Minggu, Juni 24, 2018

Satyam Eva Jayante

Maraknya berita palsu atau hoax yang merajalela di ranah digital kini menjadi rutinitas yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Bukan hanya media sosial dan situs-situs online, tetapi juga percakapan melalui group pesan instan dipenuhi oleh berita yang kebenarannya perlu dipertanyakan. Salah satu contoh yang sedang marak dalam beberapa hari ini adalah pernyataan seorang tokoh partai politik yang mengatakan bahwa acara mudik tahun ini seperti “neraka” karena terjebak kemacetan. Padahal faktanya hampir semua pemudik mengakui bahwa penanganan pemerintah untuk lebaran tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, bukan hanya dari sisi relatif lancarnya arus mudik dan arus balik, tetapi juga terkendalinya harga-harga bahan pokok pada level kenaikan yang wajar.

Fenomena ini menarik untuk dicermati. Begitu mudahnya orang mengunggah status  di media sosial atau pesan instan tanpa memperdulikan kebenarannya. Jean Baudrillard, seorang filsuf asal Perancis, menamainya sebagai jaman hiperrealitas, dimana tak ada lagi batas yang jelas antara ilusi dan kebenaran. Di tengah banjir bah informasi, orang bahkan dibingungkan oleh mana informasi yang benar dan asli?

Media sosial semestinya dimanfaatkan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan menyebarkan konten-konten positif. Sayangnya, beberapa pihak memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten negatif. Group pesan instan yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi, bahkan sering menjadi arena “Perang Baratayudha”. Sesama rekan saling mencaci dan menyerang pribadi, bahkan sampai menggunakan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan oleh insan terdidik. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi akar penyebab di balik semua ini.

Dalam artikel pendek ini saya mencoba mengupasnya dengan pisau analisa Antropologi, sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia dengan mengedepankan dua konsep penting, yaitu holistik dan komparatif (David Hunter, 1977). Cabang Antropologi tradisional sendiri agaknya sulit untuk mengupasnya secara holistik dan komparatif. Maka saya sengaja memakai cabang Antropologi Digital yang memang membahas hubungan antara manusia dan perkembangan tehnologi digital. Ini adalah cabang Antropologi yang relatif baru, yang terdiri dari techno-anthropology, digital ethnography, cyberanthropology dan virtual anthropology.

Dalam Antropologi Digital, fenomena ini pada hakekatnya adalah melting point (titik temu) antara tiga kelompok. Yang pertama adalah segerombolan besar manusia bodoh yang tidak bersikap kritis dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Tentu ini menjadi sasaran empuk atas banjirnya informasi yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Keterbatasan kognitif membuat kelompok ini tidak mau dan tidak mampu melakukan validasi atas informasi yang mereka dapatkan. Celakanya mereka berusaha menutupinya dengan ikut menyebarkannya untuk menunjukkan eksistensi mereka di dunia modern.

Data yang dikemukakan oleh Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho, menunjukkan bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia adalah kedua terbawah setelah Botswana, sebuah negara terbelakang di Afrika. Septiaji mengacu pada hasil riset World's Most Literate Nation yang dipublikasikan pertengahan tahun lalu. Dari 61 negara yang dilibatkan dalam studi tersebut, Indonesia memang menempati urutan ke-60 soal minat baca masyarakatnya.

Ironisnya Indonesia ternyata tergolong teraktif di dunia dalam memposting di media sosial, terutama melalui Tweeter dan Facebook, maupun di group pesan instan. Sayang yang di postingkan kebanyakan adalah sebuah copy dan paste, bukan ide orisinalnya. Yang terjadi adalah sebuah simmulacra, yaitu copy atas copy atas copy atas copy yang tak jelas lagi sumber asalnya, apalagi kebenarannya. Persetan dengan ontologi dan epistemologinya. Yang penting posting sebagai bukti eksistensinya sebagai insan post modernist. Akademisi dan intelektual Muslim, Komarudin Hidayat, menengarai bahwa banyak orang ingin jadi yang pertama dalam menyebar informasi, mencari sensasi, berlomba-lomba menikmati kesenangan dalam kebohongan.

Yang lebih parah lagi, para "penulis jadi-jadian" ini bahkan menciptakan hipertextual dengan menambahkan "realita" baru ke dalam postingannya, hanya berdasarkan persepsinya yang terbatas, kadang tanpa pernah menguji orisinalistasnya, apalagi membayangkan dampaknya.

Kelompok kedua sebaliknya adalah kelompok para sofis[1], cerdik cendikia yang memiliki kemampuan intelegensia tingkat atas. Bagi mereka realitas adalah sesuatu yang abstrak dan bisa dibentuk melalui rumusan-rumusan penalaran bahkan lompatan-lompatan logika yang tidak beraturan. Mereka sebenarnya paham betul bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia (Edward Makinon, 1982). Celakanya mereka sengaja menciptakan kebenaran menurut versi mereka sendiri dan demi kepentingan mereka sendiri (Jason Rodrigues, 2013). Bahkan ada yang sengaja memelintir realitas demi mengharapkan dampaknya, yang merusak sendi-sendi kebhinekaan kita. Kepandaian memang akan menjadi sangat berbahaya di tangan orang-orang yang tidak memiliki nurani.

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang haus kekuasaan dan gemar menghalalkan segala cara demi mencapai kekuasaannya. Dengan kekuatan ekonomi yang menopangnya mereka memanfaatkan kepintaran kelompok kedua, “si pencipta realitas semu” untuk mempengaruhi kelompok pertama yang memang membutuhkan eksistensi dan pengakuan (Alexander Knorr, 2011). Mereka tidak perduli atas dampak segregasi yang tercipta di masyarakat dan kerusakan pranata sosial yang santun dan toleran, yang hakikinya adalah ciri khas bangsa Indonesia. 

Intoleransi sengaja dipupuk dan melalui media sosial ketidaksukaan satu kelompok kepada kelompok lain, saat ini semakin berani diekspresikan di ruang publik. Dikotomi antara “kami” dan “mereka” semakin dipertegas dan dihadapkan secara diametral. Emosi sosial dikembangkan dengan wacana ketidak-adilan sosial dan menempatkan “kami” sebagai korban dan kaum yang terzolimi oleh “mereka” yang berkuasa saat ini. Emosi sosial ini pada gilirannya akan mampu menekan rasionalitas, bahkan termasuk bagi kelompok masyarakat akademis yang seharusnya memiliki alur logika yang runut.  

Menurut Adian (2018), intoleransi ini adalah cikal bakal dari terorisme, baik itu terorisme keras yang diekspresikan dalam bentuk kekerasan, pengeboman, persekusi, atau terorisme lunak yang lebih berupa ekspresi intoleransi secara terbuka dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media sosial. Para politisi yang tujuannya adalah menggalang simpati jelas lebih memilih terorisme lunak dibandingkan terorisme keras yang menimbulkan antipati. Ini jelas lebih sulit untuk diatasi karena tersembunyi dalam keseharian masyarakat. Manifestasinya bisa beragam, misalnya menolak mengakui keberhasilan orang lain, haram memberikan ucapan selamat, menebar fitnah bahkan merekayasa kebenaran.

Jelas ini adalah sebuah virus yang sangat berbahaya bagi keutuhan negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses menuju kehancuran ini akan dibiarkan? Sebagai insan waras yang terdidik, kami seharusnya terpanggil untuk ikut bersuara, meneriakkan kebenaran dan menggalakkan toleransi dalam keberagaman. Politik bukan semata perebutan kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Seperti yang sering dikatakan oleh Hasto Kristyanto, Sekjend PDI Perjuangan, politik itu juga membangun peradaban manusia. Bukankah membangun peradaban bangsa yang lebih kokoh dalam persatuan dan meningkatnya toleransi adalah hakikinya cita-cita pendiri bangsa Indonesia.

Tetapi tentu saja kita tak mungkin berjuang sendiri. Negara juga harus menunjukkan kehadirannya, sebagai institusi yang tidak boleh kalah oleh suara-suara bising sekelompok kecil yang bersuara lantang. Sudah saatnya semua komponen bangsa bersatu dan berdiri di garda terdepan menyuarakan kebenaran yang sesungguhnya. Agar sang pengadil bebas memutus berdasarkan hati nurani. Serta para pamong dan aparat tidak kecut dan ciut hatinya, ketika tiba waktu untuk mengarahkan moncong senapan, demi sebuah kebenaran hakiki dan masa depan republik. Saya percaya pada kata Satyam Eva Jayante, kebenaran yang sejati akhirnya akan menang. Mari kita tingkatkan kewarasan kita demi Indonesia kita tercinta.

Dr. Harris Turino

[1] Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup pada akhir abad ke 5. Kaum sofis sering dipandang secara negatif karena banyak mengajarkan tentang retorika (seni mempengaruhi orang lain), dan manipulasi dengan kadang menghalalkan segala cara untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran menurut versinya sendiri