Rabu, Juli 15, 2015

Ramadhan Holiday 2015 - Day 6 - Helsinki

Ramadhan Holiday 2015 - Day 6 - Helsinki
 
Memasuki hari keenam tour Ruscan di kota Finlandia diawali dengan breakfast di pagi hari. Kalau kemarin bertemu dengan "gerombolan" pelancong asal China, hari ini kami banyak bertemu dengan atlit senam dari banyak negara yang juga tinggal satu hotel bersama kami. Saat ini memang sedang diselenggarakan even gymnasium yang terbesar di dunia dan kebetulan vanuenya terletak tidak jauh dari hotel kami. Saya melihat paling tidak ada kontingen dari Republik Dominika, German, Belanda, Jepang, Rumania dan beberapa negara lain yang makan pagi bareng kami. Suasananya tidak se-crowded kemarin pagi dan cukup nyaman untuk menyantap sarapan tanpa harus "bersaing" dengan "turis kelaparan".
 
Tidak banyak pemandangan yang indah yang kami temui di Helsinki. Apalagi sesudah menyaksikan bangunan-bangunan super megah di Russia, maka Helsinki tampak seperti kota "modern". Negara ini memang tidak memiliki masa lalu yang fantastis. Menurut catatan sejarah bahkan Finlandia dijajah selama 650 tahun oleh Russia dan dilanjutkan dengan dijajah 110 tahun oleh Swedia. Berarti lebih parah dari Indonesia yang "cuman dijajah" 350 tahun oleh Belanda. Finlandia baru merdeka tahun 1917.
 
Negara Finlandia memang relatif kecil dengan total penduduk hanya 5,6 juta jiwa. Penemuan "bersejarah" di kota ini adalah sauna. Konon budaya sauna berawal dari negeri ini. Di tiap rumah orang kaya punya private sauna, sama seperti tradisi memiliki kolam renang di Indonesia. Menurut Mrs. Brigitta, local guide kami hari ini, ada 2,2 juta sauna di seluruh Finlandia. Berarti jumlah sauna per kapita hampir 0,45, suatu angka yang sangat fantastis. Menurut hemat saya, ini terkait dengan udara dingin yang menyelimuti negeri ini hampir 6 bulan dalam setahun. Lah wong di tengah musim panas seperti sekarang ini aja suhunya hanya sekitar 15 derajad celcius.
 
Walaupun termasuk negara "seupil", sistem pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia. Anak-anak mulai wajib sekolah di usia 7 tahun dan itupun belum diajarkan konsep baca tulis. Hanya main-main saja. Logikanya kalah jauh donk kalau dibandingkan anak-anak Indonesia yang sejak 2 tahun sudah di"sekolahkan" dan orang tuanya sangat bangga bila anaknya sudah bisa membaca di usia 4 tahun. Tetapi data dan fakta berbicara lain. Finlandia adalah negara dengan ratio PhD per kapita terbesar di dunia. Ternyata tidak ada hubungan antara semakin dini usia belajar dengan tingkat kesuksesan pendidikan, atau bahkan hubungannya negatif. Ini yang perlu dicatat oleh Mas Anis Baswedan sebagai Menteri Pendidikan Dasar Indonesia.
 
Kalau mencermati kondisi ekonomi Finlandia saat ini, saya kok agak miris. Memang benar bahwa ini tergolong negara maju, tetapi kemajuannya dulu banyak disokong oleh keberadaan Nokia. Bahkan konon ada anekdot bahwa jumlah pegawai Nokia "lebih banyak" dibandingkan dengan pegawai negeri di Finlandia. Lah dengan runtuhnya Nokia, yang sekarang industrinya hanya tinggal Nokia Network saja setelah mobile devicenya dijual ke Microsoft, praktis tidak ada lagi yang dibanggakan dari Finlandia. Konon banyak PhD mantan pegawai Nokia yang nganggur akibat runtuhnya Nokia. Sehingga yang muncul adalah start-up companies di bidang tehnologi yang didirikan oleh para "pengangguran intelek" tersebut. Tentu saja perusahaan tersbut sulit bersaing di kancah global mengingat pasar di Finlandia yang sangat kecil dan biaya tenaga kerja yang sangat mahal. Konon banyak para "pengangguran intelek" itu yang mencari kerja di luar negeri. Peluang ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Menteri Pendidikan Tinggi dan Ristek untuk mengundang mereka masuk dan membangun industri telekomunikasi di Indonesia yang pasar domestiknya jelas sangat besar. Apalagi data statistik akademis Indonesia menunjukkan bahwa saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 10,000 PhD di bidang science dan tehnologi. Lah kalau mengandalkan lulusan lokal, mau sampai berapa puluh atau bahkan ratus tahun lagi kondisi ini baru terpenuhi.
 
Kembali soal ekonomi Finlandia, negeri ini sekarang ditopang oleh industry forestry dan kelautan. Ada beberapa industri logam, tetapi skalanya tidak besar. Tourism masih memberikan sokongan positif, tetapi ini khan jangka waktunya pendek, hanya di musim semi dan musim panas saja. Menjelang Oktober Finlandia sudah tidak nyaman untuk dikunjungi. Akibatnya pertumbuhan ekonominya relatif lambat. Dengan tingkat aging population yang tinggi, 35 persen penduduk berusia di atas 55 tahun, sudah jelas negara welfare state ini memiliki beban yang sangat besar.
 
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Sibelius Monument yang terletak di Sibelius Park. Monumen ini didirikan untuk mengenang Jean Sibelius seorang komposer musik yang sangat terkenal pada tahun 1900an. Bentuk monumennya adalah deretan 600 pipa stainless yang dijejer-jejer vertikal dengan ketinggian 8.5 m dan panjang 10.5 meter. Buat saya ndak ada sama sekali yang menarik dari monumen itu. Monumen kereta kuda di depan Bank Indonesia jalan Medan Merdeka Barat jelas lebih megah dibandingkan cuman deretan pipa yang ndak jelas artinya.
 
Tempat kedua yang kami kunjungi, yaitu Helsinki Cathedral juga sama tidak menariknya, apalagi sesudah melihat katedral Santo Isaac yang sangat luar biasa di Russia. Katedral ini dibangun tahun 1830 sampai 1852 untuk mengenang Kaisar Nicholas I dari Russia. Maka dulu namanya adalah Nicholas Church sebelum diganti sejak Finlandia merdeka.
 
Kami sempat melewati shopping mall terbesar di Finlandia. Namanya Stockmann. Dari sisi ukuran paling cuman sebesar Plaza Senayan, masih kalah jauh dibandingkan dengan mall-mall raksasa di Indonesia. Demikian pula Market Square, pusat jualan dan jajanan pasar seperti Ladies Market di hong Kong. Ndak ada yang istimewa.
 
Yang cukup unik adalah gereja Church in the Rock, sebuah gereja yang didirikan di dalam "gua dari batu". Padahal kalau kita cermati, ya itu bukan gua, tetapi memang dindingnya yang terbuat dari batu. Ini mengingatkan sayaakan kisah perjalanan sekelompok pengikut Jesus mula-mula yang banyak dikejar-kejar oleh tentara Romawi. Mereka menyingkir ke bukit dan membentuk koloni dan menjalankan ibadat dalam gua yang terbuat dari batu cadas yang disebut Qumran. Bukti-bukti historis menunjukkan adanya penemuan gulungan-gulungan papirus dalam gentong yang ditemukan dalam sebuah gua cadas. Isi dari naskah kuno tersebut adalah tata cara ibadat dan kitab suci Perjanjian Lama. Saya tidak tahu apakah Church in the Rock ini terinspirasi oleh pengalaman di Qumran tersebut.
 
Secara keseluruhan, dari sisi pemandangan, tidak ada yang menarik untuk dilihat. Aku sendiri ndak akan berkunjung lagi ke kota ini untuk wisata, kecuali kalau untuk keperluan akademik. Dulu Strategic Management Society Meeting, pertemuan tahunan terbesar para schollar di bidang Strategic Management, pernah diselenggarakan di kota ini. Tapi saya ndak ingat tahunnya.
 
Malam ini kami tidur di kapal pesiar yang berlayar dari Helsinki menuju Stockholm. Dari peta menunjukkan jarak kedua kota ini hanya sekitar 400 km yang akan ditempuh oleh kapal pesiar ini dalam waktu 17 jam. Kami mulai berlayar tepat jam 5 sore waktu Helsinki dan diperkirakan besok mendarat jam 9 pagi waktu Stockholm (jam 10 waktu Helsinki). Kapalnya sendiri cukup besar dan mampu memuat 2832 penumpang. Panjangnya 203 meter dan lebarnya 31.5 meter. Ini sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan Star Cruise Virgo yang berlayar dari Singapore menuju ke Phuket dan Langkawi. Tetapi goyangannya relatif lebih stabil. Mungkin karena rute yang kami lewati adalah Laut Baltik yang praktis memang bukan lautan lepas yang ombaknya raksasa.
 
Interior kapalnya cukup mewah dan hampir semua fasilitas kapal pesiar kelas atas tersedia, mulai dari kolam renang, sauna, puluhan restaurant dan bar serta tentu saja Casino. Kamar yang kami tempati relatif nyaman, hanya memang ukurannya terlalu sempit. Mungkin hanya sekitar 3 x 5 m dengan dua ranjang terpisah. Melihat ribuan penumpang yang check in, saya sulit membayangkan berapa besar logistik yang dibutuhkan untuk "melayani" para penumpang tersebut. Tentu ini kerja keras yang tidak mudah. Coba kalau Indonesia memiliki kapal pesiar semewah ini, minimal untuk rute Jakarta - Semarang. Tapi apa ada cukup penumpangnya ya.
 
Sambil menunggu tenggelamnya matahari jam 10.12, saya memandang lautan lepas. Pikiranku melayang dan membayangkan apa yang pernah terjadi dengan Kapal Titanic yang akhirnya tenggelam menabrak bongkahan es. Mungkin suasananya saat sebelum kecelakaan itu yang seperti yang aku alami saat ini. Banyak penumpang sedang makan dan minum, sementara sebagian lagi sedang berdansa atau bahkan cuman tidur-tiduran di kabin. Saya bayangkan kalau seandainya kapal yang aku tumpangi ini tenggelam, tentu kita semua akan mati kedinginan di tengah lautan. Ha... lamunan gila yang menakutkan.