Senin, Maret 23, 2015

Sindrom De Javu

Carlos Ghosn adalah sebuah nama yang sangat fenomenal waktu menjabat sebagai CEO Nissan tahun 2000 sampai 2005. Dia sangat sukses dalam memimpin proses turn around pada Nissan Motor Corporation setelah bekerja sama dengan Renault dalam bentuk swap ownership. Saat itu Nissan berada di ambang kebangkrutan karena menghadapi masalah cash flow dan kultural yang seperti benang kusut. Kebijakannya dalam membentuk Cross Functional Team (CFT) untuk menjalankan Nissan Revival Plan (NRP) berhasil mengatasi hambatan kultural dan finansial yang saat itu menjerat Nissan. Berkat prestasinya, maka pada tahun 2003 mendapatkan gelar “Man of the Year” dari Fortune Magazine Asia, pada tahun 2005 Carlos Ghosn diangkat menjadi double CEO Nissan dan Renault dan pada tahun 2010 mendapatkan gelar “The Seven Most Powerful South Americans” dari majalah Forbes. Yang menarik adalah prestasinya di Nissan - Renault ternyata tidak sefantastis waktu dia memimpin proses turn around di Nissan. Ada apa gerangan? Di belahan dunia yang lain Ignatius Jonan sangat fenomenal waktu memimpin PT. KAI dan berhasil mereformasi PT. KAI dari perusahaan yang sangat kental dengan budaya in-efficiency karyawan sejak masih menjadi Jawatan Kereta Api di jaman Belanda, menjadi perusahaan yang punya budaya “performance based” seperti saat ini. Jelas ini adalah perubahan revolusioner yang diawali dengan mengganti hampir semua jajaran direktur yang menjadi direct report Jonan dengan orang-orang yang mumpuni dan berkomitmen. Akibat prestasinya yang luar biasa, orang banyak menaruh harap kepada Jonan ketika diangkat menjadi Menteri Perhubungan di Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi. Beberapa langkah terobosan sudah dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Ada apa gerangan? Dari dua ilustrasi di atas, menarik untuk dicermati bahwa kesuksesan luar biasa di masa lalu tidak selalu bisa menjamin penciptaan kesuksesan yang sama di masa mendatang. Situasi dan tantangan yang dihadapi berbeda, dan yang lebih penting lagi adalah team pendukung (followers) atau direct reportnya juga berbeda. Kita tidak bisa serta merta menggunakan strategi yang persis sama dengan strategi di mana kita berhasil mencetak kesuksesan di masa lalu. Copy dan paste jelas tidak menjamin keberhasilan. Perlu dilakukan adaptasi bahkan perubahan strategi yang radikal akibat perbedaan kondisi lingkungan yang dihadapi. Banyak pemimpin yang terjebak dengan sindrom de javu, yang sering menyebabkan pemimpin terjebak dengan keberhasilan di masa lalu. Dalam ilmu manajemen stratejik dikenal konsep Dynamic Managerial Capabilities (Adner and Helfat, 2003), yaitu kemampuan pimpinan untuk mengelola organisasi dalam lingkungan yang berbeda-beda. Pada kasus Goshn, Renault tidak dalam situasi krisis seperti halnya Nissan di akhir tahun 1990-an. Strategi turnaround Nissan tentu membutuhkan pendekatan berbeda dengan strategi pertumbuhan di Renault. Pada kasus Jonan, PT KAI lebih mirip seperti organisasi bisnis berorientasi profit dan relatif sedikit pengaruh dari politik. Sedangkan Kementerian Perhubungan adalah organisasi non profit yang sarat dengan kepentingan politik. Memakai strategi yang mirip PT. KAI pada Kementerian Perhubungan akan menurunkan efektifitas strategi tersebut. Jika mau copy dan paste, Jonan perlu merubah dan menambah hal-hal baru yang bersifat terobosan untuk mengulang sukses. Intinya adalah apa yang kita harapkan dari kedua tokoh tersebut bukan pada strategi apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, namun lebih pada kemampuannya dalam memodifikasi cara-cara lamanya yang lebih sesuai dengan lingkungan barunya. Itulah hakekat seorang pemimpin. Mari kita melakukan PERUBAHAN. Jangan terjebak pada sindrom de javu.

Jumat, Maret 20, 2015

Pygmalion Effect

Tertulislah kisah di jaman Yunani kuno, seorang pujangga pembuat patung bernama Pygmalion. Suatu hari dia membuat patung seorang perempuan yang sangat cantik yang dia beri nama Galatea. Sejak saat itu Pygmalion sangat mengagumi Galatea, patung buatannya, dan bahkan dia jatuh cinta terhadap Galatea. Setiap hari dia bercakap dan bercengkerama dengan Galatea dan dia berdoa kepada Dewa Venus agar Galatea bisa berubah menjadi manusia. Akhirnya Dewa Venus mengabulkan, Galatea benar-benar menjadi seorang gadis yang sangat rupawan. Cerita dongeng itu berakhir dengan kalimat, "and they happily live ever after". Dongeng ini menarik bagi psikolog, Rosenthal and Jacobson (1968), untuk melakukan eksperimen mengenai Self Fulfilling Prophency atau dikenal dengan nama Pygmalion Effect. Kebetulan dia mengajar 3 kelas paralel. Di kelas pertama dia mengkomunikasikan di kelas, bahwa dia menaruh harapan yang sangat tinggi atas prestasi siswa di kelas pertama. Sebaliknya dia sengaja meremehkan siswa-siswa di kelas kedua dan dia tidak memberikan treatment apa-apa di kelas ketiga. Ternyata dalam beberapa kali eksperimen, hasilnya konsisten yaitu kelas pertama mencetak prestasi rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas ketiga (tanpa treatment) dan kelas kedua prestasinya jauh di bawah kelas ketiga. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa bila diberikan harapan dan pujian yang tinggi, maka seseorang akan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Ini yang dikenal dengan Pygmalion Effect. Kondisi sebaliknya disebut Golem. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kalau kita tahu bahwa pemimpin kita menaruh harapan yang tinggi, maka kita cenderung untuk berusaha memenuhi harapan tersebut. Ini yang disebut Galatea Effect. Satu lagi, yaitu Self Efficacy yang memiliki arti apabila kiya yakin bahwa kita akan sukses, maka kita memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses. Jadi dapat dirumuskan secara matematik bahwa KINERJA = PYGMALION + GALATEA + SELF EFFICACY - GOLEM.