Senin, Oktober 29, 2018

Sinta Nuriyah : Pak Harris Turino Pasti Menggunakan Amanah Dengan Baik

Adalah satu kehormatan yang luar biasa bahwa saya bisa diterima oleh ibu Sinta Nuriyah Abdulrachman Wahid di kediaman beliau di Ciganjur dalam suasana santai dan penuh kekeluargaan.

Sinta Nuriyah Pak Harris Turino Semoga Dapat Menggunakan Amanah Dengan Baik
Sinta Nuriyah Pak Harris Turino Semoga Dapat Menggunakan Amanah Dengan Baik
Sambil duduk di kursi roda Ibu memberikan restu bagi saya untuk maju sebagai Calon Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan.

Pesan Ibu Sinta jelas dan lugas agar saya benar-benar menggunakan amanah ini untuk memperjuangkan kepentingan warga di Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes.

Harris Turino Kurniawan DPR RI

Terima kasih Ibu atas doa dan restunya. Saya juga akan sampaikan salam Ibu buat rekan-rekan Gusdurian di Dapil saya.

Rabu, Oktober 17, 2018

Diskusi Ekonomi Berbagi Bersama Mahasiswa Tegal

Berbisnis di era milenial persainganya semakin berkembang pesat, apalagi bisnis online yang sedang menggeliat. Bahkan munculnya Aplikasi Taksi dan Ojek online seperti Uber, Gojek dan Grab menjadi contoh menggeliatnya perkembangan Bisnis di era milenial.

Menggeliatnya ekonomi di era milenial menarik untuk didiskusikan baik bersama para praktisi, akademisi bahkan mahasiswa.

Diskusi Ekonomi Berbagi Bersama Mahasiswa Tegal

Saya sangat bersyukur sebab pada Senin pagi (15-10-2018) Berkesempatan untuk Berdiskusi dengan Ratusan Mahasiswa STAI Bakti Negara Tegal, dan pada kesempatan diskusi ekonomi berbagi di era milenial.

Buku Terbaru saya "Menerawang Kiprah Ekonomi Berbagi di Era Hiperkompetisi" Juga sekalian dilaunching.

Terimakasih Kepada Mahasiswa STAIBN Tegal, Pak Ketua STAIBN dan jajaran dosen, Dema STAIBN, HMJ Ekonomi Syariah dan Segenap Tim lainya.

Diskusi Ekonomi Berbagi Bersama Mahasiswa Tegal
Diskusi Ekonomi Berbagi Bersama Mahasiswa Tegal
Dr. Ir. Harris Turino, MSi., MM - Calon Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan nomer urut 2 untuk Dapil Jawa Tengah 9 - Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes

Senin, Oktober 15, 2018

Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino

Kesederhanaan, keterbukaan, keakraban dan keberanian adalah ciri dan karakter dominan masyarakat Tegal. Ini tercermin dengan jelas pada sosok seorang Slamet Ambari (pemeran Jadag) dan Ubaidillah (pemeran Turah), dua orang hebat asal Tegal yang menjadi pemeran utama dalam film Turah yang baru saja mendapatkan penghargaan dalam Best Duet dari Popcon Asia.

Jelas ini bukan penghargaan yang pertama, tapi sudah yang kesekian kalinya. Walau film nya tidak memiliki nilai komersial yang tinggi, tetapi Turah sudah melanglang buana dan meraih puluhan penghargaan internasional, baik di Asia maupun Eropa.
Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino
Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino

Untuk kesekian kalinya saya menonton lagi film Turah. Kali ini di IFI (Institut Francais Indonesia) Thamrin yang terletak di dalam Kedutaan Besar Perancis di Jakarta.

Yang istimewa adalah acara nonton bareng ini dihadiri oleh mas Jadag dan mas Turah sebagai dua tokoh sentral dalam film tersebut. Sayang sang sutradara, mas Wicaksono Wisnu Legowo ndak bisa hadir.
Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino

Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino

Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino

Slamet Ambari dan Ubaidillah Pemeran Film Turah Dukung Harris Turino

Film berbahasa Tegal ini mengangkat keseharian masyarakat yang hidup di perkampungan miskin di Desa Tirang. Sutradaranya orang Tegal, semua pemainnya juga orang Tegal.

Film ini adalah salah satu yang menginspirasi saya (Harris Turino) untuk maju menjadi Calon Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan dalam Pileg 2019. Saya yang lahir dan dibesarkan di kota Slawi (Tegal) ingin bisa berbuat sesuatu buat daerah di mana saya berasal.

Yuk teman-teman dari Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes, kita berjuang bersama. Bukan untuk saya, tapi untuk kita masyarakat Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Demi kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Jumat, Oktober 12, 2018

Slamet Ambari : Warga Tegal Sedang Diperjuangkan Oleh Harris Turino

Ketika Anda mendengar nama Slamet Ambari, mungkin sebagian besar warga Tegal dan Brebes sudah mengenal. Namun mungkin juga banyak yang mengenal nama Slamet Ambari sebagai Jadag, Dalim, dan lain sebagainya.

Hal ini dikarenakan berbagai video ala masyarakat Tegal dibawakan olehnya dengan apik.

Baru-baru ini Slamet Ambari membuat video lagi yang bertemakan Kartu Indonesia Sehat, ini menjadi penting karena masih banyak warga Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes yang belum memiliki KIS (Kartu Indonesia Sehat).

Silahkan simak video berikut ini


Didalam video tersebut Slamet Ambari memberikan pesan, bahwa Harris Turino sedang memperjuangkan hak-hak rakyat tegal-brebes.

Bagaimana kalau ternyata Harris Turino lupa dan berbohong?

Dijawab oleh Slamet Ambari "Aku weruh cilikane, wong Tegal Asli, nek klalen karo masyarakat Tegal - Brebes tinggal di landrat" ujarnya.

Kamis, Juli 19, 2018

Pernyataan Politik Perdana Dr. Harris Turino

Bulan ini usiaku genap 50 tahun, usia yang sudah cukup matang ditinjau dari ranah perjalanan karier, akademik dan kedewasaan. Perjalanan hidup yang cukup panjang sudah kulalui bersama keluargaku tercinta, rekan-rekan bisnis dan kolega-kolega akademis serta sahabat-sahabat tercinta.
Setelah melalui pergumulan yang panjang, kontemplasi diri dan berdialog dengan Tuhan melalui doa-doa yang kupanjatkan, aku memutuskan untuk meniti karier baru di dunia politik sebagai calon anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah IX melalui PDI Perjuangan. Terima kasih kepada Ibu Ketua Umum dan Sekjend yang sudah memberikan kesempatan kepadaku untuk bergabung dalam rampak barisan PDI Perjuangan.
Dunia politik adalah dunia yang sama sekali baru bagiku. Sebuah dunia yang bagi sebagian besar orang menilai bahwa ini adalah soal perebutan kekuasaan dan harta semata. Dunia yang konon katanya kotor dipenuhi oleh intrik sekaligus komedi dan drama. Dunia yang kadang menghalalkan segala cara demi merebut sebuah kemenangan. Sekaligus dunia yang memberikan kesempatan untuk memberikan kontribusi lebih bagi negeri.
Maka wajar jika banyak rekan, sahabat dan bahkan awalnya keluargaku sendiri bertanya, “Apa yang sebenarnya kau cari dalam politik?”. Semua ini berawal dari sebuah keprihatinan yang sangat mendalam, melihat negeri yang begitu indah dan damai ini sekarang sedang digoncang prahara. Kerukunan antar warga negara dan antar umat beragama yang menjadi simbol tingginya akhlak bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan yang luar biasa.
Begitu gampangnya orang meneriakkan ujar-ujar kebencian yang mengancam persatuan negeri. Begitu maraknya “amok” terjadi di negeri yang dulunya terkenal berbudi luhur. Kalau ini semua dibiarkan, Indonesia bisa hancur berkeping. Sudah begitu banyak contoh gamblang yang terjadi di banyak belahan dunia. Pendiri negeri akan menangis dalam kuburnya, dan kita ikutan berdosa kalau kita ikut larut dalam ketidakperdulian, karena negeri ini sejatinya adalah milik anak cucu kita.
Sebagai orang yang dilahirkan di negeri ini, makan, minum, menempuh pendidikan, meniti karier dan mengais rejeki dari tanah Indonesia dan nantinya akan mati berkalang tanah di bumi pertiwi, apakah yang bisa aku lakukan bagi negeri yang aku cintai ini? Kelihatannya sangat utopia, tetapi sejujurnya itulah dasar utama kenapa aku memilih untuk mencoba masuk dalam dunia politik. Bukan demi kekuasaan, bukan demi harta, tapi sebagai balas budi yang bisa kuberikan bagi negeri yang aku cintai.
Lewat dunia baru ini, aku ingin memberikan kontribusi untuk menjaga keutuhan negeri. Akan kudedikasikan karierku demi mengadministrasi keadilan sosial dalam dunia pendidikan. Inilah satu-satunya jalan agar masyarakat yang selama ini kurang beruntung dan terpinggirkan, bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan. The way is education. Pendidikan bukan hanya mencerdaskan manusia, tetapi sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat. Lewat kesempatan memperoleh akses pendidikan pulalah, rasionalitas bangsa akan terbangun, sehingga tidak mudah termakan oleh ujar-ujar kebencian dan berita-berita hoax. Lewat pendidikan pulalah Trisakti Bung Karno, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan akan tercapai. Pada gilirannya cita-cita negeri yang dijabarkan secara gamblang oleh para pendiri bangsa bisa terwujud, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa memasuki pintu gerbang dunia politik bukanlah hal yang mudah dan murah. Apalagi buat orang baru seperti diriku. Aku mohon doa restu dan dukungan para senior partai, rekan-rekan, para sahabat serta kolega agar aku mampu melewati proses seleksi yang panjang dan melelahkan.
Buat rekan-rekan yang punya jejaring di daerah pemilihan saya Kabupaten dan Kodya Tegal serta Kabupaten Brebes, dan memiliki nilai dan semangat yang sama, yaitu mempertahankan keutuhan NKRI yang berbhinneka dalam kerangka Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, sudilah kiranya berkenan menggunakan jejaring itu untuk mendukung perjuangan yang sedang aku jalani.
Mari kita berjuang bersama. Sudah saatnya kita sebagai insan Republik tidak diam dan mendiamkan. Sudah saatnya kita menunjukkan keberpihakan kita pada kebenaran. Satyam Eva Jayate, kebenaran sejati yang akan menang. Semoga Tuhan meridhoi perjuangan ini.

Selasa, Juli 10, 2018

Quo Vadis Ekonomi dan Politik Indonesia

Puncak peradaban manusia adalah kemampuan untuk bekerja sama, bukan hanya melakukan dan memenangkan persaingan. Itulah yang dikatakan Prof. Djisman Simandjuntak dalam acara Makan Malam Bersama Rektor Universitas Prasetiya Mulya. Ini juga sejalan dengan teori koopetition (kemitraan strategis antar pesaing) yang awalnya dipelopori oleh John Forbes Nash dalam Game Theory (1944), dan lalu banyak dikembangkan oleh Dagnino dan Padula (2002). Yang menarik adalah bahwa bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang memiliki jiwa gotong royong, saat ini mengalami defisit yang luar biasa untuk mampu bekerja sama, apalagi bekerja sama dengan pesaing. Budaya insularisme (munculnya banyak sekat-sekat) terutama primordialisme dan politik identitas membuat defisit kerja sama semakin melebar.

Padahal tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini bukan hanya tantangan domestik, tetapi sudah menjadi tantangan global. Kalau defisit ini dibiarkan, maka bisa dipastikan Indonesia tidak akan mampu untuk bersaing di kancah internasional. Apalagi kemajuan tehnologi dan disrupsi ekonomi dengan berbagai varian model bisnisnya menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dielakkan oleh bangsa manapun juga.

Pada tataran global, sebenarnya ekonomi dunia saat ini sudah mulai bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap dampak dari buritan krisis sub prime mortgage tahun 2008. Pertumbuhan rerata ekonomi dunia saat ini berada pada kisaran 3.8%, suatu angka yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi normal di kisaran 3.0 – 4.0%. Memang dari sisi perdagangan internasional, pertumbuhannya belum mencapai level 7.5% seperti masa pra krisis. Saat ini perdangangan internasional masih tumbuh pada level 4.7%. Angka ini sudah sebenarnya sudah cukup bagus.

Indikator-indikator pendukung lainnya adalah mulai naiknya harga barang-barang komoditas seperti batu bara, CPO, baja, timah dan barang komoditas lainnya. Sebagai produsen dan net eksporter produk-produk komoditas, Indonesia tentu diuntungkan dengan kenaikan ini. Tetapi pertumbuhan ekonomi memang tidak selamanya membawa dampak positif. Ikutan negatifnya adalah kenaikan tingkat suku bunga akibat tekanan inflasi, ketika tingkat pengangguran menurun.

Secara berkala, Amerika sudah mulai menaikkan tingkat bunga Fed Fund, yang saat ini sudah berada pada level 2.0% dan ditargetkan akan menjadi 2.5% pada akhir tahun 2018. Kenaikan tingkat bunga ini tentu memberikan tekanan tersendiri bagi Indonesia yang memiliki total hutang luar negeri di kisaran USD 650 miliar, di mana separuhnya adalah hutang swasta. Walaupun tingkat hutang ini masih aman bila ditinjau dari besaran utang dibandingkan dengan GDP Indonesia (kurang dari 30%) maupun dari sisi solvabilitas jangka panjang dan likuiditas jangka pendek, tetapi tetap kenaikan tingkat bunga ini menyebabkan naiknya beban hutang yang harus dibayarkan oleh pemerintah dan swasta.

Yang menarik adalah bahwa hampir semua indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan ada pada kisaran 5.2% (OECD report 2018) dan bahkan tahun depan di tahun politik pertumbuhan ekonomi diperkirakan naik menjadi 5.4%. Lembaga-lembaga pemeringkat dunia juga sepakat menempatkan Indonesia pada “investment grade”. Pelemahan kurs rupiah dan penurunan harga saham masih bisa dipahami sebagai gejolak jangka pendek yang bukan hanya melanda Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya pemicu dari membaiknya indikator ekonomi makro? Mudah ditebak, penyebabnya adalah besarnya pengeluaran sosial pemerintah (social expenditure) dalam bentuk dana BPJS, dana pembangunan desa, dana perimbangan daerah dan tentu saja kenaikan harga komoditas serta mulai dipetiknya hasil investasi di bidang infrastruktur yang sudah mulai ditanam dalam 3 tahun terakhir. Perlu disadari bahwa dampak dari pembangunan infrastruktur ini selalu bersifat lagging (ketinggalan) dan efeknya baru akan dirasakan 3-5 tahun setelah pembangunan dimulai.

Nah untuk memenangkan kancah persaingan global, ada dua hal yang mutlak harus dicermati. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dipacu lebih tinggi lagi agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap (jebakan kelas menengah). Seperti yang diajarkan dalam teori dalam Ilmu Fisika, diperlukan kecepatan minimum tertentu agar suatu obyek bisa keluar dari orbitnya. Tingkat kecepatan itu memang berbeda untuk masing-masing negara. Tetapi belajar dari kesuksesan beberapa negara yang sudah mampu keluar dari middle income trap, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi pada kisaran mendekati atau lebih dari double digits untuk satu periode waktu yang cukup panjang. Untuk menyokong pertumbuhan ekonomi ini maka pembangunan infrastruktur mutlak terus untuk digalakkan. Tidak mungkin suatu negara memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan bila tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Infrastruktur ini adalah sebuah syarat perlu, bukan syarat cukup.







Syarat cukupnya adalah yang kedua, yaitu kestabilan politik. Tanpa adanya kestabilan politik, tidak mungkin investor asing maupun domestik akan menanamkan modalnya di tanah air. Padahal investasi inilah sumber penopang pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Kestabilan politik inilah yang sedang diperjuangkan oleh PDI Perjuangan sebagai partai penyokong utama pemerintah. Seperti dijelaskan oleh Sekjend PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, politik itu tidak semata adalah perebutan kekuasaan belaka. Politik adalah membangun peradaban. Politik yang didasarkan pada kerja sama untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang dijabarkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945. Kesadaran elit politik untuk bekerja sama membangun NKRI yang bhinneka berdasarkan Pancasila mutlak diperlukan. Apapun pilihan politiknya, asal demi kesatuan Indonesia, patut didukung. Maka mari kita gunakan hak pilih kita secara cerdas, demi masa depan anak cucu kita.

Selasa, Juni 26, 2018

Memilih Dengan Nurani

Saya ingat sebuah kisah yang pernah dituturkan oleh YE Mr. Tan Hung Seng, Permanent Representatives Singapura untuk Asean, bahwa ketika merdeka dulu Singapura hanyalah sebuah negara kecil yang miskin dan kotor. Masyarakatnya sangat tidak taat aturan dan bahkan seenaknya meludah dan membuang sampah di mana-mana. Celakanya negara seupil itu juga tidak memiliki sumber daya alam sama sekali. Bahkan air bersih dan sayuranpun harus diimpor dari tetangganya. 

Tapi dalam kurun waktu hanya 2-3 dekade, Singapura berubah menjadi negeri mungil yang sangat indah, bersih, tertib dan kaya raya. Bahkan mampu menjadi pusat perdagangan barang dan uang kelas dunia. Ini adalah sebuah mukjizat yang luar biasa. 

Kisah yang hampir mirip juga terjadi pada Uni Emirat Arab (UEA).  Bedanya, negara federasi yang didirikan tahun 1971 ini memang kaya akan minyak, dan sebenarnya tidak perlu melakukan sesuatu yang radikal. 

Tapi Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan dan Sehikh Rashid bin Saeed Al Maktoum,  dua pemimpin berpengaruh UEA tidak berpikir demikian. Mereka ingin menumbuhkan UEA tidak semata-mata bergantung pada minyak. Visi mereka adalah ingin menjadikan UEA sebagai salah satu hub dan pusat investasi dunia. 

Sejak akhir 1970-an mereka aktif mendidik kaum pemudanya di luar negeri,  memperbesar pelabuhan Rashid tahun 1978 dan membangun satu lagi yang lebih besar,  yaitu Jebel Ali (saat ini menjadi pelabuhan tersibuk ke 9 di dunia). Tahun 1985 didirikan maskapai Emirate, yang pelayanannya menjadi salah satu terbaik di dunia. Kita bisa melihat bagaimana perkembangan Dubai dan Abu Dhabi dalam dua dekade terakhir, di atas tanah gurun pasir yang gersang. 

Kata kuncinya adalah menemukan pemimpin yang memiliki hati nurani, pemimpin yang membangun negerinya, pemimpin yang bukan hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri dan tentu saja pemimpin yang bersih serta bebas korupsi. Sosok pemimpin inilah yang menciptakan masa depan. 

Maka buat rekan-rekan di daerah yang besok melaksanakan pilkada, pilihlah dengan rasional. Jangan hanya mengandalkan pragmatisme kesamaan suku, agama dan golongan semata. Pilih pemimpin yang menjaga keutuhan NKRI, yang setia pada UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar dan filosofi kehidupan bangsa Indonesia, serta yang mengusung kebhinnekaan sebagai sebuah keniscayaan yang memperkokoh persatuan Indonesia.

Masa depan daerah kita sangat tergantung dari siapa pemimpin yang kita pilih. Kita berdosa kepada anak cucu kita kalau kita salah memilih pemimpin, karena masa depan adalah milik mereka. Salam perjuangan.

Dr. Harris Turino

Minggu, Juni 24, 2018

Satyam Eva Jayante

Maraknya berita palsu atau hoax yang merajalela di ranah digital kini menjadi rutinitas yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Bukan hanya media sosial dan situs-situs online, tetapi juga percakapan melalui group pesan instan dipenuhi oleh berita yang kebenarannya perlu dipertanyakan. Salah satu contoh yang sedang marak dalam beberapa hari ini adalah pernyataan seorang tokoh partai politik yang mengatakan bahwa acara mudik tahun ini seperti “neraka” karena terjebak kemacetan. Padahal faktanya hampir semua pemudik mengakui bahwa penanganan pemerintah untuk lebaran tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, bukan hanya dari sisi relatif lancarnya arus mudik dan arus balik, tetapi juga terkendalinya harga-harga bahan pokok pada level kenaikan yang wajar.

Fenomena ini menarik untuk dicermati. Begitu mudahnya orang mengunggah status  di media sosial atau pesan instan tanpa memperdulikan kebenarannya. Jean Baudrillard, seorang filsuf asal Perancis, menamainya sebagai jaman hiperrealitas, dimana tak ada lagi batas yang jelas antara ilusi dan kebenaran. Di tengah banjir bah informasi, orang bahkan dibingungkan oleh mana informasi yang benar dan asli?

Media sosial semestinya dimanfaatkan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan menyebarkan konten-konten positif. Sayangnya, beberapa pihak memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten negatif. Group pesan instan yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi, bahkan sering menjadi arena “Perang Baratayudha”. Sesama rekan saling mencaci dan menyerang pribadi, bahkan sampai menggunakan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan oleh insan terdidik. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi akar penyebab di balik semua ini.

Dalam artikel pendek ini saya mencoba mengupasnya dengan pisau analisa Antropologi, sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia dengan mengedepankan dua konsep penting, yaitu holistik dan komparatif (David Hunter, 1977). Cabang Antropologi tradisional sendiri agaknya sulit untuk mengupasnya secara holistik dan komparatif. Maka saya sengaja memakai cabang Antropologi Digital yang memang membahas hubungan antara manusia dan perkembangan tehnologi digital. Ini adalah cabang Antropologi yang relatif baru, yang terdiri dari techno-anthropology, digital ethnography, cyberanthropology dan virtual anthropology.

Dalam Antropologi Digital, fenomena ini pada hakekatnya adalah melting point (titik temu) antara tiga kelompok. Yang pertama adalah segerombolan besar manusia bodoh yang tidak bersikap kritis dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Tentu ini menjadi sasaran empuk atas banjirnya informasi yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Keterbatasan kognitif membuat kelompok ini tidak mau dan tidak mampu melakukan validasi atas informasi yang mereka dapatkan. Celakanya mereka berusaha menutupinya dengan ikut menyebarkannya untuk menunjukkan eksistensi mereka di dunia modern.

Data yang dikemukakan oleh Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho, menunjukkan bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia adalah kedua terbawah setelah Botswana, sebuah negara terbelakang di Afrika. Septiaji mengacu pada hasil riset World's Most Literate Nation yang dipublikasikan pertengahan tahun lalu. Dari 61 negara yang dilibatkan dalam studi tersebut, Indonesia memang menempati urutan ke-60 soal minat baca masyarakatnya.

Ironisnya Indonesia ternyata tergolong teraktif di dunia dalam memposting di media sosial, terutama melalui Tweeter dan Facebook, maupun di group pesan instan. Sayang yang di postingkan kebanyakan adalah sebuah copy dan paste, bukan ide orisinalnya. Yang terjadi adalah sebuah simmulacra, yaitu copy atas copy atas copy atas copy yang tak jelas lagi sumber asalnya, apalagi kebenarannya. Persetan dengan ontologi dan epistemologinya. Yang penting posting sebagai bukti eksistensinya sebagai insan post modernist. Akademisi dan intelektual Muslim, Komarudin Hidayat, menengarai bahwa banyak orang ingin jadi yang pertama dalam menyebar informasi, mencari sensasi, berlomba-lomba menikmati kesenangan dalam kebohongan.

Yang lebih parah lagi, para "penulis jadi-jadian" ini bahkan menciptakan hipertextual dengan menambahkan "realita" baru ke dalam postingannya, hanya berdasarkan persepsinya yang terbatas, kadang tanpa pernah menguji orisinalistasnya, apalagi membayangkan dampaknya.

Kelompok kedua sebaliknya adalah kelompok para sofis[1], cerdik cendikia yang memiliki kemampuan intelegensia tingkat atas. Bagi mereka realitas adalah sesuatu yang abstrak dan bisa dibentuk melalui rumusan-rumusan penalaran bahkan lompatan-lompatan logika yang tidak beraturan. Mereka sebenarnya paham betul bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia (Edward Makinon, 1982). Celakanya mereka sengaja menciptakan kebenaran menurut versi mereka sendiri dan demi kepentingan mereka sendiri (Jason Rodrigues, 2013). Bahkan ada yang sengaja memelintir realitas demi mengharapkan dampaknya, yang merusak sendi-sendi kebhinekaan kita. Kepandaian memang akan menjadi sangat berbahaya di tangan orang-orang yang tidak memiliki nurani.

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang haus kekuasaan dan gemar menghalalkan segala cara demi mencapai kekuasaannya. Dengan kekuatan ekonomi yang menopangnya mereka memanfaatkan kepintaran kelompok kedua, “si pencipta realitas semu” untuk mempengaruhi kelompok pertama yang memang membutuhkan eksistensi dan pengakuan (Alexander Knorr, 2011). Mereka tidak perduli atas dampak segregasi yang tercipta di masyarakat dan kerusakan pranata sosial yang santun dan toleran, yang hakikinya adalah ciri khas bangsa Indonesia. 

Intoleransi sengaja dipupuk dan melalui media sosial ketidaksukaan satu kelompok kepada kelompok lain, saat ini semakin berani diekspresikan di ruang publik. Dikotomi antara “kami” dan “mereka” semakin dipertegas dan dihadapkan secara diametral. Emosi sosial dikembangkan dengan wacana ketidak-adilan sosial dan menempatkan “kami” sebagai korban dan kaum yang terzolimi oleh “mereka” yang berkuasa saat ini. Emosi sosial ini pada gilirannya akan mampu menekan rasionalitas, bahkan termasuk bagi kelompok masyarakat akademis yang seharusnya memiliki alur logika yang runut.  

Menurut Adian (2018), intoleransi ini adalah cikal bakal dari terorisme, baik itu terorisme keras yang diekspresikan dalam bentuk kekerasan, pengeboman, persekusi, atau terorisme lunak yang lebih berupa ekspresi intoleransi secara terbuka dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media sosial. Para politisi yang tujuannya adalah menggalang simpati jelas lebih memilih terorisme lunak dibandingkan terorisme keras yang menimbulkan antipati. Ini jelas lebih sulit untuk diatasi karena tersembunyi dalam keseharian masyarakat. Manifestasinya bisa beragam, misalnya menolak mengakui keberhasilan orang lain, haram memberikan ucapan selamat, menebar fitnah bahkan merekayasa kebenaran.

Jelas ini adalah sebuah virus yang sangat berbahaya bagi keutuhan negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses menuju kehancuran ini akan dibiarkan? Sebagai insan waras yang terdidik, kami seharusnya terpanggil untuk ikut bersuara, meneriakkan kebenaran dan menggalakkan toleransi dalam keberagaman. Politik bukan semata perebutan kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Seperti yang sering dikatakan oleh Hasto Kristyanto, Sekjend PDI Perjuangan, politik itu juga membangun peradaban manusia. Bukankah membangun peradaban bangsa yang lebih kokoh dalam persatuan dan meningkatnya toleransi adalah hakikinya cita-cita pendiri bangsa Indonesia.

Tetapi tentu saja kita tak mungkin berjuang sendiri. Negara juga harus menunjukkan kehadirannya, sebagai institusi yang tidak boleh kalah oleh suara-suara bising sekelompok kecil yang bersuara lantang. Sudah saatnya semua komponen bangsa bersatu dan berdiri di garda terdepan menyuarakan kebenaran yang sesungguhnya. Agar sang pengadil bebas memutus berdasarkan hati nurani. Serta para pamong dan aparat tidak kecut dan ciut hatinya, ketika tiba waktu untuk mengarahkan moncong senapan, demi sebuah kebenaran hakiki dan masa depan republik. Saya percaya pada kata Satyam Eva Jayante, kebenaran yang sejati akhirnya akan menang. Mari kita tingkatkan kewarasan kita demi Indonesia kita tercinta.

Dr. Harris Turino

[1] Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup pada akhir abad ke 5. Kaum sofis sering dipandang secara negatif karena banyak mengajarkan tentang retorika (seni mempengaruhi orang lain), dan manipulasi dengan kadang menghalalkan segala cara untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran menurut versinya sendiri

Kamis, Juni 21, 2018

Selamat Ulang Tahun Jokowi

Dalam pidatonya di Facebook Prabowo mengatakan bahwa Indonesia sudah berada di arah yang salah. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi dijadikan pegangan. Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi slogan saja tanpa dilaksanakan. Contohnya, ekonomi Indonesia tak mempertimbangkan sila ke-5 Pancasila, 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. "Bagaimana kita bisa katakan keadilan sosial kalau yang menguasai kekayaan bangsa kita hanya segelintir orang saja. Kurang dari 1%. Bahkan ada yang mengatakan tidak lebih dari 300 keluarga dari 250 juta orang yang menikmati kekayaan bangsa Indonesia," kata Prabowo.

Pidato ini menarik untuk dicermati. Ketimpangan kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah sistem ekonomi. Tidak mungkin kue ekonomi bisa dibagi secara absolut merata, termasuk di negara komunis yang konon mengusung prinsip “sama rata sama rasa”. Ketimpangan kesejahteraan diukur dengan Gini Ratio. Semakin rendah angka Gini Rationya maka kesejahteraan semakin terdistribusi merata. Kisaran angkanya adalah 0.00 sampai 1.00. Negara-negara kaya di Scandinavia memiliki Gini Ratio di level 0.25 – 0.30, sedangkan negara berkembang biasanya ada pada kisaran 0.35 – 0.50. China yang menerapkan sistem komunis bahkan berada di level 0.465. Indonesia sendiri saat ini berada pada level 0.391. Angka ini masih berada pada batas toleransi aman di bawah 0.45. 

Sejarah perjalanan republik mencatat bahwa keluarga-keluarga konglomerat yang saat ini menguasai kue ekonomi muncul pada 32 tahun pemerintahan Soeharto. Harus diakui ini adalah keberhasilan Soeharto dalam membesarkan perusahaan-perusahaan konglomerat sehingga mampu bersaing dengan perusahaan dari negara lain. Sebagai pemegang tampuk estafet pemerintahan, itulah warisan kondisi yang dihadapi oleh Jokowi. Membangun Indonesia yang berkeadilan sosial tentu bukan dilakukan dengan mengebiri perusahaan-perusahaan Indonesia dan BUMN yang sudah terlanjur besar. Tentu perusahaan besar dan BUMN ini harus tetap didukung pemerintah untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.

Saya sepakat dengan Prabowo bahwa ke depannya keadilan sosial dan pemerataan pendapatan lintas sektoral, lintas geografis dan lintas temporal harus ditingkatkan. Itulah yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Presiden Jokowi melalui program kerja nyatanya. Meng-administrasi keadilan sosial artinya negara menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat kecil dan berupaya mengangkat kesejahteraan mereka. Ini ditandai dengan penyebaran pembangunan infrastruktur bukan hanya di pulau Jawa saja, tetapi bahkan membangun sampai ke titik-titik terluar Indonesia. Ini akan menurunkan biaya logistik dan meningkatkan akses pasar bagi pengusaha kecil yang selama ini termarginalisasi.

Pembagian sertifikat kepemilikan lahan bagi para petani penggarap yang selama ini terabaikan juga semakin digalakkan oleh Jokowi. Pemberian Kartu Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat dan sejumlah program keberpihakan lainnya adalah wujud nyata dari meng-administrasi keadilan sosial. 

Semua upaya itu membutuhkan proses yang berkesinambungan dan waktu yang tidak singkat. Maka layaklah jika Jokowi diberi kesempatan untuk menuntaskan pekerjaan rumah ini dalam dua periode pemerintahannya. Selamat ulang tahun Jokowi. Salam dua periode.

Kamis, Maret 23, 2017

The Way is Education

The Way is Education Dr. Harris Turino Pameo bahwa ibukota lebih kejam dibandingkan dengan ibu tiri benar adanya. Kehidupan di ibukota, seperti Jakarta, memang keras, bahkan sangat keras. Bagi kalangan yang kurang beruntung, tidak memiliki keahlian dan pendidikan apa-apa, terpaksa harus tinggal di kampung-kampung kumuh, bantaran kali, kolong jembatan dan samping rel kereta api. Mereka kebanyakan menduduki tanah secara ilegal, karena memang secara ekonomi tidak mampu untuk membeli rumah yang legal. Mencari pekerjaan pun sangat tidak mudah, dan kalaupun bisa dapat maka gajinya sangat kecil, hanya dalam batasan UMR. Dan itupun sebagian besar akan habis untuk membayar biaya transportasi dan makan. Hampir tidak ada sisa yang bisa dinikmati keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Potret buram kemiskinan di ibukota memang menyeramkan, walaupun persentasinya sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka persentasi kemiskinan absolut nasional yang mencapai 10.86%. Di Jakarta angka kemiskinan absolut mencapai 3.75%. Tetapi persentasinya akan membengkak kalau ditambah dengan golongan masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan absolut. Apalagi kalau ditambah dengan golongan masyarakat yang bisa tiba-tiba menjadi miskin apabila penopang utama tiang keluarganya mengalami musibah. Bisa dibayangkan, anak-anak dari lapisan masyarakat yang paling bawah di ibukota. Untuk sekedar makan, mungkin masih bisa, tetapi kualitas gizinya jelas di bawah standar gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Lingkungan sosialnya juga kumuh dan jauh dari standar higienis. Di lingkungan seperti itulah anak-anak lahir dan berkembang. Tentu mudah diramalkan bahwa kehidupannya ketika dewasa juga akan tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Sebuah film Hollywood yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah Getho, akan selalu terjebak dan tidak memungkinkan mereka keluar dari kemiskinan. Kemiskinan itu akan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Memang sulit sekali buat golongan masyarakat ini untuk mengentaskan dirinya keluar dari lingkaran setan kemiskinan.    Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar tidak ada resep yang manjur untuk mengatasi kutukan kemiskinan ini? Jelas ada dan jalan satu-satunya adalah melalui pendidikan. The Way is Education. Di titik inilah saya mengagumi sosok seorang Ahok. Sebagai seorang Gubernur, dia rela dicerca, dimusuhi bahkan dibenci oleh orang-orang yang dibelanya. Yang digembar-gemborkan selama ini di media hanyalah penggusuran masyarakat yang tinggal di bantaran kali, atas nama pembangunan. Mereka dipindahkan ke rumah susun, karena memang tidak mungkin melakukan normalisasi kali tanpa memindahkan. Banyak yang mengejek dan menawarkan konsep “menggeser” bukan menggusur, bahkan mengapungkan. Banyak pula yang mengatasnamakan kemanusiaan dengan mengatakan bahwa masyarakat yang dipindahkan akan menderita secara sosial karena dicerabut dari akar kehidupan sosialnya yang sudah berpuluh tahun dijalaninya. Tidak jarang muncul perlawanan secara masif, seperti pada pemindahan penduduk dari waduk Pluit, Ria-Rio dan Kalijodo. Apa sebenarnya yang sedang dirancang oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan wakilnya Djarot Syaiful Hidayat? Jelas Ahok dan Djarot bukan sedang menyengsarakan warganya dengan menggusur dan menyerahkan lahan gusurannya untuk dibangun mall dan hotel. Lahan-lahan negara yang digusur digunakan untuk normalisasi sungai, membangun ruang-ruang terbuka hijau sebagai resapan, serta membangun ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) seperti dalam kasus Kalijodo. Itulah yang selama ini banyak diungkap media. Tetapi bukan itu yang membuat saya kagum. Lewat “penggusuran” Ahok dan Djarot sedang memutus lingkaran setan kemiskinan bagi golongan masyarakat yang paling bawah. Penduduk yang tinggal di bantaran kali dan kampung-kampung kumuh dipindahkan ke rumah-rumah susun yang sudah disediakan oleh Pemda DKI. Rumah susun tersebut sudah siap huni dan lengkap dengan segala perabot yang dibutuhkan. Mereka boleh menempati rumah susun tersebut dengan biaya sewa yang sangat murah, seumur hidup. Seluruh penghuni rumah susun diberi jaminan kesehatan dan biaya pendidikan gratis, bahkan diberi tunjangan sebesar Rp. 18 juta per tahun bagi anak-anak yang bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mereka juga dibebaskan dari semua biaya transportasi dengan menggunakan kartu identitas khusus penghuni rumah susun. Melalui program rumah susun inilah, anak-anak “korban gusuran” akan memiliki masa depan yang lebih cerah. Mereka diharapkan bisa mendapatkan pendidikan sampai ke level perguruan tinggi. Dan dengan bekal pendidikan itulah mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan gaji yang lebih memadai. Fakta menunjukkan bahwa dengan bekal ijazah sarjana, minimal mereka bisa meraih kehidupan yang lebih baik. Merekalah yang nantinya akan mengentaskan orang tua mereka dari kemiskinan. Bukankah ini sebuah program yang sangat mulia. Ini bukan semata soal menata Jakarta menjadi lebih baik, tetapi membangun generasi masa depan bangsa. Di sinilah sebenarnya Ahok dan Djarot menunjukkan bahwa pemerintah hadir dalam membantu masyarakat yang paling bawah untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil lingkaran setan kemiskinan itu bisa dipatahkan, bukan diwariskan ke generasi selanjutnya. Sayang sekali warga masyarakat, khususnya kelas bawah, kurang memahami hal ini. Inilah tugas dari para kader partai pendukung dan relawan untuk mengkomunikasikan dengan baik. Ini bukan soal kekuasaan buat Ahok dan Djarot. Ini soal rakyat, rakyat dari lapisan yang paling bawah. Buat kita dari kalangan menengah, ndak banyak bedanya, siapapun yang terpilih. Toh kita tidak menikmati sekolah gratis, kesehatan gratis dan transportasi gratis. Kasihan mereka, karena nasib mereka ditentukan oleh pemahaman mereka sendiri. Pemahaman yang salah akan mengantar pada jurang kehancuran. Kalau salah coblos, nangis Bombai pun tak akan mampu merubah nasibmu.

Jumat, Desember 23, 2016

Perenungan di Penghujung Tahun 2016

Kelahiran sesosok manusia pada hakekatnya adalah sebuah dentuman besar yang menghasilkan kiamat-kiamat kecil. Dan nantinya lonceng kematian akan mengantar pada sebuah kenihilan yang abadi dalam sebuah fase kebisuan yang panjang, di mana tiada lagi ego dan eksistensi.

Alpha dan Omega ini adalah sebuah takdir yang tak dapat dipungkiri, sebuah keniscayaan yang tak mungkin dihindari.

Di antara rentang dentuman dan lonceng kematian itulah kehidupan yang perlu diberi makna. Kehidupan yang penuh gejolak, yang kadang diwarnai benturan-benturan peradaban yang seolah tiada akhir. Keberadaban inilah yang kadang menjadi tonggak yang tercatat abadi dalam riuh rendahnya alam semesta.

Apakah kita tetap hanya sebagai kecoa tak bermakna, yang begumul dalam konflik dan fitnah, serta berkutat di titik nadir. Atau menjadi insan yang mampu berkolaborasi dan bekerja sama membentuk keberagaman yang humanis, numerat, literat dan beradab dalam peziarahan kehidupan ini?

Sebuah perenungan yang layak dilakukan, di penghujung senja 2016.

Selamat hari Natal dan tahun baru.

Jumat, Desember 09, 2016

A Deep Sleep by Montecristo


   
A Deep Sleep by Montecristo

Dentuman musik keras bertalu di antara lengkingan suara penyanyinya. Jujur, saya tidak mengerti keindahan sebuah musik, apalagi yang berjenis rock. Jiwa seniku memang tidak pernah tumbuh dan berkembang sejak aku lahir. Logika dan rasionalitas lebih mendominasi perjalanan hidupku.

Tetapi melihat sosok penyanyinya, saya yakin ini adalah album yang berkelas. Dalam soal musik, Eric Martoyo adalah sosok perfeksionis yang tak kenal kompromi. Saya mengikuti cerita bagaimana komitmennya soal waktu, kualitas bahkan budget dalam proses pembuatan album perdana Montecristo yang berjudul Celebration of Birth. Berpuluh bahkan mungkin beratus malam dia habiskan untuk bergumul di studio bersama team bandnya. Proses mastering albumnya juga dikerjakan di Studio 301 Sydney oleh Steve Smart.

Album yang kedua ini, pasti ndak kalah seriusnya. Kalau Celebration of Birth bercerita tentang Kelahiran, maka album kedua dengan judul A Deep Sleep bercerita soal Kematian. Kelihatannya Eric mempertahankan formula “Rock Yang Berkisah”, di mana lyrics lagunya banyak memaksa pendengar untuk berkontemplasi.

Lagu pertama dengan judul Alexander mengangkat kisah tentang napak tilas Alexander The Great 350 tahun sebelum masehi. Ini adalah sosok yang dikagumi oleh seorang Eric Martoyo. Kisah Alexander ini mengajarkan kita tentang filsafat Jawa yang berbunyi, “Menang tanpo ngasorake”, di mana Alexander tidak pernah membumi hanguskan kota yang ditahlukannya, tetapi bahkan membangunnya. Lagu kedua dengan judul Mother Nature adalah kisah nostalgia si kecil Eric yang berasal dari kota Ketapang. Dia begitu mengagumi kedamaian kota asalnya yang kini berubah total atas nama globalisasi, modernisasi dan ketamakan.

The Man in A Wheelchair sebagai lagu ketiga mengisahkan perjuangan seorang Stephen Hawking dalam menguak misteri alam semesta. Ini juga salah satu tokoh yang sangat dikagumi oleh Eric Martoyo. Sebuah pelajaran berharga bisa kita petik, bahwa keterbatasan fisik akan tahluk oleh tekad dan semangat yang tinggi. Lagi keempat dengan judul Simple Truth sangat cocok dengan kondisi saat ini, di mana kebohongan, nista, dusta dan fitnah menghiasi media sosial sepanjang hari. Tiada lagi kedamaian, kebenaran, ramah tamah dan budi luhur yang konon pernah menjadi ciri khas warga negara zambrut khatulistiwa.

Lagu kelima Ballerina bercerita tentang sesosok manusia yang terkagum-kagum oleh penampilan sang penari balet yang sedang meliuk di atas pentas, yang sebenarnya tak sengaja dia saksikan. Tubuh sang ballerina seringan bulu, namun sekuat baja, sekokoh karang, sekaligus selembut sutera. A Deep Sleep sebagai lagu keenam, sekaligus sebagai tema sentral dari album ini, berkisah tentang kegalauan seorang sahabat ketika ajal hendak menjelang. Dia sadar bahwa kelahirannya adalah sebuah dentuman besar yang menciptakan kiamat-kiamat kecil yang disebut kehidupan. Dia tahu bahwa kematian adalah sebuah tidur yang panjang, di mana tiada lagi ego dan eksistensi. Semuanya akan larut dan diserap oleh semesta alam, akhirnya berujung pada sebuah nihilitas yang abadi.

Lagu ketujuh adalah sebuah kontemplasi tentang kehidupan. Tentang masa kanak-kanak yang tiada beban dan tanpa prasangka, sampai akhirnya kedewasaan membawa kesadaran dan tanggung jawab. Kehidupan yang tadinya indah dan sederhana menjadi semakin kompleks bak berlayar di tengah samudra raya tiada berujung. Dia lalu bertanya dalam diam, kehidupan itu sebuah berkah, atau malah sebuah kutukan, A Blessing or A Curse?  Point Zero sebagai lagu kedelapan terinspirasi oleh novel karya Nawal El Saadawi yang berjudul “Perempuan di Titik Nol”. Perempuan itu menderita sepanjang hidupnya, sampai akhirnya dia membayar sebuah kebenaran dengan nyawanya setelah menembakkan senjata kepada tangan-tangan yang mencengkeram dirinya, ketika dia hendak kembali ke jalan yang fitrah.

Rendezvous adalah judul lagu kesembilan yang berkisah tentang bertemunya kembali para tokoh band yang tercerai berai oleh ego dan kesuksesan. Kata persatuan dalam perbedaan, kebersamaan dalam kebhinekaan kini semakin jauh dari kehidupan insan pertiwi. Lagu ini layak dijadikan bahan perenungan perjalanan bangsa yang sedang menghadapi cobaan.

Lagu terakhir yang berjudul Nanggroe sebenarnya didedikasikan bagi para korban tsunami yang melanda Aceh di Desember 2014. Ketika gempa kembali mengguncang tanah Serambi Mekah minggu ini, kumandang lagu ini semoga membangkitkan kembali semangat saudara kita di Aceh yang sedang berjuang melawan alam. Bencana sebesar apapun tak akan mampu  menggoyahkan warga Aceh untuk tetap berdiri tegak menyongsong kehidupan yang lebih baik. Insya Allah.

Jumat, Agustus 05, 2016

Menggali Akar Filosofis Perusahaan Ekonomi Berbagi Dari Pemikiran Sang Proklamator

Menggali Akar Filosofis Perusahaan Ekonomi Berbagi

Dari Pemikiran Sang Proklamator



Fenomena unik menghiasi dunia bisnis saat ini. Uber yang sama sekali tidak memiliki aset berupa taksi adalah perusahaan taksi terbesar di dunia. Bahkan nilai perusahaan yang baru berdiri kurang dari 8 tahun ini sebesar 68,8 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan nilai perusahaan dari raksasa otomotif Amerika, the three giants, yaitu Ford, General Motor dan Chrysler.

AirBnB saat ini sudah menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia, walaupun tidak memiliki aset berupa hotel dan properti. Alibaba yang didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 saat ini adalah toko ritel terbesar di dunia, walaupun juga tidak memiliki aset berupa toko. Kapitalisasi pasarnya sudah melebihi toko buku online terbesar di dunia, Amazon, yang awalnya juga tidak punya aset fisik berupa toko buku.

Di ranah nasional, fenomena serupa juga terjadi. GoJek sudah bukan lagi hanya perusahaan "ojek" terbesar di Indonesia, tetapi sudah merambah ke jasa logistik (GoBox), pengiriman makanan (GoFood) bahkan sampai ke jasa pijat (GoMassage). Padahal mereka juga tidak memiliki aset berupa kendaraan. Bahkan baru saja GoJek mendapatkan suntikan dana segar baru sebesar USD 555 juta atau setara dengan Rp. 7.30 triliun. Investornyapun bukan perusahaan main-main yang sedang kelebihan dana, yaitu Kohlberg Kravis Roberts (KKK), Warburg Pincus dan Farallon Capital. Mereka adalah para dedengkot investor yang memang banyak menaruh dana di perusahaan rintisan yang mengandalkan tehnologi. Masuknya investor baru tersebut menjadikan nilai valuasi GoJek langsung naik menjadi USD 1.3 miliar, atau sudah menjadi salah satu Unicorn asli Indonesia. GoJek menjadi lebih siap untuk bersaing dengan perusahaan sejenis dari luar, yaitu Grab, yang juga baru mendapatkan suntikan dana sebesar USD 600 juta.

Dalam dunia akademis, landasan teoritis tertua bagi perusahaan ekonomi berbagi bisa dijelaskan dengan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith (1776) dan David Ricardo (1817). Keduanya mengatakan bahwa efisiensi akan tercapai apabila bisa dipertemukan antara pemilik sumber daya yang berlebih dengan pihak yang membutuhkan sumber daya tersebut. Lloyd (1833) dalam Tragedy of Common mengemukakan bahwa sumber daya berlebih, misalnya tanah, udara dan air, yang digunakan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama akan mampu menciptakan kesejahteraan suatu masyarakat. Mudarat baru terjadi apabila sumber daya berlebih tersebut hanya dikuasai oleh sekelompok kecil manusia dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadinya.

Sedangkan apabila kita menggali landasan filosofis konsep ekonomi berbagi dari dalam negeri, maka kita akan sampai pada prinsip kesejahteraan yang dicetuskan oleh Proklamator pendiri bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta. Prinsip kesejahteraan itu kemudian dirumuskan menjadi sila kelima dalam Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Implementasinya adalah negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebuah pemikiran yang luar biasa dari Sang Proklamator, yang melampaui jamannya.

Kalau kita cermati prinsip kesejahteraan yang diusung oleh Bung Karno, ada beberapa fenomena menarik yang bisa digambarkan dengan metafora perusahaan ekonomi berbagi. Yang pertama, dalam mencapai cita-cita mensejahterakan rakyat Indonesia, Bung Karno tidak pernah memusuhi orang-orang kaya, yang notabene adalah pemilik sumber daya. Tujuan dari berdirinya suatu negara adalah mensejahterakan seluruh rakyat, yang di dalamnya terkandung makna membuat orang-orang miskin menjadi kaya, dan sama sekali bukan menjegal orang-orang kaya. Orang-orang kaya lah yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Tanpa kehadiran orang-orang kaya, maka mustahil negara bisa menjadi kaya.

Sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa semua peninggalan-peninggalan fenomenal dibangun oleh pemerintah yang kaya dan/atau orang-orang kaya pada masanya. Tidak ada negara atau bangsa yang kaya yang tidak didukung oleh banyaknya golongan masyarakat yang kaya di dalamnya.

Kita ambil contoh istana Versailles di Paris. Istana ini adalah istana termegah di dunia yang dibangun pada tahun 1661 oleh Raja Louis ke 14. Istana yang sangat megah itu mampu dibangun karena kerajaan Perancis memang mengalami masa jaya di periode tersebut. Stadion Olimpia di Yunani yang menjadi tempat penyelenggaraan olimpiade pertama di dunia juga dibangun ketika bangsa Yunani sedang mengalami masa kejayaan. Demikian pula Hanging Garden di Babilonia.

Di dalam negeri sendiri, candi Borobudur dibangun ketika masa kejayaan dinasti Syailendra. Jakarta sendiri bisa menjadi kota metropolitan, tentu membutuhkan dukungan orang-orang kaya yang ikut membangun gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Tanpa keberadaan orang-orang kaya, maka sebuah kota atau negara tidak akan bisa bertumbuh.

Jadi konsep kesejahteraan yang diusung oleh Bung Karno tidak memusuhi orang kaya. Ini sama dengan konsep perusahaan ekonomi berbagi. Perusahaan ekonomi berbagi tidak pernah membenturkan antara pemilik sumber daya dengan pengguna sumber daya. Kedua-duanya menikmati keuntungan dari proses penggunaan sumber daya secara bersama-sama.

Kedua adalah fenomena gotong royong. Gotong royong adalah inti dari Pancasila, di mana yang kuat membantu yang lemah. Konsep gotong royong ini diusung oleh Presiden Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, yang sekarang diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Dalam konsep gotong royong, si kaya dan si miskin hidup berdampingan, saling membantu dan keduanya menikmati keuntungan. Konsep gotong royong ini juga bukan konsep sama rata-sama rasa seperti dalam idiologi komunisme, tetapi penggunaan sumber daya secara bersama-sama. Dalam perusahaan ekonomi berbagi, metafora ini digambarkan bahwa untuk bisa bertumbuh perusahaan ekonomi berbagi tidak harus menguasai seluruh sumber daya stratejiknya, tetapi memanfaatkan sumber daya stratejik yang dimiliki oleh satu pihak dan membagikannya kepada pihak lain yang membutuhkan. Keduanya menikmati keuntungan. Seperti dalam kasus GoJek, penumpang bisa mendapatkan biaya transportasi yang jauh lebih murah dan aman, sementara pemilik sumber daya, yaitu tukang ojek bisa memperoleh pendapatan lebih banyak dengan memanfaatkan tehnologi IT. Dalam dunia modern, prinsip gotong royong yang difasilitasi melalui sistem aplikasi IT memungkinkan ribuan atau bahkan jutaan rakyat Marhaen atau wong cilik menjadi satu kekuatan ekonomi dan menikmati pendapatan. Kalau jaman Bung Karno dulu, rakyat Marhaen digambarkan sebagai petani miskin yang hanya menguasai sepetak tanah pertanian yang sempit, maka dalam era ekonomi berbagi modern rakyat Marhaen digambarkan sebagai rakyat kecil yang hanya memiliki sebuah sepeda motor dan bisa memperoleh kehidupan yang layak dengan bergabung bersama GoJek.

Metafora ketiga adalah tentang trust atau kepercayaan. Sebuah perusahaan ekonomi berbagi hanya bisa sukses apabila mendapatkan kepercayaan dari pemilik sumber daya dan pengguna sumber daya. Dalam hal ini pemerintah bisa berperan sebagai “perusahaan ekonomi berbagi” dalam mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Keberhasilan penerapan konsep Nawacita Bung Karno yang diadopsi oleh Presiden Jokowi adalah kuncinya. Konsep Nawacita sebenarnya berakar dari semangan perjuangan dan cita-cita Soekarno, yang dikenal dengan istilah Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Apabila pemerintah berhasil mengamalkan Nawacita ini, maka niscaya akan terbangun kepercayaan sebagai modal dasar untuk mengelola pembangunan demi mensejahterakan rakyat.

Metafora keempat yang bisa dijelaskan dengan konsep perusahaan ekonomi berbagi adalah bahwa perusahaan ekonomi berbagi tidak semata-mata menyasar keuntungan jangka pendek, tetapi lebih mengutamakan pada pertumbuhan jangka panjang. Bahkan dalam banyak kasus perusahaan ekonomi berbagi masih memberikan subsidi yang mengakibatkan laba negatif pada laporan keuangannya. Perusahaan ekonomi berbagi lebih memprioritaskan pada pertumbuhan perusahaan dengan menciptakan sebanyak mungkin traffic atau pengguna.

Landasan filosofis yang diletakkan oleh Bung Karto dan Bung Hatta jelas bahwa tujuan jangka panjangnya adalah mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan semata-mata mencari keuntungan jangka pendek bagi dirinya sendiri dan kelompoknya. Pemerintah harus belajar dari fenomena ini. Pemerintah sebagai metafora dari perusahaan ekonomi berbagi juga memang tidak boleh mencari keuntungan dalam perannya sebagai mediator. Tetapi pemerintah memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu bertumbuhnya kue ekonomi suatu negara yang pada gilirannya membagikan kue ekonomi tersebut secara adil dan merata, sehingga akan mensejahterakan seluruh warga negaranya.

Bagian akhir dari tulisan ini akan membahas masalah ekonomi berbagi dalam kaitannya dengan koperasi. Fakta yang terjadi di banyak belahan dunia adalah runtuhnya ekonomi di banyak negara yang menganut sistem sosialisme. Bahkan negara-negara komunis seperti China, Vietnam bahkan Rusia sudah menerapkan sistem ekonomi pasar. Sementara di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara kapitalis, krisis sering dan berulang kali terjadi. Tetapi harus diakui bahwa ekonominya bertumbuh, karena ditopang oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang dikelola dengan sistem manajemen modern yang pruden sekaligus inovatif. Di negara-negara kapitalis perusahaan-perusahaan besar didorong dan difasilitasi untuk terus maju dan berkembang sehingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Sistem ekonomi kerakyatan yang diusung oleh Bung Karno jelas bukan berarti bahwa perusahaan-perusahaan besar Indonesia yang sudah dikelola secara baik dan modern harus dikerdilkan. Tetapi bahkan tetap harus didorong agar lebih maju dan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Kalau memang demikian, lalu apa bedanya dengan sistem kapitalisme ala Barat?

Ekonomi kerakyatan jelas berbeda. Dalam sistem ekonomi kerakyatan negara hadir dan menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok Marhaen, wong cilik, dan para pengusaha kecil. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, kelompok Marhaen, wong cilik dan para pengusaha kecil tidak dibiarkan bertarung sendiri melawan perusahaan-perusahaan raksasa. Dengan meminjam konsep ekonomi berbagi para pengusaha kecil disatukan, diintegrasikan dan dikelola secara profesional oleh perusahaan besar yang memang memiliki kemampuan untuk itu. Penggabungan puluhan, ribuan dan bahkan jutaan pengusaha kecil dalam sebuah kooperasi yang dikelola secara modern, akan memampukan mereka untuk bersaing secara profesional dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kalau perusahaan-perusahaan kecil dibiarkan secara sendiri-sendiri seperti dalam konsep kapitalisme, maka pengusaha kecil ini jelas akan digilas oleh yang besar dan mereka akan mati sebelum pernah menjadi besar. Harus diakui bahwa ini belum dilakukan oleh pemerintah. Beberapa BUMN yang dimiliki pemerintah memang sudah memberikan pelatihan dan bantuan kepada pengusaha kecil. Tetapi sifatnya masih sekedar sumbangan dalam bentuk keperdulian sosial perusahaan atau dikenal dengan nama keren CSR (corporate social responsibility). Bukan hal ini yang dimaksudkan dan ini jelas tidak cukup untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada wong cilik.

Yang perlu dilakukan adalah diprakarsainya pembentukan BUMN besar yang mampu merangkul para pengusaha kecil yang jumlahnya puluhan, ribuan bahkan jutaan, dan mengintegrasikan mereka dalam sebuah kooperasi yang dikelola secara profesional dan modern. Misalkan kelompok tani, nelayan, peternak dan seterusnya. Tanpa melalui mekanisme ini, selamanya para petani, nelayan dan peternak akan tetap menjadi pengusaha kecil yang miskin. Contoh menarik yang bisa kita tiru adalah koperasi puluhan ribu peternak susu sapi di Selandia Baru yang diintegrasikan ke dalam satu wadah, yaitu Fontera dan dikelola secara profesional dan modern. Sebagai sebuah koperasi Fontera mampu bersaing dengan perusahaan manapun di dunia bahkan menjadi salah satu produsen susu sapi terbesar di dunia. Inilah hakekat ekonomi berbagi dalam bentuk koperasi yang diusung oleh Bung Hatta di awal pendirian republik ini. Jadi bentuknya bukan sekedar koperasi yang selama ini kita kenal, misalnya koperasi simpan pinjam, koperasi unit desa, dan lain-lain. Tentu saja di sini peran negara sangat vital dalam memberikan dukungan penuh kepada BUMN yang ditunjuk untuk merangkul dan menyatukan para pengusaha kecil. Kalau ini diterapkan maka koperasi, di samping korporasi bisa menjadi soko guru yang menopang ekonomi Indonesia. Dan seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno, tidak bakalan ada rakyat miskin di negeri yang gemah ripah lok jinawi. Konsep ekonomi berbagi dalam bingkai ekonomi kerakyatan adalah salah satu solusinya. Semoga dengan konsep ini, cita-cita pendiri bangsa bisa terwujud, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ditulis oleh Dr. Harris Turino sebagai sumbangan pemikiran bagi kemajuan bangsa Indonesia.