Selasa, Juli 10, 2018

Quo Vadis Ekonomi dan Politik Indonesia

Puncak peradaban manusia adalah kemampuan untuk bekerja sama, bukan hanya melakukan dan memenangkan persaingan. Itulah yang dikatakan Prof. Djisman Simandjuntak dalam acara Makan Malam Bersama Rektor Universitas Prasetiya Mulya. Ini juga sejalan dengan teori koopetition (kemitraan strategis antar pesaing) yang awalnya dipelopori oleh John Forbes Nash dalam Game Theory (1944), dan lalu banyak dikembangkan oleh Dagnino dan Padula (2002). Yang menarik adalah bahwa bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang memiliki jiwa gotong royong, saat ini mengalami defisit yang luar biasa untuk mampu bekerja sama, apalagi bekerja sama dengan pesaing. Budaya insularisme (munculnya banyak sekat-sekat) terutama primordialisme dan politik identitas membuat defisit kerja sama semakin melebar.

Padahal tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini bukan hanya tantangan domestik, tetapi sudah menjadi tantangan global. Kalau defisit ini dibiarkan, maka bisa dipastikan Indonesia tidak akan mampu untuk bersaing di kancah internasional. Apalagi kemajuan tehnologi dan disrupsi ekonomi dengan berbagai varian model bisnisnya menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dielakkan oleh bangsa manapun juga.

Pada tataran global, sebenarnya ekonomi dunia saat ini sudah mulai bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap dampak dari buritan krisis sub prime mortgage tahun 2008. Pertumbuhan rerata ekonomi dunia saat ini berada pada kisaran 3.8%, suatu angka yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi normal di kisaran 3.0 – 4.0%. Memang dari sisi perdagangan internasional, pertumbuhannya belum mencapai level 7.5% seperti masa pra krisis. Saat ini perdangangan internasional masih tumbuh pada level 4.7%. Angka ini sudah sebenarnya sudah cukup bagus.

Indikator-indikator pendukung lainnya adalah mulai naiknya harga barang-barang komoditas seperti batu bara, CPO, baja, timah dan barang komoditas lainnya. Sebagai produsen dan net eksporter produk-produk komoditas, Indonesia tentu diuntungkan dengan kenaikan ini. Tetapi pertumbuhan ekonomi memang tidak selamanya membawa dampak positif. Ikutan negatifnya adalah kenaikan tingkat suku bunga akibat tekanan inflasi, ketika tingkat pengangguran menurun.

Secara berkala, Amerika sudah mulai menaikkan tingkat bunga Fed Fund, yang saat ini sudah berada pada level 2.0% dan ditargetkan akan menjadi 2.5% pada akhir tahun 2018. Kenaikan tingkat bunga ini tentu memberikan tekanan tersendiri bagi Indonesia yang memiliki total hutang luar negeri di kisaran USD 650 miliar, di mana separuhnya adalah hutang swasta. Walaupun tingkat hutang ini masih aman bila ditinjau dari besaran utang dibandingkan dengan GDP Indonesia (kurang dari 30%) maupun dari sisi solvabilitas jangka panjang dan likuiditas jangka pendek, tetapi tetap kenaikan tingkat bunga ini menyebabkan naiknya beban hutang yang harus dibayarkan oleh pemerintah dan swasta.

Yang menarik adalah bahwa hampir semua indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan ada pada kisaran 5.2% (OECD report 2018) dan bahkan tahun depan di tahun politik pertumbuhan ekonomi diperkirakan naik menjadi 5.4%. Lembaga-lembaga pemeringkat dunia juga sepakat menempatkan Indonesia pada “investment grade”. Pelemahan kurs rupiah dan penurunan harga saham masih bisa dipahami sebagai gejolak jangka pendek yang bukan hanya melanda Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya pemicu dari membaiknya indikator ekonomi makro? Mudah ditebak, penyebabnya adalah besarnya pengeluaran sosial pemerintah (social expenditure) dalam bentuk dana BPJS, dana pembangunan desa, dana perimbangan daerah dan tentu saja kenaikan harga komoditas serta mulai dipetiknya hasil investasi di bidang infrastruktur yang sudah mulai ditanam dalam 3 tahun terakhir. Perlu disadari bahwa dampak dari pembangunan infrastruktur ini selalu bersifat lagging (ketinggalan) dan efeknya baru akan dirasakan 3-5 tahun setelah pembangunan dimulai.

Nah untuk memenangkan kancah persaingan global, ada dua hal yang mutlak harus dicermati. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dipacu lebih tinggi lagi agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap (jebakan kelas menengah). Seperti yang diajarkan dalam teori dalam Ilmu Fisika, diperlukan kecepatan minimum tertentu agar suatu obyek bisa keluar dari orbitnya. Tingkat kecepatan itu memang berbeda untuk masing-masing negara. Tetapi belajar dari kesuksesan beberapa negara yang sudah mampu keluar dari middle income trap, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi pada kisaran mendekati atau lebih dari double digits untuk satu periode waktu yang cukup panjang. Untuk menyokong pertumbuhan ekonomi ini maka pembangunan infrastruktur mutlak terus untuk digalakkan. Tidak mungkin suatu negara memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan bila tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Infrastruktur ini adalah sebuah syarat perlu, bukan syarat cukup.







Syarat cukupnya adalah yang kedua, yaitu kestabilan politik. Tanpa adanya kestabilan politik, tidak mungkin investor asing maupun domestik akan menanamkan modalnya di tanah air. Padahal investasi inilah sumber penopang pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Kestabilan politik inilah yang sedang diperjuangkan oleh PDI Perjuangan sebagai partai penyokong utama pemerintah. Seperti dijelaskan oleh Sekjend PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, politik itu tidak semata adalah perebutan kekuasaan belaka. Politik adalah membangun peradaban. Politik yang didasarkan pada kerja sama untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang dijabarkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945. Kesadaran elit politik untuk bekerja sama membangun NKRI yang bhinneka berdasarkan Pancasila mutlak diperlukan. Apapun pilihan politiknya, asal demi kesatuan Indonesia, patut didukung. Maka mari kita gunakan hak pilih kita secara cerdas, demi masa depan anak cucu kita.