Kamis, Juli 23, 2015

Ramadhan Holiday 2015 - Day 13 - Copenhagen

Ramadhan Holiday 2015 - Day 13 - Copenhagen
Tepat pukul 9.45 pagi DFDS Cruise merapat di kota Copenhagen, ibukota Denmark. Denmark sendiri adalah kerajaan paling tua di rumpun Scandinavia. Jumlah penduduknya sekitar 5 juta orang, di mana 1.2 juta di antaranya tinggal di kota Copenhagen. Negara Denmark terdiri dari 400 buah pulau dan daratannya relatif flat. Tidak terdapat gunung-gunung tinggi seperti di Norwegia dan Swedia. Garis pantainya adalah yang terpanjang di Scandinavia. Maka tidak heran bila jajaran sailing boat juga banyak terparkir di sepanjang pantai menjelang kota Copenhagen.
 
Kalau mendengar kata Denmark, yang selalu terngiang di ingatan masa kecil saya adalah nama Morten Frost Hansen. Dia adalah pemain bulutangkis pertama yang mampu mendobrak tradisi kemenangan dan dominasi pemain-pemain Indonesia di kancah turnamen utama dunia. Pada masanya di era 1982 - 1987, Morten sering mengalahkan Lim Swie King, pemain bulutangkis Indonesia yang sangat terkenal dengan jumping smashnya, Misbun Sidek dari Malaysia dan Icuk Sugiarto yang terkenal dengan lob-lob panjangnya. Di masa-masa itu, saya memang menjadi seorang atlit serius di bulutangkis, jadi kenal semua nama yang mendominasi kancah dunia perbulutangkisan. Salah satunya adalah Morten Frost Hansen. Orangnya tinggi, kurus dengan wajah yang tanpa senyum. Waktu saya tanyakan ke local guidenya, ternyata memang bulu tangkis saat ini menjadi salah satu olah raga terpopuler di Denmark di samping sepak bola dan bola tangan. Kalau saat ini saya ndak tahu apakah Denmark masih memiliki jagoan hebat di tingkat dunia. Jalanan di Denmark relatif lebih besar dibandingkan di Norwegia. Ada beberapa jalan toll di seputaran kota Copenhagen.
 
Jalanannya relatif sangat lancar karena memang tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Di Denmark pajak kendaraan sangat tinggi, yaitu sebesar 183 persen. Harga bensin juga dikenakan pajak yang cukup tinggi, sebesar USD 2.0 per liter. Hal ini memicu orang untuk memilih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi dalam kota. Maka hampir di semua ruas jalan di bangun bicycle lane yang khusus untuk pengemudi sepeda. Sama sekali tidak terlihat motor berkeliaran di Copenhagen. Aneh juga ya, di Jakarta bersepeda adalah ajang membentuk komunitas dan tidak jarang sarana pamer harga sepedanya yang mencapai puluhan juga, atau minimal sebagai sarana untuk berolah raga. Sementara di Denmark yang punya pendapatan perkapita 20 kali dari Indonesia menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Sebuah ironi yang menggelikan.
 
Bersepeda sebagai alat transportasi di Copenhagen emang paling nyaman. Jalanannya flat, tidak naik turun, ada fasilitas special lane, bisa dibopong naik kereta api tanpa ada tambahan biaya apapun, parkir mudah di dekat tempat kita beraktivitas, dan tentu saja jadi sehat. Saya jarang melihat orang "gendhut" alias obesitas di Copenhagen, berbeda dengan di Amerika yang jumlahnya jauh lebih banyak. Menurut local guide kami, yang namanya Nuri dan berasal dari kota Lima di Peru, bersepeda di Copenhagen kudu mematuhi rambu-rambu lalu lintas, seperti lampu lalu lintas, tata cara berbelok ke kiri dan ke kanan, harus memiliki lampu putih di depan dan merah di belakang, dan masih banyak lagi. Kalau rambunya dilanggar, dendanya sangat mahal. Jadi di Copenhagen kalau sepeda mau belok kanan/kiri harus ngasih sign dengan mengangkat dan melambaikan tangan kanan/kiri. Tidak melakukan ini dendanya sebesar EUR 100,- atau setara dengan Rp. 1.5 juta. Wow.... bisa buat beli sepeda lagi donk.
 
Data Indeks Kebahagiaan penduduk suatu kota/negara menempatkan Copenhagen dan Denmark di deretan posisi tertinggi di dunia. Kota ini memang relatif aman, makmur dan nyaman. Pendidikan di Denmark gratis, bahkan sampai ke level PhD. Mahasiswa bahkan diberi "santunan" pendidikan sebesar EUR 700 per minggu apabila bersedia bekerja di lingkungan kampus selama 10 jam dalam seminggu. Biaya kesehatan juga gratis. Jam kerja maksimal 37 jam seminggu dan setiap karyawan berhak atas cuti hamil selama 12 bulan untuk ibu melahirkan dan 3 bulan untuk bapaknya. Kalau ini diterapkan di Indonesia, bisa-bisa ada karyawan mendapatkan cuti panjang 6 tahun dan dibayar oleh perusahaan, karena setiap tahun beranak 1. He.... di Denmark anak sesudah memasuki usia 20 tahu lebih memilih untuk tinggal terpisah dari orang tuanya. Si anak bisa mandiri dengan mengandalkan subsidi pemerintah. Ini mengingatkan saya pada satu artikel tentang "bangkrutnya" sebagian besar sarjana di Amerika akibat beratnya cicilan hutang yang harus ditanggung mereka untuk membayar pendidikan, mencicil rumah, cicilan mobil, dan masih seabreg kewajiban lainnya. Dengan jumlah penduduk yang relatif kecil, rasanya Denmark tidak terlalu kesulitan menjalankan peran sebagai welfare country.
 
Konsekuensi dari semua kenikmatan itu adalah tingkat pajak yang tinggi. Rerata tingkat pajak di Denmark adalah 48 persen, masih di bawah Norwegia yang reratanya 55 persen, sedangkan Swedia 40 persen. Untuk higher income family bahkan tingkat pajaknya mencapai 63 persen. Dan tingkat kepatuhan membayar pajaknya pun sangat tinggi. Ini semua yang mendanai semua "kenikmatan" sebagai warga negara. Saya jadi ingat di pelajaran macro economy yang mengatakan bahwa tingkat pajak yang sangat tinggi akan menurunkan produktivitas karena orang menjadi malas untuk berkarya lebih selama hasil kerjanya sudah cukup untuk hidup nyaman. Bahkan orang cenderung untuk membatasi jam kerja menjadi lebih pendek lagi, menurunkan usia pensiun. Tadinya saya sulit memahami statement ini. Dengan tingkat pajak yang seperti ini emang bisa dimaklumi. Ngapain kerja lebih keras lagi dimana sebagian besar hasilnya akan dinikmati oleh pemerintah. Selama sudah cukup hidup enak ya sudah leyeh-leyeh aja menikmati hidup dan waktu untuk keluarga. Orang juga lebih senang untuk menikmati liburan di luar negeri yang relatif lebih murah dibandingkan hidup di Denmark. Banyak orang Denmark yang memiliki rumah peristirahatan musim panas di Italia dan Spanyol, karena kedua tempat tersebut jauh lebih murah dan juga lebih hangat. Destinasi wisata di Asia adalah Thailand dan Cambodia. Miris juga mendengarnya, padahal Indonesia memiliki obyek wisata yang jauh lebih eksotik dibandingkan dengan Thailand dan Cambodia. Dan dari Denmark, jarak ke Indonesia ya tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan ke Thailand atau Cambodia.
 
Denmark juga terkenal sebagai kota yang “green”. Energi bersih dari air, angin dan sinar matahari saat ini berkontribusi sebesar 20% dari total energi nasional dan dalam waktu 10 tahun ke depan akan ditingkatkan menjadi 30%. Angka ini memang masih jauh di bawah Norwegia yang mendekati 98% dipasok oleh hydro power. Di Norwegia khan memang kondisi alamnya yang bergunung-gunung memungkinkan mendapatkan energi air dari air terjun dan melelehnya es. Taman juga ditata dan terus di tambah. Targetnya di tahun 2025 setiap 500 m harus terdapat lahan terbuka untuk taman kota. Ini mirip dengan jumlah mall yang terus bertambah di Indonesia. He…
 
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Istana Kronborg yang terletak 46 km dari pusat kota Copenhagen. Istana yang juga benteng pertahanan ini juga dikenal dengan nama Hamlet Castle. Di dinding luar benteng berjajar meriam yang mengarah ke jalur laut yang memisahkan Denmark dengan Swedia selebar hanya 4 km. Jalur laut inilah yang dari sejak dulu menjadi sumber konflik kedua kerajaan tersebut. Keduanya memperebutkan akses strategis dari jalur laut tersebut. Dulu setiap kapal yang lewat diwajibkan membayar upeti kepada kerajaan Denmark. Kalau menolak maka akan ditembak dengan meriam. Benteng sekaligus istana ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu museum tempat tinggal keluarga kerajaan Denmark tempo dulu, penjara dan kapel. Di Museum sekitar 70 persen barangnya adalah asli, yaitu hasil pengumpulan ulang barang-barang milik kerajaan yang dijarah habis dalam penyerbuan pasukan Swedia di tahun 1600an. Bagian kedua adalah penjara bawah tanah. Memang cukup menyeramkan, tetapi menurut saya kok masih belum seberapa dibandingkan dengan beberapa penjara terkenal dunia seperti di Auswitz di Polandia, Arkansas di California, bahkan Lawang Sewu di Semarang. Di Lawang Sewu ada sel isolasi "duduk" di mana tahanan hanya bisa duduk saja di sel dan tidak bisa berdiri karena ketinggian sel emang hanya memungkinkan orang untuk duduk. Bagian ketiga dari istana dan benteng adalah sebuah kapel Lutheran tempat di mana biasa para keluarga istana beribadat.
 
Dari istana Kronborg, kami menyusuri garis pantai melihat patung Little Mermaid. Bentuknya seperti seorang perempuan duduk dan kakinya berupa sirip. Patung setinggi 1.25 m ini adalah sumbangan dari Carl Jacobsen, anak pendiri pabrik bir terbesar di dunia Carlberg yang didirikan pada tahun 1913. Patung ini terinspirasi oleh cerita dongeng Hans Christian Andersen tentang seorang gadis mermaid (puteri duyung) yang ingin mengakhiri hidupnya di laut dan menjadi seorang manusia utuh yang menikah dengan seorang pangeran. Cerita dongeng itu ditulis dan dipublikasikan tahun 1837 dan masih menjadi sebuah dongeng yang "hits" sampai saat ini. Dongeng lain yang sangat dikenal adalah "Ugly Duckling", yang sebenarnya menceritakan kisah hidup Hans sendiri sebagai seorang penulis. Dia yang datang dari keluarga miskin di pedesaan dan mencoba mengadu nasib ke Copenhagen sebagai seorang penari. Tetapi karena kesan "kampungan" dan jelek, maka dia ditolak di beberapa tempat di mana dia melamar. Lah dalam keputus-asaan itu dia menulis kisah-kisah dongeng dan akhirnya menjadi salah seorang yang sangat terkenal di Denmark dan Scandinavia.
 
Oya di samping Carlberg, ada beberapa nama perusahaan multi nasional yang berasal dari Denmark, di antaranya Lego, perusahaan farmasi Novo Nordisk, perusahaan pelayaran terbesar di dunia Maersk Line, serta Royal Copenhagen Ceramics. Perusahaan-perusahaan inilah yang menopang pertumbuhan ekonomi Denmark, di samping Denmark juga menghasilkan oil and gas yang cukup besar di kawasan Scandinavia dan juga eksportir terbesar untuk daging babi di kawasan Scandinavia. Melihat gonjang ganjing Uni Eropa dalam kasus Yunani, Denmark mensyukuri bahwa walaupun negaranya menjadi bagian dari Uni Eropa tetapi mereka memutuskan untuk tetap menggunakan mata uang sendiri, yaitu Danish Krona. Mata uangnya relatif stabil pada kurs EUR 1 = DKr 7.30.
 
Berbeda dengan negara-negara di kawasan Scandinavia lainnya, Denmark menerapkan kebijakan free alkohol untuk dijual dan diminum di manapun juga. Kalau di Swedia dan Nowegia hanya boleh dijual di toko-toko tertentu dan di minum di dalam ruangan. Orang Denmark juga cenderung kelihatan "angkuh" di awal karena memang relatif "tertutup". Budaya hugging juga ndak umum di Denmark. Orang-orang juga berteman akrab hanya dengan rekan-rekan satu almamater di SMA atau di Universitas. Jarang sekali pertemanan akrab terjadi dalam lingkungan kerjaan. Satu hal lagi yang menarik adalah kebanggaan orang Denmark terhadap benderanya. Di banyak rumah-rumah peristirahatan saya melihat bendera Denmark dipasang. Menurut local guide kami, di acara-acara ulang tahun atau acara-acara personal lainnya juga lambang bendera mendominasi hiasan. Kebetulan desain bendera seluruh negara Scandinavia sama, hanya dibedakan warnanya saja. Mengingat kerajaan Denmark adalah yang tertua, maka diyakini desain bendera negara-negara lain di kawasan Scandinavia meniru bendera Denmark dan hanya di bedakan warnanya saja.
 
Selesai makan siang di sebuah restaurant yang tua sekali dengan menu khas Denmark berupa beberapa varian seafood dan sayuran yang disajikan dalam 1 piring besar, kami menikmati acara bebas di pusat kota Copenhagen. Bagi cewek-cewek acara bebas itu identik dengan "shopping". Padahal secara logika, harga barang-barang yang dijajakan baik itu branded maupun local brand, jauh lebih mahal dibandingkan di Indonesia. Bagi saya jelas, bahwa Scandinavia is not the place for shopping.
 
Menjelang masuk ke bis untuk menuju hotel kami dikejutkan oleh tertangkapnya seorang "penjahat" yang sudah dikejar-kejar polisi dari tempat lain. Kebetulan penjahatnya mengendarai sepeda motor ke arah rombongan kami dan terguling tepat di depan tempat berkumpulnya rombongan. Lalu berlari menghindari polisi yang mengejarnya. He... ternyata ada juga ya penjahat di kota sedamai Copenhagen. Yang saya cermati dari kejadian ini adalah tingkat keperdulian masyarakat tidak terlalu tinggi melihat kejadian ini. Kalau di Jakarta sudah pasti penjahatnya bakalan bonyok dihajar massa dan bahkan bisa-bisa di "sate" hidup-hidup. Kejadian "maling yang tertangkap" menyebabkan kami saling bercerita menurut versinya masing-masing. Minimal bisa buat "tombo kantuk" di sore hari. Sepanjang makan malam topik maling masih menjadi trending topic yang hangat. He.... malam ini kami bermalam di Scandic Hotel Copenhagen.