Kamis, Maret 23, 2017
The Way is Education
The Way is Education
Dr. Harris Turino
Pameo bahwa ibukota lebih kejam dibandingkan dengan ibu tiri benar adanya. Kehidupan di ibukota, seperti Jakarta, memang keras, bahkan sangat keras. Bagi kalangan yang kurang beruntung, tidak memiliki keahlian dan pendidikan apa-apa, terpaksa harus tinggal di kampung-kampung kumuh, bantaran kali, kolong jembatan dan samping rel kereta api. Mereka kebanyakan menduduki tanah secara ilegal, karena memang secara ekonomi tidak mampu untuk membeli rumah yang legal. Mencari pekerjaan pun sangat tidak mudah, dan kalaupun bisa dapat maka gajinya sangat kecil, hanya dalam batasan UMR. Dan itupun sebagian besar akan habis untuk membayar biaya transportasi dan makan. Hampir tidak ada sisa yang bisa dinikmati keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Potret buram kemiskinan di ibukota memang menyeramkan, walaupun persentasinya sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka persentasi kemiskinan absolut nasional yang mencapai 10.86%. Di Jakarta angka kemiskinan absolut mencapai 3.75%. Tetapi persentasinya akan membengkak kalau ditambah dengan golongan masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan absolut. Apalagi kalau ditambah dengan golongan masyarakat yang bisa tiba-tiba menjadi miskin apabila penopang utama tiang keluarganya mengalami musibah.
Bisa dibayangkan, anak-anak dari lapisan masyarakat yang paling bawah di ibukota. Untuk sekedar makan, mungkin masih bisa, tetapi kualitas gizinya jelas di bawah standar gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Lingkungan sosialnya juga kumuh dan jauh dari standar higienis. Di lingkungan seperti itulah anak-anak lahir dan berkembang. Tentu mudah diramalkan bahwa kehidupannya ketika dewasa juga akan tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Sebuah film Hollywood yang menggambarkan kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah Getho, akan selalu terjebak dan tidak memungkinkan mereka keluar dari kemiskinan. Kemiskinan itu akan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Memang sulit sekali buat golongan masyarakat ini untuk mengentaskan dirinya keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar tidak ada resep yang manjur untuk mengatasi kutukan kemiskinan ini? Jelas ada dan jalan satu-satunya adalah melalui pendidikan. The Way is Education. Di titik inilah saya mengagumi sosok seorang Ahok. Sebagai seorang Gubernur, dia rela dicerca, dimusuhi bahkan dibenci oleh orang-orang yang dibelanya. Yang digembar-gemborkan selama ini di media hanyalah penggusuran masyarakat yang tinggal di bantaran kali, atas nama pembangunan. Mereka dipindahkan ke rumah susun, karena memang tidak mungkin melakukan normalisasi kali tanpa memindahkan. Banyak yang mengejek dan menawarkan konsep “menggeser” bukan menggusur, bahkan mengapungkan.
Banyak pula yang mengatasnamakan kemanusiaan dengan mengatakan bahwa masyarakat yang dipindahkan akan menderita secara sosial karena dicerabut dari akar kehidupan sosialnya yang sudah berpuluh tahun dijalaninya. Tidak jarang muncul perlawanan secara masif, seperti pada pemindahan penduduk dari waduk Pluit, Ria-Rio dan Kalijodo. Apa sebenarnya yang sedang dirancang oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan wakilnya Djarot Syaiful Hidayat? Jelas Ahok dan Djarot bukan sedang menyengsarakan warganya dengan menggusur dan menyerahkan lahan gusurannya untuk dibangun mall dan hotel. Lahan-lahan negara yang digusur digunakan untuk normalisasi sungai, membangun ruang-ruang terbuka hijau sebagai resapan, serta membangun ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) seperti dalam kasus Kalijodo.
Itulah yang selama ini banyak diungkap media. Tetapi bukan itu yang membuat saya kagum. Lewat “penggusuran” Ahok dan Djarot sedang memutus lingkaran setan kemiskinan bagi golongan masyarakat yang paling bawah. Penduduk yang tinggal di bantaran kali dan kampung-kampung kumuh dipindahkan ke rumah-rumah susun yang sudah disediakan oleh Pemda DKI. Rumah susun tersebut sudah siap huni dan lengkap dengan segala perabot yang dibutuhkan. Mereka boleh menempati rumah susun tersebut dengan biaya sewa yang sangat murah, seumur hidup. Seluruh penghuni rumah susun diberi jaminan kesehatan dan biaya pendidikan gratis, bahkan diberi tunjangan sebesar Rp. 18 juta per tahun bagi anak-anak yang bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mereka juga dibebaskan dari semua biaya transportasi dengan menggunakan kartu identitas khusus penghuni rumah susun.
Melalui program rumah susun inilah, anak-anak “korban gusuran” akan memiliki masa depan yang lebih cerah. Mereka diharapkan bisa mendapatkan pendidikan sampai ke level perguruan tinggi. Dan dengan bekal pendidikan itulah mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan gaji yang lebih memadai. Fakta menunjukkan bahwa dengan bekal ijazah sarjana, minimal mereka bisa meraih kehidupan yang lebih baik. Merekalah yang nantinya akan mengentaskan orang tua mereka dari kemiskinan. Bukankah ini sebuah program yang sangat mulia. Ini bukan semata soal menata Jakarta menjadi lebih baik, tetapi membangun generasi masa depan bangsa. Di sinilah sebenarnya Ahok dan Djarot menunjukkan bahwa pemerintah hadir dalam membantu masyarakat yang paling bawah untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil lingkaran setan kemiskinan itu bisa dipatahkan, bukan diwariskan ke generasi selanjutnya.
Sayang sekali warga masyarakat, khususnya kelas bawah, kurang memahami hal ini. Inilah tugas dari para kader partai pendukung dan relawan untuk mengkomunikasikan dengan baik. Ini bukan soal kekuasaan buat Ahok dan Djarot. Ini soal rakyat, rakyat dari lapisan yang paling bawah. Buat kita dari kalangan menengah, ndak banyak bedanya, siapapun yang terpilih. Toh kita tidak menikmati sekolah gratis, kesehatan gratis dan transportasi gratis. Kasihan mereka, karena nasib mereka ditentukan oleh pemahaman mereka sendiri. Pemahaman yang salah akan mengantar pada jurang kehancuran. Kalau salah coblos, nangis Bombai pun tak akan mampu merubah nasibmu.