Minggu, Juli 19, 2015

Ramadhan Holiday 2015 - Day 10 - Voss Flam Bergen

Ramadhan Holiday 2015 - Day 10 - Voss Flam Bergen
 
Gara-gara postingan saya semalam di hari ke 8 soal pak Renold, banyak rekan peserta tour yang mengkonfirmasi ke saya, apakah benar pak Renold membawa rice cooker. Saya sampai ditegur istri karena dikira "memfitnah" demi sebuah sensasi. Tanpa perlu membuktikan kebenarannya, pagi ini saya dan beberapa rekan peserta tour menyaksikan bahwa pak Renold adalah satu-satunya peserta tour yang makan nasi buat sarapan. Pak Renold juga ternyata membawa 60 bungkus indomie dalam berbagai varian rasa, beberapa bungkus abon, dan sekantong besar obat obatan. Benar-benar well prepared rekan senior kita yang satu ini. Kita jadi terbahak bersama-sama. Ternyata Harris Turino ndak boong. Ha.... kalau dalam istilah matematika disebut QED (Quod erat demonstratum, kira-kira begitu tulisannya) yang artinya apa yang perlu dibuktikan sudah terbukti. Tentu saya ndak mungkin menulis mengada-ada. Ntar bisa kena sue orang donk.
 
Ada satu lagi yang menarik, yaitu kebiasaan pak Renold untuk membaca koran sambil makan pagi, dan tentu saja berdoa sebelum dan sesudah makan. Ada satu rekan yang sempat nyeletuk, "Dapat koran Indonesia dari mana pak?". Dengan santai pak Renold menjawab, "Ini koran minggu lalu, yang saya baca ulang untuk menemani makan pagi". Nah khan....
 
Pagi ini menu makanannya di Park Hotel Voss sih sebenarnya standard menu makan pagi di Eropa. Roti berbagai macam dengan teman-temannya, ham, sosis dan buah semangka. Tapi mungkin karena sudah 10 hari di perjalanan, banyak yang sudah mulai kangen dengan sambal goreng, soto ayam, sayur lodeh, tempe mendoan atau bahkan plecing kangkung. Maka ndak heran kalau banyak "indomie" rasa soto ayam, bakso, dan lain-lain bertebaran di meja makan. Ya minimal bisa buat tombo kangen.
 
Pagi ini acara kita naek kereta api, tut tut tut, siapa hendak turut. Dari depan hotel kami naik kereta selama 1 jam menuju ke Myrdal. Dari sisi kiri kanan jendela aku melihat dinding pegunungan yang sebagian dilapisi dengan es. Padahal ini musim panas. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau winter. Di sini memang sangat terkenal sebagai tempat wisata musim dingin dengan bermain salju. Sesampai di Myrdal station pada ketinggian 866 above sea level (ASL) kami ganti menggunakan panoramic train yang terkenal dengan nama Flam Railway.
 
Kereta panoramic ini akan menyusuri gunung, meliuk-liuk melingkar punggung gunung untuk turun dan berakhir di station Flam yang terletak pada ketinggian 2 m ASL. Panjang perjalanan ini adalah 20 km dan ditempuh dalam kurun waktu 1 jam. Ini adalah jalur kereta normal yang paling terjal di dunia. Normal maksudnya menggunakan rel kereta api biasa dan bukan kereta bergerigi. Jalur kereta ini didirikan pada tahun 1909, dan sejak tahun 1944 sudah menggunakan lokomotif bertenaga listrik. Untuk mengurangi kemiringan-kemiringan yang drastis, terpaksa dibangun 20 buah tunnel sepanjang jalur ini dengan total panjang sekitar 6 km. Berarti sekitar 30 persen perjalanan di dalam tunnel. Ini menarik, sekaligus membuat bete. Pemandangan yang indah dan spektakular tidak bisa dinikmati gara-gara bolak-balik masuk goa.
 
Di tengah perjalanan panoramic train ini, tepatnya di stasiun Kjosfossen pada ketinggian 669 m, kereta dihentikan untuk memberikan kesempatan para penumpang untuk turun dan memotret air terjun Kjos yang arusnya sangat deras. Air terjun ini akan mengalir ke danau Reinunga dan dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro yang cukup besar dan murah.
 
Tepat pukul 12 kami tiba di stasiun Flam yang terletak di tepi danau Fjord, tempat kemarin kita mengawali perjalanan Fjord Cruise selama 2 jam menuju Gudsvangen. Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju ke kota Bergen dan stop over di air terjun Tvindefossen yang memiliki ketinggian 152 m. Sayang tripod dan filter ND saya ada di koper besar yang susah dibongkar. Tanpa kedua alat itu, air terjun akan susah untuk "diolah" menjadi untaian kapas yang indah. Dengan peralatan yang ada, yaitu bongkahan batu besar, saya coba setting kamera di bukaan terkecil f 22, ISO terendah, agar bisa mendapatkan kecepatan rana yang paling rendah, yaitu 1/8 detik. Dengan bantuan timer dan ganjal batu, ya hasilnya lumayan. Kalau ada filter ND dan tripod, bisa di set pada 2 detik, hasilnya akan luar biasa. He....
 
Ada satu hal lain yang menarik ketika kami berhenti di air terjun ini. Di sini aada sebuah toko souvenir kecil yang tidak terlalu laku, dan juga menyediakan toilet dengan biaya Norwagian Krona NOK 10 atau setara dengan EUR 1.2 per orang. Busyet dah mau kencing aja harus bayar hampir Rp. 20.000,- rupiah. Welcome to Europe. Ha..... Saya menyaksikan serombongan turis China yang tadinya berbondong-bondong dan berebut mau masuk ke WC. Begitu ada papan pengumuman dan masuknya harus pakai koin, maka hampir semua yang tadinya kebelet kencing, langsung ndak jadi kebelet lagi. Tapi ada aja yang mencoba ngakalin sistem dengan cara memasukan 1 coin untuk berdua. Ya akhirnya bajunya kejepit. Padahal sudah jelas-jelas ditulis bahwa pintu masuk berputar ini dipantau pakai CCTV. Ha.... ada-ada saja. Tapi emang saya yakin penghasilan terbesar toko souvenir itu pasti dari jualan WC tinimbang jualan souvenir.
 
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke kota Bergen yang terletak sekitar 160 km dari Flam. Kota Bergen adalah kota kedua terbesar di Norwegia, dengan jumlah penduduk 274 ribu jiwa. Kota ini terkenal dengan julukan "Kota Tujuh Gunung" (the Seven Mountains City). Kota Bergen ini terkenal sebagai pusat dari aqua-culture, shipping, pusat pengeboran minyak offshore, tehnologi kelautan dan pusat pendidikan serta turisme. Pelabuhan Bergen adalah pelabuhan tersibuk di Norwegia. Kota ini didirikan tahun 1070. Tempat pertama yang kami kunjungi di Bergen adalah Floibanen, semacam Peak Trem yang ada di Hong Kong, menuju ke gunung Floyen. Jalur ini didirikan tahun 1918 dan merupakan pusat atraksi turis di kota Bergen. Setiap tahun tidak kurang 1 juta pengunjung menaiki trem ini, untuk melihat kota Bergen dari ketinggian. Waktu tempuhnya sekitar 7 menit termasuk pemberhentian di beberapa stasiun antara. Hampir seluruh kota Bergen tampak dari atas dan memang dikelilingi oleh air. Bahkan kelihatannya airnya jauh lebih luas dari daratannya. Menurutku pemandangan ini tidak seindah Hong Kong yang didominasi oleh gedung-gedung pencakar langit dan dihiasi oleh bertaburan cahaya. Gedung-gedung di Bergen tidak ada yang tinggi menonjol. Dan cahaya lampunya juga tidak tampak karena ini baru jam 8 malam dan mentari masih bersinar di musim panas.
 
Setelah turun dari Gunung Floyen, kami menikmati pemandangan di pusat kota Bergen, tempat di mana banyak parkiran yatch, sambil menunggu makan malam. Malam ini aku memutuskan untuk skip makan malam bersama group karena kepingin nyobain giant crab dan lobster di Market Square. Ini adalah makan malam yang paling lezat selama di perjalanan. Rasanya benar-benar istimewa karena memang bahan bakunya fresh dan hanya direbus dan diungkep, serta diberi garam. Tentu saja saya minta pakai garam Nutrisalin yang memang saya bawa dari Jakarta. Garam ini rendah sodium dan aman dikonsumsi oleh penderita hipertensi dan juga sangat bagus untuk orang-orang seusia saya untuk pencegahan. Siapa sih yang mau dan berani resiko terkena stroke? Hi... ngeri. Iya kalau langsung mati, lah kalau jadi vegetatif khan merugikan seluruh anggota keluarga. Maka mumpung lagi cerita makanan dan garam, sekalian ngingetin agar orang-orang seusia saya harus mampu mengendalikan asupan garam dengan cara mengganti garamnya dengan garam Nutrisalin. Oya, kembali ke soal makan sea food, sayang Gaby ndak bisa ikutan makan karena dia emang ndak bisa makan kepiting dan udang akibat alergi berat.
 
Tepat pukul 10 malam kami tiba di Quality Hotel Edvard Greig yang terletak di pinggiran kota Bergen. Besok kudu siap-siap untuk perjalanan panjang menuju Oslo.