Rabu, Agustus 14, 2013

Day 5 - Brno

11 Agustus 2013 Day 5 - Enroute Praha - Brno - Budapest Pagi ini cuaca sangat cerah menyambut pagi yang lumayan dingin. Setelah semalaman tidur nyenyak sehabis jalan kaki laksana 36 holes di lapangan golf kemarin, badan terasa segar. Sesuai jadwal kami melanjutkan perjalanan menuju kota Budapest dengan melewati kota Brno di bagian Tenggara Ceko. Perjalanan menuju kota Brno sejauh 195 km ditempuh dalam waktu 2.5 jam, termasuk pemberhentian rutin di toilet. Sebelum berangkat, saya memperhatikan deretan 13 bus wisata yang berjejer di parkiran hotel. Di bagian kiri plat nomor ternyata ada bendera Uni Eropa dengan logo sama tapi huruf yang berbeda-beda. Kalau hurufnya E berarti dari Espana (Spanyol), I dari Italia, D dari German, SV dari Slovakia, dan CZ dari Ceko. Bus yang kami tumpangi kebetulan berasal dari Ceko. Supirnya pun orang Ceko bernama Sdenek. Mungkin kalau di Indonesia itu ibarat nomer depan plat mobil seperti B (Jakarta), D (Bandung), H (Semarang) dan seterusnya ya. Maklum negara-negara di Eropa khan ngak gedhe-gedhe amat. Apalagi dengan konsep Eropa Bersatu maka bus dari semua negara anggota bebas berkeliaran ke mana-mana. Hampir sepanjang perjalanan Praha - Brno kami melewati jalan tol yang bergelombang. Sama sekali ndak bisa tidur karena jalanan sangat bumpy. Bentuknya seperti gundukan kejut di jalan tol di Indonesia kalau mau mendekati pintu tol. Tapi ini terjadi hampir sepanjang perjalanan. Aneh sekali, kok bisa jalan tol seperti ini. Waktu aku tanyakan ke Sdenek, the driver, dia cuman tertawa dan mengatakan dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah, "Welcome to the first and best high way in Czech Republic". He... dia menjelaskan bahwa jalanan ini sedang under rekonstruksi, sehingga digaris-garis. Ntar 5 tahun lagi (hopefully) akan selesai proyek perbaikan jalan ini dan jadi mulus seperti otoban di German. Lalu mereka akan garis-garis lagi untuk persiapan rekonstruksi 5 tahun mendatang. Suatu proyek yang tiada akhir. Ha... sangat mirip dengan proyek perbaikan pantura di pulau Jawa. Kota Brno sendiri ada kota kecil, walaupun merupakan kota terbesar kedua di Ceko. Brno adalah ibukota Propinsi Moravia dan menjadi pusat kekuasaan yudikatif di Republik Ceko. Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Komisi Ombusman berkantor pusat di Brno. Jumlah penduduknya hanya sekitar 400.000 orang, di mana 75.000 di antaranya adalah pelajar. Kalau dipikir-pikir mirip dengan kota Salatiga, tempat saya dulu menempuh studi S1 di kawah candradimuka FTJE UKSW. Kota ini dilalui oleh 2 sungai besar, yaitu Svitava dan Svratka. Alun-alun kota yang berbentuk segitiga menjadi pusat keramaian kota Brno. Sayang ini hari minggu sehingga sebagian besar toko dan restaurant tutup. Hanya ada beberapa orang lokal yang berkumpul di depan sebuah gereja katolik. Selebihnya adalah serombongan turis backpacker yang mungkin berasal dari negara-negara sekitar Ceko. Di hari minggu ini alun-alunnya sangat lengang. Trem yang berseliweran pun relatif tidak penuh penumpang. Ndak banyak juga mobil yang berkeliaran. Mungkin mirip seperti kota Jakarta yang dua hari lalu ditinggal mudik oleh para penduduknya. Tidak banyak yang bisa dieksplor dari kota ini. Terik mentari musim panas cukup menyengat. Beberapa gelandangan kota tertidur di bangku-bangku panjang yang disediakan di alun-alun. Sebenarnya agak sia-sia juga membuang waktu hampir 2 jam di kota ini. Mungkin lebih asyik kalau mengunjungi kota kecil Kutnahora yang terletak kira-kira satu jam perjalanan dari Brno. Di Kutnahora ada sebuah gereja antik yang semua ornamen hiasannya dari tengkorak manusia. Beberapa rombongan tour Indonesia dari Golden Rama, Panorama dan Vaya yang ambil paket 15 hari dan menginap di Brno malam ini, mereka mengunjungi kota kecil tersebut. Satu lagi yang mereka kunjungi adalah Istana Zameklabertine, sebuah istana kecil yang menjadi tempat tinggal Pangeran Non Mahkota kerajaan Ceko jaman dahulu. Kedua obyek tersebut tidak kami kunjungi dalam tour kali ini. Perjalanan dari Brno menuju ke Budapest sejauh 320 km ditempuh dalam waktu 4 jam. Ternyata kualitas jalanannya bener-bener bumpy sama seperti rute dari Praha menuju ke Brno, sampai-sampai seluruh isi bus bergoyang akibat getaran tersebut. Sepanjang perjalanan dengan bus yang membosankan ini, kami seisi bus saling ngobrol dan mengenal lebih jauh. Ternyata dari 24 anggota rombongan kami ada yang dari Makasar, Lampung, Surabaya, Semarang dan Bandung serta Jakarta. Peserta tertua adalah seorang nenek yang berangkat dengan keluarga anaknya dan cucu-cucunya. Usianya mungkin sekitar 70 tahunan. Cukup sehat untuk berjalan jauh, walau kemarin sempat keok juga waktu menyusuri kota tua Praha. Sedangkan peserta termuda berusia 7 tahun. Ternyata di rombongan ini ada 3 orang yang bernama Gaby, yaitu satu berasal dari Bandung, satu si peserta termuda dan satunya anakku. Nama Gaby ternyata adalah nama pasaran. Tour leader kami masih muda. Lelaki berusia kurang lebih 30 tahun dan bernama Marcell. Dari kesan saya pribadi dan juga beberapa anggota tour yang lain, Marcell adalah sosok tour leader yang mumpuni dan teliti. Penguasaan dia atas obyek yang dikunjungi juga bagus. Cerita-cerita yang dia bawakan yang berhubungan dengan obyek wisata yang kami kunjungi menarik. Dia juga cukup tertib dalam mengawal anggota tour yang berpencaran. Petunjuknya jelas dan terarah, sehingga selama ini tour berjalan lancar. Separuh perjalanan sudah kami nikmati. So far kekompakan para peserta tour terasa. Ada seorang pengusaha textil dari Bandung, koh Oce, yang menjadi ikon melucu di setiap kesempatan. Kebosanan jadi sirna mendengar lawakan-lawakannya. Semoga lima hari kedepan suasana ini bisa semakin terjaga. Dan yang lebih penting lagi tentu juga cuaca yang bersahabat. Beberapa ramalan cuaca menyebutkan Budapest dan Vienna sangat panas cuacanya. He... mungkin mirip maen golf siang hari di tengah terik mentari ya. mestinya sih buat saya ndak masalah. Tapi para peserta cewek pasti banyak yang akan komplain kalau terlalu terik, takut mukanya gosong. Dalam perjalanan menuju kota Budapest kami melewati negara Slovakia. Ini adalah sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 5 juta orang. Ibukotanya adalah Bratislava. Negara ini adalah negara baru yang baru merdeka tahun 1993 dari Cekoslovakia. Tadinya negara ini merupakan bagian dari Cekoslovakia. Lalu pecah menjadi Czech Republic, Slovakia, Slovenia dan Estonia. Ketiga negara baru bekas komunis ini menjadi bagian dari Uni Eropa dan menggunakan mata uang EUR sebagai mata uang negaranya. Wilayah Slovakia yang kami lewati, jalanannya relatif mulus, walaupun tentu saja tidak semulus otoban di German. Sebagai pembanding di Indonesia ya mirip lah dengan tol Jakarta Cikampek, cuman ini hanya 2 lajur per arah. Jumlah kendaraan yang melintas tentu jauh di bawah tol Cikampek, sehingga tentu saja relatif lancar. Walaupun lancar tetapi tetap saja kecepatan maksimum bus adalah 100 km/jam. Saya lihat juga ndak ada kendaraan yang speeding di jalanan yang relatif sepi ini. Saya ndak tahu apakah ada speed radarnya. Kalau di Jakarta investasi speed radar bagi Polri emang tidak dibutuhkan. Lah wong jalan tol siang hari maksimum cuman bisa 40 km/jam. Itupun kalau hoki. Kebanyakan nggeremet seperti siput. Dalam kondisi lalu lintas nggeremet, tentu investasi speed radar ndak bakalan balik modal. Tepat pukul 4 sore kami memasuki perbatasan Hungaria. Sama seperti perbatasan Ceko dan Slovakia, kali inipun perbatasannya hanya berupa papan nama ucapan selamat datang tanpa penjagaan sama sekali. Mungkin jaman dulu ketika Eropa masih terpisah-pisah bakalan ribet kalau lewat perbatasan. Sepanjang jalan di wilayah perbatasan Hungaria, padang tanaman menghias pemandangan. Ternyata itu adalah perkebunan bunga matahari yang sekarang sedang beken diproses menjadi sun flower oil dan bijinya menjadi kwaci. Ladang bunga matahari ini bentuknya seperti padang ilalang dengan warna kuning merangas di musim panas. Bunganya menunduk. Mungkin ini bisa jadi pemandangan yang menakjubkan di musim semi. Di samping ladang bunga matahari saya juga melihat banyaknya kincir angin yang dipasang di sisi kiri kanan jalanan. Jadi mirip pemandangan di utara Amsterdam. Aku ingat waktu tahun lalu pergi ke Belanda sepulang dari business trip ke Nigeria, kami diajak jalan-jalan menuju bagian utara kota Amsterdam. Di situ kami melewati jalanan yang membelah laut dan dibangun pada tahun 1930an, yaitu ketika dunia menghadapi great depression. Konon pembangunan jalan ini melibatkan banyak sekali penduduk dan menyediakan lapangan kerja yang mampu mengurangi dapat negatif dari great depression buat Belanda. Seumur hidup, itulah pertama kalinya aku melihat angin yang sedemikian kencang, sampai-sampai berdiri aja ndak bisa tegak. Dari situlah aku mengerti kenapa banyak kincir angin di utara Amsterdam. Di Hungaria ternyata anginnya juga kenceng banget. Terasa sekali waktu kami turun untuk rutin toilet menjelang masuk kota. Pokoknya urusan toilet selalu jadi bahan tertawaan. Mulai dari yang masuk dempet, melangkahin pintu revolving stick ampai yang kencingnya kudu banyak gara-gara tarifnya mahal, yaitu EUR 0.50 per orang. He.... aku jadi membayangkan pernah travelling bareng rekan senior yang tiap 30 menit selalu kebelet pipis. Khusus buat dia bisa abis budget EUR 20 per hari kali. Malam ini kami dinner di Restaurant Citadela, sebuah restaurant kuno yang terletak di daerah bukit kota Buda. Citadela sendiri adalah satu kompleks yang luas di mana di situ didirikan benteng perdamaian dengan monumennya. Pemandangannya sungguh fantastic. Sayang kami datang terlalu cepat, yaitu jam 7 malam dan matahari masih mencorong di ketinggian ufuk barat. Seandainya saja bisa menikmati malam di Citadela tentu akan bisa menikmati kelap-kelip lampu kota Budapest dari atas. Menu makanannya lumayan enak, semacam ayam fillet disiram dengan semacam saus dan nasi putih. Sayang porsinya terlalu kecil buat ukuranku. Dan lebih sayang lagi ndak mungkin bisa nambah karena restaurantnya fully book oleh 250 orang rombongan tour dari berbagai bangsa. Selama makan kami dihibur oleh orkestra sederhana 3 orang menggunakan alat musik biola dan bass petik. Lagu-lagu kuno favorit dilantunkan sehingga banyak peserta tour yang ikutan bersenandung. Saya sendiri sibuk mengabadikan suasana restaurant yang berkesan kuno dan antik, seolah-olah kita ada di dalam gua. Selesai makan kami kembali ke hotel. Malam ini kami menginap di hotel Ibis yang terletak kira-kira 7 km dari pusat kota. Kamarnya emang kecil, tetapi kasurnya jauh lebih nyaman dibandingkan dengan hotel Panorama di Praha. Menjelang tengah malam ketika saya sedang menikmati supper dan menenggak secawan red wine, saya lihat beberapa peserta tour yang masih bujangan pergi ke kota. Mereka ajakin minum dan supper di Hard Rock Cafe Budapest. Aku sudah terlalu tua buat begadang lagi. Ntar malah besok ndak bisa bangun pagi. He....