Kamis, Agustus 30, 2012

Day 11

Day 11 - August 27, 2012 Hari ini saya bangun dengan kondisi badan yang kurang nyaman, agak meriang sedikit akibat kurang tidur berhari-hari. Sejak awal tour 11 hari lalu jam tidur saya tekor terus. Sehari paling hanya tidur maksimal 5 jam dan sisanya harus digeledek jalan terus atau nongkrong di atas bus mengikuti jadwal tour yang sedemikian padat. Inilah kelemahan utama dari ikut tour. Kita tidak bisa menikmati lebih di tempat yang kita mau, atau barang mengistirahatkan badan sejenak untuk memulihkan tenaga. Sudah kubayangkan betapa nyamannya pulang ke Jakarta dan pijat 3 jam penuh memanjakan badan barang sehari. Tapi aku baru pulang 3 hari mendatang dan sebelum sampai rumah harus terbang dulu lebih dari 20 jam dengan rute New York - Osaka - Taipei (over nite) and Jakarta. Mamma mia... Pagi ini rute perjalanan kita adalah City Tour di New York City yang merupakan ibukota dari negara bagian New York. Jumlah penduduk di New York City sekitar 9 juta orang. Antara New York dan New Jersey yang terpisah oleh Sungai Hudson dihubungkan oleh 2 kanal, yaitu Holland Tunnel dan Lindcoln Tunnel. Setiap hari menjelang sore kemacetan cukup parah di jalanan memasukki tunnel, sedangkan tunnelnya sendiri sih cukup lancar. Jaman kolonial dulu New York terkenal dengan julukan Big Apple. Julukan ini konon punya dua arti. Yang pertama adalah bentuk New York City kalau dilihat dari satelit emang mirip buah apple. Yang kedua apple itu melambangkan rasa manis (kemakmuran) bagi para penduduknya. Aku jadi ingat kisah Nasaruddin dan Angelina Sondak yang sering menggunakan istilah "Apple Washington" dan "Apple Malang". Kok ndak pakai istilah "Apple New York" ya. Apa gara-gara gambar di uang USD adalah gambar George Washington kali ya. Gimana kabar Nazar dan Angie di tanah air ya? Jangan-jangan malahan susah bebas. Tapi apa mungkin KPK doyan "Apple". Saya yakin pimpinan KPK masih lebih demen jeruk dibandingkan Apple. Makanya mereka "makan jeruk" dalam kasus korlantas Polri. Ternyata istilah "Apple" itu punya sejarah yang berakar sangat panjang, yaitu sejak tahun 1609 ketika Henry Hudson, orang Belanda, pertama kali membentuk koloni di New York sini. Maka dari itu kota ini awalnya diberi nama New Amsterdam. Namanya diubah menjadi New York pada jaman koloni Inggris, yaitu sesudah King Charles II memberikan hadiah tanah New York kepada saudaranya, Duke of York. Nama Hudson saat ini diabadikan untuk nama sungai yang membelah New York dan New Jersey. Kunjungan pertama di kota New York adalah ke Wall Street, tempat di mana pasar saham terbesar di dunia, New York Stock Exchange. Keberadaan NYSE inilah yang menjadikan NY sebagai "ibukota" pasar keuangan dunia. Sementara pasar uang terbesar di dunia masih tetap berada di London, akibat kontribusi Eurodollar yang berkembang pesat sejak Amerika dahulu membekukan seluruh asset Syah Iran di masa perang dingin berkecamuk, ketika Amerika konflik dengan Iran. Kunjungan ke Wall Street diawali dengan melihat patung Banteng Liar di ujung Wall Street. Banteng itu melambangkan kekuatan dan kedigdayaan Amerika, yang walaupun saat ini posisinya tidak sedominan sebelum terjadinya sub prime morgage crisis tahun 2008. Kami sempat foto-fotoan di depan patung banteng, baik dari arah depan, maupun dari pantat banteng. Patungnya emang keker dan gayanya pun petentang-petenteng yang mungkin juga melambangkan Amerika yang menjadi pusat dari kapitalisme dunia. Sengaja patung banteng dipilih karena melambangkan pasar saham yang sedang naik (bullish). Sebaliknya kalau dipasang patung beruang bisa bahaya karena melambangkan pasar saham yang sedang turun (bearish). Banteng kalau menyerang lawan pasti menanduk ke atas. Sedangkan beruang akan menabok dengan tangannya dari atas ke bawah. Gedung NYSE sendiri tidak terlalu megah, dibandingkan dengan gedung-gedung di sekitarnya. Nama "Wall" Street diambil karena jaman dahulu Belanda banyak membangun tembok-tembok untuk melindungi warga Belanda dari serbuan Inggris maupun pemberontakan warga Amerika. Awalnya di seputaran daerah tersebut banyak pedagang saling mempertukarkan barang dagangannya maupun budaknya sampai kemudian diformalisasi menjadi NYSE tahun 1792 melalui Buttonwood Agreement. Di Wall Street juga menjadi tempat bersejarah bagi Amerika karena di sinilah pelantikan Presiden pertama Amerika George Washington pada tahun 1789. Di sini pulalah lokasi penandatanganan "Bill of Right", sekaligus tempat pemakaman Alexander Hamilton, yaitu Menteri Keuangan pertama Amerika yang menjadi arsitek bagi sistem keuangan Amerika pada masa itu. Alexander Hamilton dimakamkan di gereja Trinity di kawasan Wall Street. Ada satu kejadian menarik di depan NYSE. Ketika motret-motret saya lihat Susy, bini saya, sedang serius berbicara dengan seorang perempuan berpenampilan rapi layaknya seorang profesional. Perempuan itu bernama Chaterine McDermott, VP BNY (Bank of New York) Mellon, sebuah bank ternama yang berkantor di Wall Street. Ternyata Chaterine sangat mengagumi rambut Susy yang warna-warni dan jabrik-jabrik. Chaterine menyimak dengan seksama ketika Susy menjelaskan bagaimana proses pembuatan warna warni rambutnya. Kelihatannya peremuan itu emang modis dan suka juga mewarnai rambutnya, hanya dia ndak berani seekstrim Susy yang sengaja menambahkan beberapa helai dengan warna yang mencolok. Tapi helai yang warnanya norak tersebut bisa disembunyikan di dalam rambut bila diperlukan, bahkan bisa juga di semprot hitam pakai color hairspray temporer. Dari Wall Street kami berjalan menuju ke "Ground Zero" tempat menara kembar WTC dihancurkan dengan cara dihantam pesawat udara yang penuh bahan bakar karena baru terbang dari New York dan rencananya menuju Washington. Saat ini lokasi Ground Zero ditutup pakai seng-seng karena sedang dilakukan perencanaan pembangunan monumen. Saya sempat berbincang dengan seorang anggota NYPD keturunan Chinese, Mr. Lau, yang menceritakan bahwa ketika kejadian itu berlangsung pada tanggal 11 September 2001 dia masih kuliah di perguruan tinggi. Ada lebih dari 6000 orang yang mati akibat peristiwa tersebut dan itulah untuk pertama kalinya sejak tahun 1939 wilayah Amerika diserang oleh musuh. Makanya peristiwa itu membawa dampak traumatis yang sangat mendalam. Sejak saat itu lalu lintas manusia melalui bandara diperiksa super ketat dan mengakibatkan antrian check in yang sangat panjang dan memerlukan waktu lama. Proses security checking yang super ketat itu baru agak dilonggarkan setelah tokoh dibalik serangan 911, Osama bin Laden, tertangkap dan dihukum mati tahun 2009. Kami lalu melewati New York Central Park, yang konon merupakan suatu taman yang terbesar di dunia. Dari atas bus kami menyaksikan banyak atraksi dan kegiatan warga New York maupun turis yang menikmati taman tersebut. Bahkan ada becak dan kereta kuda. Becaknya juga ditarik oleh orang yang naik sepeda di depan, jadi ndak sama dengan yang biasa kita lihat di Jakarta. Kereta kudanya cukup menarik dan bisa dimuatin 4 orang. Tetapi kudanya saya perhatikan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kuda yang digunakan untuk menarik kereta di Canada. Sayang kita ndak berhenti di Central Park tersebut, padahal lama waktu perjalanan dari Ground Zero ke Central Park lebih dari satu jam akibat kepadatan lalu lintas. Saya dan beberapa rekan peserta tour sempat complain, tetapi tidak ditanggapi oleh Steven. Alasannya adalah karena kita harus segera lunch agar punya waktu lebih buat belanja. Dan toh lihat taman bisa dari atas bus, katanya. Aku radha dongkol, karena kalau seperti itu, ya ngapain jauh-jauh ke Amerika, toh liat foto-foto tentang Amerika juga bisa dilihat dengan gampang di google. Gratis lagi. Kami mengakhiri City Tour dengan melihat Gedung PBB. Kebetulan saat itu tidak ada kegiatan apa-apa di gedung PBB sehingga bendera masing-masing negara anggota PBB tidak dipajang. Hanya tiang-tiang aja mencungul ke atas dan tidak menarik untuk dipotret. Dari situ kami makan siang Thai Food dan dilanjutkan dengan acara bebas alias belanja di kawasan Soho selama 2.5 jam. Soho adalah kawasan pertokoan besar-kecil berjajar sepanjang sekitar 3 x 3 bloks. Beberapa toko tersebut menjual barang-barang branded kelas medium, sedangkan sisanya banyak menjual souvenir dan local brands. Buat saya waktu 2.5 jam untuk shopping sangat lama dan membosankan. Jadi setelah ikut muter sekilas, aku menunggu di sebuah cafe shop tua di daerah tersebut sambil nyeruput double expresso pure kegemaranku untuk menahan kantuk. Selesai dari Soho dilanjutkan dengan belanja lagi babak kedua di kawasan Fifth Avenue yang merupakan pusat pembelanjaan kelas atas di New York. Jalanan 5th Avenue itu mirip dengan Champs Ellise di Paris. Bedanya kalau di Paris sepanjang kanan kiri jalan banyak cafe untuk tempat nongkrong. Di sini dipenuhi dengan toko dan toko. Yang menarik adalah sistem tata kota New York. Nama jalan dan bangunannya dibuat dengan sistem blok kotak-kotak seperti baju Jokowi - Ahok. Jadi kalau mencari alamat di seputaran daerah tersebut bisa lihat nama Jalan (Avenue) dan perpotongan nomer jalannya. Saya sempat menyusuri 5th Avenue mulai dari 56th Street sampai ke 40th Street dan mbaliknya lewat Madisson Avenue. Sepanjang jalanan itu banyak sekali orang berkeliaran keluar masuk toko tidak ada habis-habisnya. Di sinilah tempat para selebritas dan sosialitas dunia biasa membelanjakan uangnya. Ada satu pertanyaan polos dan lugu dari anakku yang kecil, Eugenia, "Daddy, I see so many people in NY. But I didn't see their houses. Where do they live?" Wow satu pertanyaan yang mengejutkan dari anak sekecil dia. Saya jelaskan bahwa sebagian besar orang tinggal di apartemen dan sebagian lagi tinggal di luar kota New York. Saya paham bahwa Eugenia agak bingung, kok dia ndak lihat deretan rumah seperti di Jakarta. Satu pertanyaan yang menurutku cukup kritis. Selesai makan malam kami berdelapan memisahkan diri dari rombongan dan turun di Time Square. Di sini pemandangannya lebih "gila" lagi di mana orang tambah berjibun di jalanan. Mirip seperti Time Square di Hong Kong yang juga tidak pernah sepi. Kota New York memang terkenal dengan julukan "City thet never sleep". Di samping aktivitas di jalanan yang tidak pernah berhenti, gedung-gedung pencakar langitpun lampunya tidak pernah dimatikan ketika malam hari. Itu menambah keindahan kota New York. Di persimpangan Time Square inilah awalnya banyak musisi jalanan yang beraksi dan membentuk kelompok-kelompok, yang lalu menjadi pusat pertunjukkan yang sekarang dikenal dengan nama Broadway. Kreativitas orang Amerika memang luar biasa. Konon banyak juga musisi-musisi hebat yang lahir dari Broadway. Tepat jam 11 malam kami mengakhiri hari yang panjang dan melelahkan ini dengan pulang ke hotel. Saya dan rombongan keluarga saya agak kebingungan mencari jalur subway dan connectionnya ke PATH line menuju ke hotel di mana kami menginap. Jalur kereta api bawah tanah kota New York cukup rumit dan informasi keberadaan subway station juga terbatas, di samping jalurnya sendiri yang rumit, saling berpotongan dan banyak sekali jumlahnya. Ini mirip dengan subway di kota Paris Perancis. Mendingannya di sini semua orang bisa berbahasa Inggris. Tepat pukul 12.30 kami sampai di hotel dengan kondisi letih.

Selasa, Agustus 28, 2012

Day 10

Day 10 - August 26, 2012 Pagi ini variasi makan pagi yang disajikan di Sheratton Hotel lebih variatif dibandingkan hotel-hotel lainnya. Di samping yang rutin seperti telor scrambled, bacon, sausage, kentang, ada juga smoked salmon, daging cacah yang dibentuk bundar seperti koin raksasa, serta sesuatu mirip nasi tapi gedhe dan panjang. Rasanya gurih. Aku ndak tahu itu apa, tapi lumayan buat menghilangkan kebosanan dan keluar dari rutinitas. Makan paginya sebenarnya dijadwalkan jam 7 tepat, sesuai dengan rutin 6 - 7 - 8, tetapi ternyata resto baru buka jam 7.15. Jadi kita semua berkerumun di depan resto seperti pengungsi yang menunggu jatah makanan. Steven, tour leader utama, sudah standby di lobby dan mengabarkan bahwa resto baru akan buka 15 menit lagi. Sementara seperti biasanya, tour leader group kami, belum kelihatan batang hidungnya. Mungkin masih mandi, dandan atau malah masih molor. Selesai makan pagi kami naik ke bus. Steven mengumumkan bahwa kemarin secara tidak sengaja kita mendapatkan 1 kopor besar tambahan yang terbawa dari Montreal. Ndak tahu kopor siapa dan sekarang ditinggal di concierge hotel Sheratton Boston. Mungkin punya tamu dari group tour lain yang secara tidak sengaja digotong oleh porter hotel di Montreal. Kebetulan hanya di Montreal kami mendapatkan fasilitas porter. Biasanya semua koper digotong sendiri. 3 koper besar keluargaku sudah terasa semakin berat. Aku yakin isi masing-masing koper sudah lebih dari 35 kg, terutama koper istriku. Padahal katanya kalau keluar dari US naik pesawat, berat maksimal koper harus tidak boleh lebih dari 25 kg, dan tiap orang berhak bawa 2 koper. Jadi total 50 kg. Berarti ini bakalan beli koper di NY nih. Apalagi istri sudah wanti-wanti mau belanja di NY. Lah emang dari kemarin ndak belanja? Ha.... Ada satu rekan peserta tour yang cukup unik. Dia lelaki tengah baya berusia 45 tahunan dan berangkat ikut tour sendirian. Namanya pak Baskoro Hartono. Orangnya lucu dan agak cuek. Kebetulan kalau makan sering digabung ke meja keluarga besar kami yang berjumlah 8 orang, karena biasanya 1 meja berisi 9 atau 10 orang. Dialah yang pakai kamera Nikon yang rusak kena air di Niagara Falls yang saya ceritakan beberapa hari lalu. Dia pula yang barang belanjaannya hilang karena ketinggalan ketika foto-fotoan pakai bb di Quebec. Dia tidak sadar ketika dipotret barang belanjaannya ditaruh di lantai, lalu nyulut rokok buat bergaya dan itu memang identitasnya, yaitu selalu dengan sebatang rokok kalau bergaya di depan kamera. Lah selesai dipotret dia lupa untuk menenteng bawaannya dan tentu saja ndak ada yang mengingatkan karena dia khan sendirian. Yang menarik lainnya adalah bawaannya praktis sekali. Dari Jakarta dia hanya bawa 3 kaos + beberapa pakaian dalam. Sisanya di tiap kota dia beli kaos buat ganti. Wow ini satu pelajaran penting yang perlu ditiru di perjalanan berikutnya. Toh kita juga emang minat beli kaos-kaos buat kenangan, jadi kenapa mesti bawa pakaian dari Jakarta. Memasuki bis North Star tepat jam 8 pagi setelah semua koper ditata di bagasi. Ini adalah long distance drive terakhir kalinya dengan bis dalam tour ini, karena mulai hari ini kami akan ngendon di New York sampai kami pulang ke Jakarta. Rombongan Steven akan bermalam 2 hari di NY sementara rombongan Elizabeth di mana group kami berada masih akan menginap 4 hari. Ada satu yang di luar kebiasaan ketika bus baru mulai berjalan. Ini pertama kalinya saya melihat Elizabeth memegang microphone dan menyapa para tamu, "Selamat pagi Bapak-Ibu. Sudah makan semua ya. Hari ini kita akan ke New York. Apa sudah kenyang semua?". Aku lihat ndak ada respon apa-apa dari tamu. Akhirnya ya hanya kalimat itulah yang keluar dari mulutnya, sebelum microphone diambil alih oleh Steven dan menjelaskan tentang acara yang akan kami tempuh hari ini. Suatu kemajuan yang baik, walaupun belum "cukup" untuk menjadi tour leader yang mumpuni Hampir 5 jam kami menelusuri high way 3 lajur menuju NY sepanjang 385 km. 2 kali pemberhentian singkat sangat membantu mengusik kebosanan di dalam bus. Ada satu hal menarik yang saya amati sepanjang perjalanan ini. Menurut kesan saya, nyetir di jalan tol (high way) antar kota di US dan/atau Canada itu sangat monoton. Secara rerata kecepatan masing-masing kendaraan hampir sama. Sangat berbeda dengan di Indonesia, di mana truk-truk besar melenggak-lenggok di lajur 2 dengan kecepatan kurang dari 60 per jam dan mobil-mobil pribadi bisa ngenjot bahkan ada yang 140 km per jam. Ini kalau ndak macet lho. Di Indonesia kalau macet baru kecepatan reratanya sama, yaitu sama-sama 0 - 10 km per jam. He.... Seperti informasi rekan saya yang tinggal di Montreal, Budi Kurniawan, kalau macet di high way, misalnya akibat kecelakaan emang bisa mengular sampai berkilo-kilo meter. Tapi ndak ada yang nyelonong ambil bahu jalan, atau motong pindah lajur, atau klakson. Bahkan motorpun ikutan antri di belakang mobil, tidak meliuk-liuk diantara sela-sela kendaraan. Saya mengamini pendapatnya dan melihat sendiri waktu macet ketika memasuki kota Quebec dari Montreal. Kapan ya di Indonesia bisa tertib seperti itu. Satu lagi yang saya rasakan di US adalah banyaknya jumlah mobil yang berkeliaran di high way. Pantes aja US adalah pasar mobil yang sangat besar di dunia, walaupun tentu saja sekarang negara-negara Asia Tenggara dan Timur juga berkembang cukup pesat, tetapi US masih paling dominan. Memasuki kota New York tepat jam 1 siang dan kami langsung menuju ke daerah Manhattan. Tour leader menunjukkan bahwa kalau kita belok kiri itu adalah daerah The Bronx yang merupakan daerah kumuh orang-orang kulit hitam. Sebenarnya saya pingin melewati daerah tersebut untuk melihat sejauh mana ke"seram"an daerah tersebut yang banyak digambarkan dalam film-film holliwood. Saya ingat film yang menceritakan kisah seorang perempuan kulit hitam beranak banyak yang bergulat dengan kemiskinan dan tinggal di daerah Bronx. Dia yakin bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan adalah dengan menyekolahkan anaknya dan ternyata keyakinannya terbukti. Begitu dia berhasil menyekolahkan anaknya yang kedua dari uang hasil kerjanya sebagai pencuci pakaian, sekaligus nyambi sebagai pelacur, si anak kedua ikut membantu adik-adiknya sekolah dan keluar dari kemiskinan. Lalu kemana anak pertamanya? Si anak pertama bekerja sebagai pengedar narkoba yang menggunakan hasil kerjanya untuk membantu sang Ibu dan dia akhirnya meninggal ditembak polisi dalam satu penggrebegan. Aku lupa judul asli film tersebut, tetapi temanya adalah "The Way is Education". Saya pernah membawakan tema ini dalam salah satu acara session sharing dengan rekan-rekan Rotaract (Rotary Junior) di Hotel Mulia di Jakarta. Coba kalau saya sudah pernah melihat sendiri "kekerasan" hidup di The Bronx tentu cerita saya akan lebih menarik. Di samping The Bronx ada juga daerah kumuh kulit hitam yang menonjol di New York, yaitu Harleem. Perbedaan antara Harleem dan Bronx konon adalah banyaknya anggota dan aktivis gereja di daerah Harleem. Banyak warga Harleem yang berkarier sebagai penyanyi kulit hitam yang mengawali kariernya sebagai penyanyi koor maupun solois di gereja-gereja seputaran Harleem. Salah satu yang paling terkenal adalah Whitney Houston. Kami makan siang di Indonesian Restaurant di daerah Manhattan. Menurutku makanannya tidak enak sama sekali, tidak pedas, tidak gurih dan jauh dari "Indonesian food" yang saya kenal. Padahal claim posternya di depan resto cukup menarik, yaitu "The best and only Indonesian food in New York. Dine here and you will feel like in Bali." Ya emang ndak bisa disalahkan, wong the "only" ya pasti the best. Menu makanannya gado-gado, empal, telur balado, sate ayam, capcai goreng, bakso kuah dan bihun goreng. Saya lihat price listnya cukup mahal, walaupun tempatnya kurang representatif dan rasanya ndak memper dengan makanan Indonesia di Indonesia. Selesai makan siang kami langsung menuju ke Battery Park, yaitu pelabuhan tempat kapal yang akan berlayar ke Liberty Island. Pelabuhan itu dinamakan Battery Park karena jaman dahulu bangunan itu memang digunakan untuk tempat altileri yang moncongnya di arahkan ke pelabuhan untuk menahan masuknya para imigran ke New York. Antrian panjang mengular sampai 100 m akibat pemeriksaan keamanan sebelum kita boarding ke kapal. Orang Amerika emang ahli "menjual". Wong cuman mau melihat patung begitu aja antriannya puanjang banget. Liberty Island sendiri adalah pulau kecil tempat patung Liberty bediri dengan megah. Patung itu adalah pemberian dari pemerintah Perancis di tahun 1876, tepat 100 tahun Hari Kemerdekaan Amerika. Patungnya sendiri sebenarnya dibuat di Perancis oleh seniman Perancis yang sangat terkenal di jaman tersebut, yaitu Frederick Bartholdi, dan dipotong-potong menjadi 204 bagian sebelum dikirimkan ke Amerika. Baru kemudian dirakit kembali di Amerika. Wajah di patung Liberty dipercaya sebenarnya adalah wajah dari ibunda Bartholdi, karena Bartholdi sangat sayang kepada ibunya. Tangan kiri patung memegang tablet bertuliskan 4 Juli 1776 dalam bahasa Latin, yang menggambarkan hari kemerdekaan Amerika. Tangan kanan menggenggam obor yang melambangkan harapan agar Amerika tetap bersinar menerangi dunia. Mahkota di kepala patung Liberty punya 7 segituga yang melambangkan 7 benua. Sedangkan kepala pembuatan patung tersebut adalah Gustaff Eiffel, yang juga merancang Menara Eiffel di Paris. Maka duplikat patung Liberty juga terdapat di belakang Menara Eiffel Paris dengan ukuran yang lebih kecil. Patung Liberty ditutup untuk umum sejak terjadinya peristiwa 911 pada tanggal 11 September 2001 dan baru dibuka kembali tahun 2009. Alasan penutupan tersebut adalah karena dianggap tidak memiliki fasilitas evakuasi yang memadai jika terjadi kondisi darurat. Sebelum memotret patung Liberty saya coba mengamati beberapa post cards yang dijual di toko-toko souvenir. Biasanya sudut pengambilan gambar di post card adalah yang terbaik. Sayang saya ndak mungkin meniru angle tersebut karena sebagian besar angle terbaik adalah memotret dari ketinggian alias harus naik chopper. Sebenarnya ada chopper rental yang mengangkut penumpang mengelilingi patung Liberty selama 15 menit. Biayanya USD 150 per orang. Sayang kita ndak menemukan di mana tempat membeli tiket chopper tersebut dan emang waktunya sangat terbatas. Padahal kalau punya kesempatan naek chopper pasti asyik benar. Kelihatannya chopper adalah alat transportasi yang umum di kota New York. Hampir setiap saat kita bisa melihat chopper berkeliaran di atas kota New York. Apakah trend ini akan merambah Jakarta dalam 5 - 10 tahun mendatang? Menurutku sangat mungkin. Trickle down effect menurutku akan terjadi. Dan itu adalah fenomena normal. Tinggal siapa yang bisa meraih peluang bisnis ini segera. Sepulang dari Liberty Island kapal yang kami naikki mampir ke Ellis Island. Pulau ini dahulu digunakan sebagai kantor imigrasi untuk menampung dan memerika para imigran yang datang ke New York pada akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20. Sekarang Ellis Island adalah musium yang menceritakan kisah-kisah bagaimana imigran kulit hitam diperlakukan sebelum bisa masuk ke Amerika. Banyaknya imigran yang masuk ke Amerika menjadikan bangsa Amerika adalah bangsa multi ras. Banyak orang-orang kulit hitam, kulit putih, kulit kuning dan juga imigran dari kawasan Amerika Tengah dan Latin. Di New York sendiri 76 persen berbahasa Inggris dan 14 persen berbahasa Spanyol. Sisanya terbagi berbicara bahasa Perancis, Chinese dan lainnya. Kami makan malam di American Steak n Ribs Resto. Masing-masing peserta tour mendapatkan setengah ekor ayam panggang segedhe gajah dan beberapa potong Original Baby Back Ribs. Beberapa rekan muslim mengganti pesanannya menjadi Beef Ribs. Rasa ribsnya ndak lebih enak dari Deltoro dan jauh di bawah Tony Romans Jakarta. Bahkan ayam panggangnya menurutku dan hampir semua peserta tour yang makan terasa tasteless. Jauh kalah dibandingkan dengan ayam kalasan Jagorawi Golf Club yang hampir tiap minggu kami nikmati. Padahal di bus, tour leader sudah mempromosikan bahwa makan malam kali ini akan "sangat istimewa". Bahkan konon katanya kita ndak boleh telat barang 5 menit pun, karena reservasi kita bisa hilang. Ternyata kita terlambat 30 menit karena jalanan macet dan toh juga resto masih kosong ketika kita masuk jam 6.30. Malam ini kami menginap di Hyatt Hotel New Jersey. Sebenarnya lokasinya hanya sepandangan mata dari downtown New York karena hanya terbelah oleh sungai Hudson. Tetapi akibat macet waktu tempuh bis menuju hotel bisa lebih dari 1 jam. Hyatt NJ Hotel cukup nyaman. Hotel bintang 4 ini cukup strategis lokasinya. Walaupun masuk daerah New Jersey, tetapi letaknya di pinggir sungai. Dari pelataran hotel terpampang kota New York yang lampunya ndak pernah padam. Di hotel ini rombongan kami (group ATS China Airline) akan menginap selama 4 malam terakhir sebelum kami mengakhiri tour ini. Sebagian rombongan tidak ambil extend, sehingga harus pulang besok pagi. Sebagian lagi rombongan ATS SQ harus meninggalkan NY lusa. Sedangkan kami akan meninggalkan NY tanggal 30 Agustus 2012. Rekan-rekan yang harus besok pulang tampak kecewa, kenapa mereka menolak waktu ditawarin extend 3 hari free akibat kondisi over booking CI. Rekan-rekan yang harus pulang 2 hari lagi juga complain kenapa mereka ndak dapat extend gratis seperti kami dan bahkan mereka juga tidak dapat up grade ketika berangkat ke US, padahal mereka membayar USD 4800, lebih mahal USD 400 dari yang kami bayarkan. Sementara "the lucky group" juga not happy dengan tour leader yang kurang berpengalaman. Ha.... Ternyata semua itu sawang-sinawang. Rumput tetangga selalu tampak lebih indah dibandingkan dengan rumput di pekarangan sendiri. Setelah mandi dan bongkar-bongkar koper, anak-anak memaksa kami untuk nyobain jalan-jalan ke kota New York naek PATH line yang kebetulan stasiunnya persis di depan Hyatt. Saya sebenarnya sudah loyo dan letoy karena kurang tidur berhari-hari. Ini mumpung pulang "sorean", yaitu jam 9 malam, ya pinginnya leyeh-leyeh di atas kasur yang empuk kentul-kentul. Toh masih ada 4 hari di sini. Apalagi saya dengar New York di waktu malam tidak seaman yang dibayangkan. Tetapi namanya anak-anak, apalagi kalau Gaby udah meluk aku sambil menatap penuh harap dan Eugenia megangin perut buncitku, maka itu tanda aku ndak punya pilihan lain. Kami dan beberapa rekan tour lain akhirnya berangkat naik PATH line ke WTC jam 10, tetapi batal ke broadway karena sudah terlalu malam. Anak-anak juga akhirnya nyerah karena mereka juga sebenarnya sudah sangat kelelahan. Sementara beberapa rekan tour lain melanjutkan ke Broadway sampai jam 3 subuh. Satu rombongan lain, di bawah pimpinan pak Ade, asal Menado, punya acara khusus, yaitu manggung di casino. Aku sebenarnya diajak juga nyicipin casino di New York. Tapi emang ndak minat dan ndak bakat soal judi. Jadi aku memilih bareng anak-anak saja. Bukankah liburan ini merupakan "Children Day", demikian kata anak-anak. Children Day adalah istilah dalam keluarga kami di mana merekalah yang menentukan kemana kita pergi, mau makan di mana dan mau beli apa. Tentu saja selama semuanya masih dalam batas yang wajar. Kami sengaja menerapkan ini untuk mengkompensasi keterbatasan waktu kami berdua. Jadi kualitas tetap terjaga di tengah keterbatasan kuantitas bersama anak-anak. Tepat pukul 1 saya terpekur dalam mimpi.

Minggu, Agustus 26, 2012

Day 9

Day 9 - August 25, 2012 Hari ini kami meninggalkan Canada yang penuh kenangan. Empat hari lamanya kami menjelajah Canada mulai dari Niagara Falls, Toronto, Ottawa, Montreal, dan Quebec. Ribuan km dan puluhan jam kami lalui di atas bis 6 roda yang membawa kami dan dikemudikan oleh Mr. Young, imigran asal China. Hampir tiap hari kami duduk lebih dari 6 jam di atas jok bis. Boyok tua udah mulai protes dan pegel-pegel. Ambeien udah mulai nongol. Ha.... Orang tua emang udah banyak keluhannya ya. Dulu waktu muda fisik masih prima keluhan itu ndak bakalan muncul. Dari semua obyek wisata yang kami kunjungi di Canada, masing-masing punya kesan tersendiri. Niagara Falls sangat fantastis dan layak untuk dikunjungi ualng. Kalau saya ke sini lagi, pasti saya akan nginep lebih lama di Niagara City agar bisa lebih banyak explore local culture di kota kecil tersebut. Toronto mengesankan karena multi etnis dan terkenal dengan University of Torontonya. Dan tentu saja karena ada rekan senior yang tinggal di sana. Ottawa kotanya indah. Banyak bangunan tua yang belum sempat kami kunjungi kali ini. Tampaknya Ottawa juga cocok untuk study. Ngak tahu kenapa, saya kok merasa "aman" di Ottawa. Apalagi bahasa Inggris sebagai bahasa resmi masih dominan dipakai di Ottawa. Ndak ada kesan terlalu mendalam di Montreal. Mungkin gara-gara ndak banyak waktu yang dihabiskan untuk menjelajah Montreal walaupun kami nginep 2 hari di sono. Quebec sangat romantic. Kalau saya punya waktu lebih, pasti saya akan tinggal lebih lama di Quebec. Cuman masalah bahasa saja yang menjadi kendala. Sengaja saya memakai kaos pemberian Om Robert, senior FTJE yang sekarang menjadi warga negara Canada, sebagai ucapan terima kasih atas kehangatan penyambutannya selama kami ada di Toronto. Tepat pukul 9 pagi kami melewati jembatan panjang Jacques Cartier di atas sungai Saint Lawrence, yang menandai ucapan selamat tinggal Montreal. Kami menuju ke perbatasan Canada - US dan akan melanjutkan perjalanan menuju Boston. Dari simbah pintarku, Google, jarak antara Montreal - Boston adalah 493 km. Berarti menurut estimasi dan pengalamanku selama ini, akan dibutuhkan kira-kira 6 jam untuk mengadu pantat dengan jok kursi di bus. Paruh pertama perjalanan adalah menuju ke border dan dilanjutkan dari border ke Boston. Di dalam bus tour leader utama Steven mengumumkan bahwa 2 hari lalu terjadi lagi penembakan sporadis di New York yang menimbulkan 2 korban jiwa. Saya sendiri sudah sejak berangkat liburan ini belum melihat berita di TV. Dan di milis kesayangan FTJENET juga tumben beritanya belum muncul. Soal berulangnya kejadian penembakan ini membuat saya ingat soal theory imitasi (role model) yang pernah saya pelajari waktu saya mengambil studi S2 Kepolisian tahun 1999. Saat itu saya sedang membahas soal bunuh diri (suicide) sebagai salah satu bentuk deviant dan salah satu determinan dari peningkatan tingkat bunuh diri (suicide) adalah bila ada pelaku bunuh diri yang dilakukan "orang terkenal" atau yang di blow up cukup besar oleh media. Nah mungkin teori ini berlaku di kasus penembakan sporadis. Gara-gara blow up media yang berlebihan tentang penembakan sporadis ketika pemutaran perdana film Batman, maka muncul peristiwa sejenis dan berantai yang mengikutinya. He... Jadi ingat masa-masa kuliah di Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian bersama rekan-rekan Polri dulu. Satu masa yang indah, penuh kebersamaan, yang saya rasakan manfaatnya sekarang. Saya menjadi anggota kerhormatan Batalyon Adhi Pradana Akpol 1988 B. Di samping cerita soal penembakan sporadis di New York, Steven juga cerita soal pengalaman bus yang dibobol di Boston. Maka dia mengingatkan agar semua barang diturunkan dan jangan ditinggal di bus saat check in hotel di Boston. Dia juga cerita soal pernah ada satu bus turis yang hilang pas check in di Itali. Ya bus berikut seluruh isinya hilang digondol maling. Aneh tapi nyata. Itali dan Spanyol emang terkenal soal kriminalitas seperti itu. Partner bisnis saya, Pak Hendra Purnomo, juga pernah dikadalin di Barcelona dan duit USD 1.000 melayang setelah pura-pura di cek ama penjahat yang mengaku sebagai Espana Policia. Untung saya cukup waspada dan ndak ikutan dikadalin. Dasar orang Jawa, sudah hilang duit masih bilang untung. Tepat sebelum masuk ke border kami berhenti di duty free shop. Banyak peserta tour yang membelanjakan CADnya. Saya sendiri hanya beli "ice wine" yang memang khas Canada dan satu buah kaos abu-abu bertuliskan Canada, kembaran ama Bekti. Melewati US border kami turun satu-persatu dan petugasnya mengecek pasport masing-masing. Satu rutinitas yang dulu hampir tiap bulan dua kali saya alami ketika masih bekerja di Overseas Business Development Dexa Medica. Banyak pengalaman "mengerikan" kalau masuk atau keluar ke negara-negara yang "weird" seperti Sudan, Yaman, Russia dan negara-negara lainnya. Yang paling "berkesan" adalah ketika aku dipalak terang-terangan sebesar USD 200 di Moscow. Waktu itu aku diminta menunjukkan duit yang aku bawa. Setelah mereka hitung dengan seksama, mereka ambil USD 200 sambil berkata dengan kalemnya, "For me". Saat itu aku protes dan malahan dimasukkan ke sebuah ruangan dan diinterogasi serta dituduh "You wanna spy on my country!!". Ha.... Lelucon apa lagi ini. Ya begitulah kenyataannya. Terpaksa USD 200 hilang lenyap ditelan kantong si petugas custom Russia. Makan siang kali ini ndak seperti biasanya. Emang di jadwal tour hari ini tidak termasuk makan siang. Ini adalah satu dari sedikit makan yang bayar sendiri. Ini satu keunggulan ATS di mana hampir seluruh makan sepanjang perjalanan sudah termasuk dalam tour. Sekaligus juga satu kelemahan, karena pilihan makan kita jadi sangat terbatas. Bila di suatu daerah ada makanan yang khas terpaksa ndak bisa nyobain karena waktu makan siang sangat terbatas. Saya pernah ikut tour Cosmos dan ambil rute Switzerland. Ratenya sendiri menurutku tergolong ndak terlalu mahal, tetapi emang banyak makan yang bolong. Di satu sisi sangat mengasyikkan karena bisa banyak sekali nyobain makanan yang khas dan terkenal. Tapi di sisi lain perlu budget tambahan buat makanan. Di Swiss sekali makan di resto yang cukup enak termasuk minum wine berdua rata-rata USD 150 - 200. Makan siang kali ini ndak ada pilihan, yaitu Mc Donald. Menurut tour leader sepanjang perjalanan dari border ke Boston ndak ada makanan enak, jadi satu-satunya pilihan adalah Mc D. Ya udah apa mau di kata, terpaksa mulut dijejelin double-double sandwich ama kentang goreng. Aku jadi tahu kalau makan Mc D di US ndak ada ayam goreng renyah, apalagi nasi, seperti di Jakarta. Adanya berbagai variasi sandwich, burger, sup, chicken naget, fish dan salat. Ada satu lagi yang berbeda di Mc D Amrik dibandingkan Jakarta, yaitu soal minuman. Saya pesen Coca Cola dan diberinya gelas stereoform sak gedhe gajah. Ternyata minumannya ambil sendiri dan boleh bolak balik refill sepuasnya. Makanya orang Amrik gedhe-gedhe, wong minumnya aja Coca Cola segedhe itu. Masih bolak-balik nambah lagi. Perjalanan dari Canada - US border di Vermont menuju ke Boston memakan waktu 3 jam. Kami sempat berhenti di rest area hanya untuk kencing dan rokokan dan langsung jalan lagi. Perjalanan 3 jam terasa sangat panjang karena badan udah pegel semua, terutama boyoknya. Tepat pukul 4 kami memasuki kota Boston dan langsung menuju ke Harvard. Boston adalah ibukota negara bagian Massachusetts dan merupakan kota terbesar di negara bagian ini, sekaligus adalah salah satu kota tertua di Amrik. Jumlah penduduk kotanya sendiri hanya 600 ribuan orang. Boston terkenal sebagai kota pendidikan bahkan sekolah negeri pertama di Amerika didirikan di kota Boston, yaitu Boston Latin School pada tahun 1635. Jelas saya belum lahir waktu itu. He.... Terdapat lebih dari 100 universitas dan colleges di wilayah seputaran Boston. Kalau di Indonesia mungkin mirip dengan Yogjakarta yang sangat terkenal sebagai kota pendidikan dengan UGM sebagai icon utamanya. Bedanya di Jogja biaya hidup relatif lebih murah dibandingkan kota besar lainnya di Indonesia, sedangkan biaya hidup di Boston adalah salah satu yang termahal di US. Konon Boston menempati rangking ketiga paling mahal di US. Icon kota Boston adalah keberadaan Harvard University dan MIT University serta Faneuil Hall, sebuah bangunan warna merah yang sekarang menjadi pusat pemerintahan di kota Boston. Majalah Forbes Traveler bahkan menempatkan Faneuil Hall di rangking 4 dari 25 tempat wisata yang paling dikunjungi di Amrik. Sayang saya ndak sempet foto-fotoan di bangunan tersebut karena keterbatasan waktu. Di samping itu Boston juga tercatat sebagai kota perjuangan kemerdekaan Amerika di mana di kota ini ada 2 peristiwa besar yang pernah terjadi, yaitu Boston Massacre dan Boston Tea Party. Boston Massacre adalah peristiwa pembantaian massal yang mengakibatkan 5 orang penduduk Boston meninggal dan puluhan orang luka-luka oleh tentara penjajah Inggris pada tahun 1770. Kejadian ini memicu kerusuhan masal dan pemberontakan masyarakat terhadap keberadaan pasukan Inggris di Boston. Yang kedua adalah Boston Tea Party yang merupakan protes politik yang dilakukan oleh warga Boston akibat diberlakukannya pajak atas komoditas teh yang diimport ke Boston pada tahun 1773. Protes itu dilakukan dengan membuang 3 kapal teh ke pelabuhan Boston dan ini juga menandai perjuangan revolusi Amerika sebelum berhasil merdeka tahun 1776. Tempat wisata pertama yang kami kunjungi di Boston adalah Harvard University yang terletak di kawasan Cambridge. Wow kali ini saya benar-benar secara harafiah masuk ke Harvard, suatu universitas tertua di Amerika. Harvard University didirikan oleh John Harvard pada tahun 1636 dan merupakan universitas yang memiliki financial endowment terbesar di dunia, yaitu sebesar Rp. 300 triliun rupiah. Wow..... Ndak heran karena ternyata 62 orang yang masuk kategori bilioner adalah alumni Harvard, di samping 8 Presiden Amerika juga alumni Harvard dan 75 pemenang Nobel dunia adalah alumni atau faculty dari universitas ini. Pada atas salah satu pintu gerbang Harvard terpajang patung yang bentuknya mirip Kepala Babi Hutan. Patung ini konon menurut penafsiran punya 2 arti, yang pertama adalah keliaran (keberanian) alumni dalam melakukan terobosan-terobosan yang jenius sehingga membawa kesuksesan. Arti kedua adalah orang-orang bodoh (babi itu identik dengan bodoh) ndak bakalan bisa masuk Harvard dan hanya akan sampai pintu gerbangnya aja. Untung saya tadi bisa "masuk", bahkan berfoto bersama patung John Harvard sambil mengelus-elus sepatunya yang sebelah kiri. Konon dipercaya bahwa kalau kepingin dirinya sendiri atau anaknya masuk Harvard yang terkenal maha sulit, maka harus mengelus sepatu John Harvard yang sebelah kiri. Ha.... Persis seperti orang memegang stupa di Candi Borobudur aja. Itulah makanya kenapa sepatu John Harvard yang sebelah kiri lebih kinclong dibandingkan dengan yang kanan, karena sudah puluhan ribu orang mengelus sepatu kiri tersebut. Toh ternyata tidak semua bisa masuk. Mungkin karena kepala babi hutan tadi kali ye. Menyaksikan suasana belajar di Harvard membuat saya pengin sekolah lagi. Bayangkan proses diskusi mengenai krisis hutang Eropa dilakukan sambil duduk santai 8 orang mahasiswa + 1 dosen di kursi di atas hamparan rumput hijau di bawah rindang daun. Sekelompok lainnya berdiskusi di pelataran gedung sambil duduk santai. Dosennya orang item masih muda dan berfungsi sebagai fasilitator. Saya sempat mengikuti diskusi tersebut sambil berkhayal untuk sekolah lagi ambil Post Doctoral di Harvard. Kalau mimpi ini tidak tercapai, ya akan saya realisasikan mimpi kedua, yaitu mengantarkan Gaby dan/atau Eugenia bersekolah di sini. Waktu saya katakan ke Gaby, dia bilang "Ndak mau ach Daddy, wong sekolahnya sulit. Ntar aku jadi student yang paling bego". Ha.... Satu kerendahan hati sekaligus kurang percaya diri. Sedangkan Eugenia langsung ngomong, "Yes Daddy, I will study here. I like the ambiance". Ho... Ho.... Ho.... Satu ekpresi kepercayaan diri yang juga harus diwaspadai mengarah ke kesombongan. Dua anakku emang punya karakter yang sangat berbeda. Yang besar, Gabriella, hatinya sangat lembut dan tutur katanya sangat humble. Berkali-kali selama di Primary School dia mendapatkan Certificate of the Best in Conduct di sekolahnya. Di balik kecantikan parasnya dia memiliki minat di bidang-bidang seni. Tapi dia ceroboh dan sulit sekali disuruh belajar. Penginnya maen aja. Akibatnya prestasi akademiknya hanya rata-rata. Si kecil, Eugenia, lebih percaya diri dan mudah bergaul dengan orang yang baru dikenalnya sekalipun, baik anak kecil, sebaya, maupun yang lebih tua. Semangat ingin tahunya sangat tinggi. Semalam dia baca-baca soal sejarah Harvard di ipad dan tanya-tanya hal yang dia ndak ngerti. Ndak perlu disuruh belajar, sudah otomatis tiap hari buka buku untuk mengerjakan PR dan mengulang pelajaran hari itu dan esoknya. Prestasi akademiknya termasuk one of the best in her level. Tapi wataknya keras seperti kepiting batu. Kalau Gabgab mungkin lebih cocok melanjutkan studi undergraduate school di bidang art atau business, aku rasa Eugenia akan lebih cocok di bidang yang lebih rumit seperti Medical Science. Ya itu sih harapanku sebagai orang tua. Aku dan ibunya hanya bisa mengarahkan aja. Semoga keputusan yang nantinya kami ambil berhasil meminimalisir resiko masa depannya. Yang jelas kami akan berusaha sekuat tenaga membekali mereka dengan pendidikan yang memadai untuk hidupnya. Saya percaya pada prinsip, "The Way is Education". Sepulang dari Harvard kami menyusuri Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang letaknya kira-kira 1 km dari kampus Harvard Cambridge. Bentuk gedung utamanya oval berwarna putih semacam kubah besar. Di kampus inilah banyak melahirkan para ilmuwan kelas wahid dunia. Sayang kami tidak punya kesempatan menjelalajah lebih lanjut ke MIT, jadi tidak banyak informasi yang bisa digali. Saya cuman membayangkan MIT itu mungkin mirip ITB di Bandung atau ITS di Surabaya. Dari situ kami menyusuri West Down Town kota Boston. Banyak gedung-gedung tua sepanjang kanan-kiri jalan yang merupakan gedung yang dibangun di jaman awal kemerdekaan Amerika atau bahkan di jaman kolonial Inggris. Suasananya tampak asri dan terawat. Pasti asyik kalau bisa jalan-jalan sepanjang jalan itu sambil menikmati makanan di salah satu resto atau cafe di pinggir jalan itu. Kami lalu berbelok ke kiri memasuki Central Down Town yang didominasi oleh gedung-gedung modern nan megah. Di situ berdiri berjajar chain hotel internasional seperti Mandarin Oriental, Sheratton, Four Season, juga gedung gereja tua Trinity Church, Boston Public Library serta butik-butik ternama seperti Hermes, La Perla, LV dan konco-konco sejenisnya. Yang juga menarik bagi saya adalah Boston Public Library yang konon adalah salah satu perpustakaan publik yang terbesar di US. Kok di Jakarta aku ndak pernah dengar soal perpustakaan publik ya. Padahal ini khan sumber informasi dan hiburan yang bisa dinikmati warga serta mencerdaskan kehidupan warganya. Setelah melewati Boston Central Park, yaitu sebuah lapangan rumput luas dan rindang, kami memasuki kawasan China Town. Di central park tersebut banyak warga dan turis berjalan kaki, bermain bola, bahkan ada yang mainan layangan besar, sekedar duduk-duduk atau pacaran. Jakarta hampir kehilangan semua taman-taman publik yang asri. Padahal taman-taman ini adalah paru-paru kota, sumber supplier oksigen bagi warga kota. Apa kalau Jokowi - Ahok menang bakalan bisa digalakkan lagi pembangunan taman-taman kota ya. Jadi orang ndak hanya berkumpul di mall. Dan yang perlu dijaga juga soal keamanannya. Saya beberapa kali nongkrong di Taman Lembang kalau sedang nunggu meeting dengan Shinta, anaknya Dr. Boenjamin Setiawan pemilik PT. Kalbe Farma. Kebetulan rumahnya tepat di depan Taman Lembang. Saya amati ndak ada satupun warga kelas atas atau menengah yang berkeliaran dan bercengkrama di taman. Isinya hanya warga kelas menengah ke bawah. Coba kalau dibuat lebih indah dan aman, pasti menjadi daya tarik bagi semua. Berikutnya kami mampir ke Quincy Market, semacam pasar tempat menjual souvenir dan pusat keramaian warga. Mungkin mirip seperti Benthan Market di Ho Chi Minh City di Vietnam atau ya seperti Passer Baroe di Jakarta. Sejam di pasar tersebut aku sama sekali ndak minat belanja dan lebih tertarik menyaksikan beberapa pertunjukkan yang digelar di pelataran kosong. Ada patung manusia yang sebenarnya adalah orang beneran yang berpose diam membatu, ada yang main sulap dan yang paking menarik adalah atraksi akrobatik yang dimainkan oleh sekitar 10 orang kulit hitam yang dikoreografi secara apik dan komunikatif. Di tengah keramaian tersebut, tiba-tiba muncul suara raungan mesin yang sangat memekakkan telinga dan asap putih mengepul dari kejauhan. Aku kaget dan sempat terdiam sejenak sambil mengamati lebih cermat apa yang terjadi. Macam-macam yang muncul di benakku, tapi yang paling dominan adalah raungan puluhan pesawat tempur yang terbang rendah dan menyemburkan asap putih. Ada juga sempat terlintas soal penembakan sporadis yang katanya terjadi di New York beberapa hari lalu. Di tengah kegalauan itu, orang-orang berlarian menuju ke jalanan. Karena belum tahu apa yang terjadi, kugenggam tangan kedua anakku dan ikutan berlari bareng kerumunan massa. Mbuh istriku ketinggalan di mana, tapi ternyata dia nyusul tepat di belakangku. Ketika suara semakin memekakkan telinga dan dibarengi dengan teriakan-teriakan yang ndak jelas artinya, aku baru mengerti, ternyata suara itu berasal dari ratusan motor balap yang konvoi di jalanan dan sengaja meraung-raungkan suara mesin motornya di tengah kemacetan sehingga menimbulkan kepulan asap putih yang membubung ke atas. Edia tenan. Di Amerika ternyata Geng Motor ndak kalah ama di Jakarta dan Bandung. Bahkan motornya jauh lebih keren. Cuman kelihatannya mereka show off aja dan tidak melakukan tindakan anarkis apa-apa. Malam ini kami makan malam dengan menu istimewa, yaitu King Lobster di salah satu restaurant Chinese di kawasan Pecinan. Masing-masing tamu mendapatkan seekor lobster besar yang rasanya menggliurkan. Tanganku sampai berdarah tertusuk duri lobster gara-gara ngupasin 4 ekor lobster buat anak-anak, bini dan diriku sendiri. Sampai ketika semua sudah pada selesai makan, aku baru selesai mengupas lobster jatahku sendiri. Gaby yang alergi udang memaksakan diri nyicipin lobster yang menurutnya enak. Akhirnya sisa lobster Gaby diembat abis ama Eugenia, yang kekenyangan sambil tepuk-tepuk perutnya. Malam ini kami tidur nyenyak di Sheratton, bukan Sheratton do Central Down Town yang saya lihat sore tadi, tapi di North Boston, kira-kira 30 menit dari kota Boston. Hotelnya cukup mewah, standard bintang 4 dengan kamar yang bersih dan luas, walaupun terletak jauh dari kota.>

Sabtu, Agustus 25, 2012

Day 8

Day 8 - August 24, 2012 Hari ini adalah pertama kalinya terjadi pergeseran rutin sedikit lebih siang, yaitu 6.30 - 7.30 - 8.30. Tepat jam 7 pagi aku sudah siap untuk makan pagi bersama beberapa peserta tour lainnya. Sementara bini masih beresin cucian dan jemuran pakaian dalam di kamar karena ini adalah pertama kalinya kita akan nginep 2 malam di satu kota. Sehingga ini adalah kesempatan mencuci pakaian dalam. Kalau jaman mahasiswa dulu sih pakaian dalam masih bisa dipakai 2 hari dengan cara side A dan side B seperti kaset recorder. He..... Ternyata kami semua ditolak makan pagi di resto hotel karena tidak punya breakfast coupon. Biasanya emang saat check in kami dibagikan coupon tersebut tapi semalam hanya diberi kunci saja. Beberapa tamu naik pitam untuk kesekian kalinya soal breakfast karena tour leadenya ndak nongol sama sekali, bahkan sudah ditelepon berkali-kali. Setelah menunggu hampir satu jam kami baru diijinkan makan pagi. Bahkan sesampainya di bus pun tidak ada satu katapun keluar dari mulutnya, apalagi permintaan maaf. Di dalam bus, Elizabet, si tour leader, hanya sibuk ber bb ria. Sampai-sampai iparku yang terkenal dengan kesabarannya pengin damprat dia dan omongn "Eh, loe itu di sini kudu kerja, bukan cuman up date status dan maenan bb aja." Edian tenan. Kok bisa ya perusahaan sebesar ATS tidak menseleksi tour leadernya sebelum diberikan assignment. Satu awal hari yang kurang menyenangkan. Akhirnya kami semua terlambat dan tour baru dimulai jam 9 pagi. Acara awal tour adalah city tour di kota Montreal. Montreal adalah kota terbesar kedua di Canada setelah Toronto. Kata Montreal diambil dari kata Mount Royal, yaitu bukit kembar tiga yang terletak di tengah kota, dan dalam bahasa Perancis dibaca Mont Real. Jumlah penduduk kota Montreal 1.6 juta jiwa atau 3.9 juta jiwa kalau dihitung keseluruhan termasuk kawasan sekitarnya (metropolitan). Bahasa resminya adalah bahasa Perancis dan Montreal adalah kota berbahasa Perancis terbesar kedua setelah Paris. 70 % penduduknya berbahasa Perancis dan hanya 18 % yang berbahasa Inggris. Jaman dahulu kala Montreal adalah pusat perdagangan bulu binatang terbesar di kawasan Amerika Utara dan Eropa, semenjak Jacques Cartier datang ke sini dari Perancis tahun 1535 dan merintis perdagangan. Saat ini di samping terkenal sebagai kota industri dan perdagangan, Montreal juga pernah menjadi kota penyelenggara olimpiade musim panas tahun 1976 dan rutin menjadi tempat penyelenggaraan balapan mobil kelas wahid dunia, Canadian Gran Prix of Formula One di circuit Gilles Villeneuve. Ada satu orang lagi yang berjasa bagi kota Montreal, yaitu Paul Chomedey de Maisonneuve yang merupakan pendiri kota Montreal. Sebenarnya Paul datang bukan untuk berdagang atau menguasai wilayah itu, tetapi untuk menyebarkan agama katholik. Tetapi akhirnya Paul bahkan diangkat menjadi walikota pertama Montreal. Dialah yang memerintahkan untuk membangun gereja yang mirip dengan gereja di Perancis Notre Dame. Bangunan pertama yang kami kunjungi adalah Notre-Dame de Montreal Basilica yang didirikan tahun 1635 dan merupakan gereja terbesar dan tertua di Canada. Bentuknya mirip dengan Notre Dame yang terletak di kota Paris karena memang dibangun pada jaman koloni Perancis. Di katedral inilah diva penyanyi Celline Dion melangsungkan pernikahannya tahun 1994, walau konon Celline Dion tidak lagi tinggal di Canada, tetapi menetap di Las Vegas US. Di samping Notre Dame tersebut ada juga bangunan tua yang merupakan tempat tinggal biarawan katholik. Bangunan ini juga dibangun pada abad ke 17. Bangunan yang juga menarik dan kami kunjungi adalah Montreal City Hall yang dibangun pada abad 16. Konon di balcon lantai 2 bangunan tersebut presiden Perancis Charles de Guille pernah berpidato di hadapan ribuan orang dan mengatakan bahwa Quebec harus menjadi negara merdeka dan bukan menjadi bagian dari negara manapun. Quebec memang adalah koloni Perancis yang tertua. Tepat pukul 10 pagi kami meninggalkan kota Montreal menuju ke Quebec. Perjalanan 240 km kami lalui menggunakan high way yang relatif tidak mulus dibandingkan dengan kualitas jalan di negara-negara Eropa Barat. Kami sempat mampir di rest area, biasa buat kencing, cari kopi dan membakar dupa sembayangan alias merokok. Sekilas saya amati di Canada dan US banyak mobil-mobil gandeng karavan yang berkeliaran. Mungkin enak ya jalan pakai karavan, bisa lebih santai, nyaman dan bebas mau berhenti di mana saja. Kalau di Indonesia rasanya belum pernah saya melihat mobil karavan. Mungkin gara-gara jalanan di Indo yang tidak mulus, macet dan faktor kriminalitas. Satu lagi adalah soal pelat nomor mobil. Saya amati di Canada semua mobil pelat nomornya hanya nempel di bagian belakang. Kenapa ya? Aku lom tahu jawabannya. Ntar kalau ada akses internet akan aku tanyakan ama simbahku yang paling pintar, Mbah Google. Kami tiba di Ibukota Propinsi Quebec, yaitu Quebec City tepat pada pukul 14.00. Perut udah mulai keroncongan akibat sarapan yang sangat terbatas dan buru-buru. Begitu sampai di restaurant buffet Thomas Tam yang kelihatannya cukup menarik dan sebagian pengunjung bahkan sudah mulai antri dan mengambil makanan, ternyata keluar pengumuman bahwa restaurantnya salah. Ha..... Kucluk tenan. Seharusnya khan tour leader sudah menghubungi restonya via telepon dan kalau emang belum pernah mampir ke resto tersebut sebelumnya, ya mbok memastikan dulu sebelum anggota tour pada turun. Baru setelah semuanya pasti, peserta tour dipersilahkan untuk turun. Akibat kejadian ini sontak beberapa rekan peserta tour langsung bete abis. Dia bahkan memberikan nomer telepon David Harsono sebagai presdir ATS agar kami semua bisa menyampaikan compalin langsung ke beliau. Emang udah kebangeten nih. Setelah puter-puter hampir 1 jam dan nyasar dari satu kompleks ke kompleks lainnya, baru restaurannya ketemu. Kembali lagi tanpa sepatah katapun penjelasan apalagi permintaan maaf dari tour leader "pendompleng", Elizabeth. Untung Steven sebagai tour leader utama mampu mencairkan suasana dengan permintaan maafnya yang disertai humor sesudah makan. Akhirnya tepat jam 3.00 kami baru benar-benar menyantap makanan. Buang waktu sia-sia lebih dari 1 jam. Selesai makan siang kami langsung menuju ke pusat kota Quebec. Quebec City terletak di Saint Laurence River Valley dan adalah kota nomer dua terbesar di Propinsi Quebec setelah Montreal. Jumlah penduduknya hanya sekitar 600 ribu. Kota ini menyandang predikat kota paling aman di seluruh Canada dan bahkan dilaporkan bahwa tidak pernah terjadi kasus pembunuhan dengan alasan apapun di Quebec sejak tahun 2006. Kata Quebec berasal dari kata "Kebec" yang berarti "tempat di mana sungai menyempit". Kota Quebec ditemukan oleh Samuel de Champlain tahun 1608 dan merupakan satu kota yang paling tua di Amerika Utara. Yang menarik adalah kalau Montreal dikatakan sebagai kota bilingual, maka di Quebec hampir 100 persen penduduknya berbahasa Perancis. Hanya sekitar 1.5% saja yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Agama katholik juga mendominasi hampir 90% penduduk. Sisanya adalah protestan, yahudi dan muslim. Mungkin saat yang paling tepat mengunjungi Quebec adalah saat musim dingin karena ada atraksi yang sangat terkenal yaitu Winter Carnival, sekaligus bisa merasakan bagaimana rasanya hidup di negeri kulkas. Bangunan yang merupakan icon kota Quebec adalah Chateau Frontenac Hotel yang didirikan pada abad 16 ketika Sir Frontenac menjadi wali kota Quebec. Bangunan itu didisain oleh Bruce Price yang awalnya sengaja dibangun untuk perusahaan Canadian Pacific Railway, sebagai tempat menginap tamu-tamu kelas atas yang menjadi langganan kereta api. Hotel mewah itu terletak di samping Terrasse Dufferin, hanya beberapa langkah dari ujung tebing yang sangat curam, sehingga menyajikan pemandangan yang indah sekali ke Saint Lawrence River. Letaknya yang menjulang di ketinggian menjadi satu obyek fotografi yang sangat menarik. Di samping Chateau Frontenac adalah gereja katedral Notre Dame de Quebec, yang merupakan gereja katholik tertua di Quebec. Gerejanya sendiri tidak terlalu besar dan menurut saya ornamen-ornamennya masih kalah antik dibandingkan dengan Notre Dame yang ada di Montreal, apalagi di kota-kota Eropa. Yang menarik lainnya adalah suatu jalanan tua nan sempit yang sangat historic, yaitu Rue Petit Champlain, yaitu jalan yang dulu dilalui oleh Samuel de Champlain waktu mendarat di Quebec. Di sisi kiri dan kanan jalanan menurun curam tersebut berjajar toko-toko menjual souvenir. Beberapa cafe menjual aneka makanan juga menjadi daya tarik tersendiri dari kota tua Quebec. Setelah jalan menurun, untuk kembali ke pelataran hotel Frontenac kita tidak perlu lagi jalan naik. Cukup bayar CAD 2 kita bisa naik lift miring macam kereta Hong Kong Peak Tram dengan versi yang jauh lebih pendek dan sederhana. Sekali naik bisa berisi 20 orang, alias total dapat CAD 40. Sehari lift itu bisa bolak-balik ratusan kali. Wow enak bener tuh punya usaha seperti itu. Semua transaksi cash keras dan duit datang dengan sendirinya. Yang paling perlu dijaga adalah keselamatannya. Kalau sampai terjadi kecelakaan bisa bangkrut tuh perusahaan. Beberapa atraksi kecakapan digelar di pelataran luas di bawah patung Samuel de Champlain. Kami sempat melihat seorang artis sirkus yang memainkan 4 buah atraksi lempar tongkat sambil ngoceh, yang mengundang banyak tawa pengunjung yang mengerumuninya, dalam bahasa Perancis. Aku dewe rak mudeng blas bahasa Perancis. Cuman setelah aku dekati dan jepret dengan mode continous dari kamera Canon 1 Dx dan lensa 24 - 70 mm f2.8L yang saya pasangin lens hood, ada kata-kata dia soal "mitraliur". Mungkin saya tebak maksudnya adalah bunyi senapan mesin yang beruntun. Menjelang sore ketika langit masih biru berawan, pengunjung tambah banyak dan pemandangan semakin fantastis. Ada satu jepretan patung Samuel de Champlain yang sangat saya suka. Menyusuri jalan-jalan sempit di seputaran kota tua Quebec mengingatkanku pada sebuah kota kecil di Switzerland yang pernah kami kunjungi ketika honeymoon 2 tahun lalu. Aku lupa nama kotanya, tetapi menyajikan suatu keindahan yang mirip. Banyak artis lukis wajah maupun karikatur yang menawarkan jasanya, termasuk artis tattoo temporer baik di tangan maupun di wajah. Terus menyusuri pinggiran tebing, kami tiba di Plains of Abraham, tempat pertempuran di mana pasukan Inggris mengambil alih Quebec dari Perancis. Di dekat situ terdapat Citadelle of Quebec yaitu fasilitas militer Canada yang sudah dibangun sejak abad 17. Kami tidak sempat masuk ke area tersebut. Konon tiap hari di musim panas ada upacara pergantian penjaga yang diatur koreografinya sedemikian indah dan menjadi pusat atraksi tontotan bagi turis. Sayang keterbatasan waktu membatasi ekplorasi kami di kota tua nan indah ini. Aku yakin suasana malam hari akan jauh lebih romantis baik untuk jalan-jalan maupun nongkrong di salah satu cafe tersebut. Om Robert sudah mengingatkan kami untuk mencicipi makanan di salah satu cafe di Old Port. Sayang perut masih terasa penuh. Hanya segelas beer dan expreso duppio yang mampir ke tenggorokanku sebagai pelipur lara. Alangkah indahnya bila kami bisa bermalam di Quebec, dibandingkan harus menyusuri high way kembali ke Montreal selama lebih dari 3 jam. Perjalanan balik ke kota Montreal cukup membosankan. 3 jam lamanya kami harus terpekur di tempat duduk. Gaby n Jeanice yang duduk sebangku tertidur kelelahan dengan kepala saling berdempet. Sementara Susy dan adiknya juga sudah mangap mulutnya dengan mata tertutup bahkan sejak bus baru mulai jalan. Phillips dan bapaknya saya lihat coba tidur, tetapi hanya sebentar-sebentar aja. Mungkin gara-gara leher Bekti yang tengeng akibat salah bantal semalam. Sementara Eugenia terus nyanyi-nyanyi bersama beberapa peserta tour yang duduk di bagian belakang bus. Tumben kali ini dengkuran Om yang biasa ngorok keras tidak begitu terdengar. Sebagian penumpang lainnya juga terpekur, termasuk Ade, seorang pengusaha sukses Menado yang katanya semalam berhasil banyak mengeruk kemenangan di Casino Montreal dam baru pulang ke hotel jam 6 pagi. Tadi pas makan siang sempat cerita bahwa dia maen di VIP room yang minimal harus membawa USD 10.000 sebagai deposit. Saya jadi ingat salah seorang rekan saya Hwee yang juga pelanggan setia VIP Casino di Singapore. Dia bilang bahwa maen judi di VIP ada peluang menang sementara kalau di lantai bawah ndak bakalan bisa menang. Alasan yang dia kemukakan adalah kalau di tempat reguler lantai bawah, antar pemain saling makan-memakan sementara di VIP biasanya sesama pemain bekerja sama mengeroyok bandar, jadi punya peluang untuk menang. Filosofi ini menurut Hwee juga berlaku dalam kehidupan. Orang-orang kecil, apalagi yang berjiwa kerdil akan saling berjibaku bahkan saling membunuh untuk memperebutkan rejeki yang cuman seupil. Sedangkan orang-orang besar atau yang berjiwa besar, kalau menemukan rejeki besar selalu akan ingat rekan-rekan yang ada di jejaringnya untuk saling menikmati rejeki tersebut. Wow, dalam banget tuh filosofinya. Aku mengamini filosofi tersebut walaupun aku tidak mengerti soal judi dan tidak memiliki pengalaman berjudi. Saya sendiri tidak bisa tidur sepanjang perjalanan Quebec - Montreal. Jadi saya gunakan waktunya untuk menulis blog ini. Tujuannya adalah untuk sekedar sebagai memory atas perjalanan yang indah ini, sekaligus untuk sharing, siapa tahu ada rekan yang berminat untuk berlibur di rute yang sama atau serupa. Setelah kehabisan bahan celoteh, aku gunakan waktu buat baca HBR yang terbaru, September 2012 yang memang sudah didown load ke Ipad oleh rekan sekaligus adik idiologisku, So Yohanes Jimmy. Judulnya artikel utamanya sangat menarik "The (surprisingly) Simple Rules of Strategy". Bisa buat bahan kulakan dalam proses pengajaran, dari pada bengong atau maenan game yang ndak jelas. Sampai di Montreal jam 9.30 kami langsung makan malam. Another Chinese Food sebagai menu makan malam, tapi kali ini menunya lebih lezat. Ada sup, barbeque combo, lobsters, sapi, cumi, dan sayuran. Untuk soal makan ATS memang cukup bagus. Hampir semua menu makanannya, baik Chinese, Thai, Korean maupun Japanese foodnya bisa diterima oleh lidah rata-rata para peserta tour. Yang belum kami nikmati adalah the real American steak yang katanya akan disajikan di New York. Pilihan hotelnya juga relatif ok. Kebanyakan adalah hotel-hotel tua di pinggiran, tapi bintang 4 dan kamarnya bersih. Yang kami complain kali ini cuman tour leadernya aja. Benar-benar bolot.

Day 7

Day 7 - August 23, 2012 Semalam aku tidur nyenyak sekali, walau tanpa melatonin. Mungkin badan udah terlalu lelah dihajar perjalanan tour selama 6 hari. Setiap hari angkut koper dan pindah dari 1 hotel ke hotel yang lain. Program 6 - 7 - 8 menjadi kegiatan rutin tiap hari. Buat saya yang golongan bangsawan (bangsa-ne wong tangi awan) ini sangat memberatkan. Di Jakarta saja saya tiap hari bangun rata-rata jam 7.00 - 7.30 pagi. Tentu saja kecuali kalau maen golf, jam berapapun bangun tanpa sungkan. Itulah anehnya golf. Aku jadi ingat kata-kata Prof Komarrudin Hidajat waktu kami main golf bersama di Jagorawi. "Ada 3 hal yang bisa membuat orang Indonesia menjadi tepat waktu secara sukarela, yaitu berbuka puasa, ambil gajian dan maen golf. Lainnya seperti jam masuk sekolah, jam masuk kantor bahkan jam sholatpun tidak dijalani dengan sukarela." Bener juga ya. Kalau mau golf bangun pagi rasanya langsung seger. Kalau ini, masya allah, kalau bisa molor dikit lagi barang 5 - 10 menit lagi rasanya adalah satu kemewahan. Tapi khan kalau aku terlambat akan mengganggu rombongan lain. Sampai saat ini selama 7 hari, kami semua relatif on time dengan rutin 6 - 7 - 8. Kerutinan yang lain adalah menu sarapan pagi. Tiap hari tanpa kecuali, selama di US dan Canada menu sarapannya adalah scrambled egg or kadang ada omelete, bacon, sausage, roti dan minum orange juice dan kopi. Tidak kurang tidak lebih. Pagi ini ketika turun ke resto hotel Toronto Don Valley, menunya juga persis sama lagi. Benar-benar membosankan. Aku sama sekali ndak selera lagi makan. Pagi ini aku cuman ambil beberapa potong buah, juice jeruk dan menyeruput 2 cangkir kopi hangat. Ndak lebih dan ndak minat makan lainnya. Soal rutinitas makan pagi, waktu aku kecil di Slawi, Tegal, tiap hari aku juga makannya rutin, yaitu nasi sambel goreng Ke Hiap, nasi bogana Ngkim Sia Ye, nasi lodeh atau ketan lodehnya Yu Tuti. Kalau sore makan gorengan tahu Yu Simah. Itu terus selama bertahun-tahun dan tidak pernah bosan. Mungkin memang selera saya adalah selera ndeso, jadi ama hal-hal yang berbau ndeso ndak cepet bosen. Ini baru 7 hari makan "American Breakfast" aja udah ndak selera sama sekali. Soal omelete, aku jadi ingat kisah ketika kami baru menikah dulu. Aku pernah diajak makan pagi di hotel oleh kakakku dan salah satu menunya adalah omelete. Menurutku saat itu omelete adalah menu yang sangat-sangat mewah dan enak sekali rasanya. Kenangan soal keenakan omelete membekas kuat di benakku. Maklum selama di Slawi/Tegal dan kuliah di Salatiga, cuman ngerti ndog ceplok (telur mata sapi) dan ndog dadar (telur dadar). Beberapa waktu kemudian ketika aku makan berdua istriku di RM Singapore di Batu Ceper aku inget soal omelete. Selesai makan aku pengin tambah pesen omelete. Aku masih inget, harganya waktu itu Rp. 7000,-. Kami berdiskusi lama tambah ndak ya, tambah ndak ya. Pengin nyobain omelete tapi kok mahal sekali. Akhirnya kami memutuskan untuk "nekad" tambah omelete dan itulah omelete paling enak di dunia. Itu juga pertama kalinya aku dan istriku makan "mewah" dengan bayar sendiri di Jakarta. Sebelumnya kalau makan enak selalu diajak dan dibayarin oleh ciciku Esther dan koh Frankie. Maklum itu adalah tahun-tahun pertama kami merintis jalan hidup di belantara Jakarta. Thanks oh frank n Cie Hoen. He... Kok jadi nostalgia sih. Sekarang kembali ke soal tour. Pagi ini acara tournya bakalan membosankan karena kami harus menempuh perjalanan panjang dengan bus dari Toronto ke Ottawa yang jaraknya sekitar 510 km, lalu setelah makan siang dan City Tour di Ottawa lanjut lagi ke Montreal yang jaraknya sekitar 215 km dari Ottawa. Berarti kalau aku hitung-hitung total hampir 750 km lewat high way. Betapa membosankannya. Mr. Young, driver bus kami dari mainland China, bakalan kerja keras hari ini. Sepanjang perjalanan paruh pertama Toronto - Ottawa, istri dan anak-anakku tidur terpekur. Si Om yang biasa begitu naek bisa langsung molor juga bahkan sudah menyulingkan ngoroknya sebelum kita sempat masuk ke highway. Aku sendiri ndak bisa tidur dan celakanya ndak punya akses internet. Aneh ya, di negara semaju Canada tidak disemua tempat bisa dapat wifi gratis. Bahkan yang jual kartu pra bayar telepon pun belum aku jumpai. Di Indonesia soal ini rasanya jauh lebih maju. Hampir di setiap cafe, mall, convenience store selalu ada wifi gratis. Kartu SIM pradana juga mudah dibeli di setiap sudut kota, bahlan dengan harga yang sangat murah. Bahkan menurut Om Robert, ftje senior yang sudah jadi warga negara Canada, dia terkejut banget waktu berkunjung ke Indo beberapa waktu lalu dan melihat tungkat becak di kampung (kota kecil) di Indonesia sudah pakai handphone. Jangan-jangan malahan juga punya akun facebook or tweeter. He.... Satu hal yang aku amati selama jalan di highway adalah truk-truk besar 18 roda. Bentuk kepala truknya gedhe banget bila dibandingkan dengan truk-truk di Indonesia. Bukan cuman gedhe tapi keren. Ntar kalau pas berhenti di pempat peristirahatan akan aku jepret. Aku kok seneng lihat truk-truk tersebut. Wow very lucky. Di pemberhentian setelah 2 jam perjalanan dari Toronto kebetulan tidak terlalu jauh dari parkiran bis kami ada beberapa truk "kepala gedhe" yang sedang parkir. Aku langsung ambil gear dan jeprat-jepret. Kebetulan ada satu supir truk yang pakai udeng-udeng di kepala seperti bangsa Sigh yang bersedia berpose di depan truknya. Bahkan satu supir truk "bule" lainnya mengijinkan Gaby untuk naik ke dalam truknya dan berpose di balik pintu kemudi dan juga berpose bersama Gaby. Aku juga langsung ajak Eugenia berpose di samping truk. Dia memang paling senang bisa disuruh bergaya dan difoto. Semalam saja dia menolak waktu saya ajak keluar minum bareng Om Robert dan Om Istanto karena dia mau menyaksikan proses seleksi Miss Canada yang kebetulan memasuki tahap penjurian dan dilaksanakan di kolam renang hotel. Betah dia menyaksikan para calon Miss Canada berlenggak-lenggok merajut mimpi menjadi orang tercantik se Canada. Sekilas saya sempat melongok dan kelihatan bahwa yang namanya calon Miss Canada tidak semuanya "bule". Bahkan mungkin separuhnya adalah orang kulit hitam, kuning, merah dan bukan si kulit putih (bule asli Canada). Ini menunjukkan Canada memang bangsa multi etnis. Kembali ke soal truk berkepala besar, aku juga sempat melongok ke dalam truk tersebut. Ternyata di belakang jok pengemudi ada satu ruangan yang cukup lapang sebagai kamar tidur pengemudi. Trucknya juga dilengkapi dengan peralatan modern seperti AC, GPS dan handy talky dan audio video. Kursi pengemudinya juga kentul-kentul, kelihatan nyaman diduduki. Kenapa di Indonesia ndak ada truk semewah itu ya. Menurut ipar saya yang juga seorang pengusaha truk, di Indonesia didominasi oleh truk buatan Jepang dengan merk Hino, Nissan, Mitsubishi, Isuzu dan sebagian Mercedez. Semuanya adalah tipe truk bercucuk ceper, tidak seperti truk buatan US yang hidungnya mancung. Di Indonesia juga mulai ada beberapa merk Scania ex East Europe dan merk-merk China, walaupun jumlahnya masih sedikit. Yang membedakan hidung mancung dan pesek adalah posisi mesinnya. Di truk-truk buatan Amerika yang hidungnya mancung, mesinnya terletak di bagian depan yang mancung. Sedangkan truk buatan Jepang dan Eropa yang pesek mesinnya terletak di bagian bawah. Rata-rata kapasitas mesin truk-truk 18 roda buatan Jepang yang beredar di Indonesia adalah 6500 - 7500 cc. Saya tadi ndak sempet nanya berapa kapasitas mesin untuk truk Amerika. Memasuki kota Ottawa tepat jam 1 siang, kami langsung makan siang di Thai Food di dekat down town. Kota Ottawa adalah ibukota Canada dengan penduduk sekitar 900.000 orang. Pemandangan gedung-gedung tua dan artistik mewarnai keindahan kota Ottawa. Sayang sekali saya tidak bisa banyak mengeksplor keindahan kota itu lewat jepretan kamera karena rombongan tour digiring untuk shopping di mall di belakang hotel Westin. Buat saya shopping ini adalah acara yang paling menjengkelkan. Kalau sekedar shopping, apa bedanya dengan di Jakarta, bahkan mall-mall di Jakarta jauh lebih indah, megah dan besar dibandingkan mall di Ottawa. Tapi perempuan (istri dan anak-anak) memang punya logikanya sendiri. Bagi mereka shopping is part of their life. Seolah kalau pergi keluar negeri dan ndak shopping maka dunia akan berhenti. Kalau cowok masuk ke satu toko pasti karena ada barang yang dibutuhkan dan pengin dibeli. Kalau cewek logikanya kebalik, mereka masuk ke toko karena barang kali ada yang bisa dibeli. Perbedaan itu emang mungkin sudah kodrati. US Dollar ternyata tidak bisa diterima sebagai alat pembayaran di mall. Saya tidak mengerti policy di baliknya, mungkin peraturan pemerintah memang membatasi transaksi domestik harus dengan mata uang asing. Setelah belanja terpaksa pembayaran dilakukan dengan kartu kredit. Dan kartu kredit Indonesia ternyata sama sekali tidak bermasalah digunakan, selama sudah melakukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada provider penerbit kartu kreditnya sebelum keberangkatan. Saya masih ingat dulu jaman krismon saya pernah mengalami seluruh kartu kredit yang saya miliki tiba-tiba ditolak oleh pihak hotel di kota Rio de Janiero Brazil. Padahal saat itu saya tidak memiliki dana tunai yang cukup. Terpaksa ngutang dulu ama staf lokal Brazil. Kesan saya akan kota Ottawa adalah indah dan damai. Berjalan menyusuri kota Ottawa terasa lebih merasa aman dibandingkan dengan waktu jalan di Holliwood LA maupun di New York. Saya yakin tingkat kejahatan di kota Ottawa jauh lebih rendah dibandingkan dengan LA apalagi NY. Mungkin karena jumlah penduduknya yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan LA ataupun NY. Bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kota Semarang. Mungkin hanya sebanyak kota Solo aja. Jadi relatif lebih aman. Di samping itu saya perhatikan secara sekilas, ukuran tinggi dan lebar badan rerata orang Ottawa juga lebih kecil dibandingkan dengan orang Amrik. Emang ada beberapa yang kelas "raksasa", tetapi secara rerata lebih kecil. Tepat jam 4.30 sore kami melanjutkan perjalanan menuju ke kota Montreal. Perjalanan sepanjang 215 km ini kami tempuh dalam waktu 3 jam. Sepanjang perjalanan di high way yang lurus dan membosankan saya lihat hamparan kebun jagung berpuluh-puluh km panjangnya. Saya yakin Canada bersama Amrik adalah penghasil janggung yang cukup besar di dunia. Menurut ipar saya, Subekti, penghasil jagung terbesar adalah Argentina dan diikuti dengan US dan Canada. Menjelang memasuki kota Montreal kami sempat berhenti di rest area untuk kencing dan membeli beberapa makanan kecil. Yang menarik adalah penjaganya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan hanya bicara bahasa Perancis. Ternyata memang Canada itu dulunya terbagi menjadi dua, yaitu yang dijajah oleh Perancis dan yang dijajah oleh Inggris. Ini menyebabkan perbedaan mother tounge languagenya berbeda antara Montreal dan Toronto. Tepat jam 8 malam kami memasuki kota Montreal. Ada tiga hal yang mengejutkan saya dan memberikan impresi yang kurang baik tentang kota Montreal. Yang pertama adalah soal kebersihan kota. Dibandingkan tiga kota lainnya yang sudah saya kunjungi, yaitu Niagara Falls, Toronto dan Ottawa, maka Montreal adalah kota yang paling jorok. Sampah bertebaran di jalanan di dekat kami makan malam di China Town. Memang tidak separah di Jakarta, tetapi masih jauh lebih jorok dibandingkan kota lainnya. Yang kedua adalah soal penerangan kota yang relatif lebih remang-remang dibandingkan Ottawa dan Toronto. Yang ketiga adalah soal pengemis dan tukang membersihkan kaca mobil. Ini baru saya temui di Canada. Sudah mirip dengan di Jakarta dengan persentasi yang lebih kecil. Saya menduga perbedaan income di kota Montreal lebih lebar dibandingkan kota lainnya. Sehingga secara logis harusnya tingkat kriminalitas Montreal lebih tinggi dibandingkan dengan kota lainnya. Saya ndak tahu sejauh mana kebenaran dugaan saya, tetapi kesan "lebih tidak aman" saya rasakan dibandingkan ketika di Ottawa dan Toronto. Selesai makan malam kami langsung check in di hotel. Kembali lagi rombongan dipisah tanpa ada penjelasan yang memadai. Kami tinggal di Holliday Inn hotel yang terletak di tengah kota. Saya ndak tahu di mana rombongan yang satunya tinggal. Tumben kali ini tour leader kami cukup cepat menangani soal check in. Kami juga mendapatkan kamar yang connecting. Tapi ternyata saya harus menunggu lebih dari 1 jam karena salah satu kamar saya belum dibersihkan sama sekali. Saya complain langsung ke pihak reception hotel tanpa memberitahukan ke tour leader, karena saya yakin penyelesaiannya akan lebih lama. Di hotel inilah pertama kalinya beberapa dari kami mendapatkan signal wifi yang bisa digunakan untuk mengaktifkan black berry. Sejak masuk Canada wifi hanya bisa buat browsing aja dan ndak ada logo bb nya sehingga ndak bisa buat bbm dan terima email. Anehnya beberapa peserta tour juga tidak bisa mengaktifkan bb connectionnya, termasuk saya. Mbuh kenapa. Sudah saya ukrek-ukrek, copot baterei, up grade aplikasi juga masih budeg. Kok aneh ya, padahal Canada adalah pusatnya Research in Motion (RIM), perusahaan penerbit BB. Akhirnya saya nyerah dan terpekur tepat menjelang tengah malam.

Kamis, Agustus 23, 2012

Day 6

Day 6 - August 22, 2012 Semalam aku ndak bisa tidur nyenyak, mungkin gara-gara tertimpa angin dingin semalam di Niagara Falls. Terpaksa pada pukul 3 pagi saya menenggak lagi sebutir melatonin dan setengah jam kemudian sudah hijrah ke awang-awang. Akibatnya aku bangun agak kesiangan, yaitu 6.30. Dari jendela kamar Hotel Radisson saya menyaksikan terbitnya matahari pagi yang kemerah-merahan. Jiwa fotograferku terusik, sayang mata masih sepet banget dan ndak mau kompromi. Terpaksa ndak jadi jeprat-jepret karena waktunya juga mepet. Tepat jam 8 pagi kami dijemput rombongan yang menginap di Hilton dan langsung menuju Niagara Falls. Pemandangan Niagara Falls di waktu pagi jauh lebih fantastis dibandingkan dengan semalam. Jutaan liter air tertumpah setiap detik dari 2 air terjun tersebut. Yang kanan namanya Bride Felt Falls yang konon nama itu diambil dari nama calon pengantin wanita yang bertahun-tahun menunggu calon suaminya yang tak kunjung tiba. Dia akhirnya bunuh diri dengan melompat ke air terjun tersebut, sehingga namanya diabadikan karena arwahnya dipercaya sebagai penunggu air terjun Niagara. Kok mirip dongeng Nyi Loro Kidul di Jogja ya. Niagara Falls adalah salah satu air terjun yang terbesar dan terindah di dunia. Air terjun lainnya yang juga tidak kalah fantastisnya dan pernah saya kunjungi adalah Iguana, yang terletak di perbatasan 3 negara, Brazil, Argentina dan Chile. Dulu waktu tinggal di Goias, Porto Alegre, South Brazil untuk training kulit, saya pernah mengunjungi air terjun tersebut. Bahkan pernah melihat air terjun tersbut dari ketiga sudut pandang negara dengan menaikki chopper. Itu udah lama sekali, mungkin sekitar tahun 1995. Seingetku Iguana juga tidak kalah indah dibandingkan dengan Niagara Falls. Setelah mengantri selama 15 menit, kami semua diberi jas hujan warna biru bertuliskan Maid of the Mist dan menaikki kapal yang akan mengitari kedua air terjun tersebut dari dekat. Benar seperti kata Mantan Dekan FTJE, Dr. Ferryanto yang memang pernah tinggal di Canada dan sekarang menjadi salah satu eksekutif di Novartis, bahwa pemandangan akan jauh lebih fantastis bila kita melihat dari kapal. Ternyata tidak mudah mengambil gambar Niagara Falls dari dekat karena sudut pengambillan gambar yang terbatas akibat banyaknya penumpang kapal yang saling berdesakan dan butiran-butiran air yang tumpah. Akibatnya lensa dan bodi kamera basah kuyup. Rekan sesama tour saya yang pakai DSLR Nikon kameranya langsung ngadat kesembur butiran-butiran air yang emang cukup deras. Saya sih ndak kawatir soal lensa dan kamera tersebut karena hakekatnya 1Dx dan lensa L series sudah water proof. Ketika semakin dekat ke air terjun dan semburan air juga semakin menggila, ndak ada satu turispun yang masih motret. Semua menyimpan kamerannya di balik jas ujan. Inilah kesempatannya. Saya jeprat-jepret karena sudut pandang lebih leluasa. Ternyata di sampingku juga ada orang yang "nekad dan gila" juga ikutan motret. Saya lirik sekilas ternyata agamanya sama-sama Canon. Setelah kapal menjauhi Niagara Falls, kami sempat berbincang. Dia adalah rombongan tour lain dari Surabaya, dan yang menarik kameranya ternyata sama-sama Canon 1Dx. Pantesan dia ndak takut ama air. Yang lebih menarik lagi nomer seri kamera tersebut 002, sedangkan nomer seri kamera saya 001. Wow satu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Selesai dari Niagara, sambil menunggu bis, kami sempat jeprat-jepret di taman di depan Hard Rock Cafe. Sebenarnya saya pengin motret hanya pemandangannya saja, tapi lagi-lagi tiga cewek yang hidup ama saya selalu berdiri dan berpose bahkan saling berebut untuk dipotret. Ya udah lah, tema motretnya diganti dengan outdoor fotografi. Tepat jam 12 siang kami makan di resto Lotus Garden dengan menu chinese food. Ternyata masakannya lumayan enak lho, mungkin akibat dari banyaknya pelarian ex Hong Kong sebelum tahun 1997, ketika HK akan di hand-over ke China. Saat itu banyak warga HK yang ketakutan HK akan menjadi negara dengan pemerintahan represif seperti China. Maka berbondong-bondong penduduk HK banyak yang mengungi ke luar, terutama ke Canada dan Ausy. Obyek pertama yang kami kunjungi di Toronto adalah CN (Canada National) Tower yang katanya adalah tower tertinggi ketiga di dunia. Kalau di Jakarta yang mirip Monas. Antrian panjang dan mengular menyambut kedatangan kami. Hampir 30 menit hanya untuk mengantri dapat lift dan begitu masuk lift dan naik 1 lantai lift langsung macet. Kelihatannya soal macetnya lift ini bukan hal yang baru, karena petugasnya tampak tenang dan langsung menghubungi pihak security. Dalam 5 menit security datang, buka pintu dan bantu dorong untuk menutup pintu dari depan. Langsung liftnya naik lagi. He.... Ternyata di Canada liftnya juga bisa macet seperti di Indonesia. Waktu menaikki CN Tower, saya jadi ingat Monas. Saya sendiri hanya sekali naik ke Monas. Itupun sudah 32 tahun lalu, yaitu ketika study tour sebagai siswa SD Pius Tegal. Mungkin turis-turis domestik maupun asing yang datang ke Jakarta juga antri pengin naik ke Monas. Suhu udara di Toronto pada akhir musim panas ini cukup ekstrim. Tadi pagi di Niagara City suhu cukup dingin, mencapai sekitar 15 derajad. Jadi saya pakai celana panjang dan jaket. Ternyata hanya dalam 2 jam, ketika mentari sudah mulai mecungul suhu naik drastis menjadi sekitar 28 derajad. Wow, satu perubahan yang menurut saya cukup ekstrim. Di Jakarta perbedaan suhu paling banyak 4 derajad antara siang dan malam. Selesai dari CN Tower kami mengunjungi City Hall. Menurut Tour Leader ada 2 City Hall, yaitu yang lama dan yang baru. Yang lama bangunannya tampak antik dan sekarang dipakai untuk gedung Pengadilan kota Toronto. City Hall yang lama didirikan tahun 1838 ketika Canada masih di bawah koloni Inggris. Sedangkan City Hall yang baru bentuknya sudah merupakan gedung modern. Sepulang dari City Hall istri saya dan adiknya, Tutik Ariani sudah mencar duluan dari tour dan janjian dengan So Theresia Fenny Soraya. Dia mau mencari boutique Mac karena mau cari beberapa jenis kometik Mac Pro yang memang tidak dijual di Indonesia atau bahkan di negara-negara Asia lainnya. Thanks Fenny yang sudah menyempatkan diri untuk menemani Susy dan Tutik. Anak-anakku, Gaby dan Eugenia serta anak-anaknya Tutik, Phillips dan Jeanice nyusul mereka belanja bersama suaminya Tutik, Subekti, sehabis makan malam di Restaurant Thailand. Dasar perempuan emang demennya belanja. Saya sendiri melanjutkan tour ke University of Toronto, yang merupakan universitas tertua di Canada. University of Toronto terletak di tengah kota, hanya berjarak kira-kira 1.5 km dari pusat kota Toronto. Menurut mahasiswa kedokteran yang saya ajak ngobrol, total luas lahan universitas ini sekitar 70 ha, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan kampus Universitas Indonesia Depok yang mencapai lebih dari 250 ha. Universitas ini didirikan tahun 1827 sebagai King College, sebuah institusi pendidikan pertama untuk higher education di Canada. Secara akademis University of Toronto sebagai research university berhasil mengembangkan penelitian dan banyak mendapatkan penghargaan kelas dunia di bidang medis, diantaranya penemuan insulin pada tahun 1921 dan yang pertama kali menelorkan konsep stem cell tahun 1963. Kami mengunjungi salah satu gedung tertuanya yang digunakan oleh Faculty of Medicine. Di samping gedung itu terpampang plakat pernghargaan atas penemuan insulin yang merupakan salah satu breakthrough dalam dunia pengobatan diabetes. Hampir semua anggota tour yang lain kelihatannya tidak berminat untuk melihat-lihat lebih lanjut. Tetapi bagi saya benar-benar merasa "feel at home". Sebagai seorang Faculty Member sejak 1998, universitas adalah rumah bagi saya dan profesi sebagai dosen adalah panggilan batin yang benar-benar saya hayati dan nikmati. Itulah yang mendorong saya memutuskan untuk merampungkan studi sampai paripurna di jenjang doktoral pada tahun 2008. Mungkin jiwa sebagai seorang faculty adalah turunan dari ibu saya yang dulunya juga seorang guru, walaupun hanya guru bahasa Inggris di sekolahan China di Tegal. Sayang saya tidak berkesempatan mengunjungi gedung-gedung fakultas lain karena waktunya sangat terbatas. Konon Faculty of Art and Science adalah fakultas paling favorit di Uni of Toronto di samping tentu saja Faculty of Medicine. Sepulang makan malam kami check ini di hotel Toronto Don Valley yang dulu namanya Crown Plaza dan setelah mandi saya dijemput oleh dua senior saya beserta istri masing-masing, yaitu koh Robert (ftje 1976) dan koh Istanto (ftje 1975). Saya dan istri diajak ngopi di dekat hotel, yaitu Tim Horthon. Kami ngobrol layaknya sahabat lama yang lama tak bersua, padahal emang sebenarnya sepanjang hidup saya, perjumpaan saya secara langsung dengan om Robert hanya kurang dari 6 jam, yaitu waktu Om Robert berkunjung di Jakarta tahun lalu. Sisanya hanya komunikasi via ftjenet. Itulah hebatnya ftjenet, bisa mempersatukan lintas angkatan, lintas benua, lintas ras dan agama serta lintas kasta. Saya yakin jarang ada ikatan almamater yang bisa seerat dan sehebat ini. Penyambutan yang sangat hangat dari senior berdua membuat kami terharu. Di belahan dunia lain ini, di negeri kulkas, kami merasa memiliki saudara. Terima kasih Om Robert dan Om Istanto. Sayang saya tidak sempat ketemu "tuhan" Djoni (ftje 1972) karena kesibukan beliau. Ada satu hal menarik waktu kami nyeruput kopi sambil ngobrol. Secara sekilas saya perhatikan, dari 9 meja pengunjung kafe tersebut tidak ada satupun yang merupakan penduduk asli, maksudku bule Canada. Semuanya orang asing walaupun mungkin sudah menjadi WN Canada seperti Om Robert. Di belakang, samping kiri, samping kananku adalah orang item. Dua meja yang di sudut depan kiri orang China. Ada orang Amerika Latin yang ngomongnya pakai bahasa Spanyol. Mungkin orang Argentina atau Uruguay/Paraguay. Di samping kananku 2 orang cewek yang mukanya mirip orang Brazil, tapi menurut Om Robert adalah orang Guyana, yaitu keturunan India yang dibawa oleh Inggris. Busyet dah yang satunya cuantik sekali, sampai aku bolak-balik curi-curi pandangan mata. Kalau terlalu nengok khan ndak enak ama para istri yang juga lagi asyik ngobrol. Menurut istrinya Om Robert, di Toronto memang 55 persen dari 2.1 juta penduduknya adalah imigran. Sisanya yang "orang lokal" malahan banyak tinggal di luar kota Toronto. Kondisi inilah yang menyebabkan tingkat rasialisme di Canada pada umumnya atau Toronto pada khususnya, relatif boleh dikatakan tidak ada. Berbeda dengan di Ausy yang konon lebih tinggi tingkat rasialisnya, walaupun tentu juga di Indonesia. Indahnya sebuah "Unity in Diversity", ke-binneka ika-an yang sebenarnya. Tepat jam 11 malam kami balik ke hotel dan siap-siap molor agar punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan besok ke Montreal. Sekali lagi thanks atas penyambutan Om Robert dan Om Istanto.

Day 5

Day 5 - August 21, 2012 Memasuki hari kelima tour badan sudah terasa lebih nyaman karena biological clock saya sudah mulai beradaptasi dengan zona waktu Amrik. Ini tentu berkat bantuan melatonin tablet yang tiap malam saya minum untuk membantu mengurangi dampak dari jetlag. Eugenia juga sudah 2 hari ini saya beri melatonin karena dia kelihatannya cukup parah jetlagnya. Kalau malam ndak bisa tidur dengan nyenyak. Saya kawatir dia jatuh sakit. Bisa berabe donk kalau sakit diperjalanan yang masih panjang ini. Satu hal yang belum saya dapatkan adalah kartu telepon lokal Amrik. Sudah coba ke beberapa supermarket seperti K-mart, Wall-mart dan Target-mart, tapi mereka ndak jual kartu perdana. Yang mereka jual hanya pulsa refillnya saja. Akibatnya akses terhadap internet sangat terbatas. Saya cuman bisa on line kalau ada wifi dan ternyata di Amrikpun ndak semua tempat ada fasilitas wifi gratis. Hari ini diawali dengan rutin ATS 6-7-8, yang artinya morning call jam 6, breakfast jam 7 dan start jam 8. Sampai hari kelima ini, atau tepatnya hari kedua tour bersama, semuanya masih on time. Ndak ada yang tertinggal atau telat. Hari ini kami menempuh perjalanan dengan bis cukup jauh, dari Washington DC ke Niagara. Sesi pertama perjalanan adalah menuju ke Herseys Chocolate Factory yang berjarak 2.5 jam dari DC. Sepangjang perjalanan lewat highway yang kali ini hanya 2 -3 lajur, dibandingkan dengan dari NY ke DC yang 4 - 6 lajur, saya ndak tidur. Tapi ada satu rekan tour yang begitu masuk bus bisa langsung ngorok. Dan anehnya sepanjang perjalanan ngorok terus. Aku jadi inget bapakku yang juga punya kebiasaan serupa. Pinginnya jalan-jalan, tapi begitu masuk mobil langsung molor. He.... Menjelang Hersey si pengemudi bus, Mr. Young yang berasal dari daratan China, tiba-tiba melambatkan laju kendaraannya. Ternyata ada seorang polisi pakai moge dengan seragam biru yang mengejar pakai motor. Kami semua tersentak, wah bakalan ditilang karena speeding nih. Ternyata si Mr. Pritt hanya melambaikan tangan saja sambil menunjuk rambu batas kecepatan yang terbaca jelas 55 mph. Saat itu kami melaju dengan kecepatan 75 mph. Dalam hati sih saya pengin disetop karena pengin tahu bagaimana proses penilangan di Amrik. Apakah beda dengan "salam damai" yang sering terjadi di Indonesia. Oya jalanan baik highway (tol antar kota) maupun freeway (tol dalam kota) saya amati semuanya gratis. Mungkin karena pemiliknya adalah pemerintah yang membangun menggunakan duit pajak. Beda dengan di Indonesia yang melibatkan swasta untuk pembangunan. Kalau dari sisi kualitas kemulusan, buat saya tol jagorawi jelas lebih mulus dari jalan tol di sini, karena di sini mereka ndak pakai aspal tapi pakai beton. Jalan-jalan di Europe juga jauh lebih mulus. Tapi emang jalanannya lebar-lebar. Waktu membangun pemerintah Amrik benar-benar memikirkan perhitungan kapasitas 10 - 20 tahun mendatang. Beda dengan Indonesia. Jalan tol hanya maksimal 3 lajur dan akibatnya dalam 10 tahun udah jadi lahan parkir raksasa akibat kemacetan. Soal infrastruktur jalan, Chairman Mao dari RRC berkata bahwa kalau negara mau maju maka harus membangun jalanan sebanyak-banyaknya. Amrik sudah melakukannya bahkan di tahun 1900an dengan pembangunan jalur jalan kereta api yang terkenal dengan nama Pacific Railway. Pembangunan jalur KA ini punya kontribusi yang luar biasa terhadap kemajuan perdagangan Amrik. Waktu pembangunan Pacific Railway itu banyak daerah atau negara bagian yang berseteru, bahkan berperang, memaksakan agar jalur KA tersebut memasuki negara bagiannya. Akibatnya jalur Pacific Railway emang jadi berkelok. Ini jelas kontradiksi sekali dengan kondisi di Indonesia. Yang jadi menu sehari-hari adalah sekelompok masyarakat desa atau daerah tertentu yang rame-rame menolak lahannya digunakan untuk pembebasan tanah pembuatan jalur jalan tol. Alasannya macam-macam, tetapi yang paling dominan adalah karena adanya "makam leluhur" yang perlu dihormati dan tidak boleh diganggu gugat. Masya Allah. Memang Ironis, tapi itulah faktanya. Pantesan Indonesia susah untuk maju pesat karena keterbatasan infrastruktur pendukung sebagai negara maju. Kami berhenti di Herseys Chocolate World menjelang makan siang. Acara diawali dengan Hearseys Chocolate Tour mengendarai kereta, seperti di Istana Boneka Ancol, cuman kali ini yang dilihat adalah proses pembuatan coklat, mulai dari bahan baku coklat, penimbangan mixing, blending, sampai ke final packaging. Buat anak-anak ini satu pemahaman yang menarik. Menurut saya ini hebat karena mampu merubah konsep orang dari sekedar beli coklat ke satu "experience" yang mengasyikkan. Ndak heran sesudah selesai tour banyak orang yang menjinjing kantong plastik berisi coklat dan pernak-pernik lainnya. Aku sendiri hanya beli kaos dan topi yang lucu. Sambil menunggu rombongan tour yang lain untuk melanjutkan perjalanan ke boarder Canada di Niagara City sama menyeruput rokok sambil melihat tingkah polah beberapa orang US yang lalu lalang. Saya perhatikan secara rerata penduduk US menagalami masalah besar dengan obesitas. Banyak laki maupun perempuan yang ukuran tubuhnya "raksasa", bahkan beberapa di antaranya mengalami kesulitan dalam bergerak. Waktu di downtown Disneylang LA saya lihat banyak orang-orang "raksasa" ini yang pada naek vespa, semacam scooter kecil yang digerakkan oleh tenaga baterei. Dijamin mereka sudah ndak kuat jalan. Ini berbeda total dengan rerata masyarakat Vietnam. Di vietnam hampir ndak pernah aku lihat orang gemuk. Semuanya kurus-kurus. Kalau saya perhatikan ukuran makanan orang Amrik, ukuran gelas coca-colanya emang ukurannya cocok untuk orang-orang "raksasa". Maka dari itu mobil-mobil dengan cc besar laku dan mobil city car seperti Yaris jarang terlihat di jalanan. Ironisnya adalah rumah-rumah mereka yang aku lihat di pedesaan sepanjang jalan dari Herseys ke perbatasan Canada kecil-kecil. Kok bisa ya. Selesai makan kami melanjutkan perjalanan menuju ke Buffalo, yaitu perbatasan US - Canada. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu 6 jam dan membosankan ini saya melihat pedesaan Amrik yang asri. Rumahnya relatif kecil untuk orang ukuran "raksasa" tapi halamannya luas. Saya jadi bisa membayangkan apa yang dulu dimaksudkan oleh rekan FTJENET sekaligus mantan Dekan FTJE, Dr. Ferryanto yang mengatakan bahwa halaman rumahnya luas sekali. Amrik emang lapang dan luas sekali. Tepat jam 8 malam kami sampai di rumah makan Wester Steak Buffet. Rumah makannya penuh sesak dan sekali lagi saya melihat porsi makanan orang-orang Amrik yang emang gedhe. Selesai makan kami langsung menuju ke border. Pertama kami melewati imigrasi Amrik. Ndak ada check point sama sekali. Hanya ada palang dan bisnya berhenti 30 detik, lalu jalan lagi. Kami melewati Rainbow Bridge di mana di sebelah kiri kami adalah Niagara Fall. Dalam keremangan malam cuman tampak samar-samar air yang terjun. Ndak menarik sama sekali karena emang ndak kelihatan. He... Semoga besok bisa lihat dari dekat bahkan dari kapal "Maid of the Mist" dan konon pemandangannya sangat-sangat fantastis. Antrian kendaraan pribadi dan bus pariwisata cukup panjang ketika kami melalui imigrasi Canada. Sebelumnya tour leader kami sudah berpesan macam-macam dan terkesan menakut-nakuti tentang proses imigrasi memasukki Canada. Saya sendiri yang sudah beberapa kali pernah memasukki negara-negara aneh seperti Sudan, Yaman dan Pakistan, sih yakin bahwa ndak bakalan ada masalah berarti. Apalagi ini rombongan tour yang jelas. Ternyata dugaanku benar. Proses imigrasinya berjalan lancar-car tanpa ada hambatan sama sekali. Hanya antriannya yang emang panjang. Di depan gedung imigrasi terlihat Planet Holiwood dan casino. Beberapa rekan sesama tour sudah merencanakan untuk mengadu nasib di casino malam ini. Kami sendiri sekeluarga sih cuman pengin cepet-cepet sampai ke hotel. Setelah menempuh perjalanan dengan bus selama 14 jam sejak jam 8 pagi, boyok tua terasa pegel. Pengin cepet rebahan dan diinjak-injak ama Gaby n Eugenia. Ini adalah kali pertama bagiku memasuki negeri kulkas, Canada. Suhu udara yang relatif lebih sejuk di akhir musim panas ini menyambut kedatangan kami. Dari indikator suhu di bus menunjukkan suhu 72 derajad fahrenheit, hampir 6 derajad lebih dingin dibandingkan Washington DC tadi pagi. Di perempatan dekat imigrasi, tepat di bawah trafic light kami menyaksikan sepasang remaja saling berpangut bibir. Wow, asyiknya. Mungkin inilah satu simbul romantisme Canada. Setibanya di hotel Radisson, ketidakpuasan para peserta tour kembali terkuak. Tanpa ada penjelasan sama sekali, baik oleh tour leader utama, maupun tour leader "pendompleng", ternyata group tour dipisah tinggalnya. Sebagian tinggal di Radisson, termasuk rombongan saya, sebagian tinggal di Hilton. Saya sebut tour leader "pendompleng" karena emang sama sekali tidak berperan, incompetence, hampir ndak pernah berkata-kata apapun, bahkan ignorance. Saya heran perusahaan tour operator sebesar ATS bisa memilih dia sebagai TL. Menurut komplain beberapa rekan peserta tour, dia baru 2 kali bawa tour. Lah wong ngatur pembagian kamar aja ndak becus sama sekali. Beberapa keluarga yang membawa anak kecil dapat kamar yang terpisah lantainya. Waktu ditegur, malahan menyalahkan pihak hotel. Dasar bolot, wong tinggal saling ditukar aja antar peserta tour khan beres. Kalau dalam pandangan saya emang karakternya sama sekali ndak cocok sebagai TL. Kalau profesi itu dilanjutkan lama-lama baik dia, para peserta tour maupun perusahaan bahkan akan dirugikan. Rencana mau leyeh-leyeh setibanya di hotel langsung berantakan gara-gara bini dan anak-anak pengin melihat Niagara Falls di waktu malam. Maka dengan menenteng kamera serta tripod yang memang sudah saya persiapkan dari Jakarta, kami berjalan berombongan ke belakang Niagara Casino. Di tengah keremangan tengah malam, ketika rekan-rekan yang bawa kamera lain pada klunting, 1Dx menunjukkan keunggulannya. Thanks to koh Budianto Iskandar. Tepat jam 12 tengah malam lampu Niagara Falls dipadamkan. Kami kembali ke hotel.

Rabu, Agustus 22, 2012

Day 4

Day 4, August 20, 2012 Tepat jam 6 pagi telepon berdering. Padahal mata masih lengket dan punggung belum benar-benar lurus. Ternyata anak-anak sudah pada siap. Si kecil Eugenia sudah rapi dan Gaby juga sudah keramas. Bini udah bau wangi. He..... Ini adalah hari pertama tour yang sebenarnya. Kami akan menempuh perjalanan dengan bus bersama rombongan yang ternyata berjumlah 48 orang menuju ke Washington DC. Tour Leader kami bernama Steven, seorang anak muda bertubuh gempal yang kelihatannya cukup berpengalaman. Memang seharusnya dibutuhkan TL yang bagus untuk bisa membawa rombongan sebesar ini. Perjalanan dari NY ke DC memakan waktu 4.5 jam termasuk 2 kali stop buat down load kencing. Sepanjang perjalanan Tour Leader Steven menceritakan sedikit tentang sejarah Amrik. Pengetahuannya mengenai Presiden-Presiden keren Amrik cukup luas, mulai dari presiden paling berjasa memerdekakan Amrik, yaitu George Washington, Presiden yang berhasil membebaskan Amrik dari perbudakan Abraham Lindcoln yang kemudian meninggal ditembak lawan politiknya ketika sedang menyaksikan opera, Presiden Thomas Jefferson yang berhasil memperluas wilayah Amrik serta Presiden Barrack Obama yang merupakan Presiden Amrik pertama keturunan Afro America. Waktu menceritakan kisah Lindcoln, saya jadi ingat sebuah film yang sangat bagus dengan latar belakang apartheid yang menceritakan tentang ditemukannya cara pengobatan baby blue yang berjudul "Somethings the Lord Made". Film itu sangat bagus dan menyentuh yang saya tonton dan buat resensi filmnya sebagai salah satu tugas mata kuliah Knowledge and Change Management waktu saya menyelesaikan study doktoral. Film tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan seorang kulit hitam yang bekerja sebagai laboran berhasil menemukan cara mengoperasi baby blue, bayi yang baru lahir dengan kelainan jantung, tetapi sama sekali tidak mendapatkan penghargaan sama sekali hanya karena kulitnya yang hitam. Thanks to Lindcoln yang berhasil memperjuangkan penghapusan apartheid walaupun harus dibayar dengan nyawanya. Juga tentu saja ndak boleh dilupakan jasa Martin Luther King Sr dan Jr yang juga merupakan tokoh legendaris yang juga membayar keberhasilannya dengan nyawanya. Obyek wisata yang kami kunjungi setelah selesai makan siang di Japanese Steak, adalah Capitol Building, tempat para parlemen Amrik bersidang. Gedungnya cukup megah dan kami sempat foto-foto di depannya. Dari situ kami menuju ke the White House, yang warnanya putih dan bisa kami liat dari jarak lumayan dekat. Ternyata White House yang merupakan pusat kekuasaan Amrik tidak megah-megah amat. Istana Negara menurutku juga ndak kalah. Ada dua kisah menarik yang terjadi ketika kami mengunjungi White House. Yang pertama adalah ketika saya menyorongkan lensa 16-35 mm saya menjulur masuk ke jeruji besi yang membatasi pengunjung agar bisa mendapatkan gambar White House tanpa terhalang pager jeruji. Anakku yang kecil, si Eugenia langsung teriak, "Daddy ada tentara mau nembak you dari jauh". Kaget bener aku, ternyata emang ada sniper yang mengarahkan senjata dari posisi merunduk di semak-semak di kejauhan. Ya mungkin sekedar neropong dari tele senjatanya, untuk memastikan bahwa yang aku sorongkan melewati jeruji adalah lensa kamera dan bukan senjata pelontar. Toh aku ndak melakukan kesalahan apa-apa dan ndak mungkin ditembak karena emang tidak ada larangan apapun untuk itu. Di sampingku juga ada beberapa polisi berseragam yang berkeliaran mengamankan lokasi. Yang kedua adalah soal adanya 2 tenda keprihatinan yang masing-masing dijaga oleh 2 orang demonstran yang menghadap ke gedung putih. Jelas-jelas keberadaan 2 demonstran solo tersebut mengganggu pemandangan, tetapi mereka tidak diusir apalagi ditangkap. 2 mobil polisi standby di dekat tenda tersebut dan hanya mengawasi saja. Saya sempat ajak mereka ngobrol. Konon keduanya sudah lebih dari 3 bulan berturut-turut menggelar "dagangan" persis menghadap gedung putih. Yang satu mengusung tema tentang korupsi yang dilakukan para birokrat Amrik dalam kaitannya dengan skandal yang melibatkan mega corporation. Tag line dia adalah "US is NOT for SALE". Saya jadi ingat resensi buku Supercapitalism karangan Robert Reigh yang juga banyak mengungkap soal dampak negatif dari kapitalisme yang kebablasan. Yang satu lagi mengusung teman anti nuclear, dengan memajang foto-foto korban nuklir yang bahkan mengalami mutasi genetika. Gaby dan Eugenia sempat foto-foto bareng kedua demonstan tersebut. Dalam hati aku bertanya-tanya, kok bisa ya kedua demonstran solo tersebut tidak diusir. Dari gedung putih kami melintasi Monumen Jefferson yang terlihat dari dekat. Warna putih pada monumen itu belang antara bagian bawah dan atasnya. Konon memang pembangunan monumen tersebut sempat tertunda 20 tahun karena krisis. Mbuh bener po ora penjelasan Tour Leader tersebut. Obyek berikutnya adalah melihat Monumen Perang Korea. Di mataku yang ndak paham sejarah Amrik, itu cuman kumpulan beberapa patung tentara dengan ukuran sedikit lebih besar dari tinggi orang dewasa, yang berdiri memegang senjata di taman yang luasnya hanya 400an meter persegi. Monumen Lubang Buaya di Jakarta menurutku lebih bagus. He.... Berikutnya adalah Monumen Perang Vietnam. Yang kami lihat adalah patung 3 orang yang mewakili ras Amerika yang konon sangat berjasa dalam perang Vietnam, yaitu ras kulit putih (bule), ras kulit merah (meksiko) dan ras kulit hitam (negro). Katanya bendera Amrik yang tiga warna juga merupakan simbol dari jasa ketiga ras tersebut. Aku rak ngerti sejauh mana kebenarannya. Cuman logikanya khan perang Vietnam itu berakhir di 1976, sednagkan Amrik merdeka di tahun 1776. Mestinya bendera muncul duluan dibandingkan perang vietnam ya. Di dinding hitam sepanjang hampir 200 meter digrafir nama-nama tentara Amrik yang tewas dalam perang tersebut. Konon jumlahnya lebih dari 58.000 orang. Bagiku, kembali lagi yang ndak ngerti sejarah Amrik, perang Vietnam adalah "operasi logistik" terbesar di dunia di abad modern. Selama 20 tahun Amrik memindahkan alat-alat perang dan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pasukkannya lintas benua dari Amrik ke Vietnam. Dari sisi Strategic Management, kemajuan ilmu pengetahuan di bidang Functional Operation Strategy mengalami kemajuan yang sangat luar biasa berkat adopsi penemuan-penemuan di militer yang kemudian di aplikasikan dalam dunia bisnis. Salah satu yang paling momumental adalah pemakaian kontainer dalam pengangkutan barang via kapal yang mampu meningkatkan perdagangan barang lintas negara. Kontribusi perang Vietnam yang kedua adalah di bidang medis, yaitu penanganan dan penyembuhan paska operasi bedah yang ternyata jauh lebih cepat dibandingkan dengan yang tradisional. Obyek terakhir adalah Lindcoln Memorial yang berupa bangunan segi empat dengan pilar-pilar besar nan megah dan patung Lindcoln di dalamnya. Saya yakin tour historic ini akan jauh lebih menarik bila kami didampingi oleh Local Guide yang memang benari-benar mengerti dan memahami sejarah Amrik. Menurut Stevan, TL kami, ATS di Amrik emang ndak pakai local guide karena biayanya mahal sekali. Saya setuju untuk tempat-tempat wisata lainnya emang mungkin ndak perlu, tapi kalau di Washington rasanya itu kebutuhan mutlak. Otherwise we can just see another building without understanding the real history behind. Acara tour hari ini diakhiri dengan makmal di Korean BBQ resto. Menunya cuman satu, yaitu potongan daging sapi tipis yang dibakar, mirip seperti yang sering kami nikmati di Omori Resto gedung Mandiri di seputaran bunderan HI. Saya melihat beberapa peserta tour kurang bisa menikmati hidangan. Mungkin mereka ndak doyan sapi dan sudah kangen ama sapi pendek alias babi yang haram. He.... Sebotol soju menemani makan malamku, mebuat tubuh terasa hangat dan kepala agak nglieng sedikit. Cocok sebagai pengantar tidur. Kami bermalam di Hyatt Hotel Washington DC. Namanya sih keren, Hyatt, tapi hotelnya sudah sepuh bahkan indikator liftnya sering loncat-loncat sendiri. Selama beberapa hari ini saya amati hotel-hotel pilihan ATS cukup nyaman, dengan ruangan besar, tapi cenderung tua dan biasanya lokasinya di pinggiran kota. Malam ini pertama kalinya kami sekeluarga mendapatkan connecting rooms di lantai 12.