Sabtu, Agustus 25, 2012

Day 7

Day 7 - August 23, 2012 Semalam aku tidur nyenyak sekali, walau tanpa melatonin. Mungkin badan udah terlalu lelah dihajar perjalanan tour selama 6 hari. Setiap hari angkut koper dan pindah dari 1 hotel ke hotel yang lain. Program 6 - 7 - 8 menjadi kegiatan rutin tiap hari. Buat saya yang golongan bangsawan (bangsa-ne wong tangi awan) ini sangat memberatkan. Di Jakarta saja saya tiap hari bangun rata-rata jam 7.00 - 7.30 pagi. Tentu saja kecuali kalau maen golf, jam berapapun bangun tanpa sungkan. Itulah anehnya golf. Aku jadi ingat kata-kata Prof Komarrudin Hidajat waktu kami main golf bersama di Jagorawi. "Ada 3 hal yang bisa membuat orang Indonesia menjadi tepat waktu secara sukarela, yaitu berbuka puasa, ambil gajian dan maen golf. Lainnya seperti jam masuk sekolah, jam masuk kantor bahkan jam sholatpun tidak dijalani dengan sukarela." Bener juga ya. Kalau mau golf bangun pagi rasanya langsung seger. Kalau ini, masya allah, kalau bisa molor dikit lagi barang 5 - 10 menit lagi rasanya adalah satu kemewahan. Tapi khan kalau aku terlambat akan mengganggu rombongan lain. Sampai saat ini selama 7 hari, kami semua relatif on time dengan rutin 6 - 7 - 8. Kerutinan yang lain adalah menu sarapan pagi. Tiap hari tanpa kecuali, selama di US dan Canada menu sarapannya adalah scrambled egg or kadang ada omelete, bacon, sausage, roti dan minum orange juice dan kopi. Tidak kurang tidak lebih. Pagi ini ketika turun ke resto hotel Toronto Don Valley, menunya juga persis sama lagi. Benar-benar membosankan. Aku sama sekali ndak selera lagi makan. Pagi ini aku cuman ambil beberapa potong buah, juice jeruk dan menyeruput 2 cangkir kopi hangat. Ndak lebih dan ndak minat makan lainnya. Soal rutinitas makan pagi, waktu aku kecil di Slawi, Tegal, tiap hari aku juga makannya rutin, yaitu nasi sambel goreng Ke Hiap, nasi bogana Ngkim Sia Ye, nasi lodeh atau ketan lodehnya Yu Tuti. Kalau sore makan gorengan tahu Yu Simah. Itu terus selama bertahun-tahun dan tidak pernah bosan. Mungkin memang selera saya adalah selera ndeso, jadi ama hal-hal yang berbau ndeso ndak cepet bosen. Ini baru 7 hari makan "American Breakfast" aja udah ndak selera sama sekali. Soal omelete, aku jadi ingat kisah ketika kami baru menikah dulu. Aku pernah diajak makan pagi di hotel oleh kakakku dan salah satu menunya adalah omelete. Menurutku saat itu omelete adalah menu yang sangat-sangat mewah dan enak sekali rasanya. Kenangan soal keenakan omelete membekas kuat di benakku. Maklum selama di Slawi/Tegal dan kuliah di Salatiga, cuman ngerti ndog ceplok (telur mata sapi) dan ndog dadar (telur dadar). Beberapa waktu kemudian ketika aku makan berdua istriku di RM Singapore di Batu Ceper aku inget soal omelete. Selesai makan aku pengin tambah pesen omelete. Aku masih inget, harganya waktu itu Rp. 7000,-. Kami berdiskusi lama tambah ndak ya, tambah ndak ya. Pengin nyobain omelete tapi kok mahal sekali. Akhirnya kami memutuskan untuk "nekad" tambah omelete dan itulah omelete paling enak di dunia. Itu juga pertama kalinya aku dan istriku makan "mewah" dengan bayar sendiri di Jakarta. Sebelumnya kalau makan enak selalu diajak dan dibayarin oleh ciciku Esther dan koh Frankie. Maklum itu adalah tahun-tahun pertama kami merintis jalan hidup di belantara Jakarta. Thanks oh frank n Cie Hoen. He... Kok jadi nostalgia sih. Sekarang kembali ke soal tour. Pagi ini acara tournya bakalan membosankan karena kami harus menempuh perjalanan panjang dengan bus dari Toronto ke Ottawa yang jaraknya sekitar 510 km, lalu setelah makan siang dan City Tour di Ottawa lanjut lagi ke Montreal yang jaraknya sekitar 215 km dari Ottawa. Berarti kalau aku hitung-hitung total hampir 750 km lewat high way. Betapa membosankannya. Mr. Young, driver bus kami dari mainland China, bakalan kerja keras hari ini. Sepanjang perjalanan paruh pertama Toronto - Ottawa, istri dan anak-anakku tidur terpekur. Si Om yang biasa begitu naek bisa langsung molor juga bahkan sudah menyulingkan ngoroknya sebelum kita sempat masuk ke highway. Aku sendiri ndak bisa tidur dan celakanya ndak punya akses internet. Aneh ya, di negara semaju Canada tidak disemua tempat bisa dapat wifi gratis. Bahkan yang jual kartu pra bayar telepon pun belum aku jumpai. Di Indonesia soal ini rasanya jauh lebih maju. Hampir di setiap cafe, mall, convenience store selalu ada wifi gratis. Kartu SIM pradana juga mudah dibeli di setiap sudut kota, bahlan dengan harga yang sangat murah. Bahkan menurut Om Robert, ftje senior yang sudah jadi warga negara Canada, dia terkejut banget waktu berkunjung ke Indo beberapa waktu lalu dan melihat tungkat becak di kampung (kota kecil) di Indonesia sudah pakai handphone. Jangan-jangan malahan juga punya akun facebook or tweeter. He.... Satu hal yang aku amati selama jalan di highway adalah truk-truk besar 18 roda. Bentuk kepala truknya gedhe banget bila dibandingkan dengan truk-truk di Indonesia. Bukan cuman gedhe tapi keren. Ntar kalau pas berhenti di pempat peristirahatan akan aku jepret. Aku kok seneng lihat truk-truk tersebut. Wow very lucky. Di pemberhentian setelah 2 jam perjalanan dari Toronto kebetulan tidak terlalu jauh dari parkiran bis kami ada beberapa truk "kepala gedhe" yang sedang parkir. Aku langsung ambil gear dan jeprat-jepret. Kebetulan ada satu supir truk yang pakai udeng-udeng di kepala seperti bangsa Sigh yang bersedia berpose di depan truknya. Bahkan satu supir truk "bule" lainnya mengijinkan Gaby untuk naik ke dalam truknya dan berpose di balik pintu kemudi dan juga berpose bersama Gaby. Aku juga langsung ajak Eugenia berpose di samping truk. Dia memang paling senang bisa disuruh bergaya dan difoto. Semalam saja dia menolak waktu saya ajak keluar minum bareng Om Robert dan Om Istanto karena dia mau menyaksikan proses seleksi Miss Canada yang kebetulan memasuki tahap penjurian dan dilaksanakan di kolam renang hotel. Betah dia menyaksikan para calon Miss Canada berlenggak-lenggok merajut mimpi menjadi orang tercantik se Canada. Sekilas saya sempat melongok dan kelihatan bahwa yang namanya calon Miss Canada tidak semuanya "bule". Bahkan mungkin separuhnya adalah orang kulit hitam, kuning, merah dan bukan si kulit putih (bule asli Canada). Ini menunjukkan Canada memang bangsa multi etnis. Kembali ke soal truk berkepala besar, aku juga sempat melongok ke dalam truk tersebut. Ternyata di belakang jok pengemudi ada satu ruangan yang cukup lapang sebagai kamar tidur pengemudi. Trucknya juga dilengkapi dengan peralatan modern seperti AC, GPS dan handy talky dan audio video. Kursi pengemudinya juga kentul-kentul, kelihatan nyaman diduduki. Kenapa di Indonesia ndak ada truk semewah itu ya. Menurut ipar saya yang juga seorang pengusaha truk, di Indonesia didominasi oleh truk buatan Jepang dengan merk Hino, Nissan, Mitsubishi, Isuzu dan sebagian Mercedez. Semuanya adalah tipe truk bercucuk ceper, tidak seperti truk buatan US yang hidungnya mancung. Di Indonesia juga mulai ada beberapa merk Scania ex East Europe dan merk-merk China, walaupun jumlahnya masih sedikit. Yang membedakan hidung mancung dan pesek adalah posisi mesinnya. Di truk-truk buatan Amerika yang hidungnya mancung, mesinnya terletak di bagian depan yang mancung. Sedangkan truk buatan Jepang dan Eropa yang pesek mesinnya terletak di bagian bawah. Rata-rata kapasitas mesin truk-truk 18 roda buatan Jepang yang beredar di Indonesia adalah 6500 - 7500 cc. Saya tadi ndak sempet nanya berapa kapasitas mesin untuk truk Amerika. Memasuki kota Ottawa tepat jam 1 siang, kami langsung makan siang di Thai Food di dekat down town. Kota Ottawa adalah ibukota Canada dengan penduduk sekitar 900.000 orang. Pemandangan gedung-gedung tua dan artistik mewarnai keindahan kota Ottawa. Sayang sekali saya tidak bisa banyak mengeksplor keindahan kota itu lewat jepretan kamera karena rombongan tour digiring untuk shopping di mall di belakang hotel Westin. Buat saya shopping ini adalah acara yang paling menjengkelkan. Kalau sekedar shopping, apa bedanya dengan di Jakarta, bahkan mall-mall di Jakarta jauh lebih indah, megah dan besar dibandingkan mall di Ottawa. Tapi perempuan (istri dan anak-anak) memang punya logikanya sendiri. Bagi mereka shopping is part of their life. Seolah kalau pergi keluar negeri dan ndak shopping maka dunia akan berhenti. Kalau cowok masuk ke satu toko pasti karena ada barang yang dibutuhkan dan pengin dibeli. Kalau cewek logikanya kebalik, mereka masuk ke toko karena barang kali ada yang bisa dibeli. Perbedaan itu emang mungkin sudah kodrati. US Dollar ternyata tidak bisa diterima sebagai alat pembayaran di mall. Saya tidak mengerti policy di baliknya, mungkin peraturan pemerintah memang membatasi transaksi domestik harus dengan mata uang asing. Setelah belanja terpaksa pembayaran dilakukan dengan kartu kredit. Dan kartu kredit Indonesia ternyata sama sekali tidak bermasalah digunakan, selama sudah melakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada provider penerbit kartu kreditnya sebelum keberangkatan. Saya masih ingat dulu jaman krismon saya pernah mengalami seluruh kartu kredit yang saya miliki tiba-tiba ditolak oleh pihak hotel di kota Rio de Janiero Brazil. Padahal saat itu saya tidak memiliki dana tunai yang cukup. Terpaksa ngutang dulu ama staf lokal Brazil. Kesan saya akan kota Ottawa adalah indah dan damai. Berjalan menyusuri kota Ottawa terasa lebih merasa aman dibandingkan dengan waktu jalan di Holliwood LA maupun di New York. Saya yakin tingkat kejahatan di kota Ottawa jauh lebih rendah dibandingkan dengan LA apalagi NY. Mungkin karena jumlah penduduknya yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan LA ataupun NY. Bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kota Semarang. Mungkin hanya sebanyak kota Solo aja. Jadi relatif lebih aman. Di samping itu saya perhatikan secara sekilas, ukuran tinggi dan lebar badan rerata orang Ottawa juga lebih kecil dibandingkan dengan orang Amrik. Emang ada beberapa yang kelas "raksasa", tetapi secara rerata lebih kecil. Tepat jam 4.30 sore kami melanjutkan perjalanan menuju ke kota Montreal. Perjalanan sepanjang 215 km ini kami tempuh dalam waktu 3 jam. Sepanjang perjalanan di high way yang lurus dan membosankan saya lihat hamparan kebun jagung berpuluh-puluh km panjangnya. Saya yakin Canada bersama Amrik adalah penghasil janggung yang cukup besar di dunia. Menurut ipar saya, Subekti, penghasil jagung terbesar adalah Argentina dan diikuti dengan US dan Canada. Menjelang memasuki kota Montreal kami sempat berhenti di rest area untuk kencing dan membeli beberapa makanan kecil. Yang menarik adalah penjaganya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan hanya bicara bahasa Perancis. Ternyata memang Canada itu dulunya terbagi menjadi dua, yaitu yang dijajah oleh Perancis dan yang dijajah oleh Inggris. Ini menyebabkan perbedaan mother tounge languagenya berbeda antara Montreal dan Toronto. Tepat jam 8 malam kami memasuki kota Montreal. Ada tiga hal yang mengejutkan saya dan memberikan impresi yang kurang baik tentang kota Montreal. Yang pertama adalah soal kebersihan kota. Dibandingkan tiga kota lainnya yang sudah saya kunjungi, yaitu Niagara Falls, Toronto dan Ottawa, maka Montreal adalah kota yang paling jorok. Sampah bertebaran di jalanan di dekat kami makan malam di China Town. Memang tidak separah di Jakarta, tetapi masih jauh lebih jorok dibandingkan kota lainnya. Yang kedua adalah soal penerangan kota yang relatif lebih remang-remang dibandingkan Ottawa dan Toronto. Yang ketiga adalah soal pengemis dan tukang membersihkan kaca mobil. Ini baru saya temui di Canada. Sudah mirip dengan di Jakarta dengan persentasi yang lebih kecil. Saya menduga perbedaan income di kota Montreal lebih lebar dibandingkan kota lainnya. Sehingga secara logis harusnya tingkat kriminalitas Montreal lebih tinggi dibandingkan dengan kota lainnya. Saya ndak tahu sejauh mana kebenaran dugaan saya, tetapi kesan "lebih tidak aman" saya rasakan dibandingkan ketika di Ottawa dan Toronto. Selesai makan malam kami langsung check in di hotel. Kembali lagi rombongan dipisah tanpa ada penjelasan yang memadai. Kami tinggal di Holliday Inn hotel yang terletak di tengah kota. Saya ndak tahu di mana rombongan yang satunya tinggal. Tumben kali ini tour leader kami cukup cepat menangani soal check in. Kami juga mendapatkan kamar yang connecting. Tapi ternyata saya harus menunggu lebih dari 1 jam karena salah satu kamar saya belum dibersihkan sama sekali. Saya complain langsung ke pihak reception hotel tanpa memberitahukan ke tour leader, karena saya yakin penyelesaiannya akan lebih lama. Di hotel inilah pertama kalinya beberapa dari kami mendapatkan signal wifi yang bisa digunakan untuk mengaktifkan black berry. Sejak masuk Canada wifi hanya bisa buat browsing aja dan ndak ada logo bb nya sehingga ndak bisa buat bbm dan terima email. Anehnya beberapa peserta tour juga tidak bisa mengaktifkan bb connectionnya, termasuk saya. Mbuh kenapa. Sudah saya ukrek-ukrek, copot baterei, up grade aplikasi juga masih budeg. Kok aneh ya, padahal Canada adalah pusatnya Research in Motion (RIM), perusahaan penerbit BB. Akhirnya saya nyerah dan terpekur tepat menjelang tengah malam.