Jumat, Mei 08, 2009

Family Wars

Resensi Buku karangan Grant Gordon dan Nigel Nicholson
Argumentasi Pengarang
Dalam dunia bisnis, perusahaan keluarga merupakan hal yang umum terjadi. Banyak hal menarik yang bisa dipelajari darinya. Sebagian orang mengatakan bahwa family business merupakan inimitable advantage, namun pada kenyataannya banyak terjadi konflik di dalamnya dan sebagian diantaranya mengakibatkan kegagalan bisnis. Dalam buku ini, penulis menjelaskan berbagai macam bentuk konflik dan penyebabnya, mengusulkan bagaimana sebuah keluarga seharusnya menghadapi konflik ini dan bagaimana beradaptasi terhadap perubahan.

Keluarga dan bisnis keluarga adalah dua institusi berbeda yang awalnya dipimpin oleh satu orang yaitu kepala keluarga yang juga sebagai business founder (leader). Sejalan dengan waktu, leader berusaha menyiapkan anak-anaknya untuk mewarisi bisnis tersebut di kemudian hari. Konflik mulai terjadi saat bisnis mulai menjadi lebih besar dan komplek, anak-anak menginjak usia dewasa, persiapan suksesi dan perubahan jaman, dimana semuanya terjadi hampir bersamaan. Semua ini bergantung pada apa yang telah dilakukan leader sebelum semuanya itu terjadi dan bagaimana menyikapinya. Sehingga bisa dikatakan sumber konflik sebenarnya bermula pada personaliti leader sebagai businessman dan parents.
Dalam keluarga, model pengasuhan anak dan hubungan suami-istri mempengaruhi pembentukan personaliti anak di kemudian hari. Ada empat model pengasuhan anak yang merupakan kombinasi antara love dan authority, yaitu otoriter, memanjakan, mengabaikan dan mendidik. Model-model tersebut menggambarkan bagaimana orang tua mengembangkan cara berkomunikasi antar anggota dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan budaya keluarga agar dipahami oleh anak-anaknya. Selanjutnya, hingga dewasa anak-anak juga mendapat pengaruh dari lingkungan sekolah dan sosialnya sehingga terbentuklah seorang anak dengan personaliti yang unik yang memiliki characteristic, interest dan need tertentu. Pengalaman baik (seperti prestasi di sekolah, keharmonisan keluarga) dan pengalaman buruk (seperti pertengkaran atau perceraian orang tua) sangat mempengaruhi hasil akhir personaliti si anak.
Pada usia dewasa, anak-anak memiliki cara berpikir dan self-concept sendiri. Dalam hal ini orang tua cenderung tidak memperhatikan hal tersebut, dan mereka selalu berpikir bisa membentuk anak-anak seperti yang mereka inginkan. Sedangkan anak yang merasa tidak nyaman cenderung memberontak dan makin besar skalanya seiring bertambahnya usia dan tanggung jawabnya. Menurut penulis, personaliti anak 50% berasal dari campuran gen kedua orang tuanya, dan sisanya dipengaruhi pendidikan dan pengalaman hidupnya. Ini adalah hal pertama yang bisa memicu konflik dikemudian hari (parent-children conflict).
Dalam bisnis keluarga, leader cenderung bersifat hubris (large overconfidence and pride) mengingat keberhasilan bisnisnya sejak masa lalu. Sifat hubris yang begitu kuat membuat leader kurang peka terhadap perubahan baik di lingkungan eksternal, perusahaan maupun keluarganya. Hampir tidak ada pihak yang bisa mengevaluasi, membatasi atau memberi masukan atas keputusan dan kekuasaannya, apalagi bila para eksekutifnya berasal dari keluarga sendiri (nepotisme). Nepotisme adalah hal yang sangat lazim dalam bisnis keluarga. Pemilihan anggota keluarga (anak, keponakan, menantu dan lain-lain) untuk menduduki jabatan tertentu dilakukan melalui proses judgment berdasarkan insting leader. Yang lebih rumit adalah bila leader kurang memiliki waktu yang cukup untuk mendalami personaliti mereka sehingga leader sering melakukan keputusan yang kurang tepat, seperti saat menempatkan anaknya dalam perusahaan, perhatian yang kurang seimbang diantara mereka dan lain-lain. Dengan kata lain, aspirasi anggota keluarga tidak benar-benar terakomodasi oleh leader. Penulis mengusulkan agar perusahaan ini seharusnya memiliki mekanisme kontrol, governance structure dan pendapat eksternal seperti advisor dan consultant. Tanpa itu semua masalah hubris bisa berkembang menjadi masalah biased strategic decision making termasuk suksesi.
Sebaliknya dari perspektif anak-anak yang mulai menempati jabatan tertentu di perusahaan, sering terjadi konflik horisontal diantara mereka (siblings rivalry). Secara umum konflik disebabkan karena mereka menempati space yang sama dalam mengelola resources perusahaan. Orang tua atau leader yang aspiratif seharusnya bisa melihat hal tersebut dan berusaha membuat perbedaan diantara mereka. Untuk meminimalkannya, leader harus memperhatikan hal-hal berikut: (1) characteristics mixture: memberikan authority yang berbeda sesuai dengan interest dan need-nya dimana mereka tidak boleh berada dalam space yang sama, misalnya seorang dipilih untuk memimpin yang lainnya; (2) gender: same-sex sibling lebih berpotensi menimbulkan konflik dibanding opposite-sex sibling, dimana brotherhood lebih berpotensi konflik dibanding sisterhood, (3) age spacing: makin besar selisih umur mereka, makin kecil potensi terjadinya konflik, dan (4) circumstance: anak yang terpilih untuk memimpin harus bisa mengakomodir semua aspirasi saudaranya. Sibling rivalry adalah konflik yang sangat umum dalam bisnis keluarga dan harus menjadi perhatian utama bagi leader terutama saat membuat surat wasiat. Konflik bisa menjadi lebih besar bila kemudian leader meninggal dunia, karena sibling rivalry berpotensi menjadi multiple group conflict dan berkembang menjadi pemisahan bisnis atau putusnya hubungan keluarga.
Setiap keluarga dan bisnis keluarga hampir selalu mengalami konflik-konflik di atas bergantung pada skalanya. Konflik tidak selalu berkonotasi negatif, karena bila perusahaan keluarga bisa melewatinya akan membuat kesolidan antar anggota keluarga menjadi lebih kuat dan lebih bisa beradaptasi menghadapi perubahan jaman. Secara umum ada lima resiko konflik yang mengancam perusahaan keluarga: (1) nepotism: membuat perusahaan terisolasi dari lingkungan eksternalnya, (2) succession: rencana dan standar kepemimpinan di masa datang termasuk leader non-keluarga, (3) renumeration and reward: aturan pembagian hasil dan penjualan saham, (4) sibling rivalry: konflik antar anggota keluarga, (5) retirement: aturan yang membatasi masa kepemimpinan seorang leader, termasuk membantu perencanaan aktivitasnya paska pensiun.
Penulis mengusulkan sembilan cara untuk mencegah konflik menjadi lebih besar atau kehancuran: (1) succession mechanism: agar pergantian kepemimpinan bisa berjalan lancar tanpa harus menimbulkan kerusakan akibat konflik, (2) planning and information: pengambilan keputusan bukan berdasarkan judgment tapi memiliki prosedur dan dasar analisa sehingga bisa dievaluasi, (3) communication: adanya forum komunikasi yang jelas untuk menyampaikan fungsi masing-masing jabatan dan tujuan bersama yang akan dicapai, (4) family governance: forum keluarga untuk pertukaran informasi, pandangan dan nilai antar anggota keluarga, (5) corporate governance: peraturan dan prosedur untuk menentukan strategi dan aktivitas perusahaan, (6) education and training: membekali tiap anggota keluarga agar memiliki wawasan dan pola pikir yang mengikuti perubahan jaman, (7) liguidity and exit mechanism: untuk memastikan pembagian hasil yang fair antar anggota keluarga termasuk keputusan untuk keluar dari perusahaan, (8) conflict resolution: forum debat khusus anggota keluarga untuk memperoleh solusi permasalahan, dan (9) external benchmarking: keterbukaan memperoleh masukan dari pihak non-keluarga seperti advisor, perusahaan lain.
Buku ini merupakan hasil penelitian penulis terhadap kasus-kasus konflik pada perusahaan keluarga dan didukung oleh teori-teori yang diambil dari reference.

Tanggapan
• Penulis menyebutkan, penelitian di Amerika, Eropa dan sebagian Asia menunjukan adanya kecenderungan bisnis keluarga menunjukan kinerja yang lebih baik dari bisnis non-keluarga. Sebagian diantaranya adalah perusahaan kelas dunia seperti BMW di Jerman, Clark Shoes di Inggris, Cargill di Amerika, Samsung di Korea. Beberapa perusahaan walaupun sudah ditangani secara profesional namun masih memiliki peran keluarga di dalamnya seperti Ford, Toyota dan Honda. Hal ini ternyata juga terjadi di Indonesia, seperti Bakri Grup, perusahaan farmasi (Kalbe Farma, Sanbe, Dexa Medica), Gudang Garam, Jamu Jago dan sebagainya yang juga masih di kontrol kuat oleh anggota keluarga founding father-nya. Beberapa perusahaan kemudian terlepas dari kontrol keluarga seperti Astra dan HM Sampoerna.
Untuk Indonesia, perusahan keluarga kelas nasional atau internasional kebanyakan baru didirikan sekitar masa kemerdekaan. Artinya rata-rata usia perusahaan masih muda dan kebanyakan founding father-nya masih hidup. Mereka belum bisa dianalisa secara penuh menurut teori family wars di atas.
• Menurut saya, bisnis keluarga merupakan sesuatu yang bersifat sangat natural dan sangat umum terjadi. Saat seseorang berhasil mendirikan suatu bisnis, nepotisme selalu menjadi pilihan pertama untuk mengisi jabatan eksekutif maupun suksesi di kemudian hari. Seperti telah disebutkan penulis, salah satu keuntungan nepotisme adalah adanya ikatan emosi yang kuat dan kepercayaan (trust) antara leaders dan keluarganya. Namun nepotisme membuat perusahaan menjadi terisolir dari ide-ide eksternal. Dan sangat sulit bisnis keluarga menjadi perusahaan kelas dunia tanpa ada bantuan profesional dari luar.
• Penggunaan profesional juga tidak semudah yang dibayangkan karena founding father atau pihak keluarga pada awalnya tidak sepenuhnya bisa menyerahkan authority kontrol perusahaan kepada orang luar. Bila hal ini tidak disadari atau diatasi (misalnya dengan governance structure), maka profesional tersebut hanyalah berupa boneka saja dan keluarga tetap memang kendali perusahaan.
• Sehubungan dengan nepotisme, decision making yang dilakukan para eksekutif cenderung memiliki resiko tinggi atau bias sesuai istilah penulis. Menurut teori, para eksekutif memiliki latar belakang yang sama dan ikatan emosional yang tinggi sehingga kelompok tersebut cenderung menjadi cohesive dan menjadi groupthink. Apalagi bila leader yang dalam hal ini juga merupakan parents memiliki sifat otoriter atau hubris sehingga memicu terjadinya uniformity pressure yang kuat. Sifat otoriter ini juga merupakan hal yang sangat natural karena leader merasa di lebih berpengalaman dari anak-anak atau anggota keluarga lainnya. Hal ini tentu berbahaya bila keputusan yang diambil bersifat strategik.
Salah satu hal yang membedakan bisnis keluarga dan non-keluarga adalah adanya suasana di dalam keluarga yang terbawa ke dalam lingkungan bisnis, dan para eksekutif yang nantinya akan mewarisi hak kepemilikan perusahaan tersebut. Anak dan orang tua sudah sangat mengenal satu sama lain. Bila orang tua (leader) bersifat otoriter, sejalan dengan usia anak, mereka cenderung berkurang rasa hormatnya dan berani melakukan perlawanan. Apalagi bila kemudian terjadi kecemburuan, ketidakadilan dan ketidak-fair-an baik dalam bentuk perhatian, kebutuhan atau hal-hal yang bersifat material. Ini bukan hanya merupakan perselisihan atau konflik yang terjadi antara orang tua dan anak, namun bisa berkembang menjadi sibling rivalry.
Sibling rivalry akan semakin terasa sejalan dengan makin berkurangnya kontrol dan pengaruh leader dalam bisnis tersebut. Maka tidak heran bila banyak leader sulit untuk lengser dan menyerahkan wewenang penuh kepada anak-anaknya. Beberapa leader menganggap mereka kurang mampu menjalankan bisnis keluarga dan lebih baik menyerahkannya kepada profesional. Berdasarkan pengalaman, pada awalnya profesional biasanya juga sulit untuk berkembang dan bertahan lama mengingat campur tangan anggota keluarga masih sangat kuat. Namun sejalan dengan waktu dan dengan adanya governance structure yang kuat hal tersebut bisa diatasi.
• Sebaliknya bila orang tua (leader) bersifat mendidik dan mampu menanamkan budaya keluarga yang baik, anak-anak akan menjadi orang tua sebagai panutan yang dihormati baik dalam keluarga maupun bisnis. Ada contoh menarik yaitu salah satu perusahaan konglomerasi di Thailand, Thai Nakorn Patana, yang bergerak di bidang farmasi, perhotelan, broadcasting dan lain-lain. Orang tua (leader) mampu menjadi panutan bagi keempat anaknya yang masing-masing memiliki jabatan tertentu dalam bisnis keluarga tersebut.
Mereka membangun apartemen di salah satu gedung pabriknya dan hanya dipisahkan oleh lantainya saja. Hal yang menarik adalah bagaimana orang tua membangun keharmonisan keluarganya, yaitu mewajibkan setiap anggota keluarga termasuk menantu dan cucunya untuk makan pagi bersama. Design apartemennya dibuat sedemikian rupa sehingga ruang makan dan dapur hanya ada di apartemen orang tuanya saja. Sikap saling menghormati sangat jelas terlihat baik antar saudara, menantu maupun dengan orang tua. Sementara orang tua masih menangani strategik perusahaan, urusan operasional telah dibagikan ke anak dan menantunya dengan jabatan yang berbeda-beda.
Di dalam keluarga, orang tua (leader) berhasil menanamkan falsafah: “menghormati orang yang lebih tua”. Anak menghormati orang tua, saudara muda menghormati saudara yang lebih tua sehingga hampir tidak pernah ada konflik yang berarti. Orang tua dalam hal ini benar-benar menjadi panutan, keputusannya menjadi keputusan yang wajib dijalankan namun tidak berkesan otoriter karena semua anaknya melakukannya dengan rasa hormat.
Disini terlihat bahwa orang tua dan leader bisa berfungsi dengan sangat baik, dan sekali lagi terlihat bahwa suasana keluarga yang harmonis dibawa ke dalam lingkungan bisnis. Akan sangat menarik untuk diperhatikan bagaimana kisah selanjutnya bila kemudian orang tua (leader) meninggal dunia. Bila salah seorang anak terpilih menjadi pimpinan, falsafah “menghormati yang tua” tentu masih melekat kuat, namun figur orang tua sebagai panutan belum tentu bisa digantikan sepenuhnya oleh anak penggantinya. Akhirnya semua konflik dan solusinya bergantung pada bagaimana leader menyikapinya.

Berikut ini saya lampirkan file presentasi dari tulisan diatas. bagi anda yang tertarik silahkan klik link di bawah ini.

download


---o0o---