Jumat, Mei 01, 2009

Clean Car Wars

Resensi Buku
Argumentasi Pengarang
Isu polusi udara telah berkembang sejak tahun 1952 ketika beberapa kota di Inggris dan Amerika tercemar kabut asap industri, dan memicu dikeluarkannya Clean Air Act tahun 1955 (Amerika) dan 1956 (Inggris). Salah satu sumber polusi terbesar adalah gas pembuangan mesin kendaraan bermotor, termasuk mobil, yang terdiri dari karbon monoksida (CO), hidro karbon (HC), nitrogen oksida (NOx), dan khusus mesin diesel ada tambahan particulate matter (PM). Karena itu Amerika dan beberapa negara industri merevisi Clean Air Act secara berkala untuk memperketat standar emisi (1963, 1970, 1977, 1990, 2003 dan 2007), hingga pada tahun 1992 PBB perlu mengadakan Earth Summit yang dilanjutkan dengan Kyoto Protocol tahun 1997.

Clean Air Act tahun 1970, menetapkan standar emisi yang wajib dipenuhi mobil-mobil yang akan dijual di Amerika mulai tahun 1975. Sementara itu, pada saat bersamaan terjadi krisis Terusan Suez yang berimbas pada embargo minyak dunia oleh negara-negara Timur Tengah. Menghadapi situasi ini, sangat jelas bagi produsen mobil dunia bahwa tren pasar otomotif masa depan adalah bagaimana menciptakan kendaraan yang ramah lingkungan dan efisien bahan bakar, khususnya minyak fosil. Dalam buku “Clean Car Wars”, Yozo Hasegawa (penulis) menjelaskan perang strategi yang dijalankan oleh raksasa otomotif, khususnya menyoroti keberhasilan Toyota dan Honda mengungguli The Big-Three: GM, Ford dan DaimlerChrysler, dalam mewujudkan eco-friendly autos (green car).
Ketika industri otomotif cenderung pesimis memenuhi standar emisi Clean Air Act 1970 dalam waktu 5 tahun, Honda mengejutkan dunia dengan penemuan teknologi CVCC (compound vortex controlled combustion) tahun 1971. Dan seperti yang telah direncanakan, akhirnya Honda Civic berteknologi CVCC mulai dijual di Jepang tahun 1973, dan memperoleh sertifikat lulus uji emisi di Amerika tahun 1975. Beberapa produsen kemudian mulai mengadopsi teknologi tersebut, termasuk Toyota pada akhir 1973, dengan inovasinya masing-masing. Toyota kemudian bekerja sama dengan GM tahun 1984 untuk mengembang-kan teknologi bersama. Namun apapun inovasi yang dikembangkan kompetitor, dunia telah mengenal brand Honda sebagai produsen green car saat itu.
Ini adalah awal perlombaan menuju mobil yang pure ramah lingkungan. Generasi berikutnya adalah menghilangkan ketergantungan pada minyak fosil dan menggantinya dengan tenaga listrik atau electric vehicle (EV), baik untuk mesin combustion maupun diesel. Mesin diesel unggul pada efisiensi bahan bakar dan emisi, namun adanya PM membuat mesin ini dilarang (sangat diperketat) di Jepang dan Amerika. Untuk Eropa, mesin diesel banyak digunakan dan wajib memenuhi standar emisi Euro I (2000), Euro II (2005), Euro III dan Euro IV (2010). Sebagai sumber listriknya, EV bisa menggunakan baterei, gas, bioetanol maupun fuel-cell. Namun teknologi EV yang benar-benar bebas dari minyak fosil ternyata masih jauh terjangkau, sehingga para produsen menerapkan teknologi “antara”, yaitu hybrid (gabungan mesin bertenaga listrik dan minyak fosil). Teknologi hybrid kemudian terbukti bisa meningkatkan efisiensi bahan bakar cukup signifikan.
Honda kembali menjadi yang pertama ketika pada tahun 1988 membentuk tim untuk mengembangkan mobil hybrid untuk menuju EV dan teknologi new-diesel. Toyota, yang pada tahun 1992 mengalami penurunan kinerja sangat signifikan, melakukan restrukturisasi besar-besaran dan mencanangkan G21 project (proyek pengembangan mobil generasi abad 21). Sementara GM baru mulai fokus mengembangkan hybrid pada pertengahan 1990-an. Honda menunjukan keunggulannya lagi dengan mengeluarkan protoypte Civic hybrid tahun 1991, test-driving (1996) dan launching (April 1997). Namun mobil ini tidak efisien karena sangat mahal dan berat akibat besarnya baterei untuk menggerakan mesin listriknya, sehingga masyarakat kurang antusias menanggapinya.
Di tempat lain, Toyota melakukan usaha yang luar biasa dengan membentuk beberapa tim riset seperti hybrid engine, car design, software development, hybrid battery (bekerja sama dengan Panasonic), mengakuisi Isuzu (pengembangan mesin diesel), meningkatkan jam lembur, mengurangi hari libur dan termasuk mengganti CEO-nya dua kali. Hampir semua komponen proyek hybrid akhirnya diproduksi sendiri (subsidiary). Launching perdana yang semula dijadwalkan tahun 1998, diubah menjadi Agustus 1997 agar bisa ditampilkan pada Tokyo Motor Show (TMS), Oktober 1997, dan mengambil momentum The Third United Nation Framework Convention on Climate Change di Kyoto, Desember 1997. Semuanya berjalan sesuai rencana, Toyota 1.5-liter Prius diluncurkan pada TMS dan kemudian memperoleh penghargaan Japan’s Car of the Year 2007. Target penjualan yang semula diprediksi hanya 1.000 unit per bulan, menjadi 2.000 unit pada November dan 3.500 unit sebulan kemudian. Dilain pihak Honda menerapkan sistem VTEC dan menggunakan baterei NiMH untuk mulai memproduksi Honda 1.0-liter Insight tahun 1999. Sementara GM belum menunjukan hasil produksinya, dan Ford bahkan mengadopsi sistem hybrid Prius generasi kedua tahun 2004. Kali ini perlombaan dimenangkan oleh Toyota secara mutlak, dan dunia mengenal Toyota Prius sebagai hybrid car, bukan Honda Insight.
Memasuki periode ketiga perlombaan, selain pengembangan mesin diesel, Toyota dan Honda saat ini sedang menuju pengembangan EV menggunakan fuel-cell (bahan bakar hidrogen direaksikan dengan oksigen yang diambil dari udara). GM mengembangkan platform E-flex, yaitu sistem motor elektrik yang bisa menggunakan berbagai bahan bakar seperti fuel-cell, bioetanol maupun plug-in battery (baterei yang bisa dilepas dan diisi ulang di rumah). Hambatan teknologi ini adalah pada keseimbangan antara ukuran baterei dan kapasitas daya listriknya. Hampir serupa dengan GM, Ford menggantungkan masa depannya pada plug-in hydrogen hybrid concept. Sementara DaimlerChrysler, yang memang superior dibidang mesin diesel, mengembangkan teknologi BlueTec (sistem yang bisa mereduksi NOx secara signifikan) dan mulai mengembangkan sayapnya ke riset mesin combustion dengan bahan bakar biofuel, hybrid dan fuel-cell. Beberapa produsen otomotif lainnya juga melakukan strategi serupa, seperti BMW fokus pada bahan bakar hidrogen, Nissan pada fuel-cell dan hybrid, Renault pada mesin diesel berbahan bakar bioetanol.
Apa yang menjadi kunci keberhasilan Toyota dan Honda meraih kesuksesannya pada masa transisi hingga sekarang? Toyota dan Honda memiliki tradisi kuat yang diturunkan dari semangat founding father-nya merumuskan visi masa depan dan secepat mungkin mewujudkannya. Kekuatan Toyota terletak pada down-to-earth style management yang diturunkan dari Sakichi dan Kiichiro Toyoda (co-founding father). Mereka merumuskan lima filosofi yang mendasari mentalitas karyawannya, yaitu: challenge, improvement, reality, respect, teamwork yang intinya adalah continuous improvement and respect others. Filosofi ini yang pada tahun 2001 diuraikan kembali oleh Presiden Fujio Cho menjadi The Toyota Way (koryo). Sedangkan Honda didasarkan pada mentalitas pursuit of dream. Soichiro Honda sebagai founding father merumuskan filosofi The Three Joys: Joy of Producing, Joy of Selling, Joy of Buying. Mereka fokus pada inovasi produk yang diyakini sebagai jembatan untuk memimpin masa depan.
Yozo Hasegawa adalah mantan jurnalis majalah bisnis dan luar negeri, khususnya yang menyangkut dunia otomotif dan telah bertemu dengan banyak CEO dari GM, Toyota, Honda, Nissan dan lain-lain. Buku ini merupakan hasil pengamatan dan pengalamannya selama lebih dari 20 tahun. Saat ini dia bekerja sebagai dosen di Univesitas Teikyo, asisten profesor di Universitas Gakushin dan komentator di televisi dan radio.

Tanggapan
* Menurut saya, dalam buku ini ada beberapa bagian yang seharusnya bisa dikembangkan menjadi lebih baik, yaitu:
* Pada bab terakhir, analisa winning strategy-nya terlalu singkat atau bisa dikatakan dangkal. Apakah faktor terbesar keberhasilan Toyota dan Honda memang hanya pada corporate value yang diturunkan dari founding father-nya atau kemulusannya dalam suksesi pimpinan? Jauh lebih baik bila pada analisa tersebut juga diuraikan faktor-faktor lain seperti struktur organisasi, sistem managemen, business strategy, budaya perusahaan, perbandingan kaizen dan six-sigma dan lain-lain. Hasegawa sebagai orang Jepang, terlalu Japan centre. Bila memang corporate value adalah sebagai differentiator utama, seharusnya dia juga menyajikan corporate value-nya GM dan Ford sehingga pembaca bisa membandingkan isinya. Usia GM dan Ford lebih tua dibanding kedua perusahaan Jepang tersebut, dan seharusnya memiliki budaya dan value yang mengakar kuat juga (diturunkan dari founding father-nya). Apakah Henry Ford tidak menurunkan filosofi kepada keturunannya seperti Bill Ford yang saat ini berada di perusahaan tersebut?
* Kesan yang ditimbulkan setelah membaca buku ini adalah seolah-olah The Detroit’s Big-Three (GM, Ford, DaimlerChrysler) bersikap pasif paska Clean Air Act 1970. Penulis tidak menguraikan aktivitas yang mereka lakukan secara detail selain disinggung sangat sedikit dibeberapa bagian, seperti GM melakukan kerja sama dengan Toyota tahun 1984 (apa hasilnya?), apa reaksi Ford dan DaimlerChrysler setelah Honda menemukan sistem CVCC, dan sebagainya.
Selain itu, GM baru mengembangkan sistem hybrid pada pertengahan 1990-an, sementara Ford baru tahun 2000-an dengan mengadopsi Prius. Tidak ada penjelasan detail apa penyebab GM dan Ford terlambat mengembangkan sistem hybrid dan electric vehicle. Sebagai perusahaan kelas dunia, rasanya tidak masuk akal bila GM dan Ford tidak memahami tren pasar otomotif, setidaknya mereka memperoleh informasi agresivitas kompetitornya di Jepang. Hasegawa yang sering melakukan interview dengan para CEO seharusnya bisa mendapatkan jawabannya dari mereka.
* Akan lebih menarik bila penulis juga menampilkan angka-angka perbandingkan dalam bentuk grafik seperti: pasar otomotif tiap kawasan, data aktual peningkatan emisi dari masa ke masa, standar emisi tiap revisi Clean Air Act atau Earth Summit, penjualan mobil antar automaker, perbandingan penjualan beberapa green car paska dikeluarkannya Prius.
Sorotan yang saya sebutkan di atas bukan untuk mengatakan bahwa analisa penulis tidak benar, namun alangkah lebih baik bila disajikan secara berimbang dari masa ke masa sehingga obyektivitasnya terjaga dan lebih meyakinkan bagi pembacanya. Pembaca yang ingin mendalami rahasia masing-masing brand tersebut bisa membaca buku seperti Toyota Way (2001), Honda Way (2007) dan sebagainya
* Terlepas dari hal tersebut, buku ini memberikan banyak sekali informasi tentang perkembangan tren otomotif dunia. Pembaca yang awam biasanya hanya mengerti Prius sebagai mobil ramah lingkungan. Padahal beberapa model walaupun tetap menggunakan nama lama, telah menggunakan teknologi semi electric vehicle seperti Ford Escape, New CRV, Chevrolet Volt, Mercury Mariner dan lain-lain. Pembaca juga mendapat informasi seperti mengapa Toyota Prius menjadi sangat terkenal, apa perbedaan green car keluaran GM, Ford, Toyota, Honda, gambaran perkembangan teknologi mobil masa depan (electric vehicle dengan fuel-cell dan/atau biofuel) dan masing-masing teknologi yang dikembangkan para automaker.
* Sebagaimana bisa disaksikan pada film Gung Ho (1986) yang dibintangi Michael Keaton dan Gedde Watanabe arahan sutradara Ron Howard, terlihat bahwa rata-rata mental kerja keras orang Jepang cenderung lebih tinggi dari orang Amerika. Dalam film digambarkan bagaimana pekerja Amerika lebih banyak menuntut fasilitas sebelum menunjukan hasil kerjanya. Sementara pekerja Jepang cenderung serius, kaku dan sangat fokus terhadap pekerjaannya. Menurut saya ini bukan sekedar skenario film, namun merupakan gambaran fakta yang sebenarnya. Salah satu penyebabnya bisa dilihat dari faktor sejarah, yaitu keinginan kuat orang Jepang untuk bangkit paska kekalahannya pada Perang Dunia II dan kenyataan bahwa mereka hampir tidak memiliki sumber daya alam, seperti minyak bumi yang sangat dibutuhkan dalam industri. Perusahaan Jepang seperti Toyota, Honda, Sony selain maju dalam bidang teknologi mereka selalu menekankan efficiency (waktu, biaya, tenaga dan resources). Dan seperti disebutkan juga oleh Hasegawa, mereka lebih mengutamakan kerjasama tim dan melihat karyawan sebagai mitra kerja. Para eksekutif Jepang cenderung tidak menonjolkan kemewahan dan ke-ekslusif-an yang mencolok.
Sebaliknya perusahaan-perusahaan di Amerika yang merasa memiliki teknologi lebih maju dan standar kehidupan tinggi, mengalami problem kesenjangan sosial yang hebat. Tidak mengherankan saat krisis global seperti sekarang ini, The Big-Three menjadi limbung dan menuju keruntuhan (bangkrut). Harga saham mereka anjlok drastis, S&P 500 bahkan menurunkan bond rating mereka menjadi junk bond (dibawah BBB), dan saat ini mereka sedang meminta bantuan progam bail out dari pemerintah Amerika lebih dari r $50 milliar (Rp. 500 triliun). Yang menarik adalah saat pertemuan di Capitol Hill (sehubungan dengan bail out tersebut), semua eksekutif datang dengan pesawat jet pribadi masing-masing yang merupakan fasilitas perusahaan. Hal ini sempat disindir oleh anggota konggres, Brad Sherman dengan mengatakan “Acungkan tangan bagi mereka yang datang tidak menggunakan pesawat pribadi”.
Toyota dan Honda juga terimbas krisis global karena sekitar 60% penjualan mereka ada di pasar Amerika. Bila GM mengalami penurunan penjulan 16% pada triwulan III-2008, penjualan Toyota justru anjlok 32% lebih di pasar Amerika. Namun mental efisiensi dan kearifan berperilaku pada eksekutifnya yang membuat mereka masih kokoh bertahan. Ini adalah salah satu contoh kecil implementasi corporate value seperti diuraikan Hasegawa dalam buku ini. Contoh tersebut bisa memberikan sedikit gambaran tentang perbedaan aktivitas bisnis dan etos kerja di perusahaan Jepang dan Amerika yang tidak sempat diuraikan penulis sebagai bahan perbandingan bagi pembacanya.

* Peningkatan polusi udara sudah mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1800-an. Namun isu baru ramai dibicarakan pada tahun 1950-an. Amerka, Eropa Barat dan Rusia merupakan negara penyumbang emisi gas karbon terbesar di dunia. Hal ini disebabkan karena selain sebagai negara industri, Amerika juga merupakan pasar otomotif yang sangat besar. Berdasarkan data 2007, pasar otomotif dunia sekitar 73 juta unit, dimana 19,4 juta berada di Amerika dan Kanada, Eropa 22,9 juta, Asia Pasifik 21,4 juta, Amerika Lation 2,4 juta. Sedangkan selama tahun 1990-an pertumbuhan terbesar berada di China, India, Brasil dan China. Pada tabel di bawah ini bisa dilihat perubahan emisi gas CO2 terbesar di beberapa negara.
* Selain isu polusi udara yang memicu lahirnya beberapa Clean Air Act beserta revisinya, isu krisis energi tahun 1973 akibat embargo minyak dari negara-negara Timur Tengah membuat Amerika mengeluarkan regulasi standar efisiensi bahan bakar tahun 1975 yang disebut Corporate Average Fuel Economy (CAFÉ). Salah satu parameter yang digunakan adalah mpg (miles per gallon).



Gambar-1 di atas adalah standar CAFÉ untuk light truck dan passenger car. Sedangkan gambar-2 adalah standar dan aktual CAFÉ vs. harga minyak dunia per gallon. Terlihat bahwa sejak regulasi dikeluarkan, rata-rata CAFÉ per kendaraan menjadi lebih efisien. Regulasi kemudian direvisi pada Maret 2006 untuk menentukan standar CAFÉ yang baru berdasarkan ukuran mobil (footprint).



---o0o---