Maraknya berita palsu atau hoax yang
merajalela di ranah digital kini menjadi rutinitas yang tak terpisahkan dari
kehidupan kita. Bukan hanya media sosial dan situs-situs online, tetapi juga
percakapan melalui group pesan instan dipenuhi oleh berita yang kebenarannya
perlu dipertanyakan. Salah satu contoh yang sedang marak dalam beberapa hari
ini adalah pernyataan seorang tokoh partai politik yang mengatakan bahwa acara
mudik tahun ini seperti “neraka” karena terjebak kemacetan. Padahal faktanya
hampir semua pemudik mengakui bahwa penanganan pemerintah untuk lebaran tahun
ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, bukan hanya
dari sisi relatif lancarnya arus mudik dan arus balik, tetapi juga terkendalinya
harga-harga bahan pokok pada level kenaikan yang wajar.
Fenomena ini menarik untuk dicermati. Begitu mudahnya
orang mengunggah status di media sosial
atau pesan instan tanpa memperdulikan kebenarannya. Jean Baudrillard, seorang
filsuf asal Perancis, menamainya sebagai jaman hiperrealitas, dimana tak ada
lagi batas yang jelas antara ilusi dan kebenaran. Di tengah banjir bah
informasi, orang bahkan dibingungkan oleh mana informasi yang benar dan asli?
Media sosial semestinya dimanfaatkan untuk bersosialisasi
dan berinteraksi dengan menyebarkan konten-konten positif. Sayangnya, beberapa
pihak memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten
negatif. Group pesan instan yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi, bahkan
sering menjadi arena “Perang Baratayudha”. Sesama rekan saling mencaci dan
menyerang pribadi, bahkan sampai menggunakan kata-kata yang sangat tidak pantas
diucapkan oleh insan terdidik. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi
akar penyebab di balik semua ini.
Dalam artikel pendek ini saya mencoba mengupasnya dengan pisau
analisa Antropologi, sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia
dengan mengedepankan dua konsep penting, yaitu holistik dan komparatif (David
Hunter, 1977). Cabang Antropologi tradisional sendiri agaknya sulit untuk
mengupasnya secara holistik dan komparatif. Maka saya sengaja memakai cabang
Antropologi Digital yang memang membahas hubungan antara manusia dan
perkembangan tehnologi digital. Ini adalah cabang Antropologi yang relatif baru,
yang terdiri dari techno-anthropology, digital ethnography, cyberanthropology
dan virtual anthropology.
Dalam Antropologi Digital, fenomena ini pada hakekatnya
adalah melting point (titik temu)
antara tiga kelompok. Yang pertama adalah segerombolan besar manusia bodoh yang
tidak bersikap kritis dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Tentu
ini menjadi sasaran empuk atas banjirnya informasi yang kebenarannya masih
perlu dipertanyakan. Keterbatasan kognitif membuat kelompok ini tidak mau dan
tidak mampu melakukan validasi atas informasi yang mereka dapatkan. Celakanya
mereka berusaha menutupinya dengan ikut menyebarkannya untuk menunjukkan
eksistensi mereka di dunia modern.
Data yang dikemukakan oleh Ketua Masyarakat Indonesia
Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho, menunjukkan bahwa tingkat literasi bangsa
Indonesia adalah kedua terbawah setelah Botswana, sebuah negara terbelakang di
Afrika. Septiaji mengacu pada hasil riset World's Most Literate Nation yang
dipublikasikan pertengahan tahun lalu. Dari 61 negara yang dilibatkan dalam
studi tersebut, Indonesia memang menempati urutan ke-60 soal minat baca
masyarakatnya.
Ironisnya Indonesia ternyata tergolong teraktif di dunia
dalam memposting di media sosial, terutama melalui Tweeter dan Facebook, maupun
di group pesan instan. Sayang yang di postingkan kebanyakan adalah sebuah copy
dan paste, bukan ide orisinalnya. Yang terjadi adalah sebuah simmulacra, yaitu
copy atas copy atas copy atas copy yang tak jelas lagi sumber asalnya, apalagi
kebenarannya. Persetan dengan ontologi dan epistemologinya. Yang penting
posting sebagai bukti eksistensinya sebagai insan post modernist. Akademisi dan
intelektual Muslim, Komarudin Hidayat, menengarai bahwa banyak orang ingin jadi
yang pertama dalam menyebar informasi, mencari sensasi, berlomba-lomba
menikmati kesenangan dalam kebohongan.
Yang lebih parah lagi, para "penulis
jadi-jadian" ini bahkan menciptakan hipertextual dengan menambahkan
"realita" baru ke dalam postingannya, hanya berdasarkan persepsinya
yang terbatas, kadang tanpa pernah menguji orisinalistasnya, apalagi
membayangkan dampaknya.
Kelompok kedua sebaliknya adalah kelompok para sofis[1],
cerdik cendikia yang memiliki kemampuan intelegensia tingkat atas. Bagi mereka
realitas adalah sesuatu yang abstrak dan bisa dibentuk melalui rumusan-rumusan
penalaran bahkan lompatan-lompatan logika yang tidak beraturan. Mereka
sebenarnya paham betul bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia (Edward
Makinon, 1982). Celakanya mereka sengaja menciptakan kebenaran menurut versi
mereka sendiri dan demi kepentingan mereka sendiri (Jason Rodrigues, 2013). Bahkan
ada yang sengaja memelintir realitas demi mengharapkan dampaknya, yang merusak
sendi-sendi kebhinekaan kita. Kepandaian memang akan menjadi sangat berbahaya di
tangan orang-orang yang tidak memiliki nurani.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang haus kekuasaan
dan gemar menghalalkan segala cara demi mencapai kekuasaannya. Dengan kekuatan
ekonomi yang menopangnya mereka memanfaatkan kepintaran kelompok kedua, “si
pencipta realitas semu” untuk mempengaruhi kelompok pertama yang memang
membutuhkan eksistensi dan pengakuan (Alexander Knorr, 2011). Mereka tidak
perduli atas dampak segregasi yang tercipta di masyarakat dan kerusakan pranata
sosial yang santun dan toleran, yang hakikinya adalah ciri khas bangsa
Indonesia.
Intoleransi sengaja dipupuk dan melalui media sosial ketidaksukaan
satu kelompok kepada kelompok lain, saat ini semakin berani diekspresikan di
ruang publik. Dikotomi antara “kami” dan “mereka” semakin dipertegas dan
dihadapkan secara diametral. Emosi sosial dikembangkan dengan wacana
ketidak-adilan sosial dan menempatkan “kami” sebagai korban dan kaum yang
terzolimi oleh “mereka” yang berkuasa saat ini. Emosi sosial ini pada
gilirannya akan mampu menekan rasionalitas, bahkan termasuk bagi kelompok
masyarakat akademis yang seharusnya memiliki alur logika yang runut.
Menurut Adian (2018), intoleransi ini adalah cikal bakal
dari terorisme, baik itu terorisme keras yang diekspresikan dalam bentuk kekerasan,
pengeboman, persekusi, atau terorisme lunak yang lebih berupa ekspresi
intoleransi secara terbuka dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media
sosial. Para politisi yang tujuannya adalah menggalang simpati jelas lebih
memilih terorisme lunak dibandingkan terorisme keras yang menimbulkan antipati.
Ini jelas lebih sulit untuk diatasi karena tersembunyi dalam keseharian
masyarakat. Manifestasinya bisa beragam, misalnya menolak mengakui keberhasilan
orang lain, haram memberikan ucapan selamat, menebar fitnah bahkan merekayasa
kebenaran.
Jelas ini adalah sebuah virus yang sangat berbahaya bagi
keutuhan negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah proses menuju kehancuran
ini akan dibiarkan? Sebagai insan waras yang terdidik, kami seharusnya
terpanggil untuk ikut bersuara, meneriakkan kebenaran dan menggalakkan
toleransi dalam keberagaman. Politik bukan semata perebutan kekuasaan, apalagi
dengan menghalalkan segala cara. Seperti yang sering dikatakan oleh Hasto
Kristyanto, Sekjend PDI Perjuangan, politik itu juga membangun peradaban
manusia. Bukankah membangun peradaban bangsa yang lebih kokoh dalam persatuan
dan meningkatnya toleransi adalah hakikinya cita-cita pendiri bangsa Indonesia.
Tetapi tentu saja kita tak mungkin berjuang sendiri.
Negara juga harus menunjukkan kehadirannya, sebagai institusi yang tidak boleh
kalah oleh suara-suara bising sekelompok kecil yang bersuara lantang. Sudah saatnya
semua komponen bangsa bersatu dan berdiri di garda terdepan menyuarakan
kebenaran yang sesungguhnya. Agar sang pengadil bebas memutus berdasarkan hati
nurani. Serta para pamong dan aparat tidak kecut dan ciut hatinya, ketika tiba
waktu untuk mengarahkan moncong senapan, demi sebuah kebenaran hakiki dan masa
depan republik. Saya percaya pada kata Satyam Eva Jayante, kebenaran yang
sejati akhirnya akan menang. Mari kita tingkatkan kewarasan kita demi Indonesia
kita tercinta.
Dr. Harris Turino
[1]
Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup pada akhir
abad ke 5. Kaum sofis sering dipandang secara negatif karena banyak mengajarkan
tentang retorika (seni mempengaruhi orang lain), dan manipulasi dengan kadang
menghalalkan segala cara untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran menurut
versinya sendiri