Business Model menjadi sebuah istilah yang popular dalam 10 tahun terakhir ini. Banyak pelaku bisnis dan para pengamat serta konsultan Manajemen menggunakan istilah "Business Model" untuk menggambarkan logika bisnis yang mereka jalani. Di antara para scholars sendiri belum ada definisi yang baku tentang "binatang" apa sebenarnya business model itu. Beberapa scholars bahkan bersikap skeptical dengan mengatakan bahwa istilah business model itu bersifat tautological, artinya barang lama yang diberi nama baru biar lebih keren. Mereka mengganggap bahwa business model adalah sama dengan blue print perusahaan dalam mencari profit.
Ndak salah memang, karena patokan kebenarannya memang belum disepakati. Definisi yang paling umum tentang business model adalah sebagai sebuah narasi deskriptif yang logis tentang bagaimana sebuah perusahaan menciptakan nilai yang dibutuhkan pelanggannya dan mendapatkan profit. Definisi ini banyak dipakai dan diamini termasuk oleh Osterwalder & Pigneur yang menulis buku berjudul Business Model Generation and memperkenalkan konsep Nine building blocks of business model.
Tetapi mencermati beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, rasanya definisi tentang business model sudah harus di revisit. Perusahaan tidak semata-mata mencari profit jangka pendek dari operasi perusahaan sehari-hari, tetapi menyasar pertumbuhan jangka panjang. Akuisisi perusahaan aplikasi pengirim pesan Whatsapp oleh Facebook tahun lalu membuktikan adanya fenomena itu. Selama didirikan praktis Whatsapp bukan hanya belum pernah membukukan profit, tetapi pendapatannya pun nol. Sebagai aplikasi pengirim pesan yang paling popular di dunia saat ini, Whatsapp tidak beriklan dan tidak mengenakan bayaran bagi para pemakainya. Dulu memang pernah ada wacana untuk menarik "iuran" sebesar USD 1 per tahun, tetapi hal itu tidak pernah dilaksanakan. Sudah pasti Whatsapp akan ditinggalkan oleh penggunanya bila menerapkan iuran ini.
Yang menarik di sini adalah bagaimana mungkin perusahaan yang hampir tidak punya pendapatan bisa laku dijual pada harga USD 19 milyard atau setara dengan hampir Rp. 250 triliun? Kalau menggunakan definisi yang lama tentang business model, maka narasi tentang Whatsapp menjadi tidak logis karena perusahaan tidak mendapatkan profit, bahkan revenue pun tidak. Lalu siapa yang berani bilang bahwa business model Whatsapp tidak masuk akal? Kalau ndak logis, kok bisa laku semahal itu?
Di tanah air dunia bisnis juga kembali digemparkan oleh masuknya investor baru ke GoJek sebesar USD 555 juta atau setara dengan Rp. 7.3 triliun. Yang menginvestasikan dananya pun bukan perusahaan main-main yang kelebihan dana, yaitu KKR & Co., Warburg Pincus, dan Farallon Capital. Perusahaan ini adalah termasuk dedengkot investor yang banyak menaruh dana di perusahaan rintisan yang mengandalkan tehnologi. Memang CEO GoJek, Nadim Makarim mengklaim bahwa telah terjadi kenaikan jumlah booking dua kali lipat dari 340 ribu menjadi 660 ribu per hari atau rerata sekitar 20 juta bookingan per bulan. Tetapi mengingat fakta di lapangan bahwa masih besarnya angka subsidi yang diberikan perusahaan, maka bisa dipastikan bahwa sampai detik ini perusahaan belum bisa menangguk untung. Jadi kalau menggunakan definisi lama tentang business model, maka narasi (cerita) nya menjadi ndak logis karena ndak untung. Tapi faktanya ada investor uang mau memasukkan dananya. Dengan masuknya dana sebesar ini diyakini GoJek akan lebih siap bersaing dengan Grab, yang juga baru mendapatkan kucuran dana sebesar USD 600 juta.
Sebagai perusahaan ekonomi berbagi, baik Grab maupun GoJek memang tidak memiliki asset strategis berupa sepeda motor. Tetapi kedua perusahaan tersebut memiliki akses terhadap asset strategis tersebut. Melalui aplikasi online mereka mempertemukan antara orang yang membutuhkan transportasi dengan pihak yang memiliki alat transportasi. Mirip dengan konsep value network pada dunia perbankan. Hanya bedanya perbankan semata-mata mendapatkan keuntungan jangka pendek dari operasinya sebagai "penghubung" sementara Grab dan GoJek lebih mengandalkan pertumbuhan jangka panjang, dengan fokus pada peningkatan traffic penggunanya.
Dari beberapa fenomena bisnis di atas, maka saya rasa definisi tentang business model perlu direvisit. Business model adalah sebuah cerita yang logis tentang bagaimana sebuah perusahaan menciptakan nilai melalui aktivitas bisnisnya dan mendapatkan profit DAN/ATAU BERTUMBUH. Mumpung belum dibakukan di antara para scholars, ndak ada salahnya urun rembug demi kemajuan ilmu pengetahuan dan bisnis.
Yang sampai sekarang masih menjadi perenungan saya adalah apakah fenomena pada perusahaan ekonomi berbagi seperti Uber, AirBnB, GoJek, Grab itu memang merupakan business model yang baru yang berkesinambungan, atau hanya sekedar bubble semata. Sulit untuk diprediksi. Sejarahlah yang akan menentukan. Yang jelas pemerintah perlu menciptakan aturan main yang adil dan jelas bagi perusahaan ekonomi berbagi. Bukan hanya tidak menghentikan, tetapi kudu menopang sepenuhnya agar perusahaan ekonomi berbagi Indonesia bisa menjadi unicorn yang mampu bersaing, minimal di kancah regional. Agar Indonesia tidak hanya dijadikan pasar belaka.
Salam Strategeek, titik temu praktisi bisnis dan dunia akademis.