Sudah lama saya mendengar nama Taman Nasional Tanjung Puting yang menjadi tempat penangkaran orang hutan di Kalimantan Tengah. Rekan bisnis saya, pak Hendra Purnomo dan So Yohanes Jimmy sudah pernah mengunjunginya beberapa tahun lalu. Keinginan untuk menengok "saudara tua" akhirnya baru kesampaian kali ini. Kebetulan ada urusan yang harus diselesaikan di Pangkalan Bun, maka aku memutuskan untuk sekalian mengambil cuti untuk berwisata ke TN Tanjung Puting.
Persiapan awal saya lakukan dengan mencoba searching di internet dan menghubungi beberapa nomer telepon dari agen-agen wisata yang memajang iklannya di website. Pilihannya ada 2, yaitu menggunakan kapal klotok untuk berwisata sekaligus bermalam di kapal selama 3 hari dua malam, atau menggunakan speedboat dan bermalam 1 malam di hotel Rimba Eco Lodge yang terletak di dalam kawasan wisata. Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah peserta, maka saya memilih pilihan yang kedua. Kunjungan kali ini aku memang sendirian. Ya, berkelana seorang diri, karena beberapa rekan fotografer kebetulan sulit mengatur jadwal wisata yang memang pas di tengah minggu. Akhirnya saya memutuskan mengajak Sungadi, salah seorang rekan kerja saya di kebun Lamandau yang kebetulan akan mengambil cuti lebaran. Dia tadinya adalah karyawan di Universitas Prasetiya Mulya, yang kemudian beralih profesi menjadi wartawan foto di salah satu harian di Kalimantan, lalu saya tarik menjadi korlap di usaha angkutan saya di Kalimantan Tengah. Jadilah kita berdua, sehingga beban di pundak jauh lebih enteng karena saya ndak perlu nenteng-nenteng kamera dan lensa yang segedhe bagong sendirian. Ini saja dari Jakarta pundak sudah terasa pegal dibebani ransel hampir seberat 20kg dan masih menenteng koper lensa 500 mm yang juga lumayan berat. Alhamdulillah, masalah beban sudah terbagi. Apalagi sebagai mantan fotografer koran, minimal dia juga pencinta fotografi. Jadi buat dia juga untung, bisa jalan-jalan gratis sambil jeprat-jepret, mengenang profesi lamanya.
Perjalanan diawali dengan naik mobil menuju ke Pelabuhan Taman Nasional Tanjung Puting yang terletak kira-kira 1km dari perlabuhan penumpang Panglima Utar Kumai. Jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota Pangkalan Bun. Jalanannya relatif mulus dan datar, walau sepeda motor banyak bersliweran. Sesampainya di pelabuhan, kami sudah dijemput oleh pak Alam, kapten kapal speedboat yang kami sewa. Dia orang asli Kumai dan sudah berprofesi sebagai pengemudi speedboat sekaligus pemandu wisata selama 15 tahun. Orangnya sangat ramah dan informatif. Kami langsung naik speedboat dan dengan kecepatan tinggi membelah air yang berombak di Teluk Kumai. Goncangan speedboat awalnya tidak terlalu mengganggu. Setelah berjalan kira-kira 15 menit, kami mulai berbelok ke kiri dan masuk ke sungai Sekoyer untuk memasuki kawasan taman nasional. Nama Sekoyer diambil dari nama kapal milik seorang saudagar Belanda yang dulu tenggelam di sungai itu. Menyusuri sepanjang sungai yang tenang dengan lebar kira-kira 50 m, Alam bercerita bahwa sisi kiri dari sungai adalah tanah milik warga. Ada beberapa jenis usaha di sisi kiri, mulai dari penambangan emas sampai perkebonan kelapa sawit BGA. Sisi kanannya merupakan taman nasional yang dilindungi. Konon di sungai ini banyak sekali buaya bermunculan ketika air surut. Buaya terbesar yang pernah terlihat memiliki panjang sekitar 6 m. Kontan saya bertanya, lah nanti speedboat kecil kita di makan buaya donk. Dengan senyum dia menjawab, buaya ndak bisa manjat ke speedboat. Yang bahaya adalah kalau turun dan berenang di sungainya. Ha..... Tapi sepanjang perjalanan sampai ke hotel, ndak seekor buaya pun yang nampak. Cecak pun tak nampak. Entah itu mitos atau beneran.
Sepanjang perjalanan menuju ke hotel ratusan bekantan bahkan mungkin ribuan bergelanyutan di pepohonan tinggi. Mereka bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok adalah satu keluarga dengan 1 jantan, beberapa betina dan anak-anak mereka. Ndak ada jantan lain dalam kelompok tersebut karena antar bekantan jantan kalau bertemu pasti berkelahi, bahkan sampai mati atau terusir keluar. Aneh juga ya, mereka menganut azas poligami. Saya ndak tahu data statistik gender binatang ini. Kalau melihat fenomena ini, harusnya jumlah betina memang dominan. Kalau ndak khan kasihan, banyak jantan yang terpaksa menjadi jomblo seumur hidup, sementara yang lainnya berpesta pora dengan para betinanya. He... Atau dunia kera memang tidak adil.
Dengan lensa long tele 500 mm aku mencoba mengabadikan momen kelompok-kelompok keluarga yang sedang bercengkerama. Tetapi ternyata tidak mudah. Speedboat yang ukurannya kecil selalu bergoyang, walau airnya relatif tenang. Padahal kombinasi 1dx m2 dengan lensa 500 mm beratnya aujubilah. Maka ya sudah, saya coba kompensasi dengan mengaktifkan mode IS di lensa dan memakai ISO 4000 agar bisa mendapatkan speed yang tinggi. Hasilnya mungkin tidak maksimal, tetapi ya inilah kompromi yang paling bisa dilakukan.
Sepanjang perjalanan kami menjumpai belasan kapal klotok yang menyusuri sungai. Kapal klotok ini kapasitasnya 6 orang menginap dan berjalan lebih tenang dan lambat karena ukurannya yang besar. Di atas kapal inilah penumpang bermalam sekaligus menikmati makanan dan minuman yang disajikan. Ndak ada kamar khusus, hanya springbed yang digelar di dek atas secara berjajar. Sementara kru kapal klotok tidur di dek bagian bawah. Biasanya kapal ini akan sandar di pinggiran sungai ketika bermalam. Asyik juga tuh nampaknya. Ntar deh lain kali aku pengin nyobain naik kapal klotok ama rombongan rekan-rekan fotografer. Buat motret pasti lebih nyaman dan ndak goyang. Dari hasil ngobrol malam harinya dengan para kru kapal klotok yang mangkal di depan hotel, aku mendapatkan informasi bahwa biaya wisata 3 hari 2 malam di atas klotok adalah 12 juta untuk 6 orang, atau 9 juta untuk 4 orang. Ini sudah all in, termasuk jemputan dari bandara dan kembali ke bandara, makan minum selama dibatas kapal klotok, tiket wisata dan guide. Jadi rerata sekitar 2 jutaan per orang. Menurutku masih wajar, mengingat ini akan menjadi pengalaman baru keluar dari kepenatan Ibukota. Tapi tentu kudu bareng ama rekan-rekan yang nyaman diajak jalan bareng. Apalagi kalau "seiman" alias sama-sama tukang potret. Pasti asyik.
Tepat pukul 18.30 kami sampai di Hotel Rimba Eco Lodge yang terletak tepat di pinggir sungai. Total ada 36 kamar, walau malam ini hanya terisi kurang dari setengahnya. Kebanyakan orang memilih menginap di klotok dari pada bayar lagi menginap di hotel. Bangunannya sederhana dan terbuat dari kayu, termasuk kamar mandinya. Ukuran kamarnya cukup lebar, sekitar 16 m persegi. Kasurnya kurang nyaman karena masih memakai dipan dan spring bed murahan. Tapi kebersihannya cukup terjaga. Pelayannya juga sangat ramah dalam menyambut tamu. Lumayan layak untuk harga Rp. 800 ribuan booking lewat Agoda. Hotel ini katanya dimiliki oleh orang Australia. Makan malam di hotel ndak terlalu istimewa, walau harganya standard bule. Berdua kita habis 450 ribuan untuk 4 jenis lauk. Tapi berhubung lapar dan pelayanannya ramah, ya ndak keberatan lah. Apalagi badan saya letih sekaligus awalnya mual berat akibat mabok kapal. Untung cepat pulih setelah dipijat sebentar oleh Sungadi.
Selesai makan kami jalan ke dermaga. Di situlah satu-satunya tempat yang ada signal hp. Itupun hanya telkomsel dan juga on and off. Saya coba menghubungi istri untuk mengabarkan agar orang dibrumah ndak panik, kok laku gue ndak bisa ditelepon. Jangan-jangan di makan ama buaya atau bahkan pergi ama "orang utan". He....
Ada satu hal menarik mengenai hotel ini. Walau terletak di pinggir sungai dan di antara pepohonan yang rimbun ternyata di sini ndak banyak nyamuk. Ini berbeda dibandingkan waktu kami mampir di salah satu ground camp di Yosemite National Park California. Baru turun dari mobil udah diserbu nyamuk yang hampir segedhe lalat. Menurut informasi dari para krue klotok yang mangkal di dermaga depan hotel, penyebabnya adalah air sungainya mengalir dan tidk banyak sampah plastik. Jadi habitatnya ndak cocok bagi nyamuk untuk bertelor. Masuk akal juga alasannya.
Walaupun ndak sempat melihat, tapi aku yakin masih banyak ular di seputaran area hotel. Bodel bangunan kayu yang menyerupai panggung (elevated) menyisakan tanah gambut berair yang masih rungkut oleh habitat vegetatif yang cocok buat ular dan saudara-saudaranya. He....
Selesai makan malam, kuhabiskan waktu bercengekrama dengan para kru kapal klotok yang mangkal di dermaga. Aku berkenalan dengan salah satu kapten kapal, yaitu Hartono serta seorang tour guide Darmin yang sangat ramah dan informatif. Menurut mereka kalau liburan musim panas di belahan barat Bumi, maka banyak sekali turis dari Spanyol yang datang berkunjung. Hampir seluruh klotok terpakai habis setiap hari. Ada 102 klotok yang beroperasi. Aneh juga ya, di tengah hutan begini, wisata ini bisa terkenal sampai ke Spanyol, yang ndak punya hubungan historis dengan Indonesia. Pengunjung lokal hanya ramai pas musim liburan anak sekolah. Kalau di luar bulan Juli - September kebanyakan turis datang dari Inggris dan Amerika. Wisata ini sudah dimulai sejak ada seorang bule yang membangun camp penangkaran dan penyelamatan orang hutan di Kalimantan beberapa belas tahun lalu. Di camp inilah si bule menyelamatkan orang utan yang habitatnya tergusur akibat pengembangan lahan sawit di Borneo. Oleh pemerintah Indonesia dengan didukung badan dunia, lalu dijadikan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting yang dilindungi dan dijadikan obyek wisata.
Pagi harinya kami dijemput oleh Alam jam 8.30 dan langsung menuju ke camp 2, tempat acara pemberian makan orang utan. Kami harus berjalan kaki kira-kira 2 km dari dermaga. Ketika kami sampai di sana, suasana sudah ramai. Mungkin sekitar 60an orang pengunjung berdiri berjajar di belakang tali pembatas mengabadikan orang utan yang sedang menyantap pisang dan nangka. Konon katanya di camp 2 ini raja orang utannya bernama Doyok. Badannya gedhe sekali. Dia akan menjadi orang utan pertama yang berani menyentuh makanan yang memang sengaja disajikan oleh pihak taman nasional. Baru sesudah Doyok selesai makan, maka orang utan lainnya akan mulai berebut. Tapi kali ini sang raja ndak kelihatan. Mungkin dia lagi berkelana di wilayah lain di taman nasional yang luasnya 440.040 hektar. Konon daya jelajah orang utan adalah 8 km per hari. Sang raja hanya mampir bila diindikasikan ada pejantan lain yang mengganggu para betinanya di daerah kekuasaannya. Atau sekedar untuk memenuhi hasrat biologisnya.
Waktu berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke lokasi pemberian makanan, aku dikejutkan oleh seekor orang utan yang tiba-tiba nongol dan berdiri di depanku. Alam, si kapten kapal, yang sekaligus merangkap sebagai guide memberikan aba-aba kepadaku untuk tetap tenang dan menghindari eye contact dengan si orang utan. Padahal aku sudah grogi juga. Sudah kugenggam erat monopod yang memang sengaja aku bawa untuk menopang long tele sekaligus untuk tongkat dan "senjata". Si orang utan yang belakangan diketahui bernama Kopral cuman memandang sebentar, mendusin lalu berjalan. Mak plong rasanya melihat Kopral melenggang menuju ke arena. Para turis yang sedang menonton juga bergeser minggir, karena keder juga lihat badan Kopral yang lumayan besar. www.facebook.comBahkan orang utan lain pun langsung menyingkir melihat kedatangan Kopral. Ternyata si Kopral memanfaatkan kesempatan absennya Doyok buat menggoda betina-betina yang rata-rata membawa anak kecil. Oalah, di samping poligami, ternyata di dunia orang utan kesetiaan bukan sesuatu yang sakral. Kalau rajanya ndak ada, ya hulubalangnya juga ok. He....
Di antara para wisatawan, mungkin kami (saya dan Sungadi) adalah satu-satunya orang lokal. Hampir semuanya orang Spanyol. Ada sepasang orang Jepang. Di samping menonjol karena menjadi minoritas di kalangan para "bule", aku juga satu-satunya yang memotret menggunakan lensa long tele 500 mm. Di tengah keringat bercucuran menggotong kamera dan lensa, tiba-tiba ada 3 orang cewek yang mendatangi dan menyapaku. Alamak, cantik nian nih cewek. Mereka minta ijin lihat hasil jepretan pakai lensa long tele. Bahkan kemudian mereka minta difoto juga. Ha.... Tentu saja aku ndak keberatan memotret tiga cewek cantik itu. Mereka cerita bahwa mereka berlibur selama 3 minggu ke Indonesia. Sudah mengunjungi Jogjakarta, termasuk candi Borobudur dan Prambanan. Lalu terbang ke Pangkalan Bun. Besok mereka akan ke Surabaya, lalu lanjut ke Bali dan Lombok. Sebuah perkenalkan singkat dengan 3 cewek jelita. Ternyata di tengah hutan ada juga yang bening-bening. He.....
Setelah selesai di camp 2, kami menuju ke dermaga tempat pengawas taman nasional. Di sana kami makan siang ditemani seorang pengawas bernama A Tjay. Dia ternyata dulunya keturunan Tionghwa karena namanya cukup unik untuk orang lokal Kumai. Apalagi matanya juga sipit. Dari mulut A Tjay kita banyak mendengar soal awal berdirinya kawasan konservasi orang utan ini di pertengahan tahun 1970an. Dulunya kawasan ini hancur akibat illegal logging yang ndak bisa dicegah oleh warga karena di backing oleh aparat bersenjata. Baru di tahun 1992, kawasan ini dinyatakan terlarang bagi seluruh aktivitas penebangan dalam bentuk apapun. Sejak pertengahan tahun 1980an wisata naik kapal klotok mulai berkembang. Dan baru 2-3 tahun terakhir memang didominasi oleh turis asal Spanyol, terutama saat summer holiday.
Selesai istirahat makan siang, perjalanan dengan speedboat dilanjutkan menuju ke camp 3, yaitu Camp Lakey. Di sinilah tempat awal konservasi orang utan. Dermaga di camp Lakey sudah padat waktu kami merapat. Puluhan kapal klotok sudah bersandar. Sebagian pengunjungnya masih menikmati makan siang di atas kapal klotok. Perjalanan menuju ke lokasi feeding orang utan kali ini lebih jauh. Mungkin sekitar 3 km. Cukup lumayan di tengah terik matahari yang menyengat di sela-sela pepohonan dan udara yang sangat lembab, menyebabkan bahan gembrobyos sesampainya di lokasi. Tom sang raja orang utan di wilayah ini juga ndak kelihatan. Yang nongol malahan orang utam betina yang masing-masing menggendong bayinya. Beberapa kali terlihat mereka saling gertak kalau ada betina lain yang mendekati panggung tempat mereka makan. Mungkin itu adalah luapan kecemburuan di antara para betina. Konon jumlah orang utan di kawasan taman nasional Tanjung Puting menurut survey tahun 2013 adalah sebanyak 6000 ekor. Aku baru tahu bahwa orang utan itu bukan monyet, tetapi lebih mirip ke simpanse tanpa ekor. Katanya tingkat kecerdasannya ada di bawah simanse dan gorila, tetapi jauh di atas bekantan apalagi monyet. Usia hidupnya rerata 55 tahun dan sepanjang hidupnya seekor orang utan betina bisa melahirkan 5 kali, tiap 4 tahun sekali. Jadi perkembangan populasinya memang lambat. Memang layak dilindungi dan tidak boleh dibiarkan punah. Habitatnya di alam bebas sekarang semakin terdesak oleh pengembangan lahan perkebunan sawit. Jumlah hutan alam semakin menyempit. Saya sendiri baru kali pertama melihat hutan yang sebenarnya di Kalimantan. Selama ini cuman tahu hamparan sawah dan perkebunan sawit saja. Konon banyak kisah-kisah tragis dibunuhnya orang utan demi motif ekonomi.
Tepat pukul 15.30 kami meninggalkan dermaga camp Lakey dan langsung menuju ke pelabuhan Kumai. Jarak sejauh 46 km di tempuh selama 1.5 jam menggunakan speedboat. Katanya kalau pakai klotok perlu waktu 4-5 jam. Kemacetan memang terjadi di seputaran dermaga. Di samping itu jalur air mendekati camp 3 memang relatif jauh lebih sempit. Lebar rerata bentangan sungainya hanya 10-15 m, jauh lebih sempit dibandingkan di seputaran camp 2 dan camp 1 yang bisa mencapai 50 - 75 m. Tepat pukul 17.00 kami merapat di dermaga Kumai. Badan letih dan lengket, kepala pusing dan lapar. Tapi aku puas dalam kunjungan kali ini. Sebuah pengalaman baru berwisata air sambil menyaksikan balada orang utan. Ntar aku pasti kembali bersama rekan-rekan fotografer.