Kamis, Agustus 23, 2012

Day 6

Day 6 - August 22, 2012 Semalam aku ndak bisa tidur nyenyak, mungkin gara-gara tertimpa angin dingin semalam di Niagara Falls. Terpaksa pada pukul 3 pagi saya menenggak lagi sebutir melatonin dan setengah jam kemudian sudah hijrah ke awang-awang. Akibatnya aku bangun agak kesiangan, yaitu 6.30. Dari jendela kamar Hotel Radisson saya menyaksikan terbitnya matahari pagi yang kemerah-merahan. Jiwa fotograferku terusik, sayang mata masih sepet banget dan ndak mau kompromi. Terpaksa ndak jadi jeprat-jepret karena waktunya juga mepet. Tepat jam 8 pagi kami dijemput rombongan yang menginap di Hilton dan langsung menuju Niagara Falls. Pemandangan Niagara Falls di waktu pagi jauh lebih fantastis dibandingkan dengan semalam. Jutaan liter air tertumpah setiap detik dari 2 air terjun tersebut. Yang kanan namanya Bride Felt Falls yang konon nama itu diambil dari nama calon pengantin wanita yang bertahun-tahun menunggu calon suaminya yang tak kunjung tiba. Dia akhirnya bunuh diri dengan melompat ke air terjun tersebut, sehingga namanya diabadikan karena arwahnya dipercaya sebagai penunggu air terjun Niagara. Kok mirip dongeng Nyi Loro Kidul di Jogja ya. Niagara Falls adalah salah satu air terjun yang terbesar dan terindah di dunia. Air terjun lainnya yang juga tidak kalah fantastisnya dan pernah saya kunjungi adalah Iguana, yang terletak di perbatasan 3 negara, Brazil, Argentina dan Chile. Dulu waktu tinggal di Goias, Porto Alegre, South Brazil untuk training kulit, saya pernah mengunjungi air terjun tersebut. Bahkan pernah melihat air terjun tersbut dari ketiga sudut pandang negara dengan menaikki chopper. Itu udah lama sekali, mungkin sekitar tahun 1995. Seingetku Iguana juga tidak kalah indah dibandingkan dengan Niagara Falls. Setelah mengantri selama 15 menit, kami semua diberi jas hujan warna biru bertuliskan Maid of the Mist dan menaikki kapal yang akan mengitari kedua air terjun tersebut dari dekat. Benar seperti kata Mantan Dekan FTJE, Dr. Ferryanto yang memang pernah tinggal di Canada dan sekarang menjadi salah satu eksekutif di Novartis, bahwa pemandangan akan jauh lebih fantastis bila kita melihat dari kapal. Ternyata tidak mudah mengambil gambar Niagara Falls dari dekat karena sudut pengambillan gambar yang terbatas akibat banyaknya penumpang kapal yang saling berdesakan dan butiran-butiran air yang tumpah. Akibatnya lensa dan bodi kamera basah kuyup. Rekan sesama tour saya yang pakai DSLR Nikon kameranya langsung ngadat kesembur butiran-butiran air yang emang cukup deras. Saya sih ndak kawatir soal lensa dan kamera tersebut karena hakekatnya 1Dx dan lensa L series sudah water proof. Ketika semakin dekat ke air terjun dan semburan air juga semakin menggila, ndak ada satu turispun yang masih motret. Semua menyimpan kamerannya di balik jas ujan. Inilah kesempatannya. Saya jeprat-jepret karena sudut pandang lebih leluasa. Ternyata di sampingku juga ada orang yang "nekad dan gila" juga ikutan motret. Saya lirik sekilas ternyata agamanya sama-sama Canon. Setelah kapal menjauhi Niagara Falls, kami sempat berbincang. Dia adalah rombongan tour lain dari Surabaya, dan yang menarik kameranya ternyata sama-sama Canon 1Dx. Pantesan dia ndak takut ama air. Yang lebih menarik lagi nomer seri kamera tersebut 002, sedangkan nomer seri kamera saya 001. Wow satu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Selesai dari Niagara, sambil menunggu bis, kami sempat jeprat-jepret di taman di depan Hard Rock Cafe. Sebenarnya saya pengin motret hanya pemandangannya saja, tapi lagi-lagi tiga cewek yang hidup ama saya selalu berdiri dan berpose bahkan saling berebut untuk dipotret. Ya udah lah, tema motretnya diganti dengan outdoor fotografi. Tepat jam 12 siang kami makan di resto Lotus Garden dengan menu chinese food. Ternyata masakannya lumayan enak lho, mungkin akibat dari banyaknya pelarian ex Hong Kong sebelum tahun 1997, ketika HK akan di hand-over ke China. Saat itu banyak warga HK yang ketakutan HK akan menjadi negara dengan pemerintahan represif seperti China. Maka berbondong-bondong penduduk HK banyak yang mengungi ke luar, terutama ke Canada dan Ausy. Obyek pertama yang kami kunjungi di Toronto adalah CN (Canada National) Tower yang katanya adalah tower tertinggi ketiga di dunia. Kalau di Jakarta yang mirip Monas. Antrian panjang dan mengular menyambut kedatangan kami. Hampir 30 menit hanya untuk mengantri dapat lift dan begitu masuk lift dan naik 1 lantai lift langsung macet. Kelihatannya soal macetnya lift ini bukan hal yang baru, karena petugasnya tampak tenang dan langsung menghubungi pihak security. Dalam 5 menit security datang, buka pintu dan bantu dorong untuk menutup pintu dari depan. Langsung liftnya naik lagi. He.... Ternyata di Canada liftnya juga bisa macet seperti di Indonesia. Waktu menaikki CN Tower, saya jadi ingat Monas. Saya sendiri hanya sekali naik ke Monas. Itupun sudah 32 tahun lalu, yaitu ketika study tour sebagai siswa SD Pius Tegal. Mungkin turis-turis domestik maupun asing yang datang ke Jakarta juga antri pengin naik ke Monas. Suhu udara di Toronto pada akhir musim panas ini cukup ekstrim. Tadi pagi di Niagara City suhu cukup dingin, mencapai sekitar 15 derajad. Jadi saya pakai celana panjang dan jaket. Ternyata hanya dalam 2 jam, ketika mentari sudah mulai mecungul suhu naik drastis menjadi sekitar 28 derajad. Wow, satu perubahan yang menurut saya cukup ekstrim. Di Jakarta perbedaan suhu paling banyak 4 derajad antara siang dan malam. Selesai dari CN Tower kami mengunjungi City Hall. Menurut Tour Leader ada 2 City Hall, yaitu yang lama dan yang baru. Yang lama bangunannya tampak antik dan sekarang dipakai untuk gedung Pengadilan kota Toronto. City Hall yang lama didirikan tahun 1838 ketika Canada masih di bawah koloni Inggris. Sedangkan City Hall yang baru bentuknya sudah merupakan gedung modern. Sepulang dari City Hall istri saya dan adiknya, Tutik Ariani sudah mencar duluan dari tour dan janjian dengan So Theresia Fenny Soraya. Dia mau mencari boutique Mac karena mau cari beberapa jenis kometik Mac Pro yang memang tidak dijual di Indonesia atau bahkan di negara-negara Asia lainnya. Thanks Fenny yang sudah menyempatkan diri untuk menemani Susy dan Tutik. Anak-anakku, Gaby dan Eugenia serta anak-anaknya Tutik, Phillips dan Jeanice nyusul mereka belanja bersama suaminya Tutik, Subekti, sehabis makan malam di Restaurant Thailand. Dasar perempuan emang demennya belanja. Saya sendiri melanjutkan tour ke University of Toronto, yang merupakan universitas tertua di Canada. University of Toronto terletak di tengah kota, hanya berjarak kira-kira 1.5 km dari pusat kota Toronto. Menurut mahasiswa kedokteran yang saya ajak ngobrol, total luas lahan universitas ini sekitar 70 ha, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan kampus Universitas Indonesia Depok yang mencapai lebih dari 250 ha. Universitas ini didirikan tahun 1827 sebagai King College, sebuah institusi pendidikan pertama untuk higher education di Canada. Secara akademis University of Toronto sebagai research university berhasil mengembangkan penelitian dan banyak mendapatkan penghargaan kelas dunia di bidang medis, diantaranya penemuan insulin pada tahun 1921 dan yang pertama kali menelorkan konsep stem cell tahun 1963. Kami mengunjungi salah satu gedung tertuanya yang digunakan oleh Faculty of Medicine. Di samping gedung itu terpampang plakat pernghargaan atas penemuan insulin yang merupakan salah satu breakthrough dalam dunia pengobatan diabetes. Hampir semua anggota tour yang lain kelihatannya tidak berminat untuk melihat-lihat lebih lanjut. Tetapi bagi saya benar-benar merasa "feel at home". Sebagai seorang Faculty Member sejak 1998, universitas adalah rumah bagi saya dan profesi sebagai dosen adalah panggilan batin yang benar-benar saya hayati dan nikmati. Itulah yang mendorong saya memutuskan untuk merampungkan studi sampai paripurna di jenjang doktoral pada tahun 2008. Mungkin jiwa sebagai seorang faculty adalah turunan dari ibu saya yang dulunya juga seorang guru, walaupun hanya guru bahasa Inggris di sekolahan China di Tegal. Sayang saya tidak berkesempatan mengunjungi gedung-gedung fakultas lain karena waktunya sangat terbatas. Konon Faculty of Art and Science adalah fakultas paling favorit di Uni of Toronto di samping tentu saja Faculty of Medicine. Sepulang makan malam kami check ini di hotel Toronto Don Valley yang dulu namanya Crown Plaza dan setelah mandi saya dijemput oleh dua senior saya beserta istri masing-masing, yaitu koh Robert (ftje 1976) dan koh Istanto (ftje 1975). Saya dan istri diajak ngopi di dekat hotel, yaitu Tim Horthon. Kami ngobrol layaknya sahabat lama yang lama tak bersua, padahal emang sebenarnya sepanjang hidup saya, perjumpaan saya secara langsung dengan om Robert hanya kurang dari 6 jam, yaitu waktu Om Robert berkunjung di Jakarta tahun lalu. Sisanya hanya komunikasi via ftjenet. Itulah hebatnya ftjenet, bisa mempersatukan lintas angkatan, lintas benua, lintas ras dan agama serta lintas kasta. Saya yakin jarang ada ikatan almamater yang bisa seerat dan sehebat ini. Penyambutan yang sangat hangat dari senior berdua membuat kami terharu. Di belahan dunia lain ini, di negeri kulkas, kami merasa memiliki saudara. Terima kasih Om Robert dan Om Istanto. Sayang saya tidak sempat ketemu "tuhan" Djoni (ftje 1972) karena kesibukan beliau. Ada satu hal menarik waktu kami nyeruput kopi sambil ngobrol. Secara sekilas saya perhatikan, dari 9 meja pengunjung kafe tersebut tidak ada satupun yang merupakan penduduk asli, maksudku bule Canada. Semuanya orang asing walaupun mungkin sudah menjadi WN Canada seperti Om Robert. Di belakang, samping kiri, samping kananku adalah orang item. Dua meja yang di sudut depan kiri orang China. Ada orang Amerika Latin yang ngomongnya pakai bahasa Spanyol. Mungkin orang Argentina atau Uruguay/Paraguay. Di samping kananku 2 orang cewek yang mukanya mirip orang Brazil, tapi menurut Om Robert adalah orang Guyana, yaitu keturunan India yang dibawa oleh Inggris. Busyet dah yang satunya cuantik sekali, sampai aku bolak-balik curi-curi pandangan mata. Kalau terlalu nengok khan ndak enak ama para istri yang juga lagi asyik ngobrol. Menurut istrinya Om Robert, di Toronto memang 55 persen dari 2.1 juta penduduknya adalah imigran. Sisanya yang "orang lokal" malahan banyak tinggal di luar kota Toronto. Kondisi inilah yang menyebabkan tingkat rasialisme di Canada pada umumnya atau Toronto pada khususnya, relatif boleh dikatakan tidak ada. Berbeda dengan di Ausy yang konon lebih tinggi tingkat rasialisnya, walaupun tentu juga di Indonesia. Indahnya sebuah "Unity in Diversity", ke-binneka ika-an yang sebenarnya. Tepat jam 11 malam kami balik ke hotel dan siap-siap molor agar punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan besok ke Montreal. Sekali lagi thanks atas penyambutan Om Robert dan Om Istanto.