Ramadhan Holiday 2015 - Day 11 - Enroute Bergen Oslo
Setelah beristirahat semalam di Quality Edvard Grieg Hotel di Burgen, pagi ini kami melanjutkan lagi perjalanan panjang menuju ke ibukota Norwegia, Oslo. Data dari google map menujukan jarak Bergen ke Oslo 465 km dengan estimasi waktu tempuh 6 jam dan 44 menit tanpa berhenti. Kalau berikut makan siang dan berhenti wajib untuk kencing, ya total bisa mencapai 8 - 9 jam. Buat orang Indonesia di daerah dingin, pasti lebih sering membutuhkan toilet karena kademen.
Perjalanan ini seperti membelah Norwegia dari sisi barat ke sisi timur. Sudah bisa dibayangkan, bokong akan gepak (gepeng) menahan berat badan duduk seharian di dalam bus.
Menurut informasi Andre, pengemudi kami asal Estonia yang sudah sejak dari Stockholm membawa kami, di Norwegia tidak ada jalan tol yang menghubungkan kota Oslo ke kota Bergen. Ini agak aneh karena keduanya adalah kota terbesar pertama dan kedua. Untuk negeri sekaya Norwegia , sebenarnya pembangunan jalan tol bukan hal yang sulit. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, apa ya sebabnya.
Aku mencoba menganalisa sendiri. Negara ini penduduknya memang sangat sedikit dibandingkan luas tanah yang ada. Jumlah penduduknya hanya 5 juta lebih dengan luas daratan 385 ribu km persegi. Jadi luasannya sekitar seperempat dari Indonesia, tetapi jumlah penduduknya seperlima puluh dari Indonesia. Dengan kondisi seperti ini, mungkin memang tidak dibutuhkan banyak jalan tol. Apalagi memang industri yang dominan adalah industri hasil laut yang juga tidak membutuhkan infrastruktur jalan darat seperti bila industrinya adalah industri manufaktur. Pemandangan alamnya juga sangat indah sehingga jalanan non tol melingkar-lingkar gunung, lewat tunnel dan mengitari danau menjadi suatu keasyikan tersendiri. Mungkin akan terlalu mahal membangun jalanan lurus bebas hambatan mengingat topografi tanahnya, kondisi geografis dan demografisnya, apalagi tidak ada urgensi untuk industri dominannya. Entahlah sejauh mana analisa saya itu benar. Kelihatannya masuk akal, tetapi tentu saja kudu dikonfirmasi dengan data yang lebih akurat dan dikonsultasikan dengan pakar yang lebih mumpuni.
Pemberhentian pertama kami adalah sesaat setelah melewati jembatan gantung Hardangervidda, sebuah jembatan gantung terpanjang di Norwegia. Panjangnya 1.5 km dan di salah satu sisinya langsung masuk ke dalam tunnel. Jembatan gantung ini dibangun pada tahun 2009 dan baru beroperasi tahun 2013. Data temperatur di bus menunjukkan suhu sekitar 12 derajad celcius, tetapi angin yang cukup kencang membuat saya merasa suhu seperti sekitar 5 derajad. Sambil antri di depan toilet, aku amati ternyata toiletnya yang pakai konstruksi baja ringan dan aluminium menggunakan atap dari batu belah, yang biasanya banyak digunakan sebagai lantai di Indonesia. Dari hasil ngobrol dengan So Yohanes Jimmy, saya mendapatkan informasi bahwa atap batu yang relatif berat ini juga banyak dipakai di rumah-rumah di kota Kobe Jepang. Tujuannya adalah untuk menahan rumah dari tiupan angin yang cukup kencang. Tanpa disangka ini menyebabkan jumlah korban yang meninggal akibat gempa Kobe jauh lebih banyak. Sebagian besar korban gempa adalah akibat tertimpa reruntuhan atap rumah, yang rata-rata beratnya mencapai 2 ton.
Pemberhentian kedua sebelum makan siang adalah di area semacam padang savana yang sebagian di antaranya tertutup salju dengan ketebalan 50 - 150 cm. Nama daerahnya adalah Voringfoss yang terletak di kawasan Taman Nasional Hardangervidda pada ketinggian 1240 m ASL. Di Taman Nasional ini adalah habitat bagi binatang-binatang artic seperti reindeer. Data menunjukkan bahwa jumlah reindeer di Taman Nasional ini mengalami penurunan drastis dari 15.000 ekor di tahun 1996, tinggal menjadi 8.000 ekor di tahun 2010 akibat pemburuan oleh manusia. Wah aku jadi menyesal makan daging reindeer di Helsinki minggu lalu. Di sini sebagian sungai sudah mulai membeku menjadi tumpukan salju yang mengapung. Angin bertiup sangat kencang, semakin menambah dingin sampai menusuk tulang, sampai-sampai menekan rana kamera saja susah sekali karena tangan bergetar menggigil. Padahal ini adalah di tengah musim panas. Lah kalau musim dingin bisa seperti apa ya rasanya. Andre, sang pengemudi tertawa terbahak melihat saya menggigil kedinginan dan bersembunyi di balik bus. Dia mengatakan di negaranya, Estonia, kalau puncak musim dingin suhunya bisa mencapai minus 30 derajad celcius. Wah "barangku" bisa mengkeret deh.
Kami makan siang di Vestlia Hotel, yang terletak 2 km dari stasiun kereta Geilo. Geilo adalah sebuah desa kecil tempat wisata ski di musim dingin. Letaknya sekitar 220 km dari Oslo atau Bergen. Vestlia Hotel adalah tipical ski resort yang didesain menggunakan konsep arsitektur Norwegia yang terbuat dari kayu. Bangunnya sangat antik dengan atap yang terbuat dari kayu. Ada lapangan golf 9 holes tepat di depan resort. Kalau maen golf di sini bayar green feenya NOK 600 untuk 2 x 9 holes. Saya lihat greennya kurang terawat, jauh dibandingkan dengan lapangan golf kelas atas di Indonesia. Di samping lapangan golf ada fasilitas kolam renang air panas dengan luncuran berkelak-kelok seperti di Water Boom Pantai Indah Kapuk. Ada juga sarana mainan anak-anak semacam children ground yang cukup komplit. Seharusnya tidur di Geilo sini jauh lebih asyik, tinimbang di Bergen.
Perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Bergen ke Oslo akhirnya berakhir. Tepat jam 7 malam kami memasuki kota Oslo, ibukota Norwegia. Total perjalanan hari ini memakan waktu 10 jam, termasuk 2 kali stop dan makan siang. Suhu udara kota Oslo lebih bersahabat, sekitar 19 derajad celcius, walaupun matahari sama sekali tidak nampak karena tertutup awan mendung. Di samping kanan jalanan memasuki kota Oslo sebelum pelabuhan peti kemas, saya melihat ratusan kapal kecil dan sedang (sailing boat) terparkir dengan rapi di pelabuhan. Panjang parkirannya bisa mencapai hampir 3 km. Pemandangan mirip seperti ini pernah saya lihat di kota Auckland, Selandia Baru, di mana di Auckland adalah kota dengan jumlah yatch per kapita terbesar di dunia. Tebakanku di seputaran Oslo ada obyek wisata air atau pulau yang sering dikunjungi warga kota Oslo untuk menikmati akhir pekan.
Kota Oslo sendiri didirikan tahun 1048 dan merupakan kota dengan jumlah penduduk terbanyak di Norwegia. Jumlah penduduknya 650 ribu jiwa, atau kira-kira setara dengan 2 kecamatan di Ibukota Jakarta. Kota Oslo merupakan kota termahal kedua di dunia setelah Tokyo, serta merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan Norwegia. Berbeda dengan di Moscow dan Saint Petersburg di mana di kedua kota tersebut 90 persen penduduknya tinggal di apartemen, di Oslo saya melihat banyak landed house di seputaran kota.
Kami makan malam di sebuah Chinese restaurant di dekat National Concert Hall Oslo. Makanannya lumayan enak, hanya variasinya kurang banyak. Waktu saya melirik daftar menunya, memang harganya lumayan menggigit. Rata-rata per porsi lauk seharga NOK 180 - 250 atau setara dengan Rp. 328.000 - 462.000,-. Harga ini jelas mahal untuk porsinya yang relatif kecil. Maklum ini khan kota yang termahal kedua di dunia.
Malam ini kami check in di Scandic Hotel Oslo. Hotelnya terletak di daerah kota, tetapi ini adalah hotel terjelek dari sepanjang perjalanan tour kami. Mungkin karena terbatasnya budget untuk hotel di salah satu kota termahal di dunia. Ranjangnya sama sekali tidak nyaman. Untuk kamar double hanya terdiri dari spring bed berdempet yang diberi lapisan kasur setebal 10 cm untuk menjadikannya sebagai "queen bed" instead of twin bed.
Tapi ada satu hal menarik di parkiran hotel. Saya melihat ada beberapa electric car yang diparkir dan sedang nge-charge listrik di beberapa colokan yang tersedia. Colokannya ditempelkan di tempat biasa kita isi bensin di mobil normal. Saya cuman membayangkan kalau di Indonesia, colokannya bisa di-embat orang dan besok terpaksa mobilnya ndak bisa jalan karena "low bat" belum di charge. Untung di negara ini ndak ada maling seperti itu. Atau minimal ndak ada orang iseng yang nyabut colokan. Rasanya kalau mau masuk ke Indonesia kudu dipikirkan agar colokannya bisa "digembok". Kalau ndak bisa digondol maling. Ha....