Jumat, Agustus 05, 2016

Menggali Akar Filosofis Perusahaan Ekonomi Berbagi Dari Pemikiran Sang Proklamator

Menggali Akar Filosofis Perusahaan Ekonomi Berbagi

Dari Pemikiran Sang Proklamator



Fenomena unik menghiasi dunia bisnis saat ini. Uber yang sama sekali tidak memiliki aset berupa taksi adalah perusahaan taksi terbesar di dunia. Bahkan nilai perusahaan yang baru berdiri kurang dari 8 tahun ini sebesar 68,8 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan nilai perusahaan dari raksasa otomotif Amerika, the three giants, yaitu Ford, General Motor dan Chrysler.

AirBnB saat ini sudah menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia, walaupun tidak memiliki aset berupa hotel dan properti. Alibaba yang didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 saat ini adalah toko ritel terbesar di dunia, walaupun juga tidak memiliki aset berupa toko. Kapitalisasi pasarnya sudah melebihi toko buku online terbesar di dunia, Amazon, yang awalnya juga tidak punya aset fisik berupa toko buku.

Di ranah nasional, fenomena serupa juga terjadi. GoJek sudah bukan lagi hanya perusahaan "ojek" terbesar di Indonesia, tetapi sudah merambah ke jasa logistik (GoBox), pengiriman makanan (GoFood) bahkan sampai ke jasa pijat (GoMassage). Padahal mereka juga tidak memiliki aset berupa kendaraan. Bahkan baru saja GoJek mendapatkan suntikan dana segar baru sebesar USD 555 juta atau setara dengan Rp. 7.30 triliun. Investornyapun bukan perusahaan main-main yang sedang kelebihan dana, yaitu Kohlberg Kravis Roberts (KKK), Warburg Pincus dan Farallon Capital. Mereka adalah para dedengkot investor yang memang banyak menaruh dana di perusahaan rintisan yang mengandalkan tehnologi. Masuknya investor baru tersebut menjadikan nilai valuasi GoJek langsung naik menjadi USD 1.3 miliar, atau sudah menjadi salah satu Unicorn asli Indonesia. GoJek menjadi lebih siap untuk bersaing dengan perusahaan sejenis dari luar, yaitu Grab, yang juga baru mendapatkan suntikan dana sebesar USD 600 juta.

Dalam dunia akademis, landasan teoritis tertua bagi perusahaan ekonomi berbagi bisa dijelaskan dengan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith (1776) dan David Ricardo (1817). Keduanya mengatakan bahwa efisiensi akan tercapai apabila bisa dipertemukan antara pemilik sumber daya yang berlebih dengan pihak yang membutuhkan sumber daya tersebut. Lloyd (1833) dalam Tragedy of Common mengemukakan bahwa sumber daya berlebih, misalnya tanah, udara dan air, yang digunakan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama akan mampu menciptakan kesejahteraan suatu masyarakat. Mudarat baru terjadi apabila sumber daya berlebih tersebut hanya dikuasai oleh sekelompok kecil manusia dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadinya.

Sedangkan apabila kita menggali landasan filosofis konsep ekonomi berbagi dari dalam negeri, maka kita akan sampai pada prinsip kesejahteraan yang dicetuskan oleh Proklamator pendiri bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta. Prinsip kesejahteraan itu kemudian dirumuskan menjadi sila kelima dalam Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Implementasinya adalah negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebuah pemikiran yang luar biasa dari Sang Proklamator, yang melampaui jamannya.

Kalau kita cermati prinsip kesejahteraan yang diusung oleh Bung Karno, ada beberapa fenomena menarik yang bisa digambarkan dengan metafora perusahaan ekonomi berbagi. Yang pertama, dalam mencapai cita-cita mensejahterakan rakyat Indonesia, Bung Karno tidak pernah memusuhi orang-orang kaya, yang notabene adalah pemilik sumber daya. Tujuan dari berdirinya suatu negara adalah mensejahterakan seluruh rakyat, yang di dalamnya terkandung makna membuat orang-orang miskin menjadi kaya, dan sama sekali bukan menjegal orang-orang kaya. Orang-orang kaya lah yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Tanpa kehadiran orang-orang kaya, maka mustahil negara bisa menjadi kaya.

Sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa semua peninggalan-peninggalan fenomenal dibangun oleh pemerintah yang kaya dan/atau orang-orang kaya pada masanya. Tidak ada negara atau bangsa yang kaya yang tidak didukung oleh banyaknya golongan masyarakat yang kaya di dalamnya.

Kita ambil contoh istana Versailles di Paris. Istana ini adalah istana termegah di dunia yang dibangun pada tahun 1661 oleh Raja Louis ke 14. Istana yang sangat megah itu mampu dibangun karena kerajaan Perancis memang mengalami masa jaya di periode tersebut. Stadion Olimpia di Yunani yang menjadi tempat penyelenggaraan olimpiade pertama di dunia juga dibangun ketika bangsa Yunani sedang mengalami masa kejayaan. Demikian pula Hanging Garden di Babilonia.

Di dalam negeri sendiri, candi Borobudur dibangun ketika masa kejayaan dinasti Syailendra. Jakarta sendiri bisa menjadi kota metropolitan, tentu membutuhkan dukungan orang-orang kaya yang ikut membangun gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Tanpa keberadaan orang-orang kaya, maka sebuah kota atau negara tidak akan bisa bertumbuh.

Jadi konsep kesejahteraan yang diusung oleh Bung Karno tidak memusuhi orang kaya. Ini sama dengan konsep perusahaan ekonomi berbagi. Perusahaan ekonomi berbagi tidak pernah membenturkan antara pemilik sumber daya dengan pengguna sumber daya. Kedua-duanya menikmati keuntungan dari proses penggunaan sumber daya secara bersama-sama.

Kedua adalah fenomena gotong royong. Gotong royong adalah inti dari Pancasila, di mana yang kuat membantu yang lemah. Konsep gotong royong ini diusung oleh Presiden Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, yang sekarang diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Dalam konsep gotong royong, si kaya dan si miskin hidup berdampingan, saling membantu dan keduanya menikmati keuntungan. Konsep gotong royong ini juga bukan konsep sama rata-sama rasa seperti dalam idiologi komunisme, tetapi penggunaan sumber daya secara bersama-sama. Dalam perusahaan ekonomi berbagi, metafora ini digambarkan bahwa untuk bisa bertumbuh perusahaan ekonomi berbagi tidak harus menguasai seluruh sumber daya stratejiknya, tetapi memanfaatkan sumber daya stratejik yang dimiliki oleh satu pihak dan membagikannya kepada pihak lain yang membutuhkan. Keduanya menikmati keuntungan. Seperti dalam kasus GoJek, penumpang bisa mendapatkan biaya transportasi yang jauh lebih murah dan aman, sementara pemilik sumber daya, yaitu tukang ojek bisa memperoleh pendapatan lebih banyak dengan memanfaatkan tehnologi IT. Dalam dunia modern, prinsip gotong royong yang difasilitasi melalui sistem aplikasi IT memungkinkan ribuan atau bahkan jutaan rakyat Marhaen atau wong cilik menjadi satu kekuatan ekonomi dan menikmati pendapatan. Kalau jaman Bung Karno dulu, rakyat Marhaen digambarkan sebagai petani miskin yang hanya menguasai sepetak tanah pertanian yang sempit, maka dalam era ekonomi berbagi modern rakyat Marhaen digambarkan sebagai rakyat kecil yang hanya memiliki sebuah sepeda motor dan bisa memperoleh kehidupan yang layak dengan bergabung bersama GoJek.

Metafora ketiga adalah tentang trust atau kepercayaan. Sebuah perusahaan ekonomi berbagi hanya bisa sukses apabila mendapatkan kepercayaan dari pemilik sumber daya dan pengguna sumber daya. Dalam hal ini pemerintah bisa berperan sebagai “perusahaan ekonomi berbagi” dalam mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Keberhasilan penerapan konsep Nawacita Bung Karno yang diadopsi oleh Presiden Jokowi adalah kuncinya. Konsep Nawacita sebenarnya berakar dari semangan perjuangan dan cita-cita Soekarno, yang dikenal dengan istilah Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Apabila pemerintah berhasil mengamalkan Nawacita ini, maka niscaya akan terbangun kepercayaan sebagai modal dasar untuk mengelola pembangunan demi mensejahterakan rakyat.

Metafora keempat yang bisa dijelaskan dengan konsep perusahaan ekonomi berbagi adalah bahwa perusahaan ekonomi berbagi tidak semata-mata menyasar keuntungan jangka pendek, tetapi lebih mengutamakan pada pertumbuhan jangka panjang. Bahkan dalam banyak kasus perusahaan ekonomi berbagi masih memberikan subsidi yang mengakibatkan laba negatif pada laporan keuangannya. Perusahaan ekonomi berbagi lebih memprioritaskan pada pertumbuhan perusahaan dengan menciptakan sebanyak mungkin traffic atau pengguna.

Landasan filosofis yang diletakkan oleh Bung Karto dan Bung Hatta jelas bahwa tujuan jangka panjangnya adalah mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan semata-mata mencari keuntungan jangka pendek bagi dirinya sendiri dan kelompoknya. Pemerintah harus belajar dari fenomena ini. Pemerintah sebagai metafora dari perusahaan ekonomi berbagi juga memang tidak boleh mencari keuntungan dalam perannya sebagai mediator. Tetapi pemerintah memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu bertumbuhnya kue ekonomi suatu negara yang pada gilirannya membagikan kue ekonomi tersebut secara adil dan merata, sehingga akan mensejahterakan seluruh warga negaranya.

Bagian akhir dari tulisan ini akan membahas masalah ekonomi berbagi dalam kaitannya dengan koperasi. Fakta yang terjadi di banyak belahan dunia adalah runtuhnya ekonomi di banyak negara yang menganut sistem sosialisme. Bahkan negara-negara komunis seperti China, Vietnam bahkan Rusia sudah menerapkan sistem ekonomi pasar. Sementara di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara kapitalis, krisis sering dan berulang kali terjadi. Tetapi harus diakui bahwa ekonominya bertumbuh, karena ditopang oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang dikelola dengan sistem manajemen modern yang pruden sekaligus inovatif. Di negara-negara kapitalis perusahaan-perusahaan besar didorong dan difasilitasi untuk terus maju dan berkembang sehingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Sistem ekonomi kerakyatan yang diusung oleh Bung Karno jelas bukan berarti bahwa perusahaan-perusahaan besar Indonesia yang sudah dikelola secara baik dan modern harus dikerdilkan. Tetapi bahkan tetap harus didorong agar lebih maju dan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Kalau memang demikian, lalu apa bedanya dengan sistem kapitalisme ala Barat?

Ekonomi kerakyatan jelas berbeda. Dalam sistem ekonomi kerakyatan negara hadir dan menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok Marhaen, wong cilik, dan para pengusaha kecil. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, kelompok Marhaen, wong cilik dan para pengusaha kecil tidak dibiarkan bertarung sendiri melawan perusahaan-perusahaan raksasa. Dengan meminjam konsep ekonomi berbagi para pengusaha kecil disatukan, diintegrasikan dan dikelola secara profesional oleh perusahaan besar yang memang memiliki kemampuan untuk itu. Penggabungan puluhan, ribuan dan bahkan jutaan pengusaha kecil dalam sebuah kooperasi yang dikelola secara modern, akan memampukan mereka untuk bersaing secara profesional dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kalau perusahaan-perusahaan kecil dibiarkan secara sendiri-sendiri seperti dalam konsep kapitalisme, maka pengusaha kecil ini jelas akan digilas oleh yang besar dan mereka akan mati sebelum pernah menjadi besar. Harus diakui bahwa ini belum dilakukan oleh pemerintah. Beberapa BUMN yang dimiliki pemerintah memang sudah memberikan pelatihan dan bantuan kepada pengusaha kecil. Tetapi sifatnya masih sekedar sumbangan dalam bentuk keperdulian sosial perusahaan atau dikenal dengan nama keren CSR (corporate social responsibility). Bukan hal ini yang dimaksudkan dan ini jelas tidak cukup untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada wong cilik.

Yang perlu dilakukan adalah diprakarsainya pembentukan BUMN besar yang mampu merangkul para pengusaha kecil yang jumlahnya puluhan, ribuan bahkan jutaan, dan mengintegrasikan mereka dalam sebuah kooperasi yang dikelola secara profesional dan modern. Misalkan kelompok tani, nelayan, peternak dan seterusnya. Tanpa melalui mekanisme ini, selamanya para petani, nelayan dan peternak akan tetap menjadi pengusaha kecil yang miskin. Contoh menarik yang bisa kita tiru adalah koperasi puluhan ribu peternak susu sapi di Selandia Baru yang diintegrasikan ke dalam satu wadah, yaitu Fontera dan dikelola secara profesional dan modern. Sebagai sebuah koperasi Fontera mampu bersaing dengan perusahaan manapun di dunia bahkan menjadi salah satu produsen susu sapi terbesar di dunia. Inilah hakekat ekonomi berbagi dalam bentuk koperasi yang diusung oleh Bung Hatta di awal pendirian republik ini. Jadi bentuknya bukan sekedar koperasi yang selama ini kita kenal, misalnya koperasi simpan pinjam, koperasi unit desa, dan lain-lain. Tentu saja di sini peran negara sangat vital dalam memberikan dukungan penuh kepada BUMN yang ditunjuk untuk merangkul dan menyatukan para pengusaha kecil. Kalau ini diterapkan maka koperasi, di samping korporasi bisa menjadi soko guru yang menopang ekonomi Indonesia. Dan seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno, tidak bakalan ada rakyat miskin di negeri yang gemah ripah lok jinawi. Konsep ekonomi berbagi dalam bingkai ekonomi kerakyatan adalah salah satu solusinya. Semoga dengan konsep ini, cita-cita pendiri bangsa bisa terwujud, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ditulis oleh Dr. Harris Turino sebagai sumbangan pemikiran bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Kamis, Agustus 04, 2016

Business Model

Business Model menjadi sebuah istilah yang popular dalam 10 tahun terakhir ini. Banyak pelaku bisnis dan para pengamat serta konsultan Manajemen menggunakan istilah "Business Model" untuk menggambarkan logika bisnis yang mereka jalani. Di antara para scholars sendiri belum ada definisi yang baku tentang "binatang" apa sebenarnya business model itu. Beberapa scholars bahkan bersikap skeptical dengan mengatakan bahwa istilah business model itu bersifat tautological, artinya barang lama yang diberi nama baru biar lebih keren. Mereka mengganggap bahwa business model adalah sama dengan blue print perusahaan dalam mencari profit.

Ndak salah memang, karena patokan kebenarannya memang belum disepakati. Definisi yang paling umum tentang business model adalah sebagai sebuah narasi deskriptif yang logis tentang bagaimana sebuah perusahaan menciptakan nilai yang dibutuhkan pelanggannya dan mendapatkan profit. Definisi ini banyak dipakai dan diamini termasuk oleh Osterwalder & Pigneur yang menulis buku berjudul Business Model Generation and memperkenalkan konsep Nine building blocks of business model.

Tetapi mencermati beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, rasanya definisi tentang business model sudah harus di revisit. Perusahaan tidak semata-mata mencari profit jangka pendek dari operasi perusahaan sehari-hari, tetapi menyasar pertumbuhan jangka panjang. Akuisisi perusahaan aplikasi pengirim pesan Whatsapp oleh Facebook tahun lalu membuktikan adanya fenomena itu. Selama didirikan praktis Whatsapp bukan hanya belum pernah membukukan profit, tetapi pendapatannya pun nol. Sebagai aplikasi pengirim pesan yang paling popular di dunia saat ini, Whatsapp tidak beriklan dan tidak mengenakan bayaran bagi para pemakainya. Dulu memang pernah ada wacana untuk menarik "iuran" sebesar USD 1 per tahun, tetapi hal itu tidak pernah dilaksanakan. Sudah pasti Whatsapp akan ditinggalkan oleh penggunanya bila menerapkan iuran ini.

Yang menarik di sini adalah bagaimana mungkin perusahaan yang hampir tidak punya pendapatan bisa laku dijual pada harga USD 19 milyard atau setara dengan hampir Rp. 250 triliun? Kalau menggunakan definisi yang lama tentang business model, maka narasi tentang Whatsapp menjadi tidak logis karena perusahaan tidak mendapatkan profit, bahkan revenue pun tidak. Lalu siapa yang berani bilang bahwa business model Whatsapp tidak masuk akal? Kalau ndak logis, kok bisa laku semahal itu?

Di tanah air dunia bisnis juga kembali digemparkan oleh masuknya investor baru ke GoJek sebesar USD 555 juta atau setara dengan Rp. 7.3 triliun. Yang menginvestasikan dananya pun bukan perusahaan main-main yang kelebihan dana, yaitu KKR & Co., Warburg Pincus, dan Farallon Capital. Perusahaan ini adalah termasuk dedengkot investor yang banyak menaruh dana di perusahaan rintisan yang mengandalkan tehnologi. Memang CEO GoJek, Nadim Makarim mengklaim bahwa telah terjadi kenaikan jumlah booking dua kali lipat dari 340 ribu menjadi 660 ribu per hari atau rerata sekitar 20 juta bookingan per bulan. Tetapi mengingat fakta di lapangan bahwa masih besarnya angka subsidi yang diberikan perusahaan, maka bisa dipastikan bahwa sampai detik ini perusahaan belum bisa menangguk untung. Jadi kalau menggunakan definisi lama tentang business model, maka narasi (cerita) nya menjadi ndak logis karena ndak untung. Tapi faktanya ada investor uang mau memasukkan dananya. Dengan masuknya dana sebesar ini diyakini GoJek akan lebih siap bersaing dengan Grab, yang juga baru mendapatkan kucuran dana sebesar USD 600 juta.

Sebagai perusahaan ekonomi berbagi, baik Grab maupun GoJek memang tidak memiliki asset strategis berupa sepeda motor. Tetapi kedua perusahaan tersebut memiliki akses terhadap asset strategis tersebut. Melalui aplikasi online mereka mempertemukan antara orang yang membutuhkan transportasi dengan pihak yang memiliki alat transportasi. Mirip dengan konsep value network pada dunia perbankan. Hanya bedanya perbankan semata-mata mendapatkan keuntungan jangka pendek dari operasinya sebagai "penghubung" sementara Grab dan GoJek lebih mengandalkan pertumbuhan jangka panjang, dengan fokus pada peningkatan traffic penggunanya.

Dari beberapa fenomena bisnis di atas, maka saya rasa definisi tentang business model perlu direvisit. Business model adalah sebuah cerita yang logis tentang bagaimana sebuah perusahaan menciptakan nilai melalui aktivitas bisnisnya dan mendapatkan profit DAN/ATAU BERTUMBUH. Mumpung belum dibakukan di antara para scholars, ndak ada salahnya urun rembug demi kemajuan ilmu pengetahuan dan bisnis.

Yang sampai sekarang masih menjadi perenungan saya adalah apakah fenomena pada perusahaan ekonomi berbagi seperti Uber, AirBnB, GoJek, Grab itu memang merupakan business model yang baru yang berkesinambungan, atau hanya sekedar bubble semata. Sulit untuk diprediksi. Sejarahlah yang akan menentukan. Yang jelas pemerintah perlu menciptakan aturan main yang adil dan jelas bagi perusahaan ekonomi berbagi. Bukan hanya tidak menghentikan, tetapi kudu menopang sepenuhnya agar perusahaan ekonomi berbagi Indonesia bisa menjadi unicorn yang mampu bersaing, minimal di kancah regional. Agar Indonesia tidak hanya dijadikan pasar belaka.

Salam Strategeek, titik temu praktisi bisnis dan dunia akademis.

Rabu, Agustus 03, 2016

Orang Utan di Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah

Sudah lama saya mendengar nama Taman Nasional Tanjung Puting yang menjadi tempat penangkaran orang hutan di Kalimantan Tengah. Rekan bisnis saya, pak Hendra Purnomo dan So Yohanes Jimmy sudah pernah mengunjunginya beberapa tahun lalu. Keinginan untuk menengok "saudara tua" akhirnya baru kesampaian kali ini. Kebetulan ada urusan yang harus diselesaikan di Pangkalan Bun, maka aku memutuskan untuk sekalian mengambil cuti untuk berwisata ke TN Tanjung Puting.

Persiapan awal saya lakukan dengan mencoba searching di internet dan menghubungi beberapa nomer telepon dari agen-agen wisata yang memajang iklannya di website. Pilihannya ada 2, yaitu menggunakan kapal klotok untuk berwisata sekaligus bermalam di kapal selama 3 hari dua malam, atau menggunakan speedboat dan bermalam 1 malam di hotel Rimba Eco Lodge yang terletak di dalam kawasan wisata. Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah peserta, maka saya memilih pilihan yang kedua. Kunjungan kali ini aku memang sendirian. Ya, berkelana seorang diri, karena beberapa rekan fotografer kebetulan sulit mengatur jadwal wisata yang memang pas di tengah minggu. Akhirnya saya memutuskan mengajak Sungadi, salah seorang rekan kerja saya di kebun Lamandau yang kebetulan akan mengambil cuti lebaran. Dia tadinya adalah karyawan di Universitas  Prasetiya Mulya, yang kemudian beralih profesi menjadi wartawan foto di salah satu harian di Kalimantan, lalu saya tarik menjadi korlap di usaha angkutan saya di Kalimantan Tengah. Jadilah kita berdua, sehingga beban di pundak jauh lebih enteng karena saya ndak perlu nenteng-nenteng kamera dan lensa yang segedhe bagong sendirian. Ini saja dari Jakarta pundak sudah terasa pegal dibebani ransel hampir seberat 20kg dan masih menenteng koper lensa 500 mm yang juga lumayan berat. Alhamdulillah, masalah beban sudah terbagi. Apalagi sebagai mantan fotografer koran, minimal dia juga pencinta fotografi. Jadi buat dia juga untung, bisa jalan-jalan gratis sambil jeprat-jepret, mengenang profesi lamanya.

Perjalanan diawali dengan naik mobil menuju ke Pelabuhan Taman Nasional Tanjung Puting yang terletak kira-kira 1km dari perlabuhan penumpang Panglima Utar Kumai. Jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota Pangkalan Bun. Jalanannya relatif mulus dan datar, walau sepeda motor banyak bersliweran. Sesampainya di pelabuhan, kami sudah dijemput oleh pak Alam, kapten kapal speedboat yang kami sewa. Dia orang asli Kumai dan sudah berprofesi sebagai pengemudi speedboat sekaligus pemandu wisata selama 15 tahun. Orangnya sangat ramah dan informatif. Kami langsung naik speedboat dan dengan kecepatan tinggi membelah air yang berombak di Teluk Kumai. Goncangan speedboat awalnya  tidak terlalu mengganggu. Setelah berjalan kira-kira 15 menit, kami mulai berbelok ke kiri dan masuk ke sungai Sekoyer untuk memasuki kawasan taman nasional. Nama Sekoyer diambil dari nama kapal milik seorang saudagar Belanda yang dulu tenggelam di sungai itu. Menyusuri sepanjang sungai yang tenang dengan lebar kira-kira 50 m, Alam bercerita bahwa sisi kiri dari sungai adalah tanah milik warga. Ada beberapa jenis usaha di sisi kiri, mulai dari penambangan emas sampai perkebonan kelapa sawit BGA. Sisi kanannya merupakan taman nasional yang dilindungi. Konon di sungai ini banyak sekali buaya bermunculan ketika air surut. Buaya terbesar yang pernah terlihat memiliki panjang sekitar 6 m. Kontan saya bertanya, lah nanti speedboat kecil kita di makan buaya donk. Dengan senyum dia menjawab, buaya ndak bisa manjat ke speedboat. Yang bahaya adalah kalau turun dan berenang di sungainya. Ha..... Tapi sepanjang perjalanan sampai ke hotel, ndak seekor buaya pun yang nampak. Cecak pun tak nampak. Entah itu mitos atau beneran.

Sepanjang perjalanan menuju ke hotel ratusan bekantan bahkan mungkin ribuan bergelanyutan di pepohonan tinggi. Mereka bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok adalah satu keluarga dengan 1 jantan, beberapa betina dan anak-anak mereka. Ndak ada jantan lain dalam kelompok tersebut karena antar bekantan jantan kalau bertemu pasti berkelahi, bahkan sampai mati atau terusir keluar. Aneh juga ya, mereka menganut azas poligami. Saya ndak tahu data statistik gender binatang ini. Kalau melihat fenomena ini, harusnya jumlah betina memang dominan. Kalau ndak khan kasihan, banyak jantan yang terpaksa menjadi jomblo seumur hidup, sementara yang lainnya berpesta pora dengan para betinanya. He... Atau dunia kera memang tidak adil.

Dengan lensa long tele 500 mm aku mencoba mengabadikan momen kelompok-kelompok keluarga yang sedang bercengkerama. Tetapi ternyata tidak mudah. Speedboat yang ukurannya kecil selalu bergoyang, walau airnya relatif tenang. Padahal kombinasi 1dx m2 dengan lensa 500 mm beratnya aujubilah. Maka ya sudah, saya coba kompensasi dengan mengaktifkan mode IS di lensa dan memakai ISO 4000 agar bisa mendapatkan speed yang tinggi. Hasilnya mungkin tidak maksimal, tetapi ya inilah kompromi yang paling bisa dilakukan.

Sepanjang perjalanan kami menjumpai belasan kapal klotok yang menyusuri sungai. Kapal klotok ini kapasitasnya 6 orang menginap dan berjalan lebih tenang dan lambat karena ukurannya yang besar. Di atas kapal inilah penumpang bermalam sekaligus menikmati makanan dan minuman yang disajikan. Ndak ada kamar khusus, hanya springbed yang digelar di dek atas secara berjajar. Sementara kru kapal klotok tidur di dek bagian bawah. Biasanya kapal ini akan sandar di pinggiran sungai ketika bermalam. Asyik juga tuh nampaknya. Ntar deh lain kali aku pengin nyobain naik kapal klotok ama rombongan rekan-rekan fotografer. Buat motret pasti lebih nyaman dan ndak goyang. Dari hasil ngobrol malam harinya dengan para kru kapal klotok yang mangkal di depan hotel, aku mendapatkan informasi bahwa biaya wisata 3 hari 2 malam di atas klotok adalah 12 juta untuk 6 orang, atau 9 juta untuk 4 orang. Ini sudah all in, termasuk jemputan dari bandara dan kembali ke bandara, makan minum selama dibatas kapal klotok, tiket wisata dan guide. Jadi rerata sekitar 2 jutaan per orang. Menurutku masih wajar, mengingat ini akan menjadi pengalaman baru keluar dari kepenatan Ibukota. Tapi tentu kudu bareng ama rekan-rekan yang nyaman diajak jalan bareng. Apalagi kalau "seiman" alias sama-sama tukang potret. Pasti asyik.

Tepat pukul 18.30 kami sampai di Hotel Rimba Eco Lodge yang terletak tepat di pinggir sungai. Total ada 36 kamar, walau malam ini hanya terisi kurang dari setengahnya. Kebanyakan orang memilih menginap di klotok dari pada bayar lagi menginap di hotel. Bangunannya sederhana dan terbuat dari kayu, termasuk kamar mandinya. Ukuran kamarnya cukup lebar, sekitar 16 m persegi. Kasurnya kurang nyaman karena masih memakai dipan dan spring bed murahan. Tapi kebersihannya cukup terjaga. Pelayannya juga sangat ramah dalam menyambut tamu. Lumayan layak untuk harga Rp. 800 ribuan booking lewat Agoda. Hotel ini katanya dimiliki oleh orang Australia. Makan malam di hotel ndak terlalu istimewa, walau harganya standard bule. Berdua kita habis 450 ribuan untuk 4 jenis lauk. Tapi berhubung lapar dan pelayanannya ramah, ya ndak keberatan lah. Apalagi badan saya letih sekaligus awalnya mual berat akibat mabok kapal. Untung cepat pulih setelah dipijat sebentar oleh Sungadi.

Selesai makan kami jalan ke dermaga. Di situlah satu-satunya tempat yang ada signal hp. Itupun hanya telkomsel dan juga on and off. Saya coba menghubungi istri untuk mengabarkan agar orang dibrumah ndak panik, kok laku gue ndak bisa ditelepon. Jangan-jangan di makan ama buaya atau bahkan pergi ama "orang utan". He....

Ada satu hal menarik mengenai hotel ini. Walau terletak di pinggir sungai dan di antara pepohonan yang rimbun ternyata di sini ndak banyak nyamuk. Ini berbeda dibandingkan waktu kami mampir di salah satu ground camp di Yosemite National Park California. Baru turun dari mobil udah diserbu nyamuk yang hampir segedhe lalat. Menurut informasi dari para krue klotok yang mangkal di dermaga depan hotel, penyebabnya adalah air sungainya mengalir dan tidk banyak sampah plastik. Jadi habitatnya ndak cocok bagi nyamuk untuk bertelor. Masuk akal juga alasannya.

Walaupun ndak sempat melihat, tapi aku yakin masih banyak ular di seputaran area hotel. Bodel bangunan kayu yang menyerupai panggung (elevated) menyisakan tanah gambut berair yang masih rungkut oleh habitat vegetatif yang cocok buat ular dan saudara-saudaranya. He....

Selesai makan malam, kuhabiskan waktu bercengekrama dengan para kru kapal klotok yang mangkal di dermaga. Aku berkenalan dengan salah satu kapten kapal, yaitu Hartono serta seorang tour guide Darmin yang sangat ramah dan informatif. Menurut mereka kalau liburan musim panas di belahan barat Bumi, maka banyak sekali turis dari Spanyol yang datang berkunjung. Hampir seluruh klotok terpakai habis setiap hari. Ada 102 klotok yang beroperasi. Aneh juga ya, di tengah hutan begini, wisata ini bisa terkenal sampai ke Spanyol, yang ndak punya hubungan historis dengan Indonesia. Pengunjung lokal hanya ramai pas musim liburan anak sekolah. Kalau di luar bulan Juli - September kebanyakan turis datang dari Inggris dan Amerika. Wisata ini sudah dimulai sejak ada seorang bule yang membangun camp penangkaran dan penyelamatan orang hutan di Kalimantan beberapa belas tahun lalu. Di camp inilah si bule menyelamatkan orang utan yang habitatnya tergusur akibat pengembangan lahan sawit di Borneo. Oleh pemerintah Indonesia dengan didukung badan dunia, lalu dijadikan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting yang dilindungi dan dijadikan obyek wisata.

Pagi harinya kami dijemput oleh Alam jam 8.30 dan langsung menuju ke camp 2, tempat acara pemberian makan orang utan. Kami harus berjalan kaki kira-kira 2 km dari dermaga. Ketika kami sampai di sana, suasana sudah ramai. Mungkin sekitar 60an orang pengunjung berdiri berjajar di belakang tali pembatas mengabadikan orang utan yang sedang menyantap pisang dan nangka. Konon katanya di camp 2 ini raja orang utannya bernama Doyok. Badannya gedhe sekali. Dia akan menjadi orang utan pertama yang berani menyentuh makanan yang memang sengaja disajikan oleh pihak taman nasional. Baru sesudah Doyok selesai makan, maka orang utan lainnya akan mulai berebut. Tapi kali ini sang raja ndak kelihatan. Mungkin dia lagi berkelana di wilayah lain di taman nasional yang luasnya 440.040 hektar. Konon daya jelajah orang utan adalah 8 km per hari. Sang raja hanya mampir bila diindikasikan ada pejantan lain yang mengganggu para betinanya di daerah kekuasaannya. Atau sekedar untuk memenuhi hasrat biologisnya.

Waktu berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke lokasi pemberian makanan, aku dikejutkan oleh seekor orang utan yang tiba-tiba nongol dan berdiri di depanku. Alam, si kapten kapal, yang sekaligus merangkap sebagai guide memberikan aba-aba kepadaku untuk tetap tenang dan menghindari eye contact dengan si orang utan. Padahal aku sudah grogi juga. Sudah kugenggam erat monopod yang memang sengaja aku bawa untuk menopang long tele sekaligus untuk tongkat dan "senjata". Si orang utan yang belakangan diketahui bernama Kopral cuman memandang sebentar, mendusin lalu berjalan. Mak plong rasanya melihat Kopral melenggang menuju ke arena. Para turis yang sedang menonton juga bergeser minggir, karena keder juga lihat badan Kopral yang lumayan besar. www.facebook.comBahkan orang utan lain pun langsung menyingkir melihat kedatangan Kopral. Ternyata si Kopral memanfaatkan kesempatan absennya Doyok buat menggoda betina-betina yang rata-rata membawa anak kecil. Oalah, di samping poligami, ternyata di dunia orang utan kesetiaan bukan sesuatu yang sakral. Kalau rajanya ndak ada, ya hulubalangnya juga ok. He....

Di antara para wisatawan, mungkin kami (saya dan Sungadi) adalah satu-satunya orang lokal. Hampir semuanya orang Spanyol. Ada sepasang orang Jepang. Di samping menonjol karena menjadi minoritas di kalangan para "bule", aku juga satu-satunya yang memotret menggunakan lensa long tele 500 mm. Di tengah keringat bercucuran menggotong kamera dan lensa, tiba-tiba ada 3 orang cewek yang mendatangi dan menyapaku. Alamak, cantik nian nih cewek. Mereka minta ijin lihat hasil jepretan pakai lensa long tele. Bahkan kemudian mereka minta difoto juga. Ha.... Tentu saja aku ndak keberatan memotret tiga cewek cantik itu. Mereka cerita bahwa mereka berlibur selama 3 minggu ke Indonesia. Sudah mengunjungi Jogjakarta, termasuk candi Borobudur dan Prambanan. Lalu terbang ke Pangkalan Bun. Besok mereka akan ke Surabaya, lalu lanjut ke Bali dan Lombok. Sebuah perkenalkan singkat dengan 3 cewek jelita. Ternyata di tengah hutan ada juga yang bening-bening. He.....

Setelah selesai di camp 2, kami menuju ke dermaga tempat pengawas taman nasional. Di sana kami makan siang ditemani seorang pengawas bernama A Tjay. Dia ternyata dulunya keturunan Tionghwa karena namanya cukup unik untuk orang lokal Kumai. Apalagi matanya juga sipit. Dari mulut A Tjay kita banyak mendengar soal awal berdirinya kawasan konservasi orang utan ini di pertengahan tahun 1970an. Dulunya kawasan ini hancur akibat illegal logging yang ndak bisa dicegah oleh warga karena di backing oleh aparat bersenjata. Baru di tahun 1992, kawasan ini dinyatakan terlarang bagi seluruh aktivitas penebangan dalam bentuk apapun. Sejak pertengahan tahun 1980an wisata naik kapal klotok mulai berkembang. Dan baru 2-3 tahun terakhir memang didominasi oleh turis asal Spanyol, terutama saat summer holiday.

Selesai istirahat makan siang, perjalanan dengan speedboat dilanjutkan menuju ke camp 3, yaitu Camp Lakey. Di sinilah tempat awal konservasi orang utan. Dermaga di camp Lakey sudah padat waktu kami merapat. Puluhan kapal klotok sudah bersandar. Sebagian pengunjungnya masih menikmati makan siang di atas kapal klotok. Perjalanan menuju ke lokasi feeding orang utan kali ini lebih jauh. Mungkin sekitar 3 km. Cukup lumayan di tengah terik matahari yang menyengat di sela-sela pepohonan dan udara yang sangat lembab, menyebabkan bahan gembrobyos sesampainya di lokasi. Tom sang raja orang utan di wilayah ini juga ndak kelihatan. Yang nongol malahan orang utam betina yang masing-masing menggendong bayinya. Beberapa kali terlihat mereka saling gertak kalau ada betina lain yang mendekati panggung tempat mereka makan. Mungkin itu adalah luapan kecemburuan di antara para betina. Konon jumlah orang utan di kawasan taman nasional Tanjung Puting menurut survey tahun 2013 adalah sebanyak 6000 ekor. Aku baru tahu bahwa orang utan itu bukan monyet, tetapi lebih mirip ke simpanse tanpa ekor. Katanya tingkat kecerdasannya ada di bawah simanse dan gorila, tetapi jauh di atas bekantan apalagi monyet. Usia hidupnya rerata 55 tahun dan sepanjang hidupnya seekor orang utan betina bisa melahirkan 5 kali, tiap 4 tahun sekali. Jadi perkembangan populasinya memang lambat. Memang layak dilindungi dan tidak boleh dibiarkan punah. Habitatnya di alam bebas sekarang semakin terdesak oleh pengembangan lahan perkebunan sawit. Jumlah hutan alam semakin menyempit. Saya sendiri baru kali pertama melihat hutan yang sebenarnya di Kalimantan. Selama ini cuman tahu hamparan sawah dan perkebunan sawit saja. Konon banyak kisah-kisah tragis dibunuhnya orang utan demi motif ekonomi.

Tepat pukul 15.30 kami meninggalkan dermaga camp Lakey dan langsung menuju ke pelabuhan Kumai. Jarak sejauh 46 km di tempuh selama 1.5 jam menggunakan speedboat. Katanya kalau pakai klotok perlu waktu 4-5 jam. Kemacetan memang terjadi di seputaran dermaga. Di samping itu jalur air mendekati camp 3 memang relatif jauh lebih sempit. Lebar rerata bentangan sungainya hanya 10-15 m, jauh lebih sempit dibandingkan di seputaran camp 2 dan camp 1 yang bisa mencapai 50 - 75 m. Tepat pukul 17.00 kami merapat di dermaga Kumai. Badan letih dan lengket, kepala pusing dan lapar. Tapi aku puas dalam kunjungan kali ini. Sebuah pengalaman baru berwisata air sambil menyaksikan balada orang utan. Ntar aku pasti kembali bersama rekan-rekan fotografer.