Jumat, Desember 09, 2016

A Deep Sleep by Montecristo


   
A Deep Sleep by Montecristo

Dentuman musik keras bertalu di antara lengkingan suara penyanyinya. Jujur, saya tidak mengerti keindahan sebuah musik, apalagi yang berjenis rock. Jiwa seniku memang tidak pernah tumbuh dan berkembang sejak aku lahir. Logika dan rasionalitas lebih mendominasi perjalanan hidupku.

Tetapi melihat sosok penyanyinya, saya yakin ini adalah album yang berkelas. Dalam soal musik, Eric Martoyo adalah sosok perfeksionis yang tak kenal kompromi. Saya mengikuti cerita bagaimana komitmennya soal waktu, kualitas bahkan budget dalam proses pembuatan album perdana Montecristo yang berjudul Celebration of Birth. Berpuluh bahkan mungkin beratus malam dia habiskan untuk bergumul di studio bersama team bandnya. Proses mastering albumnya juga dikerjakan di Studio 301 Sydney oleh Steve Smart.

Album yang kedua ini, pasti ndak kalah seriusnya. Kalau Celebration of Birth bercerita tentang Kelahiran, maka album kedua dengan judul A Deep Sleep bercerita soal Kematian. Kelihatannya Eric mempertahankan formula “Rock Yang Berkisah”, di mana lyrics lagunya banyak memaksa pendengar untuk berkontemplasi.

Lagu pertama dengan judul Alexander mengangkat kisah tentang napak tilas Alexander The Great 350 tahun sebelum masehi. Ini adalah sosok yang dikagumi oleh seorang Eric Martoyo. Kisah Alexander ini mengajarkan kita tentang filsafat Jawa yang berbunyi, “Menang tanpo ngasorake”, di mana Alexander tidak pernah membumi hanguskan kota yang ditahlukannya, tetapi bahkan membangunnya. Lagu kedua dengan judul Mother Nature adalah kisah nostalgia si kecil Eric yang berasal dari kota Ketapang. Dia begitu mengagumi kedamaian kota asalnya yang kini berubah total atas nama globalisasi, modernisasi dan ketamakan.

The Man in A Wheelchair sebagai lagu ketiga mengisahkan perjuangan seorang Stephen Hawking dalam menguak misteri alam semesta. Ini juga salah satu tokoh yang sangat dikagumi oleh Eric Martoyo. Sebuah pelajaran berharga bisa kita petik, bahwa keterbatasan fisik akan tahluk oleh tekad dan semangat yang tinggi. Lagi keempat dengan judul Simple Truth sangat cocok dengan kondisi saat ini, di mana kebohongan, nista, dusta dan fitnah menghiasi media sosial sepanjang hari. Tiada lagi kedamaian, kebenaran, ramah tamah dan budi luhur yang konon pernah menjadi ciri khas warga negara zambrut khatulistiwa.

Lagu kelima Ballerina bercerita tentang sesosok manusia yang terkagum-kagum oleh penampilan sang penari balet yang sedang meliuk di atas pentas, yang sebenarnya tak sengaja dia saksikan. Tubuh sang ballerina seringan bulu, namun sekuat baja, sekokoh karang, sekaligus selembut sutera. A Deep Sleep sebagai lagu keenam, sekaligus sebagai tema sentral dari album ini, berkisah tentang kegalauan seorang sahabat ketika ajal hendak menjelang. Dia sadar bahwa kelahirannya adalah sebuah dentuman besar yang menciptakan kiamat-kiamat kecil yang disebut kehidupan. Dia tahu bahwa kematian adalah sebuah tidur yang panjang, di mana tiada lagi ego dan eksistensi. Semuanya akan larut dan diserap oleh semesta alam, akhirnya berujung pada sebuah nihilitas yang abadi.

Lagu ketujuh adalah sebuah kontemplasi tentang kehidupan. Tentang masa kanak-kanak yang tiada beban dan tanpa prasangka, sampai akhirnya kedewasaan membawa kesadaran dan tanggung jawab. Kehidupan yang tadinya indah dan sederhana menjadi semakin kompleks bak berlayar di tengah samudra raya tiada berujung. Dia lalu bertanya dalam diam, kehidupan itu sebuah berkah, atau malah sebuah kutukan, A Blessing or A Curse?  Point Zero sebagai lagu kedelapan terinspirasi oleh novel karya Nawal El Saadawi yang berjudul “Perempuan di Titik Nol”. Perempuan itu menderita sepanjang hidupnya, sampai akhirnya dia membayar sebuah kebenaran dengan nyawanya setelah menembakkan senjata kepada tangan-tangan yang mencengkeram dirinya, ketika dia hendak kembali ke jalan yang fitrah.

Rendezvous adalah judul lagu kesembilan yang berkisah tentang bertemunya kembali para tokoh band yang tercerai berai oleh ego dan kesuksesan. Kata persatuan dalam perbedaan, kebersamaan dalam kebhinekaan kini semakin jauh dari kehidupan insan pertiwi. Lagu ini layak dijadikan bahan perenungan perjalanan bangsa yang sedang menghadapi cobaan.

Lagu terakhir yang berjudul Nanggroe sebenarnya didedikasikan bagi para korban tsunami yang melanda Aceh di Desember 2014. Ketika gempa kembali mengguncang tanah Serambi Mekah minggu ini, kumandang lagu ini semoga membangkitkan kembali semangat saudara kita di Aceh yang sedang berjuang melawan alam. Bencana sebesar apapun tak akan mampu  menggoyahkan warga Aceh untuk tetap berdiri tegak menyongsong kehidupan yang lebih baik. Insya Allah.