Jumat, Maret 20, 2015
Pygmalion Effect
Tertulislah kisah di jaman Yunani kuno, seorang pujangga pembuat patung bernama Pygmalion. Suatu hari dia membuat patung seorang perempuan yang sangat cantik yang dia beri nama Galatea. Sejak saat itu Pygmalion sangat mengagumi Galatea, patung buatannya, dan bahkan dia jatuh cinta terhadap Galatea. Setiap hari dia bercakap dan bercengkerama dengan Galatea dan dia berdoa kepada Dewa Venus agar Galatea bisa berubah menjadi manusia. Akhirnya Dewa Venus mengabulkan, Galatea benar-benar menjadi seorang gadis yang sangat rupawan. Cerita dongeng itu berakhir dengan kalimat, "and they happily live ever after". Dongeng ini menarik bagi psikolog, Rosenthal and Jacobson (1968), untuk melakukan eksperimen mengenai Self Fulfilling Prophency atau dikenal dengan nama Pygmalion Effect. Kebetulan dia mengajar 3 kelas paralel. Di kelas pertama dia mengkomunikasikan di kelas, bahwa dia menaruh harapan yang sangat tinggi atas prestasi siswa di kelas pertama. Sebaliknya dia sengaja meremehkan siswa-siswa di kelas kedua dan dia tidak memberikan treatment apa-apa di kelas ketiga. Ternyata dalam beberapa kali eksperimen, hasilnya konsisten yaitu kelas pertama mencetak prestasi rata-rata yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas ketiga (tanpa treatment) dan kelas kedua prestasinya jauh di bawah kelas ketiga. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa bila diberikan harapan dan pujian yang tinggi, maka seseorang akan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Ini yang dikenal dengan Pygmalion Effect. Kondisi sebaliknya disebut Golem. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kalau kita tahu bahwa pemimpin kita menaruh harapan yang tinggi, maka kita cenderung untuk berusaha memenuhi harapan tersebut. Ini yang disebut Galatea Effect. Satu lagi, yaitu Self Efficacy yang memiliki arti apabila kiya yakin bahwa kita akan sukses, maka kita memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses. Jadi dapat dirumuskan secara matematik bahwa KINERJA = PYGMALION + GALATEA + SELF EFFICACY - GOLEM.