Minggu, Juni 14, 2009

Kisah Polisi dan Surat Tilang

Baru saja Anton, seorang eksekutif muda yang sukses memimpin perusahaan besar, memasuki ruangan kantornya ketika sekretarisnya memberitahukan bahwa dia menerima pesan dari Ibu Susy, istri Anton, agar sepulang kerja tidak lupa membelikan kado mobil-mobilan buat Jerry, anaknya yang hari ini genap berusia 6 tahun. Anton melirik jam tangan Rolex yang melingkar di tangannya dan perasaan bersalah menyeruak di hatinya. Dia benar-benar lupa bahwa hari ini si Jerry berulang tahun dan dia belum sempat membelikan kado apa-apa. Seharian dihabiskan dengan pertemuan-pertemuan dengan rekan bisnisnya di samping memberikan arahan kepada para managernya dalam mempersiapkan launching kondominium baru yang kabarnya termahal di Jakarta.

Segera dia bergegas menyambar tasnya dan langsung kabur dari kantornya yang terletak di bilangan segitiga emas. Pak Tisna, supir pribadinya hari ini absen karena istrinya baru melahirkan, maka terpaksa Anton mengendarai sendiri kendaraan BMWnya menuju ke mal. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih, berarti hanya tersisa sedikit waktu untuk menemukan hadiah yang cocok buat buah hatinya. Waktu mendekati perempatan dia sebenarnya sadar bahwa lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna kuning, tetapi di tengah ketergesaannya Anton malah menggeber kendaraannya.

Baru beberapa ratus meter selepas lampu merah dia dipepet oleh seorang polisi lalu lintas. “Brengsek”, pikir Anton. Pasti gara-gara nyerobot lampu merah tadi. Padahal Anton yakin sang “penegak hukum” tadi ngak kelihatan batang hidungnya. Pasti hanya cari gara-gara saja nich polisi satu ini. Anton terpaksa menepikan mobilnya dan sang polisi menyapa “Selamat Malam Pak. Tadi Bapak melanggar lampu lalu lintas. Mohon untuk ditunjukkan SIM dan STNK Bapak”. Anton gondok banget. Dia pikir bisa-bisa keburu mallnya tutup dan ngak bisa belikan hadiah buat si Jerry. Langsung Anton keluarkan selembar uang lima puluh ribuan dan diberikan kepada polisi tersebut. Sang polisi menampik dengan halus dan berkata bahwa “Bapak saya tilang karena melanggar lampu merah. Mohon masukkan lagi uang Bapak dan Bapak bisa bayarkan ke pengadilan. Mohon tunjukkan SIM dan STNK Bapak”.

Anton benar-benar terkejut dan tambah kheki. Ini polisi cari masalah saja. Ditengoknya polisi tersebut dan dia tambah terkejut karena ternyata sang polisi adalah Herman, temannya satu SMA yang dulu memang masuk sekolah polisi. Langsung Anton menyapa dan sang polisi juga terkejut karena ternyata yang akan ditilangnya ternyata adalah rekan satu kelasnya yang dulu cukup akrab, walaupun kini sudah tidak berhubungan lagi lebih dari 10 tahun. Secercah harapan muncul di benak Anton. “Pasti urusan akan beres, karena kita toh dulu berteman” pikir Anton.
“Man, ini aku, Anton, teman SMAmu dulu. Masa kamu ngak ingat sih ? Sorry Man, aku lagi buru-bur mau beli kado buat anakku yang hari ini berulang tahun ke enam. Nanti keburu mallnya tutup”.
Herman, sang polisi, menjawab dengan tegas tapi sopan, “Aku tahu Ton, tapi kamu melanggar lampu lalu lintas. Dalam rangka menegakkan hukum, kamu tetap harus saya tilang. Tolong tunjukkan SIM dan STNKmu Ton”.
Kali ini kesabaran Anton sudah habis. Yang ada dibayangannya hanyalah wajah Jerry yang tentu akan sangat kecewa karena bapaknya tidak membelikan hadiah.
“Dasar brengsek”, pikir Anton, “Semua polisi memang brengsek dan sama sekali ngak mengenal arti pertemanan.”
Dengan kasar dilemparkannya SIM dan STNK, sambil teriak “Kalau mau ditilang, tilang saja. Silahkan. Cepetan! Brengsek!”

Herman, sang polisi, mengambil surat-surat kendaraan tersebut, dan berjalan ke belakang mobil Anton, serta tampak menulis sesuatu. Setelah selesai diberikannya surat tersebut kepada Anton, sambil mengucapkan selamat malam. Anton yang lagi kesel, sama sekali tidak menengok, apalagi berterima kasih dan langsung menggeber mobilnya tanpa berkata apa-apa.

Anton langsung ke mall dan membelikan hadiah buat anaknya. Untung saat itu tokonya belum tutup. Dengan wajah gembira campur kesal dia pulang ke rumah dan disambut Jerry, sang anak kesayangan satu-satunya.

Waktu hendak mandi Anton teringat akan surat tilang yang diterimanya dari “polisi brengsek” temannya. Diambilnya surat itu dari balik saku jasnya dan ternyata itu bukan surat tilang. Bahkan SIM dan STNKnya komplet di kembalikan. Yang dia kira surat tilang adalah sepucuk surat dari Herman yang ditulis tangan.

Anton sahabatku,
Telah sekian lama aku berusaha menghilangkan rasa benciku kepada para pengemudi yang menyerobot lampu merah. Sampai kini aku belum berhasil. Hari ini tepat enam tahun yang lalu, aku bersama istriku dan anakku satu-satunya yang masih bayi sedang mengendarai sepeda motor. Tapi rupanya itu adalah akhir bagi kebahagiaan keluargaku. Seorang pengendara mobil menyerobot lampu merah dan langsung menghajar motorku. Aku sendiri hanya lecet, tetapi istriku luka cukup parah dan aku terpaksa kehilangan anakku satu-satunya. Sang penabrak berhasil ditangkap 2 hari kemudian, dan dia divonis hakim selama 3 bulan akibat kecelakaan tersebut. Kini dia telah bebas dan aku kehilangan mutiara hidupku selamanya.

Istriku sembuh setelah 2 bulan koma di rumah sakit. Bertahun-tahun kami berusaha untuk menghapus kepedihan itu dan mencoba untuk mempunyai anak lagi. Akhirnya istriku mengandung dan sayang Tuhan berkehendak lain. Istriku meninggal waktu usia kehamilannya mencapai 5 bulan karena kerusakan rahim akibat kecelakaan dulu.

Sejak kejadian kecelakaan itu aku sangat membenci pengendara yang menyerobot lampu merah. Aku tidak rela bila duka nestapa yang kualami ini akan menimpa pemakai lalu lintas yang lain. Cukup aku saja yang mengalaminya. Ketika kau menyerobot lampu merah tadi, yang ada dalam benakku adalah kecerobohan seseorang yang mungkin bisa menjadi mala petaka bagi orang lain.
Sudah beribu-ribu orang aku tilang, tetapi tetap saja setiap hari aku menyaksikan aksi penyerobotan lampu merah. Baru malam ini, pertama kalinya aku tidak menilang orang yang aku tangkap karena melanggar lampu merah. Aku harap, kau mau membantuku mengusir duka dalam hidupku dengan sedikit kontribusi mentaati rambu lalu lintas agar kejadian yang menimpaku tidak dialami oleh orang lain. Aku benci semua itu karena aku yakin setiap kecelakaan biasanya didahului dengan pelanggaran lalu lintas.

Anton sahabatku,
Sampaikan salamku buat anakmu yang berulang tahun.

Setelah membaca surat itu, air mata meleleh dari kedua mata Anton. Dia merasa sangat berdosa kepada Herman, sahabatnya yang malang. Kini dia mengerti mengapa Herman begitu membenci penyerobot lampu merah.