A
Deep Sleep by Montecristo
Dentuman
musik keras bertalu di antara lengkingan suara penyanyinya. Jujur, saya tidak
mengerti keindahan sebuah musik, apalagi yang berjenis rock. Jiwa seniku memang
tidak pernah tumbuh dan berkembang sejak aku lahir. Logika dan rasionalitas
lebih mendominasi perjalanan hidupku.
Tetapi
melihat sosok penyanyinya, saya yakin ini adalah album yang berkelas. Dalam
soal musik, Eric Martoyo adalah sosok perfeksionis yang tak kenal kompromi.
Saya mengikuti cerita bagaimana komitmennya soal waktu, kualitas bahkan budget
dalam proses pembuatan album perdana Montecristo yang berjudul Celebration
of Birth. Berpuluh bahkan mungkin beratus malam dia habiskan untuk
bergumul di studio bersama team bandnya. Proses mastering albumnya juga
dikerjakan di Studio 301 Sydney oleh Steve Smart.
Album
yang kedua ini, pasti ndak kalah seriusnya. Kalau Celebration of Birth
bercerita tentang Kelahiran, maka album kedua dengan judul A Deep Sleep bercerita
soal Kematian. Kelihatannya Eric mempertahankan formula “Rock Yang Berkisah”,
di mana lyrics lagunya banyak memaksa pendengar untuk berkontemplasi.
Lagu
pertama dengan judul Alexander mengangkat kisah tentang
napak tilas Alexander The Great 350 tahun sebelum masehi. Ini adalah sosok yang
dikagumi oleh seorang Eric Martoyo. Kisah Alexander ini mengajarkan kita
tentang filsafat Jawa yang berbunyi, “Menang tanpo ngasorake”, di mana
Alexander tidak pernah membumi hanguskan kota yang ditahlukannya, tetapi bahkan
membangunnya. Lagu kedua dengan judul Mother Nature adalah kisah nostalgia
si kecil Eric yang berasal dari kota Ketapang. Dia begitu mengagumi kedamaian
kota asalnya yang kini berubah total atas nama globalisasi, modernisasi dan
ketamakan.
The
Man in A Wheelchair
sebagai lagu ketiga mengisahkan perjuangan seorang Stephen Hawking dalam
menguak misteri alam semesta. Ini juga salah satu tokoh yang sangat dikagumi
oleh Eric Martoyo. Sebuah pelajaran berharga bisa kita petik, bahwa
keterbatasan fisik akan tahluk oleh tekad dan semangat yang tinggi. Lagi
keempat dengan judul Simple Truth sangat cocok dengan
kondisi saat ini, di mana kebohongan, nista, dusta dan fitnah menghiasi media
sosial sepanjang hari. Tiada lagi kedamaian, kebenaran, ramah tamah dan budi
luhur yang konon pernah menjadi ciri khas warga negara zambrut khatulistiwa.
Lagu
kelima Ballerina bercerita tentang sesosok manusia yang terkagum-kagum
oleh penampilan sang penari balet yang sedang meliuk di atas pentas, yang
sebenarnya tak sengaja dia saksikan. Tubuh sang ballerina seringan bulu, namun
sekuat baja, sekokoh karang, sekaligus selembut sutera. A Deep Sleep sebagai lagu
keenam, sekaligus sebagai tema sentral dari album ini, berkisah tentang
kegalauan seorang sahabat ketika ajal hendak menjelang. Dia sadar bahwa
kelahirannya adalah sebuah dentuman besar yang menciptakan kiamat-kiamat kecil
yang disebut kehidupan. Dia tahu bahwa kematian adalah sebuah tidur yang
panjang, di mana tiada lagi ego dan eksistensi. Semuanya akan larut dan diserap
oleh semesta alam, akhirnya berujung pada sebuah nihilitas yang abadi.
Lagu
ketujuh adalah sebuah kontemplasi tentang kehidupan. Tentang masa kanak-kanak
yang tiada beban dan tanpa prasangka, sampai akhirnya kedewasaan membawa
kesadaran dan tanggung jawab. Kehidupan yang tadinya indah dan sederhana
menjadi semakin kompleks bak berlayar di tengah samudra raya tiada berujung.
Dia lalu bertanya dalam diam, kehidupan itu sebuah berkah, atau malah sebuah
kutukan, A Blessing or A Curse? Point
Zero sebagai lagu kedelapan terinspirasi oleh novel karya Nawal El
Saadawi yang berjudul “Perempuan di Titik Nol”. Perempuan itu menderita
sepanjang hidupnya, sampai akhirnya dia membayar sebuah kebenaran dengan
nyawanya setelah menembakkan senjata kepada tangan-tangan yang mencengkeram
dirinya, ketika dia hendak kembali ke jalan yang fitrah.
Rendezvous adalah judul lagu kesembilan yang
berkisah tentang bertemunya kembali para tokoh band yang tercerai berai oleh
ego dan kesuksesan. Kata persatuan dalam perbedaan, kebersamaan dalam
kebhinekaan kini semakin jauh dari kehidupan insan pertiwi. Lagu ini layak
dijadikan bahan perenungan perjalanan bangsa yang sedang menghadapi cobaan.
Lagu
terakhir yang berjudul Nanggroe sebenarnya didedikasikan
bagi para korban tsunami yang melanda Aceh di Desember 2014. Ketika gempa
kembali mengguncang tanah Serambi Mekah minggu ini, kumandang lagu ini semoga membangkitkan
kembali semangat saudara kita di Aceh yang sedang berjuang melawan alam. Bencana
sebesar apapun tak akan mampu menggoyahkan warga Aceh untuk tetap berdiri
tegak menyongsong kehidupan yang lebih baik. Insya Allah.