Kamis, Agustus 30, 2012

Day 11

Day 11 - August 27, 2012 Hari ini saya bangun dengan kondisi badan yang kurang nyaman, agak meriang sedikit akibat kurang tidur berhari-hari. Sejak awal tour 11 hari lalu jam tidur saya tekor terus. Sehari paling hanya tidur maksimal 5 jam dan sisanya harus digeledek jalan terus atau nongkrong di atas bus mengikuti jadwal tour yang sedemikian padat. Inilah kelemahan utama dari ikut tour. Kita tidak bisa menikmati lebih di tempat yang kita mau, atau barang mengistirahatkan badan sejenak untuk memulihkan tenaga. Sudah kubayangkan betapa nyamannya pulang ke Jakarta dan pijat 3 jam penuh memanjakan badan barang sehari. Tapi aku baru pulang 3 hari mendatang dan sebelum sampai rumah harus terbang dulu lebih dari 20 jam dengan rute New York - Osaka - Taipei (over nite) and Jakarta. Mamma mia... Pagi ini rute perjalanan kita adalah City Tour di New York City yang merupakan ibukota dari negara bagian New York. Jumlah penduduk di New York City sekitar 9 juta orang. Antara New York dan New Jersey yang terpisah oleh Sungai Hudson dihubungkan oleh 2 kanal, yaitu Holland Tunnel dan Lindcoln Tunnel. Setiap hari menjelang sore kemacetan cukup parah di jalanan memasukki tunnel, sedangkan tunnelnya sendiri sih cukup lancar. Jaman kolonial dulu New York terkenal dengan julukan Big Apple. Julukan ini konon punya dua arti. Yang pertama adalah bentuk New York City kalau dilihat dari satelit emang mirip buah apple. Yang kedua apple itu melambangkan rasa manis (kemakmuran) bagi para penduduknya. Aku jadi ingat kisah Nasaruddin dan Angelina Sondak yang sering menggunakan istilah "Apple Washington" dan "Apple Malang". Kok ndak pakai istilah "Apple New York" ya. Apa gara-gara gambar di uang USD adalah gambar George Washington kali ya. Gimana kabar Nazar dan Angie di tanah air ya? Jangan-jangan malahan susah bebas. Tapi apa mungkin KPK doyan "Apple". Saya yakin pimpinan KPK masih lebih demen jeruk dibandingkan Apple. Makanya mereka "makan jeruk" dalam kasus korlantas Polri. Ternyata istilah "Apple" itu punya sejarah yang berakar sangat panjang, yaitu sejak tahun 1609 ketika Henry Hudson, orang Belanda, pertama kali membentuk koloni di New York sini. Maka dari itu kota ini awalnya diberi nama New Amsterdam. Namanya diubah menjadi New York pada jaman koloni Inggris, yaitu sesudah King Charles II memberikan hadiah tanah New York kepada saudaranya, Duke of York. Nama Hudson saat ini diabadikan untuk nama sungai yang membelah New York dan New Jersey. Kunjungan pertama di kota New York adalah ke Wall Street, tempat di mana pasar saham terbesar di dunia, New York Stock Exchange. Keberadaan NYSE inilah yang menjadikan NY sebagai "ibukota" pasar keuangan dunia. Sementara pasar uang terbesar di dunia masih tetap berada di London, akibat kontribusi Eurodollar yang berkembang pesat sejak Amerika dahulu membekukan seluruh asset Syah Iran di masa perang dingin berkecamuk, ketika Amerika konflik dengan Iran. Kunjungan ke Wall Street diawali dengan melihat patung Banteng Liar di ujung Wall Street. Banteng itu melambangkan kekuatan dan kedigdayaan Amerika, yang walaupun saat ini posisinya tidak sedominan sebelum terjadinya sub prime morgage crisis tahun 2008. Kami sempat foto-fotoan di depan patung banteng, baik dari arah depan, maupun dari pantat banteng. Patungnya emang keker dan gayanya pun petentang-petenteng yang mungkin juga melambangkan Amerika yang menjadi pusat dari kapitalisme dunia. Sengaja patung banteng dipilih karena melambangkan pasar saham yang sedang naik (bullish). Sebaliknya kalau dipasang patung beruang bisa bahaya karena melambangkan pasar saham yang sedang turun (bearish). Banteng kalau menyerang lawan pasti menanduk ke atas. Sedangkan beruang akan menabok dengan tangannya dari atas ke bawah. Gedung NYSE sendiri tidak terlalu megah, dibandingkan dengan gedung-gedung di sekitarnya. Nama "Wall" Street diambil karena jaman dahulu Belanda banyak membangun tembok-tembok untuk melindungi warga Belanda dari serbuan Inggris maupun pemberontakan warga Amerika. Awalnya di seputaran daerah tersebut banyak pedagang saling mempertukarkan barang dagangannya maupun budaknya sampai kemudian diformalisasi menjadi NYSE tahun 1792 melalui Buttonwood Agreement. Di Wall Street juga menjadi tempat bersejarah bagi Amerika karena di sinilah pelantikan Presiden pertama Amerika George Washington pada tahun 1789. Di sini pulalah lokasi penandatanganan "Bill of Right", sekaligus tempat pemakaman Alexander Hamilton, yaitu Menteri Keuangan pertama Amerika yang menjadi arsitek bagi sistem keuangan Amerika pada masa itu. Alexander Hamilton dimakamkan di gereja Trinity di kawasan Wall Street. Ada satu kejadian menarik di depan NYSE. Ketika motret-motret saya lihat Susy, bini saya, sedang serius berbicara dengan seorang perempuan berpenampilan rapi layaknya seorang profesional. Perempuan itu bernama Chaterine McDermott, VP BNY (Bank of New York) Mellon, sebuah bank ternama yang berkantor di Wall Street. Ternyata Chaterine sangat mengagumi rambut Susy yang warna-warni dan jabrik-jabrik. Chaterine menyimak dengan seksama ketika Susy menjelaskan bagaimana proses pembuatan warna warni rambutnya. Kelihatannya peremuan itu emang modis dan suka juga mewarnai rambutnya, hanya dia ndak berani seekstrim Susy yang sengaja menambahkan beberapa helai dengan warna yang mencolok. Tapi helai yang warnanya norak tersebut bisa disembunyikan di dalam rambut bila diperlukan, bahkan bisa juga di semprot hitam pakai color hairspray temporer. Dari Wall Street kami berjalan menuju ke "Ground Zero" tempat menara kembar WTC dihancurkan dengan cara dihantam pesawat udara yang penuh bahan bakar karena baru terbang dari New York dan rencananya menuju Washington. Saat ini lokasi Ground Zero ditutup pakai seng-seng karena sedang dilakukan perencanaan pembangunan monumen. Saya sempat berbincang dengan seorang anggota NYPD keturunan Chinese, Mr. Lau, yang menceritakan bahwa ketika kejadian itu berlangsung pada tanggal 11 September 2001 dia masih kuliah di perguruan tinggi. Ada lebih dari 6000 orang yang mati akibat peristiwa tersebut dan itulah untuk pertama kalinya sejak tahun 1939 wilayah Amerika diserang oleh musuh. Makanya peristiwa itu membawa dampak traumatis yang sangat mendalam. Sejak saat itu lalu lintas manusia melalui bandara diperiksa super ketat dan mengakibatkan antrian check in yang sangat panjang dan memerlukan waktu lama. Proses security checking yang super ketat itu baru agak dilonggarkan setelah tokoh dibalik serangan 911, Osama bin Laden, tertangkap dan dihukum mati tahun 2009. Kami lalu melewati New York Central Park, yang konon merupakan suatu taman yang terbesar di dunia. Dari atas bus kami menyaksikan banyak atraksi dan kegiatan warga New York maupun turis yang menikmati taman tersebut. Bahkan ada becak dan kereta kuda. Becaknya juga ditarik oleh orang yang naik sepeda di depan, jadi ndak sama dengan yang biasa kita lihat di Jakarta. Kereta kudanya cukup menarik dan bisa dimuatin 4 orang. Tetapi kudanya saya perhatikan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kuda yang digunakan untuk menarik kereta di Canada. Sayang kita ndak berhenti di Central Park tersebut, padahal lama waktu perjalanan dari Ground Zero ke Central Park lebih dari satu jam akibat kepadatan lalu lintas. Saya dan beberapa rekan peserta tour sempat complain, tetapi tidak ditanggapi oleh Steven. Alasannya adalah karena kita harus segera lunch agar punya waktu lebih buat belanja. Dan toh lihat taman bisa dari atas bus, katanya. Aku radha dongkol, karena kalau seperti itu, ya ngapain jauh-jauh ke Amerika, toh liat foto-foto tentang Amerika juga bisa dilihat dengan gampang di google. Gratis lagi. Kami mengakhiri City Tour dengan melihat Gedung PBB. Kebetulan saat itu tidak ada kegiatan apa-apa di gedung PBB sehingga bendera masing-masing negara anggota PBB tidak dipajang. Hanya tiang-tiang aja mencungul ke atas dan tidak menarik untuk dipotret. Dari situ kami makan siang Thai Food dan dilanjutkan dengan acara bebas alias belanja di kawasan Soho selama 2.5 jam. Soho adalah kawasan pertokoan besar-kecil berjajar sepanjang sekitar 3 x 3 bloks. Beberapa toko tersebut menjual barang-barang branded kelas medium, sedangkan sisanya banyak menjual souvenir dan local brands. Buat saya waktu 2.5 jam untuk shopping sangat lama dan membosankan. Jadi setelah ikut muter sekilas, aku menunggu di sebuah cafe shop tua di daerah tersebut sambil nyeruput double expresso pure kegemaranku untuk menahan kantuk. Selesai dari Soho dilanjutkan dengan belanja lagi babak kedua di kawasan Fifth Avenue yang merupakan pusat pembelanjaan kelas atas di New York. Jalanan 5th Avenue itu mirip dengan Champs Ellise di Paris. Bedanya kalau di Paris sepanjang kanan kiri jalan banyak cafe untuk tempat nongkrong. Di sini dipenuhi dengan toko dan toko. Yang menarik adalah sistem tata kota New York. Nama jalan dan bangunannya dibuat dengan sistem blok kotak-kotak seperti baju Jokowi - Ahok. Jadi kalau mencari alamat di seputaran daerah tersebut bisa lihat nama Jalan (Avenue) dan perpotongan nomer jalannya. Saya sempat menyusuri 5th Avenue mulai dari 56th Street sampai ke 40th Street dan mbaliknya lewat Madisson Avenue. Sepanjang jalanan itu banyak sekali orang berkeliaran keluar masuk toko tidak ada habis-habisnya. Di sinilah tempat para selebritas dan sosialitas dunia biasa membelanjakan uangnya. Ada satu pertanyaan polos dan lugu dari anakku yang kecil, Eugenia, "Daddy, I see so many people in NY. But I didn't see their houses. Where do they live?" Wow satu pertanyaan yang mengejutkan dari anak sekecil dia. Saya jelaskan bahwa sebagian besar orang tinggal di apartemen dan sebagian lagi tinggal di luar kota New York. Saya paham bahwa Eugenia agak bingung, kok dia ndak lihat deretan rumah seperti di Jakarta. Satu pertanyaan yang menurutku cukup kritis. Selesai makan malam kami berdelapan memisahkan diri dari rombongan dan turun di Time Square. Di sini pemandangannya lebih "gila" lagi di mana orang tambah berjibun di jalanan. Mirip seperti Time Square di Hong Kong yang juga tidak pernah sepi. Kota New York memang terkenal dengan julukan "City thet never sleep". Di samping aktivitas di jalanan yang tidak pernah berhenti, gedung-gedung pencakar langitpun lampunya tidak pernah dimatikan ketika malam hari. Itu menambah keindahan kota New York. Di persimpangan Time Square inilah awalnya banyak musisi jalanan yang beraksi dan membentuk kelompok-kelompok, yang lalu menjadi pusat pertunjukkan yang sekarang dikenal dengan nama Broadway. Kreativitas orang Amerika memang luar biasa. Konon banyak juga musisi-musisi hebat yang lahir dari Broadway. Tepat jam 11 malam kami mengakhiri hari yang panjang dan melelahkan ini dengan pulang ke hotel. Saya dan rombongan keluarga saya agak kebingungan mencari jalur subway dan connectionnya ke PATH line menuju ke hotel di mana kami menginap. Jalur kereta api bawah tanah kota New York cukup rumit dan informasi keberadaan subway station juga terbatas, di samping jalurnya sendiri yang rumit, saling berpotongan dan banyak sekali jumlahnya. Ini mirip dengan subway di kota Paris Perancis. Mendingannya di sini semua orang bisa berbahasa Inggris. Tepat pukul 12.30 kami sampai di hotel dengan kondisi letih.