Menggali Akar Filosofis Perusahaan Ekonomi Berbagi
Dari Pemikiran Sang Proklamator
Fenomena unik menghiasi dunia bisnis saat ini. Uber yang sama sekali tidak memiliki aset berupa taksi adalah perusahaan taksi terbesar di dunia. Bahkan nilai perusahaan yang baru berdiri kurang dari 8 tahun ini sebesar 68,8 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan nilai perusahaan dari raksasa otomotif Amerika, the three giants, yaitu Ford, General Motor dan Chrysler.
AirBnB saat ini sudah menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia, walaupun tidak memiliki aset berupa hotel dan properti. Alibaba yang didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 saat ini adalah toko ritel terbesar di dunia, walaupun juga tidak memiliki aset berupa toko. Kapitalisasi pasarnya sudah melebihi toko buku online terbesar di dunia, Amazon, yang awalnya juga tidak punya aset fisik berupa toko buku.
Di ranah nasional, fenomena serupa juga terjadi. GoJek sudah bukan lagi hanya perusahaan "ojek" terbesar di Indonesia, tetapi sudah merambah ke jasa logistik (GoBox), pengiriman makanan (GoFood) bahkan sampai ke jasa pijat (GoMassage). Padahal mereka juga tidak memiliki aset berupa kendaraan. Bahkan baru saja GoJek mendapatkan suntikan dana segar baru sebesar USD 555 juta atau setara dengan Rp. 7.30 triliun. Investornyapun bukan perusahaan main-main yang sedang kelebihan dana, yaitu Kohlberg Kravis Roberts (KKK), Warburg Pincus dan Farallon Capital. Mereka adalah para dedengkot investor yang memang banyak menaruh dana di perusahaan rintisan yang mengandalkan tehnologi. Masuknya investor baru tersebut menjadikan nilai valuasi GoJek langsung naik menjadi USD 1.3 miliar, atau sudah menjadi salah satu Unicorn asli Indonesia. GoJek menjadi lebih siap untuk bersaing dengan perusahaan sejenis dari luar, yaitu Grab, yang juga baru mendapatkan suntikan dana sebesar USD 600 juta.
Dalam dunia akademis, landasan teoritis tertua bagi perusahaan ekonomi berbagi bisa dijelaskan dengan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith (1776) dan David Ricardo (1817). Keduanya mengatakan bahwa efisiensi akan tercapai apabila bisa dipertemukan antara pemilik sumber daya yang berlebih dengan pihak yang membutuhkan sumber daya tersebut. Lloyd (1833) dalam Tragedy of Common mengemukakan bahwa sumber daya berlebih, misalnya tanah, udara dan air, yang digunakan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama akan mampu menciptakan kesejahteraan suatu masyarakat. Mudarat baru terjadi apabila sumber daya berlebih tersebut hanya dikuasai oleh sekelompok kecil manusia dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadinya.
Sedangkan apabila kita menggali landasan filosofis konsep ekonomi berbagi dari dalam negeri, maka kita akan sampai pada prinsip kesejahteraan yang dicetuskan oleh Proklamator pendiri bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta. Prinsip kesejahteraan itu kemudian dirumuskan menjadi sila kelima dalam Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Implementasinya adalah negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebuah pemikiran yang luar biasa dari Sang Proklamator, yang melampaui jamannya.
Kalau kita cermati prinsip kesejahteraan yang diusung oleh Bung Karno, ada beberapa fenomena menarik yang bisa digambarkan dengan metafora perusahaan ekonomi berbagi. Yang pertama, dalam mencapai cita-cita mensejahterakan rakyat Indonesia, Bung Karno tidak pernah memusuhi orang-orang kaya, yang notabene adalah pemilik sumber daya. Tujuan dari berdirinya suatu negara adalah mensejahterakan seluruh rakyat, yang di dalamnya terkandung makna membuat orang-orang miskin menjadi kaya, dan sama sekali bukan menjegal orang-orang kaya. Orang-orang kaya lah yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Tanpa kehadiran orang-orang kaya, maka mustahil negara bisa menjadi kaya.
Sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa semua peninggalan-peninggalan fenomenal dibangun oleh pemerintah yang kaya dan/atau orang-orang kaya pada masanya. Tidak ada negara atau bangsa yang kaya yang tidak didukung oleh banyaknya golongan masyarakat yang kaya di dalamnya.
Kita ambil contoh istana Versailles di Paris. Istana ini adalah istana termegah di dunia yang dibangun pada tahun 1661 oleh Raja Louis ke 14. Istana yang sangat megah itu mampu dibangun karena kerajaan Perancis memang mengalami masa jaya di periode tersebut. Stadion Olimpia di Yunani yang menjadi tempat penyelenggaraan olimpiade pertama di dunia juga dibangun ketika bangsa Yunani sedang mengalami masa kejayaan. Demikian pula Hanging Garden di Babilonia.
Di dalam negeri sendiri, candi Borobudur dibangun ketika masa kejayaan dinasti Syailendra. Jakarta sendiri bisa menjadi kota metropolitan, tentu membutuhkan dukungan orang-orang kaya yang ikut membangun gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Tanpa keberadaan orang-orang kaya, maka sebuah kota atau negara tidak akan bisa bertumbuh.
Jadi konsep kesejahteraan yang diusung oleh Bung Karno tidak memusuhi orang kaya. Ini sama dengan konsep perusahaan ekonomi berbagi. Perusahaan ekonomi berbagi tidak pernah membenturkan antara pemilik sumber daya dengan pengguna sumber daya. Kedua-duanya menikmati keuntungan dari proses penggunaan sumber daya secara bersama-sama.
Kedua adalah fenomena gotong royong. Gotong royong adalah inti dari Pancasila, di mana yang kuat membantu yang lemah. Konsep gotong royong ini diusung oleh Presiden Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, yang sekarang diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Dalam konsep gotong royong, si kaya dan si miskin hidup berdampingan, saling membantu dan keduanya menikmati keuntungan. Konsep gotong royong ini juga bukan konsep sama rata-sama rasa seperti dalam idiologi komunisme, tetapi penggunaan sumber daya secara bersama-sama. Dalam perusahaan ekonomi berbagi, metafora ini digambarkan bahwa untuk bisa bertumbuh perusahaan ekonomi berbagi tidak harus menguasai seluruh sumber daya stratejiknya, tetapi memanfaatkan sumber daya stratejik yang dimiliki oleh satu pihak dan membagikannya kepada pihak lain yang membutuhkan. Keduanya menikmati keuntungan. Seperti dalam kasus GoJek, penumpang bisa mendapatkan biaya transportasi yang jauh lebih murah dan aman, sementara pemilik sumber daya, yaitu tukang ojek bisa memperoleh pendapatan lebih banyak dengan memanfaatkan tehnologi IT. Dalam dunia modern, prinsip gotong royong yang difasilitasi melalui sistem aplikasi IT memungkinkan ribuan atau bahkan jutaan rakyat Marhaen atau wong cilik menjadi satu kekuatan ekonomi dan menikmati pendapatan. Kalau jaman Bung Karno dulu, rakyat Marhaen digambarkan sebagai petani miskin yang hanya menguasai sepetak tanah pertanian yang sempit, maka dalam era ekonomi berbagi modern rakyat Marhaen digambarkan sebagai rakyat kecil yang hanya memiliki sebuah sepeda motor dan bisa memperoleh kehidupan yang layak dengan bergabung bersama GoJek.
Metafora ketiga adalah tentang trust atau kepercayaan. Sebuah perusahaan ekonomi berbagi hanya bisa sukses apabila mendapatkan kepercayaan dari pemilik sumber daya dan pengguna sumber daya. Dalam hal ini pemerintah bisa berperan sebagai “perusahaan ekonomi berbagi” dalam mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Keberhasilan penerapan konsep Nawacita Bung Karno yang diadopsi oleh Presiden Jokowi adalah kuncinya. Konsep Nawacita sebenarnya berakar dari semangan perjuangan dan cita-cita Soekarno, yang dikenal dengan istilah Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Apabila pemerintah berhasil mengamalkan Nawacita ini, maka niscaya akan terbangun kepercayaan sebagai modal dasar untuk mengelola pembangunan demi mensejahterakan rakyat.
Metafora keempat yang bisa dijelaskan dengan konsep perusahaan ekonomi berbagi adalah bahwa perusahaan ekonomi berbagi tidak semata-mata menyasar keuntungan jangka pendek, tetapi lebih mengutamakan pada pertumbuhan jangka panjang. Bahkan dalam banyak kasus perusahaan ekonomi berbagi masih memberikan subsidi yang mengakibatkan laba negatif pada laporan keuangannya. Perusahaan ekonomi berbagi lebih memprioritaskan pada pertumbuhan perusahaan dengan menciptakan sebanyak mungkin traffic atau pengguna.
Landasan filosofis yang diletakkan oleh Bung Karto dan Bung Hatta jelas bahwa tujuan jangka panjangnya adalah mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan semata-mata mencari keuntungan jangka pendek bagi dirinya sendiri dan kelompoknya. Pemerintah harus belajar dari fenomena ini. Pemerintah sebagai metafora dari perusahaan ekonomi berbagi juga memang tidak boleh mencari keuntungan dalam perannya sebagai mediator. Tetapi pemerintah memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu bertumbuhnya kue ekonomi suatu negara yang pada gilirannya membagikan kue ekonomi tersebut secara adil dan merata, sehingga akan mensejahterakan seluruh warga negaranya.
Bagian akhir dari tulisan ini akan membahas masalah ekonomi berbagi dalam kaitannya dengan koperasi. Fakta yang terjadi di banyak belahan dunia adalah runtuhnya ekonomi di banyak negara yang menganut sistem sosialisme. Bahkan negara-negara komunis seperti China, Vietnam bahkan Rusia sudah menerapkan sistem ekonomi pasar. Sementara di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara kapitalis, krisis sering dan berulang kali terjadi. Tetapi harus diakui bahwa ekonominya bertumbuh, karena ditopang oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang dikelola dengan sistem manajemen modern yang pruden sekaligus inovatif. Di negara-negara kapitalis perusahaan-perusahaan besar didorong dan difasilitasi untuk terus maju dan berkembang sehingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Sistem ekonomi kerakyatan yang diusung oleh Bung Karno jelas bukan berarti bahwa perusahaan-perusahaan besar Indonesia yang sudah dikelola secara baik dan modern harus dikerdilkan. Tetapi bahkan tetap harus didorong agar lebih maju dan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Kalau memang demikian, lalu apa bedanya dengan sistem kapitalisme ala Barat?
Ekonomi kerakyatan jelas berbeda. Dalam sistem ekonomi kerakyatan negara hadir dan menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok Marhaen, wong cilik, dan para pengusaha kecil. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, kelompok Marhaen, wong cilik dan para pengusaha kecil tidak dibiarkan bertarung sendiri melawan perusahaan-perusahaan raksasa. Dengan meminjam konsep ekonomi berbagi para pengusaha kecil disatukan, diintegrasikan dan dikelola secara profesional oleh perusahaan besar yang memang memiliki kemampuan untuk itu. Penggabungan puluhan, ribuan dan bahkan jutaan pengusaha kecil dalam sebuah kooperasi yang dikelola secara modern, akan memampukan mereka untuk bersaing secara profesional dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kalau perusahaan-perusahaan kecil dibiarkan secara sendiri-sendiri seperti dalam konsep kapitalisme, maka pengusaha kecil ini jelas akan digilas oleh yang besar dan mereka akan mati sebelum pernah menjadi besar. Harus diakui bahwa ini belum dilakukan oleh pemerintah. Beberapa BUMN yang dimiliki pemerintah memang sudah memberikan pelatihan dan bantuan kepada pengusaha kecil. Tetapi sifatnya masih sekedar sumbangan dalam bentuk keperdulian sosial perusahaan atau dikenal dengan nama keren CSR (corporate social responsibility). Bukan hal ini yang dimaksudkan dan ini jelas tidak cukup untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada wong cilik.
Yang perlu dilakukan adalah diprakarsainya pembentukan BUMN besar yang mampu merangkul para pengusaha kecil yang jumlahnya puluhan, ribuan bahkan jutaan, dan mengintegrasikan mereka dalam sebuah kooperasi yang dikelola secara profesional dan modern. Misalkan kelompok tani, nelayan, peternak dan seterusnya. Tanpa melalui mekanisme ini, selamanya para petani, nelayan dan peternak akan tetap menjadi pengusaha kecil yang miskin. Contoh menarik yang bisa kita tiru adalah koperasi puluhan ribu peternak susu sapi di Selandia Baru yang diintegrasikan ke dalam satu wadah, yaitu Fontera dan dikelola secara profesional dan modern. Sebagai sebuah koperasi Fontera mampu bersaing dengan perusahaan manapun di dunia bahkan menjadi salah satu produsen susu sapi terbesar di dunia. Inilah hakekat ekonomi berbagi dalam bentuk koperasi yang diusung oleh Bung Hatta di awal pendirian republik ini. Jadi bentuknya bukan sekedar koperasi yang selama ini kita kenal, misalnya koperasi simpan pinjam, koperasi unit desa, dan lain-lain. Tentu saja di sini peran negara sangat vital dalam memberikan dukungan penuh kepada BUMN yang ditunjuk untuk merangkul dan menyatukan para pengusaha kecil. Kalau ini diterapkan maka koperasi, di samping korporasi bisa menjadi soko guru yang menopang ekonomi Indonesia. Dan seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno, tidak bakalan ada rakyat miskin di negeri yang gemah ripah lok jinawi. Konsep ekonomi berbagi dalam bingkai ekonomi kerakyatan adalah salah satu solusinya. Semoga dengan konsep ini, cita-cita pendiri bangsa bisa terwujud, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ditulis oleh Dr. Harris Turino sebagai sumbangan pemikiran bagi kemajuan bangsa Indonesia.