Rabu, Agustus 14, 2013

Day 3 - Dresden

9 Agustus 2013 Day 3 - Enroute Berlin - Dresden - Praha Pagi ini kami meninggalkan kota Berlin tepat jam 9 pagi. Tujuan berikutnya adalah kota Praha yang berjarak kira-kira 320 km dari Berlin. Dalam perjalanan dengan bis kami mampir di kota Dresden, sebuah kota di German yang hancur lebur dalam perang dunia kedua. Kota Dresden sendiri sebelumnya adalah kota yang sangat indah bergaya Baroach dan Roccoco yang mirip kota Florence di Itali. Kalau Berlin dilintasi oleh sungai Spree, Dresden dilintasi oleh sungai Elbe yang meluap dan membanjiri hampir seluruh kota pada bulan Juni 2013. Seperti biasa, kami mampir di pemberhentian bus untuk rutin pergi ke toilet. Toilet di Eropa kebanyakan tidak gratis alias mbayar EUR 0.50 per orang. Dasar turis Indonesia, selalu aja akalnya banyak. Satu tiket dipakai berdua dengan cara masuk ke revolving gatenya nempel. Jadi damage costs nya cuman separoh, sementara kencingnya banyakan dikit akibat cuaca yang rada dingin. Mirip orang maen golf pas lagi jelek. Mukulnya banyakan, sehingga cost per strokenya menjadi lebih murah. He.... Sebelum memasuki kota Dresden, kami mampir di Elbe Park yang terletak kira-kira 5 km di pinggiran kota. Kami makan siang di Elbe Park Mall. Mallnya sendiri jauh kalah dibandingkan mall-mall raksasa di Indonesia. Dalam tour kali ini emang semua makan siangnya tidak ditanggung oleh tour, sehingga kita bebas makan sendiri. Sayang pilihan tempatnya kurang pas, yaitu di dalam mall, sehingga hanya ada food court yang makanannya ndak enak. Coba kalau dilepas di alun-alun kota tua Dresden, pasti banyak pilihan resto yang menyajikan makanan lokal yang sangat menggeliurkan. Masak sudah jauh-jauh ke Eropa carinya makanan standard seperti burger King atau Chinese Food. Ya mendingan cicipin makanan lokal walaupun rasanya kadang agak aneh buat lidah kita. Ya tapi itulah dukanya tour. Ndak semua peserta senang mencicipi local cuisine. Kebanyakan lebih senang makan nasi di Chinese resto. Selesai makan siang kami memasuki kota Dresden. Kota ini dikelilingi oleh tembok bertingkat yang dulunya digunakan oleh tentara German sebagai tembok pertahanan kota. Di dekat tembok pertahanan terdapat sebuah jembatan yang terkenal bernama Agustus Brug. Nama ini diambil dari nama raja Saxoni pertama yang beragama katolik, yaitu Raja Agustus. Raja ini pula yang membangun sebuah gereja katolik Kraun Kris pada tahun 1726. Gereja tua ini juga ikut hancur lebur dibombardir tentara sekutu pada perang dunia kedua. Baru pada tahun 1994 gereja ini dibangun ulang dengan dana swadaya masyarakat. Konon salib bersalut emas di atas gereja ini adalah sumbangan dari salah satu anak pimpinan tentara sekutu yang menghancurkan gereja tersebut, sebagai bentuk penyesalan atas penghancuran gedung gereja tua tersebut. Perang dunia kedua memang dampaknya luar biasa bagi bangsa German, khususnya bagi kota Dresden. Ratusan ribu warga sipil binasa akibat bombardir tentara sekutu. Yang membuatku salut adalah keberhasilan German untuk bangkit kembali menjadi salah satu pusat kekuatan dunia setelah hancur di tahun 1945. Di kota tua Dresden, kami mengunjungi Teater Plats yang menjadi pusat opera nomer wahid di kota Dresden. Namanya Opera Semper, yang dibangun oleh tokoh kota Dresden yang bernama Semper pada tahun 1841. Teater ini hancur terbakar pada tahun 1869 dan didirikan kembali pada tahun 1990, sesudah reunifikasi German. Sampai saat ini teater Plats masih sering digunakan untuk pertunjukan seni seperti opera yang sangat terkenal. Uniknya, menurut tour leader, ada berbagai ragam tiket opera, mulai dari tiket normal yang harganya berkisar antara EUR 20 - 120, tiket berdiri yang dijual 60 menit sebelum pertunjukan seharga EUR 15, dan bahkan ada tiket "dengar tapi tidak lihat" yang dijual seharga EUR 5.50. Lucu juga ya. Di depan benteng kota Dresden, ada bangunan yang terkenal dengan nama Swinger. Pada jaman perang dahulu, di bangunan ini ditempatkan meriam-meriam German yang digunakan untuk menghalau tentara sekutu. Swinger inilah yang menjadi pusat kendali militer German di kota Dresden. Sama seperti yang lain, bangunan ini juga rata tanah akibat perang. Setelah direstorasi ulang dengan semaksimal mungkin menggunakan puing-puing sisa reruntuhan bangunan, kini Swinger digunakan sebagai Musium Seni. Sayang sekali cuaca tidak mendukung di kota Dresden. Bukan hanya matahari ngumpet di balik awan, tetapi hujan rintik juga merata sepanjang kunjungan kami di kota tersebut. Hal ini membuat kami kesulitan mengabadikan keindahan kita hasil restorasi yang sebenarnya banyak obyek fotografi arsitektural yang menarik untuk dibidik. Walaupun kamera Canon 1Dx dan lens dengan gelang merah memiliki water resistance, tetap aja sulit mendapatkan obyek yang bagus. Akhirnya kami habiskan sisa waktu dengan nongkrong di sebuah coffee shop untuk nyeruput expresso dupio sambil menghangatkan badan. Suhu udara di Dresden cukup sejuk, kira-kira 17 derajad celcius. Kalau ndak hujan, sebenarnya ini sangat enak buat jalan-jalan. Dari Dresden kami melanjutkan perjalanan darat menuju Praha, ibukota Czec Republic. Memasuki perbatasan Czec Republik tidak ada pemeriksaan apa-apa karena Ceko memang sudah menjadi bagian dari Uni Eropa. Kalau tidak diberitahu oleh tour leader, kami juga ndak tahu bahwa kami sudah melintasi negara lain. Yah seperti melintas dari Jakarta menuju Bekasi saja. Yang cukup terasa hanya jalanan di Ceko lebih bergelombang dibandingkan dengan Otoban di German yang sangat lebar dan mulus. Bahkan begitu beberapa kilometer memasuki wilayah Ceko, jalanan mengecil menjadi masing-masing satu lajur tanpa pemisah. Kecepatan bus pun berkurang dari rata-rata 100 km/h di Otoban, menjadi hanya 70 km/h. Kami menyusui sebuah sungai besar sepanjang jalan. Mungkin sungai ini merupakan terusan dari sungai Elbe yang membelah kota Dresden. Mungkin melalui sungai ini jugalah kapal river cruise melintas, yang menawarkan tour lewat river cruise selama 15 hari dengan rute yang sama dengan yang kami ambil. Mungkin enak juga ya ikutan river cruise. Jadi ndak perlu waktu habis di jalan raya. Siang bisa jalan-jalan di kota yang dikunjungi, lalu malam menginap di kapal yang berjalan menyusuri sungai menuju kota berikutnya. Ketika pagi menjelang, sudah tiba di kota berikutnya. Mirip seperti Star Cruise Virgo di Singapore yang menawarkan rute Singapore - Phuket - Langkawi selama 4 hari. Kapan-kapan pengin ikutan tur lewat air ach. Tepat jam 7 malam kami memasuki kota Praha dengan disambut kemacetan menjelang pusat kota. Hujan rintik yang merata sejak dari Dresden membuat suhu udara dingin. Mungkin sekitar 14 derajad, apalagi angin bertiup cukup kencang. Beberapa anggota tour termasuk saya dan Eugenia praktis seperti orang yang salah kostum. Kami pakai celana pendek dan kaos tipis tanpa lapisan jaket memadai. Celakanya restaurant untuk makan malam ndak bisa ditempuh pakai bus. Kami harus jalan sejauh kira-kira 600 m ditengah rintik hujan dan angin mendesir. Huh dinginnya. Malam ini kami makan di Pivovar a Restaurace, sebuah rumah makan tua khas Ceko. Menurut brosur kertas yang jadi tatakan makan, restauran ini berdiri tahun 1499. Mbuh bener po ora. Menu tradisional Ceko diawali dengan sup garlic yang rasanya aneh. Sajian segelas bir hitam yang menjadi minuman khas Ceko membuat badan sedikit lebih hangat. Rasa birnya cukup nikmat, walaupun biasanya saya ndak doyan bir hitam. Tapi kali ini rasanya segelas ndak cukup. Perlu order tambahan segelas lagi nih. Restaurant ini cukup besar dan terletak di bangunan tua yang bentuknya antik. Sayang saya tidak membawa turun gear saya. Banyak sekali tamu restaurant yang berasal dari beberapa group tour, baik dari Asia (Indonesia, Jepang, Korea dan tentu saja China) maupun dari Eropa. Yang menarik adalah seorang kakek renta yang menghibur kami selama kami santap malam, lewat alunan alat musik tradisional. Bentuk alat musiknya seperti harmonika besar yang ditarik-ulur dan ada tuts nada yang dipencet-pencet. Begitu mendekati rombongan kami, dia melantunkan lagu batak Sae Mama. Tanpa Perduli kualitas suaraku yang selalu kuanggap merdu, aku ikut mendendangkan lagu tersebut, yang mengundang tawa rekan-rekan anggota tour yang lain. Selesai sebuah lagu, mereka teriak "MORE.....". wah aku benar-benar tersanjung, sampai kudengar lanjutan dari teriakan mereka "MORE PRACTISE". Wah..... Selesai dari rombongan kami, sang pemusik menghampiri serombongan turis yang tampaknya dari Rusia. Mereka bahkan secara koor melantunkan lagu bersama-sama sambil berteput tangan dan menghentak-hentakkan kaki. Meriah dan berisik sekali. Menu utama makan malam kali ini adalah gulash. Konon makanan ini khas Ceko. Bentuknya berbeda dengan gulash soap yang pernah aku coba di German. Kali ini dagingnya terdiri dari potongan daging sapi dan babi dengan 4 potong roti bundar yang rasanya aneh. Saya lihat beberapa anggota tour ndak bisa menikmati hidangan "aneh" ini, termasuk Gaby dan Eugenia. Bahkan Eugenia langsung komen bahwa malam ini dia harus nyambung supper dengan indomie bawaannya dari tanah air. Buat aku sendiri, walaupun rasanya aneh, aku suka mencoba makanan lokal setiap kali berkunjung ke satu negara. Melihat makanan ini aku jadi ingat sup tradisional dan "suya" di Nigeria yang bentuk maupun rasanya sangat mirip dengan gulash Ceko. Selesai makan malam kami langsung menuju hotel. Pengemudi bus kami sempet bete karena terlambat 15 menit. Konon menurut aturan yang berlaku di Uni Eropa maksimum bus hanya bisa dipakai selama 12 jam sehari, dengan waktu kemudi maksimum 9 jam. Kalau lebih dari 12 jam, maka konsekuensinya besok pagi kami terpaksa menunda keberangkatan dari jam 9 menjadi 9.30 pagi. Ono-ono wae aturane. Malam ini kami menginap di Hotel Panorama Praha. Hotelnya terletak kurang lebih 5 km dari pusat kota. Kondisi kamarnya menurutku cukup parah untuk ukuran hotel bintang 4. Kasurnyapun udah melengkung di bagian tengah ndak mampu menyangga badan yang bobotnya hampir 1 kuintal. Ya mau apalagi. Ndak ada hal lain yang bisa dilakukan, kecuali mensyukuri tinimbang harus tidur di emperan mesjid. He.....