Selasa, Agustus 28, 2012

Day 10

Day 10 - August 26, 2012 Pagi ini variasi makan pagi yang disajikan di Sheratton Hotel lebih variatif dibandingkan hotel-hotel lainnya. Di samping yang rutin seperti telor scrambled, bacon, sausage, kentang, ada juga smoked salmon, daging cacah yang dibentuk bundar seperti koin raksasa, serta sesuatu mirip nasi tapi gedhe dan panjang. Rasanya gurih. Aku ndak tahu itu apa, tapi lumayan buat menghilangkan kebosanan dan keluar dari rutinitas. Makan paginya sebenarnya dijadwalkan jam 7 tepat, sesuai dengan rutin 6 - 7 - 8, tetapi ternyata resto baru buka jam 7.15. Jadi kita semua berkerumun di depan resto seperti pengungsi yang menunggu jatah makanan. Steven, tour leader utama, sudah standby di lobby dan mengabarkan bahwa resto baru akan buka 15 menit lagi. Sementara seperti biasanya, tour leader group kami, belum kelihatan batang hidungnya. Mungkin masih mandi, dandan atau malah masih molor. Selesai makan pagi kami naik ke bus. Steven mengumumkan bahwa kemarin secara tidak sengaja kita mendapatkan 1 kopor besar tambahan yang terbawa dari Montreal. Ndak tahu kopor siapa dan sekarang ditinggal di concierge hotel Sheratton Boston. Mungkin punya tamu dari group tour lain yang secara tidak sengaja digotong oleh porter hotel di Montreal. Kebetulan hanya di Montreal kami mendapatkan fasilitas porter. Biasanya semua koper digotong sendiri. 3 koper besar keluargaku sudah terasa semakin berat. Aku yakin isi masing-masing koper sudah lebih dari 35 kg, terutama koper istriku. Padahal katanya kalau keluar dari US naik pesawat, berat maksimal koper harus tidak boleh lebih dari 25 kg, dan tiap orang berhak bawa 2 koper. Jadi total 50 kg. Berarti ini bakalan beli koper di NY nih. Apalagi istri sudah wanti-wanti mau belanja di NY. Lah emang dari kemarin ndak belanja? Ha.... Ada satu rekan peserta tour yang cukup unik. Dia lelaki tengah baya berusia 45 tahunan dan berangkat ikut tour sendirian. Namanya pak Baskoro Hartono. Orangnya lucu dan agak cuek. Kebetulan kalau makan sering digabung ke meja keluarga besar kami yang berjumlah 8 orang, karena biasanya 1 meja berisi 9 atau 10 orang. Dialah yang pakai kamera Nikon yang rusak kena air di Niagara Falls yang saya ceritakan beberapa hari lalu. Dia pula yang barang belanjaannya hilang karena ketinggalan ketika foto-fotoan pakai bb di Quebec. Dia tidak sadar ketika dipotret barang belanjaannya ditaruh di lantai, lalu nyulut rokok buat bergaya dan itu memang identitasnya, yaitu selalu dengan sebatang rokok kalau bergaya di depan kamera. Lah selesai dipotret dia lupa untuk menenteng bawaannya dan tentu saja ndak ada yang mengingatkan karena dia khan sendirian. Yang menarik lainnya adalah bawaannya praktis sekali. Dari Jakarta dia hanya bawa 3 kaos + beberapa pakaian dalam. Sisanya di tiap kota dia beli kaos buat ganti. Wow ini satu pelajaran penting yang perlu ditiru di perjalanan berikutnya. Toh kita juga emang minat beli kaos-kaos buat kenangan, jadi kenapa mesti bawa pakaian dari Jakarta. Memasuki bis North Star tepat jam 8 pagi setelah semua koper ditata di bagasi. Ini adalah long distance drive terakhir kalinya dengan bis dalam tour ini, karena mulai hari ini kami akan ngendon di New York sampai kami pulang ke Jakarta. Rombongan Steven akan bermalam 2 hari di NY sementara rombongan Elizabeth di mana group kami berada masih akan menginap 4 hari. Ada satu yang di luar kebiasaan ketika bus baru mulai berjalan. Ini pertama kalinya saya melihat Elizabeth memegang microphone dan menyapa para tamu, "Selamat pagi Bapak-Ibu. Sudah makan semua ya. Hari ini kita akan ke New York. Apa sudah kenyang semua?". Aku lihat ndak ada respon apa-apa dari tamu. Akhirnya ya hanya kalimat itulah yang keluar dari mulutnya, sebelum microphone diambil alih oleh Steven dan menjelaskan tentang acara yang akan kami tempuh hari ini. Suatu kemajuan yang baik, walaupun belum "cukup" untuk menjadi tour leader yang mumpuni Hampir 5 jam kami menelusuri high way 3 lajur menuju NY sepanjang 385 km. 2 kali pemberhentian singkat sangat membantu mengusik kebosanan di dalam bus. Ada satu hal menarik yang saya amati sepanjang perjalanan ini. Menurut kesan saya, nyetir di jalan tol (high way) antar kota di US dan/atau Canada itu sangat monoton. Secara rerata kecepatan masing-masing kendaraan hampir sama. Sangat berbeda dengan di Indonesia, di mana truk-truk besar melenggak-lenggok di lajur 2 dengan kecepatan kurang dari 60 per jam dan mobil-mobil pribadi bisa ngenjot bahkan ada yang 140 km per jam. Ini kalau ndak macet lho. Di Indonesia kalau macet baru kecepatan reratanya sama, yaitu sama-sama 0 - 10 km per jam. He.... Seperti informasi rekan saya yang tinggal di Montreal, Budi Kurniawan, kalau macet di high way, misalnya akibat kecelakaan emang bisa mengular sampai berkilo-kilo meter. Tapi ndak ada yang nyelonong ambil bahu jalan, atau motong pindah lajur, atau klakson. Bahkan motorpun ikutan antri di belakang mobil, tidak meliuk-liuk diantara sela-sela kendaraan. Saya mengamini pendapatnya dan melihat sendiri waktu macet ketika memasuki kota Quebec dari Montreal. Kapan ya di Indonesia bisa tertib seperti itu. Satu lagi yang saya rasakan di US adalah banyaknya jumlah mobil yang berkeliaran di high way. Pantes aja US adalah pasar mobil yang sangat besar di dunia, walaupun tentu saja sekarang negara-negara Asia Tenggara dan Timur juga berkembang cukup pesat, tetapi US masih paling dominan. Memasuki kota New York tepat jam 1 siang dan kami langsung menuju ke daerah Manhattan. Tour leader menunjukkan bahwa kalau kita belok kiri itu adalah daerah The Bronx yang merupakan daerah kumuh orang-orang kulit hitam. Sebenarnya saya pingin melewati daerah tersebut untuk melihat sejauh mana ke"seram"an daerah tersebut yang banyak digambarkan dalam film-film holliwood. Saya ingat film yang menceritakan kisah seorang perempuan kulit hitam beranak banyak yang bergulat dengan kemiskinan dan tinggal di daerah Bronx. Dia yakin bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan adalah dengan menyekolahkan anaknya dan ternyata keyakinannya terbukti. Begitu dia berhasil menyekolahkan anaknya yang kedua dari uang hasil kerjanya sebagai pencuci pakaian, sekaligus nyambi sebagai pelacur, si anak kedua ikut membantu adik-adiknya sekolah dan keluar dari kemiskinan. Lalu kemana anak pertamanya? Si anak pertama bekerja sebagai pengedar narkoba yang menggunakan hasil kerjanya untuk membantu sang Ibu dan dia akhirnya meninggal ditembak polisi dalam satu penggrebegan. Aku lupa judul asli film tersebut, tetapi temanya adalah "The Way is Education". Saya pernah membawakan tema ini dalam salah satu acara session sharing dengan rekan-rekan Rotaract (Rotary Junior) di Hotel Mulia di Jakarta. Coba kalau saya sudah pernah melihat sendiri "kekerasan" hidup di The Bronx tentu cerita saya akan lebih menarik. Di samping The Bronx ada juga daerah kumuh kulit hitam yang menonjol di New York, yaitu Harleem. Perbedaan antara Harleem dan Bronx konon adalah banyaknya anggota dan aktivis gereja di daerah Harleem. Banyak warga Harleem yang berkarier sebagai penyanyi kulit hitam yang mengawali kariernya sebagai penyanyi koor maupun solois di gereja-gereja seputaran Harleem. Salah satu yang paling terkenal adalah Whitney Houston. Kami makan siang di Indonesian Restaurant di daerah Manhattan. Menurutku makanannya tidak enak sama sekali, tidak pedas, tidak gurih dan jauh dari "Indonesian food" yang saya kenal. Padahal claim posternya di depan resto cukup menarik, yaitu "The best and only Indonesian food in New York. Dine here and you will feel like in Bali." Ya emang ndak bisa disalahkan, wong the "only" ya pasti the best. Menu makanannya gado-gado, empal, telur balado, sate ayam, capcai goreng, bakso kuah dan bihun goreng. Saya lihat price listnya cukup mahal, walaupun tempatnya kurang representatif dan rasanya ndak memper dengan makanan Indonesia di Indonesia. Selesai makan siang kami langsung menuju ke Battery Park, yaitu pelabuhan tempat kapal yang akan berlayar ke Liberty Island. Pelabuhan itu dinamakan Battery Park karena jaman dahulu bangunan itu memang digunakan untuk tempat altileri yang moncongnya di arahkan ke pelabuhan untuk menahan masuknya para imigran ke New York. Antrian panjang mengular sampai 100 m akibat pemeriksaan keamanan sebelum kita boarding ke kapal. Orang Amerika emang ahli "menjual". Wong cuman mau melihat patung begitu aja antriannya puanjang banget. Liberty Island sendiri adalah pulau kecil tempat patung Liberty bediri dengan megah. Patung itu adalah pemberian dari pemerintah Perancis di tahun 1876, tepat 100 tahun Hari Kemerdekaan Amerika. Patungnya sendiri sebenarnya dibuat di Perancis oleh seniman Perancis yang sangat terkenal di jaman tersebut, yaitu Frederick Bartholdi, dan dipotong-potong menjadi 204 bagian sebelum dikirimkan ke Amerika. Baru kemudian dirakit kembali di Amerika. Wajah di patung Liberty dipercaya sebenarnya adalah wajah dari ibunda Bartholdi, karena Bartholdi sangat sayang kepada ibunya. Tangan kiri patung memegang tablet bertuliskan 4 Juli 1776 dalam bahasa Latin, yang menggambarkan hari kemerdekaan Amerika. Tangan kanan menggenggam obor yang melambangkan harapan agar Amerika tetap bersinar menerangi dunia. Mahkota di kepala patung Liberty punya 7 segituga yang melambangkan 7 benua. Sedangkan kepala pembuatan patung tersebut adalah Gustaff Eiffel, yang juga merancang Menara Eiffel di Paris. Maka duplikat patung Liberty juga terdapat di belakang Menara Eiffel Paris dengan ukuran yang lebih kecil. Patung Liberty ditutup untuk umum sejak terjadinya peristiwa 911 pada tanggal 11 September 2001 dan baru dibuka kembali tahun 2009. Alasan penutupan tersebut adalah karena dianggap tidak memiliki fasilitas evakuasi yang memadai jika terjadi kondisi darurat. Sebelum memotret patung Liberty saya coba mengamati beberapa post cards yang dijual di toko-toko souvenir. Biasanya sudut pengambilan gambar di post card adalah yang terbaik. Sayang saya ndak mungkin meniru angle tersebut karena sebagian besar angle terbaik adalah memotret dari ketinggian alias harus naik chopper. Sebenarnya ada chopper rental yang mengangkut penumpang mengelilingi patung Liberty selama 15 menit. Biayanya USD 150 per orang. Sayang kita ndak menemukan di mana tempat membeli tiket chopper tersebut dan emang waktunya sangat terbatas. Padahal kalau punya kesempatan naek chopper pasti asyik benar. Kelihatannya chopper adalah alat transportasi yang umum di kota New York. Hampir setiap saat kita bisa melihat chopper berkeliaran di atas kota New York. Apakah trend ini akan merambah Jakarta dalam 5 - 10 tahun mendatang? Menurutku sangat mungkin. Trickle down effect menurutku akan terjadi. Dan itu adalah fenomena normal. Tinggal siapa yang bisa meraih peluang bisnis ini segera. Sepulang dari Liberty Island kapal yang kami naikki mampir ke Ellis Island. Pulau ini dahulu digunakan sebagai kantor imigrasi untuk menampung dan memerika para imigran yang datang ke New York pada akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20. Sekarang Ellis Island adalah musium yang menceritakan kisah-kisah bagaimana imigran kulit hitam diperlakukan sebelum bisa masuk ke Amerika. Banyaknya imigran yang masuk ke Amerika menjadikan bangsa Amerika adalah bangsa multi ras. Banyak orang-orang kulit hitam, kulit putih, kulit kuning dan juga imigran dari kawasan Amerika Tengah dan Latin. Di New York sendiri 76 persen berbahasa Inggris dan 14 persen berbahasa Spanyol. Sisanya terbagi berbicara bahasa Perancis, Chinese dan lainnya. Kami makan malam di American Steak n Ribs Resto. Masing-masing peserta tour mendapatkan setengah ekor ayam panggang segedhe gajah dan beberapa potong Original Baby Back Ribs. Beberapa rekan muslim mengganti pesanannya menjadi Beef Ribs. Rasa ribsnya ndak lebih enak dari Deltoro dan jauh di bawah Tony Romans Jakarta. Bahkan ayam panggangnya menurutku dan hampir semua peserta tour yang makan terasa tasteless. Jauh kalah dibandingkan dengan ayam kalasan Jagorawi Golf Club yang hampir tiap minggu kami nikmati. Padahal di bus, tour leader sudah mempromosikan bahwa makan malam kali ini akan "sangat istimewa". Bahkan konon katanya kita ndak boleh telat barang 5 menit pun, karena reservasi kita bisa hilang. Ternyata kita terlambat 30 menit karena jalanan macet dan toh juga resto masih kosong ketika kita masuk jam 6.30. Malam ini kami menginap di Hyatt Hotel New Jersey. Sebenarnya lokasinya hanya sepandangan mata dari downtown New York karena hanya terbelah oleh sungai Hudson. Tetapi akibat macet waktu tempuh bis menuju hotel bisa lebih dari 1 jam. Hyatt NJ Hotel cukup nyaman. Hotel bintang 4 ini cukup strategis lokasinya. Walaupun masuk daerah New Jersey, tetapi letaknya di pinggir sungai. Dari pelataran hotel terpampang kota New York yang lampunya ndak pernah padam. Di hotel ini rombongan kami (group ATS China Airline) akan menginap selama 4 malam terakhir sebelum kami mengakhiri tour ini. Sebagian rombongan tidak ambil extend, sehingga harus pulang besok pagi. Sebagian lagi rombongan ATS SQ harus meninggalkan NY lusa. Sedangkan kami akan meninggalkan NY tanggal 30 Agustus 2012. Rekan-rekan yang harus besok pulang tampak kecewa, kenapa mereka menolak waktu ditawarin extend 3 hari free akibat kondisi over booking CI. Rekan-rekan yang harus pulang 2 hari lagi juga complain kenapa mereka ndak dapat extend gratis seperti kami dan bahkan mereka juga tidak dapat up grade ketika berangkat ke US, padahal mereka membayar USD 4800, lebih mahal USD 400 dari yang kami bayarkan. Sementara "the lucky group" juga not happy dengan tour leader yang kurang berpengalaman. Ha.... Ternyata semua itu sawang-sinawang. Rumput tetangga selalu tampak lebih indah dibandingkan dengan rumput di pekarangan sendiri. Setelah mandi dan bongkar-bongkar koper, anak-anak memaksa kami untuk nyobain jalan-jalan ke kota New York naek PATH line yang kebetulan stasiunnya persis di depan Hyatt. Saya sebenarnya sudah loyo dan letoy karena kurang tidur berhari-hari. Ini mumpung pulang "sorean", yaitu jam 9 malam, ya pinginnya leyeh-leyeh di atas kasur yang empuk kentul-kentul. Toh masih ada 4 hari di sini. Apalagi saya dengar New York di waktu malam tidak seaman yang dibayangkan. Tetapi namanya anak-anak, apalagi kalau Gaby udah meluk aku sambil menatap penuh harap dan Eugenia megangin perut buncitku, maka itu tanda aku ndak punya pilihan lain. Kami dan beberapa rekan tour lain akhirnya berangkat naik PATH line ke WTC jam 10, tetapi batal ke broadway karena sudah terlalu malam. Anak-anak juga akhirnya nyerah karena mereka juga sebenarnya sudah sangat kelelahan. Sementara beberapa rekan tour lain melanjutkan ke Broadway sampai jam 3 subuh. Satu rombongan lain, di bawah pimpinan pak Ade, asal Menado, punya acara khusus, yaitu manggung di casino. Aku sebenarnya diajak juga nyicipin casino di New York. Tapi emang ndak minat dan ndak bakat soal judi. Jadi aku memilih bareng anak-anak saja. Bukankah liburan ini merupakan "Children Day", demikian kata anak-anak. Children Day adalah istilah dalam keluarga kami di mana merekalah yang menentukan kemana kita pergi, mau makan di mana dan mau beli apa. Tentu saja selama semuanya masih dalam batas yang wajar. Kami sengaja menerapkan ini untuk mengkompensasi keterbatasan waktu kami berdua. Jadi kualitas tetap terjaga di tengah keterbatasan kuantitas bersama anak-anak. Tepat pukul 1 saya terpekur dalam mimpi.