Rabu, September 18, 2013
Paradoks Sistem Transportasi Massal - Kompas Siang 17 September 2013
Baru-baru ini kita dengar bahwa dalam waktu dekat akan segera diluncurkan mobil murah ramah lingkungan oleh Toyota dan Daihatsu yang dibandrol pada kisaran harga di bawah 100 juta rupiah. Bahkan konon sudah lebih dari 18.000 unit mobil tersebut ludes dipesan pada peluncuran perdananya. Pertumbuhan jumlah kendaraan ini tampaknya susah dihindari mengingat belum tersedianya sistem transportasi massal yang memadai. Bisa dibayangkan kemacetan jalanan di Ibukota yang akan menjadi semakin parah. Tanpa adanya terobosan yang berarti pada sistem transportasi massal diperkirakan kota Jakarta akan lumpuh dalam 3 - 4 tahun ke depan dengan semakin pesatnya pertumbuhan kendaraan yang tidak diimbangi oleh penambahan panjang jalan yang memadai.
Sistem transportasi massal di Indonesia memang boleh dikatakan unik dan mengandung unsur paradoks. Bila di kota-kota metropolitan dunia sistem transportasi massal bergerak membesar dalam hal daya angkut, di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Sejarah menunjukkan pada jaman penjajahan Belanda dulu trem yang memiliki daya angkut besar sudah beroperasi di kawasan kota Jakarta. Sejalan dengan perkembangan jaman, trem menghilang dan digantikan oleh bus PPD dan Damri, lalu ditambahkan Metromini dan Kopaja yang memiliki daya angkut yang lebih kecil lagi dan akhirnya malahan menjadi semakin kecil dengan Mikrolet. Dengan sistem transportasi massal yang seperti ini, mudah diduga bahkan kemacetan pasti akan terjadi dan akan semakin parah di masa mendatang. Dengan kemacetan yang membuat ekonomi transportasi biaya tinggi, baik dalam hal pemborosan energi maupun waktu tempuh, maka merebaknya pemakaian sepeda motor menjadi suatu keniscayaan yang sulit dihindari. Sepuluh tahun yang lalu penulis sudah pernah mengingatkan mengenai pertumbuhan sepeda motor ini kepada Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, bahwa apabila tidak dikendalikan maka kondisi lalu lintas di Jakarta bisa menjadi seperti di kota Ho Chi Minh City (HCMC) di Vietnam, di mana satu mobil bisa dikepung oleh puluhan sepeda motor. Bahkan sekarang yang terjadi di Jakarta sudah jauh lebih parah dibandingkan dengan HCMC.
Berbeda dengan penanganan banjir yang memang dibutuhkan dana yang sangat besar dan harus melibatkan pemerintah pusat, kemacetan ini sebenarnya bisa ditangani dengan selembar kertas, yaitu berupa peraturan. Belajar dari pengalaman beberapa pemerintah kota Metropolitan di dunia dalam menyiasati kemacetan lalu lintas, tidak ada jalan lain kecuali dengan memberlakukan pembatasan jumlah kendaraan. Pemerintah kota Beijing, Shanghai dan bahkan Lagos di Nigeria memberlakukan pelarangan sepeda motor untuk beroperasi di jalan-jalan protokol. Singapura menerapkan pengenaan bea masuk dan pajak kendaraan bermotor yang sangat tinggi, pembatasan usia kendaraan bermotor yang boleh beroperasi, pengenaan biaya parkir yang sangat mahal, serta penerapan ERP untuk rute-rute jalan protokol. Wacana seperti itu hampir tidak pernah terdengar, kecuali mengenai kebijakan penerapan sistem ganjil genap dan ERP. Kebijakan tersebut memang tidak popular dan membutuhkan keberanian yang tinggi untuk melaksanakannya. Dan tentu saja hal ini harus diimbangi dengan percepatan pembangunan sistem transportasi massal yang memadai.
Di balik kesuraman wajah sistem transportasi di Indonesia, sebuah berita positif terbersit, yaitu dengan akan dimulainya pembangunan MRT tahap satu rute Lebak Bulus - Kota pada bulan Oktober 2013 ini. Rencana ini sebenarnya sudah tertunda hampir 25 tahun dan sudah melewati 4 masa kepemimpinan Gubernur di DKI, dan baru kali inilah Jokowi berhasil merealisasikannya. Harus pula segera dipersiapkan pembangunan MRT tahap berikutnya. Semoga proses pembangunan MRT ini tidak akan tertunda lagi oleh berbagai konflik kepentingan, baik ekonomi maupun politik, terutama menjelang tahun pemilu 2014. Media sebagai kekuatan yang luar biasa perlu membantu mengawal kesuksesan pembangunan sistem transportasi massal ini. Niscaya Jakarta akan menjadi kota yang lebih beradab.
Harris Turino - Doctor in Strategic Management
Faculty Member Prasetiya Mulya Business School