisi pemerintahan Jokowi membangun retorika untuk mendukung investasi dan integrasi Indonesia ke pasar global, tetapi di sisi lain memberikan signal kebijakan investasi yang lebih restriktif. Hal ini tampak dari Daftar Negatif Investasi (DNI) 2014 terutama di sektor pertanian, energi, pertambangan, perda-gangan, transportasi dan telekomunikasi yang lebih banyak dibandingkan dengan DNI tahun 2010. Seorang ekonom senior bahkan sampai menyindir dengan mengatakan bahwa bila kita bisa memperoleh keuntungan dengan menjual mangga dengan harga bagus, kenapa kita mesti memaksa untuk membuat asinan mangga. Mencermati kondisi perekonomian global saat ini, mutlak harus dihindari kesalahan kebijakan yang pasti akan memperburuk kondisi pereknomian Indonesia. Dari semua paparan di atas, saya melihat secercah sinar terang tampak di ujung terowongan. Terlalu berlebihan bila kita memposisikan diri seperti Yunani atau seperti kondisi yang kita alami di tahun 1998. Saat ini kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih kokoh. Hanya perlu triger dan keberanian sekaligus kehati-hatian untuk menjadi negara yang lebih maju. Bagi saya kondisi saat ini adalah “pil pahit” yang harus ditelan untuk menuju pada Indonesia yang lebih kokoh. Mari kita bangun optimisme ini demi Indonesia yang lebih hebat. Dr. Harris Turino ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Makalah ini penulis sajikan sebagai suplemen dalam acara buka puasa bersama Ikatan Alumni Prasetiya Mulya (Ikaprama) dan Seminar Quo Vadis Ekonomi Indonesia yang dibawakan oleh Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, PhD. tanggal 7-Juli-2015.