Resensi Buku Change karangan Rhenald Kasali
Argumentasi Pengarang
Perubahan (change) merupakan suatu keharusan bagi setiap individu atau kelompok untuk tetap eksis dan bertumbuh. Perubahan bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan situasi lingkungannya yang juga selalu berubah. Karena itu disebutkan bahwa individu atau kelompok yang mampu bertahan bukanlah yang kuat, tapi yang adaptif. Banyak contoh kasus dimana individu atau kelompok akhirnya bisa sukses akibat melakukan perubahan setelah sebelumnya hampir hilang atau gagal. Misalnya Garuda Indonesia Airways tahun 1998 di bawah CEO Robby Djohan dan diteruskan oleh Abdul Gani, Singapura tahun 1959 di bawah PM Lee Kuan Yew, atau Martin Luther King tahun 1950-an yang memperjuangkan persamaan hak warga kulit hitam di Amerika.
Dalam dunia bisnis, ada empat jenis perubahan yang bersifat strategis yaitu teknologi, produk, strategi-struktur, dan budaya. Dari keempatnya, perubahan budaya merupakan yang tersulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun semua perubahan tersebut memiliki karakteristik yang sama, yaitu: (1) misterius, sulit dipegang dan mudah datang maupun pergi, (2) terjadi setiap saat, karena itu perubahan perlu dilakukan terus menerus, (3) membawa harapan dan juga menimbulkan kepanikan, (4) membutuhkan change maker, orang yang memiliki visi dan keberanian untuk bertindak karena tidak setiap orang bisa diajak melihat perubahan dan bergerak, (5) membutuhkan dukungan (change agents), (6) membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga, dan (7) membutuhkan strategi.
Kurt Lewin (1951), Bapak Manajemen Perubahan, mencetuskan teori Field-Force yang mengatakan bahwa perubahan terjadi karena adanya tekanan (driving force) pada individu atau kelompok. Setiap adanya tekanan selalu diimbangi dengan munculnya keengganan (resistence). Dengan dasar ini, Lewin (1951) merumuskan tiga langkah untuk mengelola perubahan, yaitu (1) unfreezing, proses penyadaran tentang perlunya berubah, (2) changing, tindakan untuk memperkuat driving force atau memperlemah resistence, dan (3) refreezing, membangun keseimbangan baru. Dalam bukunya, Kasali merumuskan tiga tahapan dalam melakukan perubahan yang hampir mirip dengan teori tersebut, yaitu (1) melihat, (2) bergerak, dan (3) menyelesaikan perubahan.
“Melihat” adalah tahapan menemukan dan merasakan adanya gap antara visi masa depan yang dilihat oleh pemimpin (change maker) dengan situasi saat ini. Pemimpin diibaratkan sebagai mata yang harus membagi penglihatannya kepada seluruh anggota, karena tidak setiap orang mampu melihat gap tersebut. Dengan memiliki penglihatan yang sama, mereka akan menjadi percaya sehingga membangkitkan komitmen bersama untuk berubah. Dalam masyarakat yang altruistik, anggota lebih mudah percaya kepada perkataan pimpinannya sehingga mereka mudah melihat. Namun dalam masyarakat yang self-fish seperti saat ini, mereka belum akan percaya sebelum melihat. Untuk itu dibutuhkan strategi kontras-konfrontasi.
Kontras berarti mengangkat perbedaan secara signifikan akan suatu hal. Dengan kontras, setiap orang lebih mudah melihat perbedaan. Misalnya perbedaan hak warga kulit hitam di Amerika yang dirasakan wajar oleh kebanyakan orang karena sudah terjadi sekian lama. Martin Luther King dalam setiap pidatonya selalu mengatakan bahwa seharusnya setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti di negara lain. Namun kontras saja belum cukup membuat orang percaya, pemimpin perlu menciptakan konfrontasi, yaitu menyajikan atau menghadapkan suatu masalah secara berulang-ulang. Salah satu teknik yang umum dipakai adalah inescapable experience. King selalu memprotes keras dan menginformasikannya kepada semua orang setiap terjadi tindak kekerasan atau ketidakadilan terhadap warga kulit hitam. Informasi ini sejalan dengan kontras yang selalu dikatakannya selama ini sehingga setiap orang akhirnya melihat, sadar, percaya, dan memiliki komitmen bersama King. Dalam implementasi bisnis, pimpinan bisa menggunakan analisa strategic change matrix (gambar-1b) dengan dimensi produk (how we do) dan bisnis (what we do). Analisa ini menyadarkan organisasi agar tidak terperangkap pada kesuksesan dimasa lalu.
Langkah kedua adalah “Bergerak” yaitu mengajak orang lain untuk berpindah ke kurva kedua (gambar-1c). Orang yang melihat belum tentu mau diajak bergerak, untuk itu pemimpin harus memperhatikan empat hal yang membangkitkan motivasi, yaitu besarnya manfaat yang lebih besar dari resiko, kejelasan dan harapan perubahan, adanya dukungan, dan strategi. Dan dalam mengimplementasikan strategi, pemimpin perlu memperhatikan faktor (1) simpel, agar mudah dipahami dan dijalankan, (2) bekerja lebih cepat, agar tidak kehilangan momentum, dan orientasi pada tindakan, strategi yang kaya dengan inovasi dan dilandasi entrepreneurial mindset. Inovasi ini memungkinkan organisasi selalu melakukan perubahan terus menerus di kemudian hari tanpa menunggu kondisi sedang menurun.
Kasali mengatakan bahwa kesuksesan organisasi mengikuti kurva-S (sigmoid curve). Sejalan dengan perubahan lingkungannya, kesuksesan kelompok akan mengalami penurunan (declining) bila tetap mempertahankan status quo-nya. Organisasi bisa berubah saat kondisi sedang naik (transformasi manajemen) atau sedang turun (manajemen turnaround atau krisis). Pada umumnya, organisasi memiliki keengganan yang lebih besar untuk berubah saat kondisi sedang tumbuh. Seharusnya cara ini lebih mudah dilakukan mengingat resources lebih mudah diperoleh. Sedangkan saat kondisi turun, kelompok dipaksa untuk berubah dengan resources yang lebih terbatas (turnaround) atau bleeding (krisis).
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah organisasi masih bisa diselamatkan? Beberapa indikator bisa digunakan, misalnya bila nilai perusahaan masih lebih tinggi dari nilai likuidasi, manajemen krisis atau turnaround cukup efektif untuk dijalankan, atau bila masih ada produk andalan yang memberikan profit. Bila organisasi masih bisa diselamatkan, langkah berikutnya adalah memilih CEO yang tepat. Sesuai karakteristik perubahan di atas, CEO yang kredibel dan bisa diterima berbagai pihak memperbesar peluang perubahan menciptakan kesuksesan. Secara teori, ada tiga tipe CEO yang bisa dipilih, yaitu (1) slash & burn, tujuannya adalah mengurangi biaya tetap dengan membersihkan aset-aset yang kurang produktif termasuk PHK masal, sehingga cocok saat kondisi krisis, (2) holism, menyatukan seluruh komponen organisasi yang retak dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga cocok saat krisis mulai berlalu, dan (3) practical manager, yaitu membangun keteraturan melalui sistem dan struktur yang baku, sehingga cocok saat keresahan atau kepanikan mulai hilang.
Langkah terakhir adalah “menyelesaikan perubahan”, yaitu membentuk nilai-nilai kolektif baru hasil perubahan (transformasi) dan menginternalisasikannya ke semua anggota. Tanpa transformasi nilai, anggota akan tetap melakukan hal-hal sama dengan cara-cara sama seperti yang dilakukan di masa lalu, bahkan perubahan akan ditumpangi nilai-nilai baru yang sama sekali tidak dikehendaki. Deal & Kennedy (1998) mencatat setidaknya ada 7 nilai atau budaya negatif yang bersifat laten, yaitu: budaya ketakutan, menyangkal, kepentingan pribadi, mencela, tidak percaya, anomi (kehilangan jati diri atau identitas kultural), dan mengedepankan kelompok.
Sama seperti dua tahapan lainnya, tahapan terakhir ini berpeluang gagal karena faktor keletihan (berkurangnya semangat) dan hilangnya kepercayaan diri. Faktor keletihan bisa disebabkan karena (1) perubahan terlalu menegangkan (serius) sehingga tidak ada ruang untuk bernafas, (2) perubahan terlalu sering dilakukan sehingga organisasi merasa kehilangan arah, (3) memerlukan waktu yang panjang, (4) kurangnya dukungan, (5) merupakan rutinitas sehingga terkesan membosankan. Untuk itu change maker membutuhkan change agents dan indikator-indikator untuk menunjukan progress akhir perubahan.
Pembentukan nilai-nilai kolektif baru juga bisa diteruskan menjadi budaya korporat. Tujuan budaya ini adalah melengkapi setiap anggota dengan rasa (identitas) organisasi dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang dianut. Penciptaan budaya korporat dilakukan dengan menelusuri dan menyatukan nilai-nilai subkultur di dalamnya, misalnya ikatan kelompok kerja (marketing, produksi), profesi, jender, asal daerah, alamater dan sebagainya. Akibat ketidakpastian selama transisi perubahan, subkultur ini menjadi lebih kuat karena menjadi pegangan para anggota untuk mengurangi tekanan, rasa takut, cemas, dan tidak percaya. Nilai-nilai subkultur inilah yang merupakan akar terbentuknya budaya organisasi, yang bila tidak disinergikan (direkatkan atau dirajut) akan menjadi faktor penghambat perubahan. Pensinergian dilakukan dengan mencari nilai-nilai kolektif dan common meaning dalam proses dialogis yang memakan waktu cukup lama.
Dalam bisnis, budaya korporat merupakan bagian dari strategi yang dirumuskan para pimpinan puncak. Dengan membentuk budaya yang sesuai dengan para anggota, organisasi akan lebih mudah bersaing dan meraih keberhasilan. Sebagai contoh, jika lingkungan sangat komplek, organisasi perlu didesain agar fleksibel dan responsif, bila lingkungan simpel dan stabil, organisasi cenderung bersifat birokratik. Denison (1990) memperkenalkan empat jenis strategi budaya yang dikembangkan berdasar dimensi fokus strategi (internal dan eksternal) dan lingkungannya (labil dan stabil), yaitu budaya adaptasi, budaya partisipatif, budaya misi, dan budaya konsisten.
Budaya baru yang telah disepakati perlu terus diperkuat agar menjadi tradisi baru yang mampu menjawab tantangan perubahan di masa datang. Kesuksesan melakukan perubahan membuat organisasi sering terlena dan kurang sensitif terhadap kebutuhan perubahan berikutnya. Menurut Collin (2001), apa yang dibutuhkan organisasi bukan kedisiplinan terhadap peraturan, melainkan budaya disiplin yang merupakan kepatuhan terhadap ketentuan dan etika bisnis yang seharusnya dijaga. Lebih lanjut disebutkan bahwa budaya disiplin merupakan sarana untuk meraih keunggulan bersaing. Ada tiga pilar pembentuk budaya displin, yaitu (1) discipline people, anggota yang diseleksi ditempatkan dengan baik, (2) discipline action, strategi diimplementasikan dengan benar, dan (3) discipline though, mengikat kerja bukan hanya dengan disiplin, tapi budaya displin. Untuk memperkuat budaya korporat, discipline people merupakan persyaratan mutlak.
Tanggapan Penulis
Buku Change karangan Renald Kasali ini merupakan bacaan menarik karena memberikan pemahaman konsep yang cukup mendalam dengan bahasa yang sederhana yang disertai banyak ilustrasi gambar. Sesuai tips pada tahapan “Bergerak” yang dirumuskannya, yaitu menghancurkan kekomplekan (simpel), cara penyampaian dalam buku ini memang sungguh jelas, mudah dipahami, dan mengena. Padahal bila dicermati lebih lanjut, buku ini merupakan intisari dari beberapa jurnal ilmiah yang diramu bersama buah asli pemikiran pengarang sendiri. Bagi masyarakat awam, membaca langsung jurnal-jurnal ilmiah tentu memiliki kesulitan sendiri dalam pemahaman konsepnya.
Selain itu, pengarang juga menggunakan metode kontras-konfrontasi yang membedakan konten buku ini dengan bacaan populer lainnya. Model ini umumnya dipakai perusahaan dalam mempromosikan produknya. Kontras dianalogikan sebagai differentiator dengan produk lain, sedangkan konfrontasi merupakan iklan, publikasi atau testimoni yang disajikan berulang-ulang, sehingga diharapkan calon konsumen menjadi percaya kepada produk tersebut. Tentu saja tujuan utama penulis menggunakan kontras-konfrontasi bukan agar buku ini menjadi laris, namun yang lebih penting adalah untuk membuat pembacanya menjadi percaya, berkomitmen, dan tidak enggan untuk melakukan perubahan di lingkungannya masing-masing.
Tahapan perubahan yang dikemukakan pengarang selaras dengan pragmatic view of knowledge (Carlile; 2002, 2004). Tahapan “melihat gap” mirip dengan kemampuan manajer dalam mengidentifikasi novelty di lingkungannya yang menyebabkan perubahan specialization dan interdepedency antar fungsi. Tahapan “Bergerak” mirip dengan mengadopsi new knowledge, dan “menyelesaikan perubahan” mirip dengan knowledge transformation (domain pragmatic).
Dalam knowledge transformation terjadi proses mutual influence di antara para anggota untuk menemukan common interest. Mutual influence bisa dianalogikan dengan proses dialogis untuk memperoleh nilai-nilai kolektif bersama. Menurut Carlile (2002, 2004), kemauan dan kemampuan organisasi menyeberangi ke domain pragmatic merupakan dasar terbentuknya inovasi menuju competitive advantage. Dan sekali lagi ini sesuai dengan pendapat pengarang bahwa perubahan dengan cara pindah ke kurva kedua bertujuan untuk memperoleh kesukesan di masa datang. Hal yang membedakannya adalah pragmatic view lebih melihat obyeknya (konten perubahan), sedangkan tahapan perubahan yang dikemukakan pengarang lebih menitikberatkan pada sisi subyeknya, yaitu keputusan dan tindakan change maker (komitmen, motivasi, dan daya tahan).
Penekanan pada sisi subyek (manusia) menunjukkan bahwa pengarang lebih dekat pada aliran organization economic (OE) dibanding industrial organization (IO). Analogi ini sebenarnya tidak terlalu konkruen karena konten perubahan yang disajikan pengarang berada pada area change management, sedangkan OE dan IO berada di area strategic management, walaupun pada beberapa bagian, pengarang juga menyinggung tentang strategi organisasi. Namun keduanya memiliki titik temu yang lebih nyata pada principal-agent theory dalam menyelaraskan kepentingan (self-interest) atasan dan bawahan dengan kepentingan organisasi. Bila principal-agent theory mengatur dari sisi formal sehingga pimpinannya bertindak sebagai manager, tahapan change yang dikemukakan pengarang lebih melihat dari sisi informal (humanisme) sehingga pimpinannya bertindak sebagai leader.
Menurut Van de Ven & Poole (1995), ada empat jenis motor ideal yang menjelaskan perubahan, yaitu (1) life-cycle, (2) evolutionary, (3) dialectical, dan (4) teleology. Life-cycle adalah perubahan entitas tunggal yang pattern-nya telah diketahui, misalnya pertumbuhan embrio, prosedur. Evolutionary adalah perubahan sekumpulan entitas yang hidup dalam satu lingkungan dan berkompetisi untuk memperoleh resources yang sama dimana entitas yang memenangkan kompetisi akan bertahan. Dialectic adalah perubahan akibat adanya dua entitas atau lebih yang saling beroposisi sehingga sehingga menghasilkan entitas baru atau mengalahkan entitas lainnya. Teleology adalah perubahan yang terjadi akibat adanya visi dari entitas yang akan dicapai dimasa datang. Perubahan ini menghasilkan adanya aturan, batasan, atau strategi baru untuk menjamin tercapainya visi tersebut.
Dari empat bentuk di atas, teleology merupakan motor yang paling sesuai dengan konten perubahan yang dikemukakan pengarang. Namun motor-motor lainnya juga menjadi pertimbangan, yaitu life-cycle divisualisasikan dengan sigmoid-curve yang menuntut organisasi untuk melakukan perubahan sebelum gagal permanen (mati). Evolutionary merupakan gambaran perubahan yang memungkinkan mengubah kesuksesan relatif terhadap kompetitor dimasa lalu menjadi kegagalan dimasa kini. Dan dialectical direpresentasikan dengan transformasi nilai atau budaya korporat akibat respon terhadap agresivitas kompetitor. Ini menunjukkan bahwa pengarang mengadopsi hampir semua motor tersebut sebagai salah satu dasar teorinya.
---o0o---