Sabtu, September 01, 2012

Day 13

Day 13 - August 29, 2012 Hari ini seharusnya acara tour adalah Free Program. Tetapi dari pihak ATS menyediakan local guide untuk mengantarkan City Tour keliling kota New York ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi. Ternyata local guidenya adalah Lisa, perempuan Chinese asal Indonesia berusia 53 tahun, yang menjemput kami waktu pertama kali mendarat di New York dari LA. Dia ternyata seorang story teller yang cukup bagus dan penguasaan materi yang diceriterakan pun lumayan luas. Cocok jadi seorang Local Guide yang berpengalaman. Dia sendiri masih bekerja part time di HSBC sebagai Private Banking Officer. Ya di New York saya melihat banyak sekali kantor-kantor yang bergerak di bidang keuangan dan kantor-kantor private banking. Lisa menceritakan kisah awal perjalanannya ke Amerika pada 5 Juli 1993. Dia memilih hidup di Amerika karena menurut Lisa di Amerika jauh lebih aman dibandingkan Jakarta, tidak rasialis, dan ada jaminan kesehatan serta hari tua yang jelas. Tapi dia menyadari sepenuhnya bahwa tinggal di New York tingkat stress-nya tinggi karena kehidupan di New York sangat keras, apalagi di tengah ekonomi Amerika yang sedang melambat pertumbuhannya. Lisa mengatakan bahwa sejak sub prime mortgage crisis tahun 2008 banyak sekali terjadi down sizing di perusahaan. Karena jumlah karyawan dikurangi, naka otomatis beban kerjaan bertambah dan tidak ada penambahan kompensasi. Ibaratnya perusahaan dengan gampangnya mengatakan, "Just do it. (Mirip slogannya Nike). If you don't like, good bye." Menurut Lisa di tataran makro ekonomi, perbaikan indikatornya memang terasa, tetapi di sisi mikro dampak dari sub prime mortgage masih sangat terasa. Itu pulalah yang memicu terjadinya penembakan di Empire State Building 3 hari lalu. Penembakan itu dilakukan oleh seorang karyawan kepada supervisornya akibat dendam kesumat karena dipecat setahun yang lalu dan sampai saat ini belum bisa mendapatkan pekerjaan. Si pelaku, Jeffrey, sengaja memang sudah merencanakan pembunuhan tersebut dan niatnya dilaksanakan setelah dia membuntuti sang supervisor, Steven, turun dari bus di depan 33rd Street. Di samping kedua korban tersebut konon ada beberapa korban lain yang terkena tembakan ketika polisi mengamankan Jeffrey. Wow serem juga ya New York. Menurut Lisa di NY City senjata sebenarnya sudah dilarang. Tetapi kalau di luar kota Lisa bahkan sangat pro terhadap kepemilikan senjata api. Alasannya adalah untuk membela diri apabila terdapat penjahat yang menyatroni rumah kita. Di Indonesia sendiri pemberian ijin pemilikan senjata sudah tidak dikeluarkan. Secara sangat selektif perpanjangan ijin senjata masih diberikan. Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan penyalah gunaan senjata berijin, tetapi kepemilikan senjata api illegal, baik sejata rakitan maupun senjata ex daerah konflik di Aceh, Ambon dan Papua. Dengan duit 10 juta sudah bisa mendapatkan senjata rakitan berikut beberapa butir peluru. Banyak daerah yang menjadi sentra produksi senjata, di antaranya adalah Kuningan dan Cipacing. Sudah dari jaman dulu daerah Cipacing emang terkenal memiliki kerajinan membuat senapan angin. Dengan tehnologi yang sangat sederhana, khan bisa diubah menjadi senjata api. Soal amunisi juga sebenarnya bukan perkara susah, mengingat tingkat kebocoran hasil produksi Pindad masih cukup tinggi dan beberapa oknum Denma di batalyon yang menyalah-gunakan kekuasaannya dengan menjual amunisi. Inilah yang perlu dikendalikan melalu rasia yang intensif dan penerapan hukuman yang berat, yaitu melaksanakan UU Darurat tahun 1955 tentang kepemilikan senjata api illegal. Kembali ke soal City Tour, rencana kami pagi ini akan mengunjungi Lower Manhattan, yaitu daerah Pecinan yang paling besar di New York, bahkan menurut Lisa lebih besar dibandingkan dengan district Flushing yang kami kunjungi kemarin. Kami melewati Holland Tunnel. Terowongan ini terletak 28 m di bawah permukaan Hudson River dan panjangnya 2.608 m. Perbedaan antara Holland Tunnel dan Lindcoln Tunnel adalah Holland menghubungkan New Jersey ke Lower Manhattan sedangkan Lindcold menghubungkan ke Mid Town Manhattan. Holland Tunnel ini dibangun tahun 1927 oleh Clifford Holland dan dalam tunnel tersebut terdapat 84 titik ventilasi, yang mempu melakukan sirkulasi udara secara sempurna dalam 90 detik. Di tempat inilah lokasi shooting film Die Hard. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah China Town. Di sini kami hanya foto-foto sebentar dengan di depan Taipan Bakery dengan latar belakang tempat dan jalanan yang biasa dipakai shooting film-film holliwood yang menggunakan setting China Town, diantaranya yang cukup terkenal adalah Rush Hours. Taipan Bakery adalah toko roti yang dimiliki orang Taiwan dan konon paling enak di seluruh kawasan Pecinan. Lisa sendiri yang tinggal di daerah Flushing, Queen, sering mampir ke Lower Manhattan hanya sekedar untuk membeli roti Taipan. Kami juga sempat melihat Little Italy, yaitu perkampungan orang Italia, di mana juga terdapat banyak kedai-kedai tempat nongkrong sehabis bekerja. Aku jadi ingat film-film Holliwood yang banyak menceritakan soal Mafia Italy, Mafia Amerika Latin, Mafia Russia, Mafia China di samping gengster Amerika. Kenapa ndak terdengar mafia orang kulit hitam ya? Padahal dari sisi jumlah jelas kulit hitam lebih banyak dibandingkan Hispanik, China, apalagi Itali. Aku tidak tahu apakah pada kenyataannya emang tidak ada mafia orang kulit hitam atau mereka tidak memiliki organisasi yang solid. Kami lalu menyusuri tepian sungai menuju ke Pier 17. Di sungai itulah pada tahun 1990 terjadi peristiwa yang heroik ketika seorang kapten pesawat American Airline memutuskan untuk mendarat darurat di sungai akibat kerusakan mesin. Berkat keputusannya yang jitu, tepat waktu, berani dan piawai, tidak ada korban satupun dalam pendaratan darurat tersebut. Di Indonesia juga pernah. Kalau ndak salah di Jogja, tapi aku ndak ingat kasusnya. Pier 17 adalah satu pelabuhan yang cukup menarik. Di depan pelabuhan terdampar sebuah kapal dengan nama lambung tertulis jelas "Peking". Aku tadinya berasumsi ini pasti kapal dari China atau ada hubungannya dengan China. Ternyata dugaanku salah. Kapal itu adalah kapal milik pemerintah German yang dulu digunakan sebagai kapal angkut dalam Perang Dunia 1 dan 2 dan sekarang dibeli ileh pemerintah kota New York untuk dijadikan Musium Bahari. Saya tidak sempat masuk ke musium tersebut. Sebenarnya kalau ada waktu kita bisa naek Boat Taxy, yaitu semacam kapal boat ukuran 50 orang, mengelilingi kota New York dari air. Di Pier 17 inilah beberapa waktu lalu diselenggarakan pesta besar peringatan 100 tahun tenggelamnya kapal Titanic. Saya tidak tahu mengapa pestanya diselenggarkan di New York ya, sementara Titanic khan berlabuh dari London dan sebagian besar penumpangnya adalah orang Eropa. Kunjungan kami berikutnya adalah melihat New York City Hall yang sedang di renovasi, tempat Major Bloomberg berkantor. Local Guide kami yang sekarang sudah menjadi warga negara Amerika sangat kagum dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Major Bloomberg. Di tangan Bloomberg lah daerah-daerah yang tadinya kumuh dan rawan berhasil ditata ulang sehingga tingkat kriminalitas menurun sangat drastis. Pembangunan infrastruktur jalanan, jembatan dan kereta api juga dibangun dan diperluas sehingga mobilitas penduduk semakin dipermudah. Konon bahkan Bloomberg hanya menerima gaji sebesar USD 1.00 per bulan karena dia memang sudah sangat kaya raya dan merupakan salah satu billioner papan atas di dunia. Bloomberg sendiri memilih untuk tidak tinggal di City Mansion, tempat kediaman resmi Walikota New York. Dia memilih tinggal di apartemennya sendiri di seputaran 78th Street. Dari kantor Walikota kami mengunjungi icon kota New York, yaitu Broklyn Bridge. Di New York ada 3 jembatan yang terkenal, yaitu BMW, Broklyn Bridge, Manhattan bridge dan William Burg. Dari ketiganya Broklyn bridgelah yang paling terkenal, setara dengan Golden Gate di Frisco. Yang menarik adalah di Broklyn bridge pengunjung bisa melalui jembatan tersebut dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Kami sempat "mencicipi" jalan sepertiga panjang jembatan sebelum mbalik lagi ke tempat asal karena parkiran bus wisata kami memang di daerah Broklyn. Di jembatan inilah film terkenal Gossip Girl mengambil gambarnya. Dari situ kami mengunjungi JnR satu kompleks pertokoan yang menjual alat-alat elektronik yang terbesar di New York. Tentu saja toko yang pertama saya kunjungi adalah toko kamera. Saya coba menanyakan kamera Canon 1 Dx, ternyata di situ barangnya kosong dan perlu indent selama 2 minggu. Yang sudah keluar adalah kamera Canon G1x yang dibandrol pada harga USD 830. Kalau Canon G12, yang saya pakai sebagai back up, harganya USD 412. Saya membeli 2 keping memory card Extereem 60 Mbps kapasita 64 GB dan 32 GB, masing-masing seharga USD 150 dan USD 89. Ini jauh lebih murah dibandingkan yang aku beli di JPC yang harganya Rp. 1.25 juta untuk 32 GB. Selama ini aku pakai CF Card merk VGen buatan China dan sama sekali tidak pernah ada masalah apapun dengan kamera saya. Kalau yang SD Card emang pernah 2 kali kartu VGen SD card saya bermasalah, tapi yang CF aman. Sebaliknya dengan memory card Extreem CF 60 Mbps 32G kamera saya malahan sempat mati tanpa sebab di Quebec, walaupun setelah saya cabut batere bisa normal kembali. Saya ndak tahu kenapa, tapi pengalaman ini akan saya laporkan ke pak Budianto Iskandar, Direktur PT Primalayan yang menjadi pusat layanan purna jual Canon. Saya coba VGen untuk continous shooting juga ok dan untuk video dalam jangka pendek juga ndak masalah. Emang untuk continous ada jeda waktu buffering sebelum bisa jepret lagi. Lah aku khan bukan fotografer wedding atau sport yang tidak boleh kehilangan moment. Jadi sebenarnya VGen sudah lebih dari cukup. Cuman karena harga Extreem di sini cukup murah, ya ndak ada salahnya nyobain yang bagusan. Aku jadi ingat cemoohan sesama rekan hobbyist, pak Jo Hanapi, "Wong kameranya 1Dx mosok memorynya Vgen. Ibarat naek Ferrari tapi pakai oli Mesran." He... Sesudah shopping elektronik singkat, kami memasuki Gereja St. Paul yang terletak hanya 1 blok dari Menara Kembar WTC yang diserang teroris tahun 2001. Gerejanya tidak terlalu besar, tetapi konon banyak mukjizat yang terjadi di gereja ini. Di antaranya ketika terjadi kebakaran besar di daerah WTC tahun 1984 gereja ini juga sama sekali tidak tersentuh api, padahal beberapa bangunan disekitarnya hangus terbakar. Bahkan saat terjadi robohnya the twin WYC towerpun gereja ini sama sekali tidak rusak. Saya tidak tahu sejauh mana klaim atas "mukjizat" itu benar dan tidak tertarik untuk mendalaminya lebih lanjut. Di gereja inilah konon George Washington mengikuti misa sesudah pelantikan sebagai presiden Amerika yang pertama, dan bahkan jenasah Washington sempat disemayamkan sementara di gerje ini untuk disembayangi sebelum dikubur. Yang menarik gerje ini adalah gereja lintas denominasi, jadi bukan milik aliran tertentu. Di dalam bangunan gereja yang menurut saya sebenarnya cukup sederhana, apalagi bila dibandingkan dengan gereja-gereja tua yang penuh sejarah, dipajang beberapa foto terkait dengan kejadian 911. Ada 2 foto terkenal yang pernah saya baca kisahnya di National Geographic. Yang pertama adalah foto seorang fire fighter yang mukanya penuh debu sedang duduk melepas lelah, setelah bekerja sangat keras menyelamatkan kurban 911. Kalau ndak salah nama fire fighter itu adalah Paul, dan beberapa orang dalam team Paul di pemadam kebakaran terpaksa mengorbankan nyawanya terkena reruntuhan gedung WTC. Foto kedua adalah seorang polisi yang membawa seekor anjing pelacak dengan latar belakang reruntuhan WTC. Di samping foto itu ada tulisan no race, no discrimination. Mungkin pesan dan maksud yang ingin disampaikan fotografer tersebut adalah "tidak ada perbedaan suku atau ras, tidak ada diskriminasi, bahkan anjingpun terlibat, semua bahu-membahu menyelamatkan korban." Selesai dari gereja saya sempat juga melongok mesjid yang dibangun di dekat ground zero, tepatnya di belakang Fulton Centre. Ijin awal yang diberikan oleh Walikota New York saat kejadian Rudy Guilani, dilanjutkan oleh Michael Bloomberg serta disetujui juga oleh Presiden Obama, berhasil mengangkat citra Amerika di mata negara-negara Islam. Pesan yang dikirimkan melalui pemberian ijin tersebut jelasn yaitu "Amerika tidak memusuhi Islam, tetapi akan membasmi teroris, apapun agamanya". Sebenarnya banyak sekali warga New York yang sangat keberatan dengan pendirian masjid tersebut, terutama sanak kerabat para korban 911. Tapi akhirnya pembangunan itu tetap berjalan. Itu mungkin salah satu kehebatan Amerika, bukan hanya mengijinkan, tetapi secara tidak langsung mempropagandakan bahwa Amerika mengijinkan. He.... Ketika kejadian 911, Lisa sudah menjadi warga New York. Dan ketika kejadian dia ada di daerah Mid Town. Tadinya dia pikir itu hanya drama atau proses pembuatan film , tapi dia kaget sekali ketika seluruh fasilitas publik Amerika, termasuk kereta bawah tanah dihentikan kira-kira 30 menit sesudah runtuhnya gedung WTC yang kedua. Dia mengatakan saat itu kepanikan melanda kota New York karena masih belum jelas, mana lagi yang akan dijadikan target sesudah menara kembar WTC dan Pentagon. Banyak sekali gedung seputaran WTC yang ikutan ambrug dan menurut pengalaman Lisa, proses pembersihan puing-puing tersebut memakan waktu total 9 bulan baru bisa bersih. Ketika kejadian itu asapnya masih mengepul selama 2 minggu, dan debunya bahkan terlihat sanpai Flushing dan yang lebih parah lagi adalah bau amis darah dan bau bangkai mayat tercium juga sampai ke Flushing. Kata Lisa selama pembersihan puing-puing, ditemukan semacam bongkahan salib yang berbentuk cross yang sekarang disimpan di musium. Selanjutnya kami menelusuri Mid Town menuju ke Upper Town dan lanjut menuju ke district Harleem di Borough the Bronx. Wow, wilayah inilah yang sebenarnya aku pengin lihat karena selama ini di film-film selalu digambarkan sebagai daerah yang sangat-sangat berbahaya. Bahkan Steven beberapa hari lalu menginformasikan bahwa polisipun takut masuk ke Harleem dan the Bronx. Wilayah Harleem kira-kira terletak di 100th Street sampai 160th Street. Kami sempat melewati Central Park dan kali ini saya mengerti kenapa Central Park disebut sebagai taman kota terbesar di dunia. Ternyata letaknya membentang dari 59th - 110th Street dan membelah East Road dan West Road di tengah-tengah. Makanya dinamakan Central Park. Di Central Park inilah kisah tertinggalnya seorang anak kecil dalam film Home Alone diangkat. Juga film Serendipity. Central Park juga banyak digunakan untuk foto pre wedding dan konsert di tempat terbuka. Bahkan perayaan disetujuinya perkawinan sejenis di kota New York juga dirayakan di Central Park. Jadi di New York orang laki boleh kawin ama laki, demikian pula perempuan. Kebanyakan para pasangan sejenis ini tinggal di 14th - 25th Street. Yang menarik lagi adalah jalanan paling beken di kota New York, yaitu Fifth Avenue juga ternyata terbentang dari bawah sekitar 5th Street sampai ke 160th Street ujung sesudah Harleem. Demikian pula dengan Medisson Avenue. Selama ini bayanganku yang namanya 5th Avenue dan Medisson Avenue ya hanya diseputaran Empire State Building (33rd Street) sampai ke Apple store terbesar di dunia (62nd Street). Kalau lantai atas gedung-gedung di Fifth Avenue kebanyakan adalah office building, maka Madisson Avenue atasnya dalah permukiman. Saya merasakan mulau dari 62nd Street sampai 82rd Street adalah daerah pemukiman mewah. Bloomberg tinggal di 78th Street dan Onassis di 82th Street dan, juga masih banyak lagi sosialita yang tinggal di seputaran daerah tersebut. Kawasan Harleem sendiri terletak di 110 - 160th Street. Daerah Harleem yang kami lalui jauh sekali dari perasaan seram dan menakutkan. Ini seperti bagian-bagian lain dari kota New York aja. Bahkan di daerah inilah lokasi Columbia University. Universitas Columbia termasuk salah satu Universitas terbaik di US, terutama untuk disiplin ilmu Matematika dan Hukum. Presiden Obama sendiri adalah alumni S1 Columbia University sebelum lanjut ke Harvard University untuk menyelesaikan studi S2nya. Menyaksikan suasana kampus Columbia University ya seperti melihat suasana Kampus UI Depok. Jadi selama ini persepsi saya tentang Harleem salah. Harleem tidak semenakutkan yang saya perkirakan. Menurut Lisa, ini juga salah satu prestasi yang dibuat oleh Major Bloomberg. Di seputaran 110 - 130an banyak didominasi oleh orang-orang Hispanik dan Amerika Latin. Sekolah-sekolah Jewish juga banyak di daerah ini. Kehidupan Jewish emang agak tertutup. Tetapi sebenarnya mereka sangat jenius dan banyak sekali parent maupun nobil yang dipegang oleh orang-orang Jewish. Demikian pula di pasar keuangan. Di 135th - 140th Street kelihatan bahwa terjadi percampuran antara penduduk kulit putih dan penduduk kulit hitam. Mulai 140th Street dominasi kulit hitam meningkat. Di sini sudah tidak ada penduduk kulit kuning (Asia) yang mau tinggal. Ketika sudah mendekati ke 155 th Street sudah semakin banyak orang kulit hitam dalam populasinya. Daerah sini sudah termasuk daerah Harleem kelas bawah. Harga apartemen di 155th Street juga sudah sangat murah. 1 bed room apartment hanya berharga USD 110.000, jauh dibandingkan dengan USD 250.000 di 120th Street. Kami sempat berhenti di salah satu perempatan yang sepi di district Harleem untuk mengambil beberapa jepret gambar. Beberapa penyanyi papan atas dunia seperti Lady Gaga dan Byonce bahkan Mantan Presiden Clinton juga tinggal di Harleem. Setelah menyusuri sungai panjang, kami di sambut oleh jembatan kereta api layang yang sudah karatan. Jalan rayanya pun sangat begelombang, jauh sekali kualitasnya di bandingkan dengan Down Town NY. Inilah the Bronx, kawasan yang paling rawan di kota New York. Nama-nama jalan di the Bronx tidak pakai anga, tetapi pakai nama jalan seperti di Indonesia. Di daerah Bronx tidak terlihat sama sekali turis yang berkunjung. Menurut cerita Lisa, kebanyakan orang-orang kulit hitam itu berasal dari Jamaica, Niger dan negara-negara miskin Africa lainnya. Mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan yang layak selain mengandalkan kekerasan otot di jalanan karena faktor pendidikan yang sangat rendah. Padahal di Bronx terdapat universitas terkenal, yaitu Theodore Rhosevelt University serta Fordam University. Keduanya merupakan universitas yang bagus dan mahal serta terletak di jantung kota Bronx. Aku sendiri ndak berani kalau harus kuliah di sini. Seputaran daerah Bronx, terutama di jalan pinggir-pinggirannya emang suasananya lain. Menurut saya agak sedikit menyeramkan karena jalanan relatif sepi. Hanya di sudut-sudut jalan ada orang berkerumun, ndak tahu apa yang mereka bicarakan. Mobil NYPD selalu mangkal di hampir setiap sudut jalan. Dari polisi yang bertugas di jalanan, saya hanya melihat beberapa gelintir yang kulit putih. Sedangkan sisanya kulit hitam. Di jalan utamanya sih cukup rame. Dominasi orang kulit hitam sangat kerasa di sini. Ndak ada lagi yang sipit-sipit. Kami tidak sempat turun dan mengambil gambar suasana kota the Bronx, karena kesulitan mencari parkir dan faktor keamanan. Oya, tranportasi bus yang melayani rute Bronx memiliki kode BX, sedangkan yang menghubungkan antara Bronx dan Manhattan adalah BM. Saya ndak bisa membayangkan kalau harus tiap hari pulang pergi naik kendaraan umum ke daerah Bronx. Terutama ketika musim dingin di mana cuaca cepat gelap dan matahari sama sekali tidak bersinar. Hi...... Tapi kalau saya bandingkan dengan Nigeria, negara di Africa Barat yang paling kerap saya kunjungi, rasanya the Bronx tidaklah lebih menyeramkan. Kehidupan di Nigeria, terutama di kota Lagos dan kota-kota besar lainnya diluar Abuja, sangat keras. Bahkan di Onitsa, ndak ada orang yang berani keluar seleah jam 6 sore, termasuk penduduk lokal. Saya jadi ingat kisah ketika saya pertama kali membawa orang Nigeria berbelanja ke Mangga Dua di Jakarta. Berkali-kali saya mengingatkan bahwa kawasan Mangga Dua itu tidak sama dengan kawasan Plaza Indonesia atau Plaza Senayan. Dengan entengnya dia menjawab, "Harris, I am Nigerian." Dalam hati awalnya saya pikir dia sombong sekali. Tetapi setelah menginjakkan kaki ke Nigeria di tahun 2001, saya baru mengerti kenapa dia berkata seperti itu. Mangga Dua emang ngak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nigeria dalam soal kerawanan. Jalanan turun dari upper town di sekitar jalan 80th sampai 60th Street, di dominasi oleh banyak museum, di antaranya Musium Metropolitan, yang merupakan musium terbesar di kota New York, Salomon Goggleheim, musium khusus milik orang Yahudi, Natural Museum, tempat shooting film Jurassic Park, dan masih banyak lagi. Papan nama jalan di daerah-daerah bersejarah selalu dicat dengan warna Coklat Tua, yang menandakan bahwa di daerah tersebut bangunannya bersejarah dan tidak boleh sembarangan dilakukan perubahan tanpa ijin. Harga tanahnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan yang nama jalannya pakai cat hijau. Dalam perjalanan menuju ke tempat makan siang yang rencananya di bawah Empire State Building, Lisa bercerita mengenai kehidupannya di New York. Buat dia New York is the best karena di NY dia ndak perlu nyetir mobil karena sistem public transportationnya sudah tertata rapi, hanya udaranya yang terlalu dingin ketika winter. Biaya hidup di New York atau Amerika pada umumnya, didominasi oleh mortgage sebagai komponen pengeluaran terbesar. Seperti pada kasus Lisa, dia membeli 2 bed rooms apartemen di daerah Flushing seharga USD 350.000 dan besar cicilan per bulannya sekitar USD 1.600. Biaya maintenance sekitar USD 400. Makan menurut Lisa relatif murah, bahkan lebih murah dibandingkan Jakarta. Budget makan keluarganya sekitar USD 300 untuk berdua bersama suami, karena semua anak-anaknya sudah mentas. Biaya transportasi dengan tiket kereta terusan hanya USD 200 untuk 2 orang. Jadi total biaya hidup mereka berdua sekitar USD 2.500 per bulan. Itu sudah ngirit pool. Empire State Building saat ini adalah salah satu gedung yang paling tinggi di New York. Posisinya akan segera digantikan oleh Freedom Tower yang sengaja dibangun di dekat WTC untuk menggantikan Twin Tower WTC. Kita sebenarnya bisa naik ke lantai tertinggi untuk melihat kota New York dari ketinggian. Tapi saya ndak naik karena bosen lihat kota dari atas dari kurungan kaca. Di gedung inilah terjadi penembakan 3 hari yang lalu. Sampai saat ini puluhan polisi berseragam masih berkeliaran menjaga gedung tersebut. Beberapa orang polisi di nataranya bahkan membawa anjing pelacak untuk membaui sesuatu. Kami makan siang di Hearthland Resto, yang terkenal dengan berbagai variasi menuman birnya. Restorantnya cukup asyik dan interiornya menarik. Makanannya pun luamayan enak. Saya sengaja pesan local premium beer, tapi jujur aja ndak bisa membedakan dengan beer Bintang atau lainnya. Selesai makan dan membeli souvenir di toko souvenir di daerah situ (seputaran 33rd Street), kami diberi waktu 2 jam untuk menikmati belanja di Madisson Avenue seputaran 62rd Street - 54th Street di mana di sini butik-butik kelas atas dunia berjejer memajang barang dagangannya. Di sinilah konon pusat belanja paling elit di Amerika. Di sinilah lokasi shooting film Sex and the City. Jelas di sini didominasi oleh orang-orang kulit putih yang super tajir. Saya pikir waktu 2 jam pasti cukup buat berkeliling dan melakukan window shopping. Eh... Ternyata 1.5 jam dihabiskan untuk mengunjungi satu toko, Tory Burch, dan keluarnya sudah nenteng sepatu, tas dan teman-temannya. Padahal kemarin di Woodbury mereka juga sudah menghabiskan banyak waktu, dan tentu saja uang, di toko tersebut. Saya sebut "mereka" karena emang bukan cuman ibunya, anak-anak juga demen bener merk itu. Buat saya kok rasanya ndak pernah denger ya. Anak-anak dengan enteng menjawab, "Ach daddy kurang gaul sih". Selesai belanja di Madisson Avenue, kami diantar untuk di drop di Macys Mall, yang konon merupakan mall terbesar di dunia. Ini bukan mall kelas top branded seperti Pacific Place atau Plaza Indonesia di Jakarta, tapi lebih mirip dengan Mall Taman Anggrek. Kalau soal mall, saya yakin ndak ada yang menang dibandingkan dengan Jakarta. Menurut statistik, jumlah mall yang ada di Jakarta mencapai 65 buah dan masih ada 13 mall lagi yang sedang dibangun. Kualitasnya pun ndak kalah dengan di luar negeri. Semua merk ternama dunia sudah masuk ke Jakarta. Mall terbesar di Indo, bahkan mungkin di dunia, adalah Grand Indonesia Mall. Maka di mata saya ndak ada yang istimewa dengan Macys. Dari pada kecapaian berkeliaran, akhirnya aku nongkrong aja sendirian di Starbuck Cafe sambil nyeruput double expresso kegemaranku. Tepat jam 10 kami mencari makanan, dan inilah malam terakhir kami di New York.