Kamis, Juli 16, 2015

Ramadhan Holiday 2015 - Day 7 - Stockholm

Ramadhan Holiday 2015 - Day 7 - Stockholm
 
Matahari kembali menyambut pagi kami, ketika kami berlabuh di kota Stockholm tepat jam 9.30 local time. Udah beberapa hari kami tidak bertemu dengan matahari, padahal ini adalah musim panas. Dari geladak kapal tadi aku menyaksikan terbitnya matahari ketika pagi masih benar-benar buta, sekitar jam 3.30 pagi. Semburat warna merah di tengah laut Baltik sangat indah. Sayang udara terlalu dingin untuk berlama-lama di udara terbuka. Setelah beberapa jepret, aku kembali lagi meringkuk tidur di kabinku yang hangat.
 
Mendengar kata Swedia mengingatkan aku tentang tiga hal. Yang pertama, Swedia adalah tempat perjanjian perdamaian antara GAM dan pemerintah Indonesia yang diprakarsai oleh Wapres Jusuf Kalla di tahun 2005. Peran aktif pemerintah Swedia, tempat di mana tokoh utama GAM Hassan Tiro tinggal, sangat dominan. Tentu saja faktor tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh di akhir Desember juga menjadi faktor pemicu munculnya perdamaian.
 
Dalam kancah internasional Swedia memang banyak berperan sebagai penengah/mediator dalam konflik antar negara. Ironisnya di negara inilah Alfred Nobel menemukan senjata dan menyempurnakan penemuan bahan peledak yang sebelumnya ditemukan di China. Kebijakan Swedia untuk tidak menjual senjata pada negara yang berperang cukup aneh. Yang perlu senjata khan negara yang berperang. Kalau damai ya ndak perlu banyak senjata. Suatu cara dagang yang aneh.
 
Kedua, tentu saja adalah hadiah Nobel. Alfred Nobel memprakarsai pemberian hadiah Nobel kepada pemenang untuk 5 kategori, yaitu Kimia, Fisika, Sastra (Literature), Ekonomi dan Perdamaian. Nama-nama pemenang Nobel yang saya "kenal" (baca: pernah dengar) tentu saja hanya di bidang Ekonomi, yang biasanya didominasi oleh disiplin ilmu Economics (macro) dan Finance. Tokoh Strategic Management belum pernah mendapatkan anugerah Nobel, walau beberapa nama banyak disebut dalam pembelajaran di Strategic Management, di antaranya Ronald Coase, Olivier Williamson, Amos Tversky, Daniel Kahneman, Paul Krugman, William Sharpe, Harry Markovitz, Eugene Fama, Robert Shiller dan Jean Marcel Tirole (2014). Di kota Stockholm inilah pemenang Nobel diumumkan dan dirayakan pada hari peringatan kematian Alfred Nobel tiap tanggal 10 Desember, kecuali Nobel Perdamaian yang diumumkan di Oslo Norwegia. Dulunya Norwegia adalah daerah jajahan Swedia.
 
Soal Nobel ini mengingatkan saya pada kejadian tahun lalu ketika saya berlibur di US West Coast dan mengunjungi UC Berkeley. Saat itu saya kepingin ke toilet sekali dan muter-muter mencari parkiran di Berkeley susah sekali. Akhirnya aku menemukan tempat parkir yang sangat nyaman dan strategis. Langsung aku parkir dan turun dari mobil. Setelah mengunci mobil, baru aku baca tulisan yang sangat aneh dan belum pernah aku lihat di manapun di dunia. "These parking lots are strickly dedicated for Nobel Laurates only". Wah...... belum pernah kulihat tempat parkir khusus untuk peraih hadiah Nobel. Langsung aku masuk mobil lagi sebelum diomelin orang. Sayang aku lupa memotret papan tulisan itu, gara-gara perut yang sudah susah diajak kompromi saat itu.
 
Ketiga, Swedia mengingatkan saya pada Teori Uppsala dalam Business International. Teori ini bukanlah teori yang pertama membahas masalah bisnis internasional. Sebelumnya Disertasi Stephen Hymer adalah yang pertama kali membahas tentang perusahaan yang going internasional dengan unit analisa perusahaan. Penelitian-penelitian sebelum Hymer membahas masalah capital movement antar negara ditinjau dari sisi makro ekonomi, seperti suku bunga, inflasi, kurs, pertumbuhan ekonomi. Ini terinspirasi oleh buku the Wealth of Nation karangan Adam Smith tahun 1776 tentang manfaat dari perdagangan international, yaitu absolut dan comparative advantage. Uppsala Model menceritakan tentang bagaimana perusahaan melakukan internasionalisasi dari operasi bisnisnya, yaitu secara bertahap meningkatkan operasi bisnisnya di pasar luar negeri. Model ini dikemukakan oleh Johannson dan Valhne tahun 1977 dari Universitas Uppsala di kota Uppsala sebelah utara Stockholm. Konon ini adalah universitas terbaik di Scandinavia dalam bidang ekonomi dan bisnis. Menurut Uppsala Model, keputusan meningkatkan investasi sebuah perusahaan di luar negeri akan didasarkan pada peningkatan market knowledge (experience) di negara tersbut. Walaupun ini adalah teori yang cukup usang, tetapi sampai sekarang masih relevan untuk dipraktekkan bagi sebagian perusahaan, terutama untuk mature business. Sayang aku tidak berkesempatan mengunjungi universitas tersebut. Padahal aku sebenarnya pengin foto di depan universitas tersebut karena teori ini banyak saya bahas ketika saya mengajar di kelas Magister atau Doktoral. Tapi saya sadar, ini adalah holiday tour, bukan academic tour.
 
Di samping ketiga hal tersebut di atas, negara-negara Scandinavia (Islandia, Denmark, Norwegia, Swedia), memang terkenal dengan tehnologi industri furniturnya, terutama furniture yang menggunakan kayu lunak. Industri forestrynya sangat maju dan hebatnya adalah ramah lingkungan. Reboisasi dijalankan dengan sangat bagus sehingga tidak terjadi deforestasi yang mengganggu kesetimbangan lingkungan dan biota yang tinggal di dalamnya.
 
Di samping itu juga ada satu nama asal Scandinavia yang kita kenal sejak kecil, yaitu Hans Christian Anderson. Anak-anak di generasi saya yang lahir pada tahun 1960 - 1970an pasti kenal nama ini. Dia adalah komikus anak-anak yang karyanya diterjemahkan ke ratusan bahasa di dunia. Ceritanya menarik dan kadang juga sarat dengan pesan moral yang terselubung. Scandinavia memang negeri "dongeng". Rakyatnya hidup makmur dalam keteraturan. Bagi kita orang Indonesia, kehidupan yang flat dan serba rutin dan teratur akan terasa membosankan. Kita biasa hidup di negeri "antah berantah" yang memiliki tingkat ketidak pastian tinggi. Di negeri seperti Indonesialah semuanya serba mungkin. Kehidupan di Indonesia lebih mirip akrobatik dan tidak memiliki pakem yang jelas. Barang siapa yang jeli melihat peluang, berani bertindak dengan kalkulasi resiko yang matang, akan bisa melejit. Tentu saja kudu dibarengi dengan hoki, yaitu bertemunya kesempatan yang muncul dengan kompetensi yang dimiliki.
 
Acaranya hari ini city tour lagi. Padahal sebenarnya banyak tempat menarik pemandangannya di Swedia, di luar kota Stockholm. Itu kelihatan dari kapal sebelum kami mendarat. Rumah-rumah di tepi sungai dengan pemandangan yang hijau sangat bagus, dibandingkan cuman lihat museum dan City Hall di tengah kota. Walaupun lebih bagus dari Helsinki, tetapi tetap kurang menarik. Mungkin kami sudah mulai bosan mengikuti historical tour selama seminggu. Untung kali ini tertolong oleh penjelasan local guide kami, Mrs. Agnes, seorang guru sekolah yang mampu menjelaskan dengan cukup menarik. Kami mengunjungi City Hall tempat di mana dilaksanakan penganugerahan hadiah Nobel setiap tahunnya. Arsitektur City Hall banyak didominasi oleh pilar ganda yang merupakan pengaruh dari konsep arsitektur Yunani. Pilar ganda ini melambangkan ekualitas (persamaan hak), termasuk persamaan hak antara pria dan wanita. Karena sangat menjunjung tinggi ekualitas, maka diskriminasi konon menjadi barang haram di Swedia. Siapapun memiliki persamaan hak dan kewajiban di mata hukum. Konsep idealnya memang sangat bagus, tetapi saya yakin dalam implementasinya tidak selamanya berada pada tataran ideal. Salah satu buktinya adalah kisah hidup rekan fotografer profesional saya, Alex Tjoa, yang sudah banyak ditulis di media sosial facebook dalam fanpage Save Jonatan. Dia terpaksa kehilangan hak asuhnya atas anak yang dilahirkannya dari perkawinan dengan seorang Swedia, melalui sistem hukum yang faktanya juga diskriminatif. Alex adalah fotografer kelas dunia asal Indonesia yang tinggal dan sudah menjadi warga negara Swedia. Sebagai sahabat saya hanya bisa mendukung, "Terus berjuang Alex. Save Jonatan." Kebenaran akan menemukan jawabannya dalam rahasia waktu.
 
Kami juga sempat mengunjungi istana Raja, yang bentuknya tidak semegah Istana-istana raja di Russia. Dari situ kami sempat stop by di ketinggian bukit untuk melihat kota Stockholm dari atas. Ini pemandangan yang indah, sama seperti melihat Hong Kong dari the Peak di waktu malam. Kota Stockholm sendiri berpenduduk 2 juta jiwa, berarti sekitar 30 persen penduduk Swedia yang sebesar 7 juta tinggal di ibukota ini. Yang menjadi andalan kota ini adalah kebersihannya dan konsep green nya. Saking bersihnya, bahkan air keran di WC pun layak minum. Buat orang lokal mungkin dah terbiasa, tetapi buat aku, masih agak kikuk meminum air langsung dari keran. Padahal di rumah makan aku lihat sendiri air putih langsung di tuang dari keran. He....
 
Kota Stockholm sendiri terdiri dari 14 buah pulau, dan diapit oleh Danau Malaren dan Laut Baltik. Pulau yang terkecil hanya terdiri dari sebuah bangunan saja. Menurut local guide kami, ada dua hal yang tidak dimiliki oleh warga kota Stockholm. Yang pertama yaitu cuaca yang bersahabat. Dalam setahun warga kota Stockholm hidup dalam "kegelapan" dan cuaca dingin, karena di musim dingin sampai pertengahan musim semi, praktis tidak pernah ada matahari sama sekali. Kehidupan kota hanya mengandalkan penerangan dari listrik. Di Stockholm sedikit sekali toko elektronik yang menjual AC. Ini tergolong barang langka, sama seperti heater di Indonesia. Makanya ketika musim panah benar-benar dinikmati warga kota buat "berlibur".
 
Yang kedua adalah orang Swedia tidak memiliki "uang tabungan". Gaji warga kelas bawah dan menengah di Stockholm biasanya sudah habis untuk membayar pajak, yang besarannya berkisar antara 30 - 55 %, biaya cicilan rumah, cicilan mobil, cicilan pendidikan. Sisanya baru buat hidup selama sebulan. Jadi praktis tidak ada yang tersisa untuk ditabung. Kalaupun ada biasanya akan dihabiskan untuk jalan-jalan di musim panas. Tapi tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kehidupan di Swedia susah dan kekurangan duit. Swedia adalah salah satu negara terkaya di kawasan Eropa. Filosofi hidup orang Swedia memang berbeda dengan Chinese philosophy di mana individu berusaha menabung dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya untuk diwariskan kepada keturunannya. Di sini dan juga di banyak negara-negara Western Hemisphere tidak terpaku pada kewajiban "menyiapkan" anak-anak keturunannya agar "mentas" dalam kehidupannya. Di negara-negara inilah kebiasaan menyumbang kepada "society" menjadi budaya yang sangat jamak. Apalagi sistem perpajakannya mendukung dan mengakomodir hal ini. Dengan menyumbang maka setiap wajib pajak akan mendapatkan keringanan pajak yang signifikan. Lah di Indonesia mbayar pajak bener aja susahnya minta ampun. Sehingga tax deduction on donation, seandainya diterapkanpun tidak akan banyak membantu.
 
Di kota Stockholm ini ada 47 buah taman kota, di mana pada musim panas biasanya penduduk kota banyak menghabiskan waktunya di taman-taman tersebut. Mungkin mirip mall di Jakarta sebagai anjang ngumpul dan menghabiskan waktu sekaligus rekreasi. Dari bis yang sedang berjalan, saya sempat melihat dari kejauhan banyak cewek-cewek muda yang sedang berjemur di taman dengan pakaian yang sangat minim. Bahkan beberapa di antaranya kelihatan topless. Asyik juga tuh kalau bisnya sempat berhenti. Bisa banyak lihat "jeruk, "semangka", atau bahkan mungkin kebanyakan adalah "pepaya".
 
Acara hari ini ditutup dengan makan malam di restaurant Formosa di kawasan kota tua Stockholm. Sayang tadi siang waktu kita banyak dihabiskan di kawasan down town. Sebenarnya kawasan Kota Tua jauh lebih menarik. Kita bisa duduk-duduk di depan cafe shop sambil melihat orang yang lalu lalang tiada henti. Kota tua ini juga menarik sebagai obyek fotografi. Banyak daerah-daerah di Kota Tua yang bisa jadi obyek yang menarik untuk dijepret, dibandingkan dengan pusat perbelanjaan modern. Mungkin ini bisa jadi masukan buat penyelenggaraan tour Ruscan berikutnya.